Thursday, June 17, 2010

Antara Cinta dan Benci part 3




Monday, September 29, 2008
Serangan Wulansari

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

Akuwu Wengker memimpin rapat darurat perang, “Saudara-saudara, kita berkumpul untuk mendapatkan taktik yang jitu dalam menghadapi pertempuran ini.
Sebelum itu, aku ingin bertanya kepada Patih Kebo Ireng, apakah anda bersedia berperang membela Negari mu, bersama kami?”

“Siap! Dan engkau adalah komandan kami.”

“Dan juga kepada Putri Sekarpandanwangi, apakah engkau juga siap tempur? Dimana Putri kita? Kenapa tidak kelihatan?”

Semua orang menengok ke kanan dan kekiri mencari sang Putri, ternyata dia sudah meninggalkan ruang Balairung.

“Dia sudah pergi Tuan! Tadi aku melihat dia pergi memakai kuda ke luarkota.” Kata salah seorang prajurit Wengker.

“Baiklah, tanpa dia kekuatan kita cukup untuk menghadapi musuh; percayalah kita akan menang.
Aku akan bertanya kepada serdadu yang terluka, bagaimana musuh akan sampai kesini; Mereka akan memakai jalan apa.
Agar kita dapat menghalangi atau mengganggu perjalanannya.”

Prajurit Medang yang terluka mengatakan, “Kebetulan aku dapat mendengarkan percakapan antara dua orang prajurit musuh. Dia mengatakan bahwa, limaratus kafaleri berkuda dibawah pimpinan Kebo Anabrang akan memakai jalan tradisional menyebrangi sungai Conde; sementara tujuh ratus pasukan kafaleri berkuda lainnya dibawah pimpinan Boyo Pitu akan melalui Lembah Ular di gunung Ratu Sewu.”

“Mengapa mereka mau memakai jalan Lembah Ular ? lembah sempit itu?” Tanya seorang prajurit.

Akuwu menduga, “Aku tidak tau maunya mereka apa. Akan tetapi dengan melalui jalan itu, maka jarak yang akan ditempuh dapat dipersingkat dan tidak terlihat. Kemungkinan Boyo Pitu ingin membuat kejutan dengan tiba-tiba sudah berada dimuka Istana ku.

Ku perintahkan agar jembatan sungai Conde diruntuhkan, untuk menghambat pergerakan Kebo Anabrang dan pasukannya

Akan tetapi, sesudah aku mengetahui rencana Boyo, maka aku memilih sasaran pada pasukan Boyo Pitu. Kita akan menunggu mereka dibibir lembah dan begitu mereka datang melewati kita, kita serang dari atas lembah.
Kita perkirakan mereka tidak akan dapat leluasa untuk melarikan diri; Dikarenakan lembah itu sempit.  Sesuai dengan namanya, memang lembah untuk ular.”

Patih Kebo Ireng bertanya, “Komandan, bagaimana dengan pasukan Kebo Anabrang? Apakah akan kita serang juga ?”

“Mereka akan kita bakar bersama dengan Istanaku.”

“Jangan Tuan! Istana itu mahal harganya.” Kata seorang prajurit.

“Bahkan nyawaku akan kukorbankan demi Kerajaan; jadi apalah arti sebuah Istana.
Baik kawan-kawan, mari kita mulai bekerja secepatnya karena musuh akan sampai ditempat ini dalam waktu tiga hari.” Kata Akuwu Wengker.

Beberapa prajurit memanjat pohon disekitar Istana dengan perlengkapan panah ber api. Istana dipenuhi dengan jerami kering dan belerang yang mudah terbakar. Didalam Istana disebarkan emas dan permata dengan sengaja,  seolah-olah tercecer;  Seakan-akan yang empunya terburu-buru membawanya sehingga emas permata itu tumpah.

Bila Kebo Anabrang dan serdadunya akan mengambil permata itu, maka pasukan diatas pohon akan menghujani Istana dengan panah berapi. Api akan membakar belerang dan jerami; Diharapkan Kebo Anabrang dan pasukannya akan menghirup asap belerang dan mati tercekik.

Beberapa orang pergi merusak jembatan Kali Conde.

Pasukan lainnya pergi kebibir lembah dengan perlengkapan batu-batu besar yang siap diterjunkan kedalam lembah sempit. Panah dan tombak juga dipersiapkan.

Komandan tempur Akuwu Wengker memberi arahan, “Aku minta jangan menimbulkan suara sedikitpun, agar musuh tidak curiga; Sepatu kuda harus dibungkus kain agar tidak terdengar derap kaki kuda. Jangan bercakap-cakap !, Bila perlu bercakap, maka kita hanya boleh berbisik seperlunya.”
Kemudian Akuwu membawa pasukannya ke bibir Lembah Ular.

Para pengungsi dari Medang disembunyikan didalam guha dengan persediaan makanannya.


Bab 2

Sementara itu, Putri Sekarpandanwangi melarikan kudanya kearah Ibukota Medang; Sesungguhnya, dia tidak percaya bahwa Istananya telah dibakar orang.

Putri Sekar merasa dipermalukan dimuka umum dengan tuduhan kepada kekasihnya sebagai pembunuh Raja, oleh sebab itu dia perlu meninggalkan Istana Wengker, selain juga ingin melihat situasi pertempuran.
Sewaktu datang prajurit yang terluka, perhatian semua orang tertuju hanya pada prajurit-prajurit yang terluka itu. Kesempatan itu telah digunakan oleh Putri untuk melarikan diri. Dia berhasil mencuri seekor kuda yang lengkap dengan peralatan tempur.

Dia maju terus hingga ke pinggir kota Medang. Bau asap dan bangkai tercium olehnya.  Ternyata memang banyak bangkai kuda dan mayat manusia tersebar disekitarnya. Burung si ruak-ruak bangkai berebut daging kuda dan mayat manusia. Juga anjing-anjing kampung yang ikut memperebutkan daging; Mereka berpesta diatas penderitaan Anak Negeri Medang. Rumah-rumah penduduk habis terbakar; asap membumbung tinggi membuat mata Putri pedih.
Alangkah kejamnya tentara Wulansari; Tidak hanya mayat tentara Medang yang ditemukan oleh Putri, tetapi juga ada mayat anak-anak, perempuan dan orang tua. Apa maksud mereka untuk membunuh manusia yang tidak berdosa.

Dia maju terus hingga mencapai Istana yang tengah terbakar. Dia merasa sedih, pilu, sakit hati dan kecewa bercampur aduk di benaknya. Peperangan ini adalah perang brutal, tanpa aturan. Bagaimana Istana nya yang dibanggakan sekarang sudah hangus terbakar.

Dia menjerit kaget sewaktu melihat ibunya yang sudah menjadi mayat. Tidak jauh dari situ, terlihat juga mayat ibunda Akuwu Wengker. Betapa sedihnya Putri melihat semua itu.   Dia harus menguburkan kedua mayat dari orang yang dikasihi.

Akan tetapi, tidak seorangpun berada disitu yang mau membantu Putri untuk membuatkan lubang pengubur kedua mayat. Maka Putri terpaksa bekerja sendiri menguburkannya.

“Oh Dewa, apakah betul semua ini perbuatan Sora Mahisa? Apakah betul dia seorang serdadu Wulansari? Aku sesungguhnya tidak percaya keterangan Jaran Edan. Sora Mahisa hanyalah seorang pemuda desa Kedungsongo yang mencintai diriku.
Oh Dewa, aku lebih suka dia sebagai pemuda desa daripada seorang prajurit Wulansari.  Wahai Dewa, kabulkanlah permintaanku !” Pikir Putri Sekar.

Putri Sekarpandanwangi pulang kembali menuju Jati Wengker. Dia akan berjuang melawan musuh bersama adik tiri-nya. Satu-satunya daerah yang belum jatuh ketangan musuh adalah Jati Wengker.

Sekarang dia berada didaerah musuh dan dapat ditangkap musuh dengan mudah. Dia mengeluarkan saputangannya untuk menutupi wajah. Dia tidak mau berjalan di jalan raya, tetapi masuk hutan, menggunakan jalan setapak.

Badannya sekarang menjadi lelah, oleh sebab itu dia perlu beristirahat. Untunglah ditengah hutan ada sebuah Candi Hindu tua yang sudah tidak dipakai lagi. Diduga Candi ini ditinggalkan karena ada peperangan, sama hal-nya dengan perang yang sekarang terjadi.

Dia melihat patung Dewa Siwa didalam Candi itu.
Dia bersimpuh dimuka patung itu dan menyembah.

Dia ber-doa, “Oh Dewa aku tidak sengaja datang ketempatmu, seolah engkau telah memanggilku ketempatmu ini. Aku mengakui bahwa aku telah melalaikan dirimu selama ini. Itulah sebabnya Engkau marah kepadaku dan kepada seluruh rakyat Medang. Oh Dewa ampuni aku dan seluruh Anak Negeri.
Oleh sebab itu ya Dewa, kiranya engkau dapat menarik kembali hukuman Mu kepada ku dan rakyat ku.”

Kemudian, Dia menoreh tembok Candi dengan pedangnya, membuat sebuah  tulisan, berbentuk syair.

Wahai Raja tamak
Engkau datang menganiaya
Merusak, membakar dan menghancurkan.
Untuk apa?
Sudah puaskah dirimu?
Alam Jagad Raya mengutuk mu

Sudah tak berharga arti nyawa
Walau itu nyawa seorang Raja
Kau bunuh semua
Untuk Apa?
Ku harap itu cukup sudah
Alam Jagad Raya mengutuk mu

Oh Dewa sudahi hukuman ini
Cukupkan sudah amarah-Mu
Kami ‘kan berdatang sembah kepada Mu
Ampuni Anak Negeri ini
Ampuni juga pemimpin dan Raja nya
Sejahterakan mereka; jauhi malapetaka.

Putri Sekarpandanwangi tertidur disamping patung Siwa.
Dia tertidur lelap dikarenakan lelah dan ketegangan didalam jiwanya.
Keadaan dirinya tanpa penjaga seperti biasanya, sehingga dia akan mudah untuk dibunuh oleh musuh; Jika begitu, maka keadaannya akan sama seperti keadaan ayahnya sewaktu dia mati dibunuh selagi tidur.

Tak lama kemudian, seseorang memasuki gedung Candi. Dia adalah seorang prajurit Wulansari bersenjata lengkap.

Dia melihat Putri yang sedang tidur; Akan tetapi dia tidak hendak membunuh musuhnya;  Bahkan dia ikut beristirahat disamping Putri.

Sewaktu Putri terbangun dari tidurnya, alangkah terkejutnya dia yang mendapatkan seorang prajurit musuh tidur disampingnya.
Putri meraih pedangnya dan bersiap melawan.

Prajurit Wulansari itu berkata, “Jangan melawanku wahai Putri Sekarpandanwangi;  Sesungguhnya, engkau sedang ditunggu oleh Pangeran Sora Mahisa di tepi hutan ini. Aku ditugaskan oleh beliau untuk menjemputmu.”

Putri tetap melawan; menusukan pedangnya kearah perut musuh.
Prajurit itu mengelak dan mundur;  Akhirnya dia lari dari Candi dan memacu kudanya meninggalkan Putri.
Putri Sekar berpikir, “Oh Mahisa, ternyata engkau bukan saja seorang prajurit Wulansari, tetapi bahkan Pangeran Wulansari.  Dan dia masih mengharapkan cinta dariku; Dia menunggu aku di tepi hutan ini, kata prajurit tadi.
Tidak, terimakasih wahai Mahisa-ku !  Bahkan aku sekarang sangat membencimu.”

Secepatnya Putri juga menaiki kudanya.
Agar kudanya dapat berlari lebih cepat maka dia memakai jalan raya.

Ternyata jalan raya sudah di jaga oleh dua puluh serdadu Wulansari.
Mereka menjaga dan menangkap setiap pengguna jalan.

Putri Sekar memutar kudanya, kembali ke arah Ibukota Medang.
Beberapa langkah saat kudanya berderap maju, dia merasakan leher belakannya tertusuk sesuatu. Secara otomatis dia meraih ketempat yang sakit; ternyata sebilah anak panah kecil tertancap dilehernya. Dia mengenal itu adalah anak panah sumpit Dayak.

Sekarang dia merasakan lemah pada tangan dan tungkainya. Kemudian dia merasakan lemah di sekujur tubuhnya dan akhirnya lunglai diatas kudanya.

Beberapa prajurit Wulansari keluar dari semak-semak, menghampiri dan membawa Putri ke pos jaga nomer duapuluh enam. Putri diturunkan dari kudanya dan dibaringkan ditanah.

Nampaknya mereka tidak mengenal Putri sebagai anak Raja; Putri dibiarkan saja menunggu kematian-nya.  Mereka sependapat bahwa, tidak ada gunamya menolong nyawa seorang prajurit wanita Medang.

Sumpit Dayak mengandung racun yang akan melumpuhkan syaraf. Kematian akan datang bila sudah mengenai syaraf otot-otot pernafasan, sehingga korban tidak dapat lagi bernafas.

Akan tetapi, Putri Sekar masih dapat bernafas dan sadar;  Bila tidak ada yang menolong, maka dalam hitungan jam, dia akan mati.
Putri Sekar masih dapat mendengarkan percakapan para prajurit Wulansari.

Mereka duduk-duduk santai sambil minum-minum tuak. Mereka bercerita tentang pertempuran melawan Akuwu Wengker.
Mereka memakai dialek orang utara, akan tetapi isi percakapannya masih dapat dimengerti oleh Putri Sekar.

“Boyo Pitu sebetulnya dapat memenangkan pertempuran dengan mudah jika tidak ada orang yang membocorkan strateginya, yaitu menggunakan jalan di Lembah Ular.”  Kata salah seorang dari mereka.

“Kau betul, menurut rencananya, didalam waktu satu hari dia sudah akan sampai dimuka Istana Wengker, dan langsung akan dapat meringkus Akuwu dan pasukannya.”  Yang lain membenarkan.

“Sayang dia kalah kali ini, serdadunya banyak yang mati di lembah sempit itu. Kebanyakan tertimpa batu-batu gunung yang digulirkan dari atas oleh pasukan Akuwu.”

“Kebo Anabrang mati karena kehabisan nafas, setelah menghirup asap belerang. Begitu juga pasukannya. Mereka terlalu bernafsu untuk menjarah Istana Wengker yang mewah.”

“Sudah. Sudah jangan bercakap hal yang telah berlalu. Kalian ini berpikir mundur, mengenang kekalahan kita. Mari kita kembali ke markas dan menghimpun kekuatan guna menuntut balas.”

Putri Sekar dapat mendengarkan percakapan mereka walaupun badannya terasa lemah. Dia bersyukur bahwa Akuwu Wengker dapat memenangkan pertempuran. Adik tirinya yang tadinya disangka penghianat, pembunuh Raja, ternyata dia adalah pahlawan yang dapat dibanggakan.   Sekarang dia adalah Pemimpin pertempuran dari Kerajaan Medang.

Prajurit Wulansari datang memeriksa keadaan Putri sepintas, kemudian mereka mengambil kuda Putri dan mengambil semua senjata-senjatanya.
Mereka pergi meninggalkan Putri sendirian di pos nomer dua puluh enam.
Mereka yakin serdadu wanita Medang itu akan menemui ajalnya dalam waktu dekat.


Bab 3

Akuwu Wengker tidak mau melanjutkan pertempuran. Analisanya sudah benar, karena dengan kekuatan prajurit yang hanya tiga ratus personil, sudahlah pasti Akuwu akan mengalami kekalahan.
Dia menyadari tidak akan mampu menghadapi musuh yang jauh lebih kuat.

Jadi Akuwu dan pasukannya bersembunyi didalam hutan, menunggu kesempatan musuh yang sedang lengah untuk diserang dan kemudian bersembunyi kembali.

Sementara itu, Ki Manjangan ditugaskan sebagai mata-mata. Tugasnya adalah mengamati akan pergerakan tentara musuh.  Selain itu, juga sebagai pembawa berita. Dikarenakan Ki Manjangan tau sedetailnya akan hal-nya peta dan situasi hutan.

Markas Besar tentara Wulansari terletak di Kedungsongo, tempat Sora Mahisa dulu pernah menetap selama dia pernah menjadi kekasih Putri Sekarpandanwangi.

Komandan militer Wulansari dipegang oleh Pangeran Sora Mahisa, yang sebenarnya adalah kekasih Putri Sekarpandanwangi;  Tetapi sekaramg sudah tidak lagi.

Dia adalah Pangeran Putra Mahkota Kerajaan Wulansari, anak dari Raja Girindrawardana.

Alangkah indahnya strategi yang dipakai oleh Sora Mahisa yang berpura-pura jatuh cinta pada Putri, pada hal maksud utamanya adalah membunuh ayah kekasihnya; Sungguh cara yang indah tetapi busuk dan licik.

Ki Marachandra ikut membantu mendirikan kemah-kemah musuh; Jadi semua orang sudah tau,  bahwa dia adalah penghianat bangsa.

Pangeran Sora Mahisa mendapat kesulitan dalam pertempuran menghadapi musuh yang tersembunyi dan tidak pernah tampil berhadap-hadapan.
Pengiriman bahan makanan mereka selalu dirampok oleh Akuwu.

Komandan Sora Mahisa masih mengingat kekasihnya; Dia bertanya kepada salah seorang prajuritnya yang mendapat tugas menjemput Putri Sekar di Puri Hindu, “Hai Penyatus Mantili, apakah engkau berhasil membawa Putri Sekar; Seharusnya engkau melapor kepadaku. “

“Maaf Tuan, hamba mau melapor, tetapi Tuan terlalu sibuk dengan urusan yang lebih penting; Jadi aku menunggu kesempatan.
Putri Sekarpandanwangi tidak mau ikut dengan aku, bahkan melawan.  Aku melarikan diri, demi keselamatan Putri Sekar juga.”

Kelihatan Komandan Sora Mahisa menjadi kecewa dan gundah, “Masalah Putri Sekar adalah hal yang lebih penting buat ku, dibandingkan dengan urusan-urusan perang.  Aku kecewa mendengar laporanmu.”

Tiba-tiba, seorang prajurit lainnya datang melaporkan, “Tuan, aku telah membunuh seorang prajurit wanita Medang;  Mayatnya sudah ku tinggalkan di pos nomer dua puluh enam.  Sewaktu aku tinggalkan, dia belum mati; Tetapi keadaannya kritis akan menemui ajalnya. “

Sora Mahisa kelihatan penuh harap mendengar laporan itu, “Aku mengharap bahwa serdadu wanita itu adalah Putri Sekarpandanwangi.  Sekarang juga engfkau jemput dan engkau obati;  Semoga dia masih dapat tertolong.”

Sementara itu, Ki Manjangan dan kawan-kawannya sedang dalam perjalanan dihutan guna mengamati pergerakan tentara musuh. Secara kebetulan dia melewati pos nomer dua puluh enam yang sudah ditinggalkan.

Ki Manjangan berteriak terkejut, “Hai lihat itu junjungan kita, Putri Sekarpandanwangi.”
Semua orang memburu ketempat Putri terbaring ditanah.

“Putri, apakah engkau baik-baik?”  Tanya Ki Manjangan.

Putri tidak sanggup bercakap-cakap disebabkan pernafasanya sudah mulai terganggu. Dia hanya memperlihatkan anak panah Sumpit Dayak kepada Ki Manjangan.

“Oh ini adalah senjata kawan kita dari Dayak Kalimantan.   Kebetulan aku mempunyai obat penawarnya dari temanku orang Kalimantan.
Jangan takut Tuan Putri !  Aku akan membuatkan obat penawarnya.”

Secepatnya Ki Manjangan membuat segelas obat penawar. Dan langsung diminumkan kepada Putri Sekar. Obat sudah diminum semua. Semua orang menunggu dengan cemas akan hasil kerja obat.

Tak lama kemudian Putri sudah dapat bernafas lebih bebas, tampak mukanya sudah kelihatan merah, cerah dan bertambah cantik.
Tetapi dia belum sanggup menggerakan tangan dan kakinya.

“Kenapa Tuan Putri ada disini?”  Tanya Ki Manjangan.

“Aku sedang melihat Istana ku yang dibakar oleh Wulansari.  Tetapi aku telah diserang oleh tentara musuh ditempat ini. ” Kata Putri dengan kata tersendat-sendat.

“Aku harus membawamu secepatnya ke markas kita.
Karena aku menduga sebentar lagi musuh akan datang dan membawamu ke pada Pangeran Sora Mahisa.  Dikarenakan engkau adalah kekasih Pangeran Sora.” 
Kata Ki Manjangan.

“Dugaanmu sejalan dengan perkiraanku.
Akan tetapi, apakah dia sungguh seorang Pangeran?
Aku lebih suka kalau dia hanya-lah seorang pemuda dusun dari Kedungsongo, anak Ki Marachandra.”

“Bahkan dia adalah komandan tertinggi pasukan musuh.”  Kata Ki Manjangan.

“Sekarang dia bukan lagi kekasihku, tetapi musuh ku. Aku benci dia !.
Ki Manjangan, sekarang aku merasa lebih kuat.
Aku akan mencoba berdiri.”

Putri mengepalkan tinjunya dan menggerakan kakinya, kemudian mencoba untuk berdiri. Dia berhasil walau dengan susah payah dan limbung, hampir jatuh.

“Hayo Ki Manjangan, kita berangkat sekarang! Akupun takut akan dijemput oleh Sora Mahisa.
Ki Manjangan, aku ingin mendengar pendapatmu;  Adalah sesuatu yang aneh bahwa kekasihku tiba-tiba menjadi musuhku; Bagaimana menurut pendapatmu?”

“Memang ini sesuatu yang ganjil, tetapi aku belum tau sebabnya!”

Putri di baringkan diatas punggung kuda.
Kemudian, mereka segera berangkat dengan perasaan takut akan berjumpa dengan musuh.

Dan memang benar, beberapa serdadu Wulansari datang ke pos nomer dua puluh enam, sesaat Putri Sekar dan rombongannya berangkat.  Hampir saja mereka bertemu didalam medan tempur yang pasti akan meminta korban.

Markas tersembunyi Akuwu Wengker jauh ditengah hutan. Diperlukan waktu dua sampai tiga hari untuk sampai di tempat itu. Mereka harus melalui sarang buaya, ular pyton dan masih banyak lagi rintangan.

Putri menjadi lebih baik; sekarang dia dapat duduk diatas punggung kuda. Semua orang ikut berbahagia, karena junjungannya dapat kembali sehat dan selamat.

“Hai Ki Manjangan !  Mengapa engkau membawa aku ketempat yang lebih liar; Aku menduga engkau telah salah jalan.  Lihatlah hutan ini semakin lebat dan banyak ular dan buaya.”  Kata Putri Sekar.

Ki  Manjangan menjawab, “Jika kubawa engkau ketempat yang indah, sudah barang tentu, musuh akan mengetahui persembunyian kita..”

“Katakan kepada Akuwu bahwa aku akan menjadi prajuritnya, guna memperkuat pasukannya.”  Kata Putri Sekarpandanwangi kepada Ki Manjangan.

“Wow! Tuan Putri adalah pimpinan kami;  Sedangkan Akuwu Wengker adalah pejuang.
Janganlah merendahkan diri wahai Tuan Putri
Engkau adalah Ratu kami di Kerajaan Medang.”

Pada akhirnya mereka sampai juga di Markas Besar tentara Medang.
Ki Manjangan mengeluarkan suling dan memainkan lagu yang mendayu-dayu terkesan sangat sedih. Tak lama kemudian pintu gerbang dibuka. Rupanya bunyi suling itu ialah kode sandi untuk membuka pintu gerbang.

Akuwu Wengker menyambut kedatangan Ki Manjangan untuk mendapatkan berita medan tempur.
Akan tetapi, tidak disangka, ternyata Ki Manjangan juga membawa tamu istimewa.

Kedua mahluk Tuhan itu saling pandang, tetapi pada akhirnya, kedua kakak beradik itu saling berpelukan disertai derai air mata. Nampaknya sudah tidak ada rasa dendam dikarenakan kesalah pahaman diantara mereka didalam perang saudara.

“Selamat datang kakak ku tercinta, engkau tetap cantik dan cemerlang walau dalam masa perang seperti ini.”  Kata Akuwu.

“Terimakasih, adikku. Engkau juga seorang pahlawan Kerajaan yang hebat. Engkau telahdapat memenangkan pertempuran.”  Kata Putri Sekar.

“Hai dari mana engkau mendapat berita tentang aku?”

“Aku ditangkap oleh musuh dan musuh itu bercerita akan halnya kekalahan mereka. Aku mendengarkan percakapan mereka, semenatra itu aku berpura-pura pingsan.”

“Mari masuk kedalam. Engkau perlu makan dan istirahat.” Kata Akuwu.

Putri Sekar makan nasi dengan dendeng rusa dengan lahap, kemudian tidur di tenda. Kelihatannnya dia sudah sembuh dari pengaruh racun sumpit Dayak.

Pada suatu kesempatan, Ki Manjangan membawa berita yang penting, “Tuan, anak Negeri berkumpul, membentuk barisan dan kemudian mereka pergi; Dengan tujuan pulau Bali.

Mereka sekarang telah menjadi pengungsi dibawah pimpinan Brahma Narendra Gupta; Seorang petapa yang kharismatik.
Barisan menjadi semakin panjang dikarenakan bertambah jumlah orang-orang yang ikut serta dari dusun dan kota yang terbakar. Mereka kebanyakan adalah orang tua, wanita dan anak-anak.

Salah satu alasan mereka adalah persediaan makanan mereka sudah habis, jadi bahaya kelaparan sedang mengancam mereka.”

“Ini berita penting yang harus kita bicarakan dan pelajari bersama.  Perintahkan kepada seluruh kawan-kawan kita untuk berkumpul. Jangan lupa untuk mengundang Putri Sekar, dia harus berpidato untuk membangkitkan semangat juang.”

Pada senja hari, hutan semakin gelap, burung kelelawar dan burung hantu mulai keluar dan bunyi binatang hutan terdengar memanggil anaknya.

Pasukan Akuwu Wengker datang berkumpul di lapangan rumput dibawah pohon beringin. Mereka membakar kayu untuk membuat api unggun.

Tak lama kemudian, Akuwu Wengker datang ikut berkumpul diantara mereka. Dia memulai pidatonya, “Saudara, saudara; aku tau bahwa kalian sudah mulai bosan hidup didalam hutan gelap ini. Oleh sebab itu kita akan keluar dari hutan ini.”

“Kita akan bertempur kembali Akuwu? ” Tanya Jaran Edan.

“Ya jika perlu ! Tetapi sebaiknya kita akan menghindari pertempuran berhadap-hadapan.
Ada berita yang harus saudara ketahui bahwa sekarang ini rakyat Medang sedang berkumpul dan berbaris menuju pulau Bali sebagai pengungsi, dibawah pimpinan Brahma Narendra Gupta.

Sesungguhnya, mereka adalah bagian dari kita juga, jadi sudah selayaknya jika kita mengawal mereka dari serbuan pasukan Wulansari. Jika mereka menyerang barisan pengungsi, maka terpaksa kita harus menghadapi mereka didalam pertempuran.

Setiap peperangan selalu akan membawa petaka; salah satunya adalah bahaya kelaparan. Anak Negeri sudah kehabisan bahan makanan dan itulah salah satu alasan mereka menjadi pengingsi.

Jadi, tugas kita adalah mengawal mereka. Sembunyikan senjata mu dibalik bajumu dan berbaur-lah sebagai pengungsi. Jangan ada diantara kalian yang memakai seragam militer.

Pada kesempatan ini, Putri Sekarpandanwangi telah berada ditengah-tengah kita guna memberi semangat bertempur melawan musuh. Putri silahkan untuk berpidato.”

Putri bangkit dari duduknya dan menuju podium, Kemudian dia memulai pidatonya, “Saudara-saudara seperjuangan; Kerajaan sangat menghargai perjuangan saudara. Aku sengaja datang ketempat ini untuk memperkuat semangat juang saudara-saudara.

Apakah engkau mau menjadi budak seorang Raja yang tamak?
Aku tau jawabanya pasti tidak. Bila kita menyerah kalah, maka kita akan menjadi budak mereka. Lihatlah reaksi rakyat kita, mereka dengan penuh semangat pergi meninggalkan Negerinya bukan hanya karena alasan akan adanya bahaya kelaparan, akan tetapi juga karena alasan harga dirinya yang harus dipertahankan; Yaitu mereka tidak mau menjadi budak seorang Raja yang tamak.

BETUL PUTRI! HIDUP PUTRI SEKAR! HIDUP PUTRI SEKAR! Semua prajurit Wengker berteriak gegap gempita, membuat binatang hutan lari menjauhi.

Putri menyambung pidatonya, “Aku heran apa maunya si Raja tamak itu. Dia membakar, merusak dan membunuh manusia tak berdosa seolah-olah membunuh semut. Semua dibunuh, termasuk korbannya adalah Raja kita yang dibunuh sewaktu beliau sedang tidur.

Nah sekarang dia akan mendapatkan sebuah Negeri yang kosong tidak berpenghuni dikarenakan semua anak Negeri ini sudah akan pergi ke pulau Bali sebagai pengungsi.
Maka dengan demikian, tak seorang pun rakyat Kerajaan Medang yang akan membayar pajak; Dan tak seorangpun yang dapat diperas sebagai budak.

Maka aku berkesimpulan bahwa perang yang dilancarkan oleh Raja tamak itu, adalah perang yang tidak ada gunanya.

Jika aku dapat menanyakan rakyat Wulansari, apakah dia mau berperang dengan kita;  Sudahlah pasti jawabannya ‘tidak’

Semua akibat peperangan ini adalah karena ulah si Raja tamak itu, bukan rakyat Wulansari.  Mengapa aku berani memastikan hal ini ?, Dikarenakan si Raja tamak itu memerintah dengan cara ‘Tangan Besi’.   Tidak ada kesempatan bagi rakyatnya untuk mengutarakan pendapatnya.  Seluruh rakyat Wulansari akan selalu menjawab ‘Ya’ kepada Raja-nya, karena takut.

Demikian juga akan hal-nya kekasihku, Sora Mahisa.
Aku juga heran dan tidak habis pikir, mengapa Sora Mahisa, kekasihku sendiri mau membunuh ayahku, demi ayahnya, si Raja tamak itu.”

Putri menangis sedih ditengah-tengah pidatonya. Akuwu Wengker menghampirinya, menggandengnya untuk turun dari podium.

Akuwu mengakhiri pertemuan itu, “Saudara-saudara, malam semakin larut dan besok lusa kita akan bersiap-siap mengawal rakyat Medang yang akan mengungsi ke pulau Bali.  Baiklah kita akhiri pertemuan ini.”

Lima hari kemudian, semua laskar Wengker keluar dari hutan guna bergabung dengan para pengungsi dengan tugas pengawalan.

(Bersambung)

No comments: