Thursday, July 24, 2008

Ki Ageng Mengir (Bagian 1)

Putri Pembayun

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Prolog

Patih Purboyo memberi komando, “Serang!, Serang!” Tetapi, prajurit-prajurit Mataram malah mundur karena tidak mempunyai keberanian lagi. Mereka membawa kawan-kawannya yang terluka kembali ke Kota Gede (sekarang Jogyakarta).

Lebih dari seratus orang prajurit Mataram mati didalam pertempuran melawan Mengir Perdikan dibawah komando Ki Ageng Mengir. Mengir Perdikan selalu menang didalam pertempuran melawan Kerajaan Mataram.

Mataram secara terus menerus menyerang Mengir Perdikan guna memperluas daerah kekuasaannya, tetapi usaha mereka selalu gagal. Patih Purboyo menjadi frustrasi, “Aku mengakui memang Ki Ageng Mengir seorang piawai didalam medan tempur.”

Ki Ageng mengir adalah pemimpin Perdikan, bukan seorang Raja. Pemimpin Perdikan dipilih oleh rakyat setiap lima tahun sekali. Rakyat Mengir tidak mau bergabung dengan Kerajaan baru diselatan negerinya. Mereka lebih senang mempunyai pemimpin Perdikan daripada seorang Raja.

“Tuan, kami kalah lagi didalam pertempuran ini.” Patih melaporkan kekalahannya kepada baginda Raja Panembahan Senopati, Raja pertama Kerajaan Mataram.

“Aku memang sudah menduga.”

“Pada kenyataannya Ki Ageng Mengir dan tentaranya digjaya, tangguh dan sukar bagi kami menaklukannya.”

“Jangan engkau memuji musuh kita didepanku! Percayalah padaku, kita akan menang.”

“Kita harus bagaimana? Apa upaya kita?”

“Aku akan menanyakan pada ayahku, strategi apa yang akan kita pakai.”


Bab 1

Putri Pembayun adalah Putri cantik jelita, pandai menyanyi, bermain sandiwara, membunyikan gamelan dan juga menari. Dunia seni itulah dunianya Putri Pembayun.

Dia adalah Putri Raja Panembahan Senopati. Putri sangat tertekan karena dia tidak diperkenankan tampil dipanggung dimuka umum untuk menari dan menyanyi. Raja melarang Putrinya tampil dimuka rakyat jelata.

Pamannya bernama Ki Juru Martani melihat bakat keponakannya; dia sangat terkesan akan bakat yang dipunyai keponakannya, “Dia akan menjadi seniman yang sangat terkenal, cantik dan dikagumi; aku akan melatihnya bernyanyi.”

Atas inisiatif Ki Juru Martani, dibuatlah suatu perkumpulan para seniman sandiwara di Istana Mataram, khusus untuk orang Istana. Raja dapat mengijinkan. Putri senang ada orang yang perduli dengan bakatnya; maka dia berlatih secara serius.

Kakeknya pernah melihat Putri sedang menyanyi dan menari sewaktu dia berlatih di club. Kakeknya, Ki Ageng Pemanahan terkesan akan cucunya, “Bakat seninya akan dipakai oleh semua orang, rakyat Mataram.”

Panembahan Senopati menghadap ayahandanya, “Ayah, strategi apa lagi dalam pertempuran melawan Mengir Perdikan yang akan kita pakai?
Kita mengalami kekalahan kembali.”

Ki Ageng Pemanahan dulu adalah bekas seorang Patih pada Kerajaan Pajang dengan Rajanya, Raja Hadiwijoyo atau Jaka Tingkir. Dia selalu memberi nasihat yang jitu dimedan tempur pada Rajanya. Raja Hadiwijoya waktu itu bertempur melawan Ario Penangsang.

“Mari kita buat Ario Penangsang menjadi marah besar, sehingga dia akan membuat keputusan yang salah.”
Ki Ageng Pemanahan menangkap seorang bawahan Ario yang bekerja mengurus kudanya. Orang itu sedang mengambil rumput untuk kuda. Kuping orang itu dopotong, dimasukan kedalam amplop dan diberi catatan, “Hai Ario, kamu ditunggu oleh Jaka Tingkir ditepi Sungai Sore untuk berkelahi. Jangan jadi orang pengecut!”

Ario Penangsang sedang makan siang sewaktu pengurus kudanya datang sambil berteriak-teriak kesakitan, “Tuan, kupingku dipotong. Potongan kupingku bersama suratnya harus kuserahkan pada Tuan.”
Kemudian Ario membaca surat itu, “Kurang ajar! Apa dikira aku takut sama kamu. Hai pengawal segera sediakan kudaku.”
Ario Penangsang adalah termasuk orang yang mudah marah; emosi marahnya cepat timbul lebih-lebih bila berhadapan dengan Jaka Tingkir, musuh nomer satu.

Ario segera memenuhi tantangan Jaka Tingkir, meninggalkan makan siangnya dan tidak membawa seorang-pun prajuritnya. Patihnya menjadi bingung dan berteriak dibelakang Ario, “Tuan, jangan pergi! Ini pasti jebakan. Tuan akan mendapat celaka!”
Tetapi Ario tetap jalan terus.
Patihnya mengumpulkan semua prajurit-prajurit dan kemudian menyusul Ario. Sementara itu Ario dengan kudanya sudah menyeberangi Sungai Sore.

Dia tidak melihat Jaka Tingkir, tetapi Ki Ageng Pemanahan denga prajuritnya. Ki Ageng Pemahana memberi komando kepada prajurit pemaanah untuk melepaskan anak panah. Tubuh Ario dihujani panah.

Sesaat kemudian, Jaka Tingkir baru datang. Terjadilah perkelahian yang tidak seimbang karena Ario sudah tertusuk banyak panah. Jaka Tingkir dengan mudah menusukan kerisnya keperut Ario; usus terburai dari perutnya; maka Ario Penangsang mati.

Itulah pengalaman Ki Ageng Pemanahan; sekarang musuh berikutnya adalah Ki Ageng Mengir. Bagaimana menundukan musuh yang satu ini?

Setelah termenung sesaat, Ki Ageng Pemanahan berkata, “Baiklah anakku, kita harus mengadakan rapat perang secara rahasia. Rapat akan diadakan besok pagi dan jangan lupa mengundang anak gadismu Putri Pembayun untuk ikut didalam rapat itu.”

“Puti Pembayun hanyalah seorang wanita yang lemah; dia tidak tepat untuk berada di medan tempur karena dia bukan seorang prajurit.”

“Dia memang lemah, tetapi dia mempunyai otak yang brilian, pandai menyanyi dan menari dan juga cantik. Sampai jumpa besok pagi.”


Bab 2

Para peserta rapat telah datang ke Balairung Istana. Mereka terdiri dari para perwira militer, keluarga Istana, Raja dan Ayahanda Raja.

“Tolong ditutup semua pintu dan jendela, dan juga diperiksa kalau-kalau ada orang yang sedang memata-matai kita.” Ki Ageng Pemanahan memberi instruksi.

Seorang gadis cantik bertanya kepada kakeknya, “Kakek, apa tugasku?”
Dia adalah Putri Pembayun yang bertanya kepada Ki Ageng Pemanahan.

“Tidakkah engkau menyadari bahwa engkau adalah anggota Keluarga Kerajaan; sudah seyogyanya engkau harus memberikan darma bakti-mu kepada Kerajaan.”

“Aku akan membantu sepenuh hati pada Kerajaan.”

“Sekarang kita sedang bertempur melawan Mengir Perdikan dibawah Ki Ageng Mengir. Didalam pertempuran ini, engkau mempunyai tugas khusus.
Ki Juru Martani silahkan engkau menerangkan rencanamu itu.”

Ki Juru Martani berdiri dari duduknya, membungkuk memberi hormat kepada Raja, Ki Ageng Mengir dan semua yang hadir.
Nampaknya sudah direncanakan sebelumnya suatu strategi pertempuran oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani.

“Saudara-saudara, sebagaimana kita ketahui kita sudah mempunyai perkumpulan seniman pemain sandiwara untuk pertunjukan drama, menyanyi dan menari. Dan saya bangga dengan seniman kita Putri Pembayun. Saya mohon ijin kepada Paduka Raja untuk kiranya Theater ini dapat mengadakan pagelaran seni dimuka umum.”

“Silahkan Ki Juru Martani.” Raja berkata.

“Nah itu yang aku mau.” Putri Pembayun memberi komentar disertai muka yang berseri-seri karena suka cita.

“Kita akan mengadakan pertunjukan keliling dan pagelaran seni disetiap kota; maka kita akan mengadakan perjalanan. Theater kita akan kita mulai dari dusun di ujung utara, Dusun Randu Dadap. Seolah-olah kita memulai membentuk perkumpulan seniman sandiwara kita disitu; didusun Randu Dadap.

Dari situ kita akan mengadakan perjalanan dan pagelaran hingga pada akhirnya kita mendekati kota Mengir. Kita mengharapkan Ki Ageng Mengir mau mengudang kita untuk mengadakan pertunjukan dirumahnya. Kemudian kita mengharapkan Ki Ageng Mengir akan jatuh cinta kepada Putri kita.”

“Stop! Jangan diteruskan! Aku tidak setuju! Bagaimana mungkin musuhku akan menjadi menantuku.” Raja berkata dengan mimik muka yang marah.

“Sudah barang tentu Ki Ageng Mengir tidak tau bahwa pesinden (penyanyi) itu adalah Putri Pembayun, putri seorang Raja. Karena kita menyembunyikan identitas kita yang asli.”

“Lalu, apa selanjutnya?”

“Mereka akan menikah.”

“Waoh, aku betul-betul akan mempunyai menantu seorang musuh-ku.”

“Baginda, apabila mereka sudah menikah Baginda dapat melakukan apapun kepada menantu anda atau dapat memberi instruksi kepada dia, apapun yang Baginda mau.”

“Bagaimana tanggapanmu, wahai Putriku?”

“Demi Kerajaan Mataram aku bersedia menikah dengan Ki Ageng Mengir. Aku akan pertahankan keutuhan keluargaku.” Putri Pembayun berkata.

“Apa? Apa maksudmu dengan mempertahankan keutuhan keluarga?
Anakku, engkau hanya berpura-pura menjadi istrinya, kemudian engkau dapat membunuhnya atau aku yang akan membunuhnya.”

“Ayah, itu adalah dosa besar. Suatu perkawinan akan dihadiri oleh Para Malaikat dan Allah sebagai saksi; jadi itu adalah upacara yang sangat sakral.
Bagaimana aku harus menghianati suamiku sendiri?”

“Sudah kubilang dari semula, Putriku ini adalah wanita yang lemah, dia bukan seorang prajurit yang dapat bertempur di medan perang.”

Patih Purboyo ikut memberikan saran, “Putri Pembayun, engkau harus tau bahwa Ki Ageng Mengir adalah seorang tua renta dengan muka yang jelek; dia tidak pantas bersanding dengan mu. Masih banyak pemuda yang cakap untuk Tuan Putri.”

“Patih, kita sedang berdiskusi tentang perang; bagaimana caranya menundukan Ki Ageng Mengir, bukan berunding mencari jodoh untukku.”

Patih Purboyo terdiam.

“Baiklah ayah, jika demikian aku akan mengundurkan diri, terimakasih.” Putri Pembayun beranjak akan pergi.

“Hai tunggu cucuku yang cantik. Aku setuju akan engkau kawin dengan Ki Ageng Mengir. Lalu bagaimana rencana selanjutnya.”

“Aku tidak setuju untuk kawin dengan Ki Ageng Mengir; tetapi engkau yang memaksa aku. Seolah-olah aku disuruh masuk kedalam sarang buaya, kemudian aku harus kawin dengan buaya itu. Sebelum aku sempat dikawinkan dengan buaya itu, aku sudah ditelan hidup-hidup.”

Semua yang hadir terenyuh mendengar keluh kesah sang Putri. Memang benar tampak Putri pucat pasi ketakutan mendengar rencana Ki Juru Martani.
Semua terdiam sesaat.

“Dengarkan aku, aku bersedia menjalankan tugas berat ini demi kejayaan Kerajaan Mataram.

Sewaktu Ki Ageng Mengir mengetahui bahwa aku sebenarnya adalah Putri Raja Mataram, maka akan terjadi beberapa kemungkinan terhadap nasib ku.
kemungkinan pertama sebesar 50 % dia akan langsung membunuhku.
Kemungkinan kedua sebesar 25 % dia akan mengikat tangan ku dan menutup mataku, aku akan dibawa ke depan Istana; dan kemudian dia menyuruh ayahku menyerah jika tidak dia akan membunuhku.

Kemungkinan terakhir hanya sebesar 25%, dia benar-benar mencintaiku; dia secara tulus datang menghadap ayahandaku dan memohon kepada ayahku untuk kiranya aku dapat menjadi istrinya.

Didalam kemungkinan yang terakhir ini, aku akan bertanya kepada ayah, apakah ayah akan membunuh juga si kakek jelek yang bernama Ki Ageng Mengir? Sedangkan aku tetap bersedia menjadi istrinya, demi kejayaan Kerajaan Mataram. Ingatlah ayah, kemungkinan ini hanya sebesar 25%, kemungkinan aku dapat hidup menikmati udara segar.

Raja Panembahan Senopati menjadi bingung kali ini. Dia melihat kepada ayahnya seolah-olah dia meminta saran pada ayahnya. Ayahnya mengerti, kemudian dengan rasa sayang mendekati dan membawanya kesebuah ruangan untuk berunding berdua saja.

“Anakku, engkau harus menerima Ki Ageng Mengir menjadi menantumu dan kemudian langsung menjadi pemenang didalam pertempuran ini. Ingatlah apa yang Pembayun terangkan akan kemungkinan dia akan menghadapi maut; kemungkinannya lebih besar daripada selamat. Jadi, engkau harus menghargai pengorbanan anak gadismu itu.”

“Aku benci dengan Ki Ageng Mengir; Bagaimana kalau kita tolak rencana Ki Juru Martani ini. Kita serang sekali lagi dengan kekuatan penuh tentu kita akan menang.”

“Tidak anakku, prajurit-prajurit kita sudah tidak mempunyai keberanian. Ini adalah pilihan satu-satunya. Ambilah rencana ini, dan InsyaAllah engkau akan menang.”

“Baiklah ayahku.”

Kedua orang pemimpin Kerajaan Mataram itu kembali ke ruangan rapat.

“Saudara-saudara, kita sampai pada akhir rapat ini. Kita mengambil ketetapan rencana Ki Juru Martani ini yang akan kita laksanakan. Semoga Tuhan bersama kita dan kita dapat menghentikan perang ini; Ki Ageng Mengir akan dapat menjadi anggota Keluarga Kerajaan dengan damai.
Kita tidak dapat menaklukan Mengir Perdikan, tetapi penggabungan teritorial.
Rapat ini sudah selesai dan semua dapat kembali.”

“Tunggu dulu; jika rencanaku dapat disetujui, apakah aku sudah dapat mulai bekerja?”
Ki Juru Martani bertanya.

Baginda Senopati menjawab, “Ya kamu sudah harus mulai bekerja. Dan jangan lupa setiap anggota harus memakai identitas palsu; jangan mengaku berasal dari Kota Gede. Dan setiap orang yang pernah berada dimedan tempur, tidak diperkenankan menjadi anggota perkumpulan sandiwara, karena kita takut ketahuan.
Ingat ini adalah tugas yang sangat rahasia. Jangan kamu ceritakan kepada keluargamu.

Ki Juru Martani, aku titip anakku; tolong kamu jaga keselamatannya.”

Putri Pembayun kembali bertanya kepada Raja, “Ayah, apakah engkau akan tetap ingin membunuh Ki Ageng Mengir sekalipun dia sudah akan menjadi suamiku?”

Raja Panembahan Senopati ragu untuk menjawab; dia diam sejenak.
Setelah itu dia menjawab juga, “Aku tidak akan membunuh dia anakku.”

“Aku sekarang merasa lega mendengar ayah berkata seperti itu.”


Bab 3

Putri Pembayun sampai di kamar Kaputren. Dia merebahkan badannya ditempat tidur. Lelah rasa badannya menghadapi rapat yang menegangkan, “Alangkah beraninya aku ini; aku akan terjun sendiri ke medan tempur melawan Ki Ageng Mengir yang tua jelek. Bukan untuk membunuh dia tetapi menghibur dia dengan drama, nyanyi dan tari dan pada akhirnya aku kawin dengan dia. Kalau aku dapat kawin dengan dia, itu akan menjadi hasil yang maksimal; karena kemungkinan besar lainnya adalah aku akan mati dibunuh oleh dia.” Dia berpikir.

Putri Pembayun berdoa, “Ya Allah, Engkau Maha Esa, tempat seorang hambamu yang tidak mempunyai daya meminta pertolongan; Karena Engkau yang mempunyai daya dan Maha Kuasa. Tidaklah mungkin daun yang menguning akan jatuh kebumi sebelum mendapat izin dariMu, demikian juga akan kematianku. Berikanlah pertolonganMu, selamatkanlah aku didalam tugas Negaraku. Amin.”

Setelah beristirahat dan tidur, dia mengemas barang-barang yang akan dibawa ke Randu Dadap. Ada instruksi rahasia dari Ki Juru Martani, untuk segera berangkat ke Randu Dadap secepatnya. Keberangkatan tidak boleh bersama-sama tetapi sendiri-sendiri dan jangan diberitahukan kepada keluarga.

Tetapi Putri perlu memberi tahukan ayahandanya.

“Ayah, anakmu berangkat ke medan tempur; doakan anakmu agar dapat pulang dengan selamat. Doa seorang ayah sangat diperlukan.”

“Sudah barang tentu anakku. Aku akan sembahyang Tahajud ditengah malam. Aku akan memohon kepada Allah YME agar engkau dapat selamat didalam pertempuran ini.
Siapakah nama samaranmu? Dan identitas lainnya”

“Namaku adalah Ayu Sekar, aku lahir di dusun Randu Dadap, ayahku adalah almarhum Suro Agul Agul dan Ibuku bernama Larasati, almarhum.”

“Bagus sekali. Aku juga mengirim seorang pengawalku yang tangguh bernama Ki Ageng Suro yang akan menjagamu didalam keadaan bahaya disamping pamanmu sendiri Ki Juru Martani.”

“Aku mengenal baik Ki Ageng Suro; dia adalah dalang dalam drama sandiwara kita.”

Putri Pembayun juga menemui Ibunya. Dengan Ibunya, Putri menangis haru.
“Ibu tenanglah dirumah, karena anakmu sekarang sudah menjadi seorang prajurit Mataram yang tangguh dan InsyaAllah akan dapat kembali dengan selamat; percayalah.”

“Tidak anakku, aku tidak setuju. Engkau adalah seorang seniman yang pandai menabuh gamelan, menyanyi sebagai pesinden dan menari dengan lemah lembut. Engkau bukan seorang prajurit Mataram yang pandai membunuh musuh.”

“Tentu Ibu, profesiku sebagai seniman tidak pernah aku tinggalkan bahkan aku tingkatkan. Karena tugas Negara, aku terpaksa harus menjadi seorang prajurit.”

Putri Pembayun berkuda keluar dari Istana melalui pintu belakang Istana. Dia memakai pakaian yang biasa dipakai oleh rakyat kebanyakan. Rambutnya dibiarkan tidak tersisir. Sebilah keris disembunyikan dibalik bajunya. Memang Putri dalam penyamaran.

Dia harus menghindari daerah kekuasaan Mengir; karena musuh didaerah itu sangat berbahaya dalam keadaan perang; dia dapat tertangkap oleh musuh.

Pada akhirnya dia sampai kedusun Randu Dadap. Dia lapar dan haus karena perjalanan yang jauh.

Tengah dia menghadapi sepiring nasi dan secangkir teh, masuklah Ki Juru Martani kedalam restauran itu. Tetapi dia pura-pura tidak mengenalnya. Kemudian sang Paman keluar kembali.

Tak lama kemudian seorang pelayan membawa sehelai amplop yang berisi surat dari sang Paman, “Aku sudah menyediakan rumah di jalan Sabrang Lor no. 10 Kita akan berkumpul disitu dan dapat berlatih seni disitu. Ki Ukur.”

Namanya seharusnya Ki Juru Martani, tetapi sudah ditukar menjadi Ki Ukur.

Tak lama kemudian masuk lah sepasang sejoli yang akan makan di restauran yang sama. Mereka adalah Ayu Mendut dan Joko Lelono. Putri mengenal mereka sebagai anggota Teater Club di Istana. Tetapi Putri Pembayun berpura-pura tidak mengenal mereka.

Rumah besar di jalan Sabrang Lor No.10 memang sangat sesuai untuk berlatih sandiwara dan sekaligus rumah tinggal. Bahkan sudah ada perlengkapan gamelan; mungkin Kerajaan yang mengatur perlengkapan gamelan dan kostum sandiwara itu.

Putri Pembayun sangat suka-cita melihat ini semua. Hatinya terhibur setelah tegang akan menghadapi musuh yang tangguh, Ki Ageng Mengir.

Ki Ukur beserta semua anggota drama segera berlatih. Suara gamelan, suling, gong dan suara pesinden yang mendayu-dayu terdengar sampai jauh dikesunyian dusun ditengah malam. Tentu saja itu mengundang masyarakat disekitar rumah itu. Mereka datang untuk melihat; bahkan ada yang mengintip dibalik dinding bambu.

Setiap malam rumah itu menjadi ramai didatangi warga; terutamanya para pemuda, disebabkan pesinden sangat cantik. Mereka berkomentar, “Dia tidak mungkin perawan dusun tetapi kota; mungkin sekali dari Kota Gede.”

Tidak ketinggalan Kepala Kampung Dusun Randu Dadap sendiri memerlukan datang; untuk melihat warganya yang sedang mengadakan kegiatan.
Dia adalah Raden Danang Suhita.

Raden Danang mengundang perkumpulan drama itu kerumah untuk mengadakan pertunjukan; dia akan membayar.

Jadi itu adalah pertunjukan pertama. Mereka akan memainkan sandiwara yang berjudul “Kelenting Kuning” Ki Ukur berpesan, “Jangan mengecewakan Raden Danang Suhita; bermainlah sesempurna mungkin, buatlah semua warga mendapat kesan yang baik.”

Rumah kepala desa Raden Danang sudah ramai dikunjungi oleh masyarakat yang akan menonton pertunjukan sandiwara. Mereka tidak perlu membayar, semua ongkos pertunjukan sudah dibayar tunai oleh Danang.

Putri Pembayun atau Ayu Sekar sangat mempesona semua yang hadir, terutama para pemuda desa, bahkan banyak pemuda dari desa-desa lain yang memerlukan datang, hanya untuk melihat Pesinden Ayu Sekar.

Disamping Ayu Sekar, duduk sang dalang, Ki Ageng Suro. Suara merdu Ayu Sekar diiringi suara gamelan dan suling.

Banyak pemuda yang mendekati Ayu Sekar, mencoba duduk dekat Ayu Sekar.
Danang sudah mempersiapkan petugas keamanan yang mengusir para pemuda itu, agar mereka sedikit tertib dan tidak mengganggu pemain.

Tiba-tiba, seorang pemuda ganteng meloncat keatas podium, datang mendekati Ayu Sekar dan memberikan seikat bunga. Ayu Sekar tersenyum manis dan berkata, “Terimakasih”. Kemudian sang pemuda loncat turun kembali dan menghilang diantara para pengunjung.
Para pemuda yang lain menjadi iri hati; mereka datang kembali mendekati Ayu Sekar. Tetapi petugas keamanan kembali mengusir mereka.

Pada akhirnya sandiwara dengan judul “Kelenting Kuning” berakhir dengan sukses; semua hadirin sangat puas.

“Ki Ukur, bukan main, aku sangat terkesan dengan sandiwara-mu. Aku mengakui semua seniman-seniman disini sangat profesional. Apakah nama perkumpulan sandiwaramu?”

“Maaf, aku belum mendapatkan nama yang tepat, kami sedang memikirkannya. Jika engkau mempunyai saran tentang nama itu, kami sangat berterimakasih.”

Danang Suhita terdiam sejenak; kemudian dia berkata, “Cahyo Kumolo, artinya berlian yang bercahaya.”

“Terimakasih Danang Suhita, aku akan memakai nama itu.”

(Bersambung)

2 comments:

Belajar Blogg Nih said...

mantap pak ceritanya btw bagaimana buku nya sudah di edarkan ato belum

Satoto Kusasi said...

Terimakasih atas komen nya.
Sesungguhnya aku ingin mengedarkan buku nya, tetapi belum ada penerbit yang berminat.

Atau barangkali anda sendiri yang jadi penerbit nya ? Silahkan loh !

Cerita ini adalah " Babad Tanah Jawa" yang diceritakan dari nenek-nya kepada cucu-cucunya.

Harapan dari penulis adalah pembaca dapat mencintai Tanah Airnya sendiri, INDONESIA JAYA.