Monday, August 4, 2008

Pendiri Kerajaan Majapahit (Bagian 3)

Menantu Raja Kertanegara

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

Hari yang dinantikan oleh Raden Wijaya datang juga; Mahisa Cempaka membawa cucunya ke Istana untuk menemui Raja Kertanegara. Alangkah sukacitanya Raden Wijaya dapat berkenalan dengan Raja yang terkenal dan kaya raya di Nusantara.

Kedatangannya langsung disambut oleh Raja dengan sikap yang ramah tamah, “Wahai Paman, masuklah jangan malu-malu. Engkau masih keluarga dengan ku, jadi setiap saat Paman dapat datang ke Istana tanpa formalitas. Istana ini adalah juga rumahmu.”

“Terimakasih Baginda.”

“Hai, siapakah yang engkau bawa itu? Pemuda yang cakap.”

“Dia adalah cucuku, namanya Raden Wijaya; anaknya Dyah Lembu Tal dan Rakeyan Jayadharma.”

“Oh ya sudah lama peristiwa pernikahannya berlalu; aku ikut hadir bersama ayahandaku pada waktu itu. Tak kusangka dia sudah mempunyai anak sebesar ini.”

Raden Wijaya dengan penuh sopan santun, duduk bersila dihadapan Raja, tangan dikatupkan dan berkata, “Nama hamba Raden Wijaya, anak Raja Rakeyan Jayadharma dan Ibu Dyah Lembu Tal. Hamba berdatang sembah dihadapan Baginda Raja.”

“Bangunlah Pangeran, hari ini aku sangat bahagia mendapatkan tamu yang datang dari jauh di Jawa Barat. Apa khabar dengan ayahmu?”

“Beliau sudah tiada.”

“Aku ikut berduka.”

Raja memanggil Mahisa Cempaka dengan sebutan Paman; dikarenakan Pamannya adalah lebih senior, seangkatan dengan ayahnya. Dia pernah menjabat Perdana Menteri di Istana.

Kemudian kedua pembesar itu bercakap-cakap masalah politik dan sosial yang tidak begitu dipahami oleh Raden Wijaya, tetapi cepat ditangkap sebagai informasi baru.

Bahwa dikatakan Jayakatwang merupakan ancaman yang akan melancarkan pemberontakan. Menurut laporan dinas rahasia, Jayakatwang mendirikan markas di tengah hutan belantara; dia tengah mengumpulkan orang-orang yang frustrasi dan kecewa terhadap Kerajaan, untuk membantu pemberontakan.

“Dia meniru cara-cara Panji Tohjaya didalam melancarkan pemberontakan sewaktu dahulu; jangan takut Baginda karena masih banyak rakyat Singosari yang memihak kepada Baginda.”

Percakapan berlangsung selama kurang lebih satu jam; dan pada akhirnya Mahisa Cempaka memohon pamit undur diri.

Sementara itu, seorang gadis cantik sedang mengintip dari balik tirai; dia adalah Gayatri anak gadis termuda dari empat Putri Baginda. Dia memang lebih lincah dan cantik dibanding dengan kakak-kakaknya.
Baginda Raja Kertanegara mempunyai empat anak gadis yang dikenal sebagai “Empat Putri” Masing-masing adalah, Tribhuwaneswari; Mahadewi Narendraduhita; Jayendradewi Prajnya Paramitha dan Gayatri Rajapatni.

Mahisa dan cucunya tengah berjalan menuju pintu gerbang Istana ketika seorang pengawal Istana menahannya dan berkata kepada Raden Wijaya, “Maaf, engkau jangan pulang dulu karena ada seseorang yang sedang menunggu dimuka gedung Kaputren, ingin bercakap-cakap; sementara bapak Mahisa boleh pulang.”

Raden Wijaya melihat kakeknya, seolah-olah meminta izin. Kakeknya mengangguk, tanda setuju.

Hati Raden Wijaya kecut, “Apa salahku diIstana ini; mungkin aku kurang sopan dimuka Raja sehingga akan diberi pelajaran oleh bintara tentara.”

Dia berjalan gontai menuju gedung Kaputren. Disana hanya ada seorang wanita. Dia menghampiri wanita itu dan bertanya, “Maaf adik, apakah ada seorang laki-laki yang ingin menemui aku disini?”

“Tidak ada seorang laki-laki, hanya ada seorang wanita, aku.”

“Aku dipanggil oleh …aku lupa menanyakannya.”

“Ya betul, yang memanggil engkau adalah aku.”

“Betulkah begitu? Aku lega sekarang, ku kira aku dipanggil oleh pihak militer karena sikapku yang tidak sopan.”

“Wow, engkau adalah pemuda yang sopan yang pernah kulihat di Singosari ini; dan engkau berbeda dari para pemuda yang lain. Siapakah engkau gerangan?”

“Namaku adalah Raden Wijaya, aku anak Dyah Lembu Tal, cucu dari Mahisa Cempaka.”

“Aku pernah mendengar ceritanya. Kalau begitu, engkau sebenarnya orang asing disini, karena ayahmu adalah seorang Raja di Jawa Barat, betulkah?”

“Tidak, aku sudah menjadi warganegara Singosari; memang betul dulu aku adalah warganegara Galuh.”

“Oh begitu; marilah kita masuk dan bercakap-cakap didalam gedung Kaputren.”

Maka keduanya terlibat percakapan yang sangat berkesan bagi kedua insan berlainan jenis ini. Dari pertama kali melihatnya dari balik tirai, Gayatri sudah jatuh hati terhadap pemuda yang ganteng dan sopan. Dia ingin segera memilikinya.

Setelah bercakap-cakap lama, tiba-tiba keluar dari pintu sebelah dalam seorang pemuda lain dan menyapa Raden Wijaya, “Hai, perkenalkan, namaku Jayamatkan. Aku ingin menjadi sahabatmu.”

“Siapakah dia Gayatri?”

“Dia adalah kakak iparku; namanya Jayamatkan.
Jayamatkan adalah anak Jayakatwang yang kawin dengan anak Raja dari selir.”

“Oh begitu adanya. Mari kita sama-sama bercakap-cakap disini kawan.”

Jayamatkan lebih banyak menguasai percakapan diatara keduanya; sedang kedua sejoli hanya sebagai pendengar yang dungu. Akhirnya Gayatri menjadi marah, karena menilai kakak iparnya hanya mengganggu kebahagiaannya, “Stop Jayamatkan, pergilah engkau, jangan mengganggu kami.”

“Adik Gayatri janganlah marah; sebenarnya aku hanya ingin menilai Raden Wijaya ini, apakah dia sudah sesuai untuk menjadi pasanganmu. Ternyata orangnya begini (menunjukan jempolnya, tanda baik).” Dia berlari kedalam dengan senyum mengejek.

“Memang begitu sifatnya dia, suka usil dengan kita-kita yang sedang memadu kasih.”

“Apakah engkau betul-betul ingin memadu kasih.?”

“Tentu saja sayang, aku serius.”

Raden Wijaya terdiam sejenak, “Tidak main-main keadaanku sekarang ini; bisa menjadi menantu Raja yang kaya raya.” Pikirnya.

“Hai, mengapa engkau diam saja; apakah engkau tidak setuju? Apakah engkau keberatan? Jika ya, kita akan sudahi pertemuan ini.”

“Aku mencintaimu sayang. Cinta pada pandangan pertama dan hal ini tidak kusangka-sangka, bagaikan mendapat durian runtuh. Percayalah engkau tidak bertepuk sebelah tangan.”

Keduanya saling berpelukan dan berciuman sedalam-dalamnya.

“Oh Dewa yang Agung, Engkau telah mengirim seorang wanita cantik kehadapanku yang akan menjadi istriku.” Bisik Raden Wijaya dihadapan Gayatri.

“Baiklah, hari sudah larut malam, pulanglah dulu kanda Wijaya, tetapi besok kita kembali lagi. Engkau akan kuperkenalkan kepada kakak-kakak ku . Kita dapat berdiskusi masalah politik Negeri kita ini.”

Raden Wijaya menjadi kekasih Gayatri. Setiap hari dia selalu berada di Gedung Kaputren, Istana bersama-sama kakak-kakaknya untuk berdiskusi.

Pada akhirnya, semua staf Istana tau bahwa Raden Wijaya adalah calon menantu Raja.
Karena mereka melihat mereka yang selalu mesra bergandengan tangan.

Akhirnya Rajapun menjadi maklum akan hal itu bahkan beliau sangat setuju, “Raden Wijaya adalah cicit dari Ken Arok, maka dengan demikian keturunan Ken Arok dapat benar-benar menyatu dengan keturunan Tunggul Ametung, aku.
Semoga tidak akan ada lagi pertentangan diantara kedua keturunan.”

Tetapi Raja sangat bingung menentukan pengganti Raja setelah dia. Siapa yang berhak menjadi Raja nantinya, bila semua Putri-Putrinya akan datang bersama suaminya yang ingin menjadi Raja. Maka dengan demikian, Raja Kertanegara harus membagi Kerajaannya menjadi empat bagian, supaya adil.

Raja perlu memanggil semua Menteri dan Ketua masyarakat untuk berdiskusi masalah yang pelik ini. Setelah beberapa kali bersidang pada akhirnya diambil satu keputusan yang bulat, hanya Raden Wijaya yang berhak menjadi pengganti Raja.
Kerajaan Singosari tidak boleh terpecah-belah.

Dengan demikian, menantu Raja hanya seorang yaitu Raden Wijaya, atau dengan kata lain keempat Putri itu akan menjadi istri-istri Raden Wijaya.

Raja dengan hati-hati menanyakan pendapat Putrinya satu persatu, apakah dia setuju dengan keputusan rapat.

Hasilnya sangat mengejutkan! Semua Putri-Putrinya setuju untuk mempunyai satu suami, demi Kerajaan Singosari.

Pada akhirnya dibuatlah pesta pernikahan yang unik, satu laki-laki mengawini empat istri, kakak beradik sekali gus. Tetapi semua rakyat menjadi maklum adanya; karena semua demi keutuhan Kerajaan Singosari.



Bab 2

Pada zamannya Raja Kertanegara, daerah kekuasaan Kerajaan diperluas hingga mencakup hampir seluruh Nusantara. Kerajaan Singosari menjadi Kerajaan Bahari sesuai dengan cita-cita Ken Arok.

Admiral Empu Nala dikirim ke timur untuk menaklukan Sulawesi, Ternate, Maluku hingga Phillipine. Admiral Adytawarman dikirim ke arah barat untuk menaklukan Jambi, Minangkabau, Sriwijaya, Malaka, Tanjung Tumasik dan Kalimantan.

Jawa Barat tidak ditaklukan; tidak diketahui sebabnya, mungkin atas pertimbangan bahwa Kerajaan Galuh adalah asal dari Raden Wijaya.

Semua hasil bumi menjadi monopoli Kerajaan, jadi harus diangkut ke pelabuhan Tuban. Seluruh rakyat menjadi makmur karena Kerajaan ikut mengatur perdagangan hasil bumi dan rempah-rempah. Sudah barang tentu Raja Kertanegara adalah Raja yang kaya raya.

Banyak orang-orang asing berkunjung ke kota Singosari dikarenakan pemandangan alamnya sangat indah. Istana Singosari terletak diatas bukit yang dapat dilihat dari pinggir pantai. Sementara jalan raya sudah dibangun diatara perumahan penduduk yang rapih.

Sementara itu disebelah utara, nun jauh disana terdapat Kerajaan yang jauh lebih besar dari Singosari, yaitu Kerajaan Mongol dengan Rajanya, Raja Khublai Khan.

Raja Khublai Khan tidak senang dengan adanya seorang Raja yang mau menyamai kekuasaannya yaitu Raja Kertanegara, “Dia harus menyatakan takluk kepada kita dan untuk itu dia harus mengirim upeti kepada kita secara rutin setiap tahun sebagai tanda bahwa Kerajaannya tunduk kepada kita.”

Untuk memenuhi kehendak Raja, maka Mongol mengirim utusan ke tanah jawa, langsung ke Pelabuhan Tuban, guna menemui Raja Singosari. Sang utusan membawa secarik surat dari Raja Khublai Khan yang isinya agar Singosari menyerah kalah.

Laksamana Meng Qi adalah sang utusan dari Kerajaan Mongol atau Tar-tar. Kapalnya besar dan megah dengan bendera kebangsaan Mongol berkibar-kibar, berlabuh di pelabuhan Tuban.

Meng Qi tidak memandang sebelah mata atas Raja Kertanegara, “Dia hanyalah Raja kecil yang mudah ditaklukan.”

Meng Qi beserta sepuluh serdadu Tar-tar dan seorang China dari Tuban sebagai penterjemah bahasa, datang langsung ke Istana untuk menemui Raja Kertanegara, seorang Raja Jawa; guna menyampaikan surat dari Raja Mongol yang Agung.

Mereka datang dengan tidak mengindahkan tata krama protokoler sama sekali, seolah-olah Singosari memang sudah takluk dan memang sudah seharusnya takluk.

Seorang prajurit Singosari berlari-lari menemui Raja, “Baginda, telah datang utusan Raja Tar-tar yang akan menghadap baginda. Mereka sekarang sedang menuju kesini.”

“Mengapa mereka tidak memberitahukan kita lebih dahulu? Kalau begitu sikap mereka tidak sopan kepada kita.
Siapkan grup pemanah dibalik tirai, kita akan bunuh mereka!”
Raja Kertanegara marah besar.

Akhirnya, mereka sudah sampai di Istana. Mereka langsung masuk dan menghadap Baginda Raja Kertanegara.

Sang penterjemah yang sebenarnya adalah penduduk Tuban tetapi fasih berbahasa China, mengatakan, “Kami adalah utusan Mongol yang akan menyerahkan surat dari Yang Mulia Raja Khublai Khan.
Untuk itu kami akan membacakan isi surat tersebut yang langsung kami terjemahkan kedalam basa Jawa,

“Yang kami hormati Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari. Kami atas nama Kerajaan Mongol meminta anda untuk dapat kiranya menyatukan seluruh daerah kekuasaan anda dengan Kerajaan kami. Anda harus mengirim upeti secara rutin setiap tahun kepada kami, sebagai tanda bakti anda kepada Raja di Kerajaan Mongol.”

Tertanda Raja yang Agung Khublai Khan.

Nampak merah padam muka Raja Kertanegara karena menahan marah. Tidak ada komentar atau ucapan selamat datang dari beliau. Beliau pelan-pelan turun dari Singgasananya, menghampiri Meng Qi, mencabut kerisnya dan memotong telinga Meng Qi dengan gerakan cepat.

Meng Qi tidak menyangka akan diperlakukan sedemikian rupa, tidak sopan; dia berteriak kesakitan. Sementara para pengawalnya sibuk mencabut pedang panjangnya. Tetapi Raja telah kembali duduk di Singgasananya dengan tenang.

Tiba-tiba, puluhan anak panah terbang menuju target, para pengawal Tar-tar; mereka langsung mati bergelimpangan. Tinggal mereka yang masih hidup adalah, Meng Qi, penterjemah dan satu orang pengawal. Tetapi mereka ketakutan.

Segera tangan orang Tar-tar itu diikat, dibawa keluar Istana dan diantar ke pelabuhan Tuban. Sepanjang jalan, MengQi berteriak-teriak marah; tetapi tidak ada orang yang tau apa maksud perkataannya.

Salah satu anggota militer Singosari bertanya kepada penterjemah, “Apa yang dia katakan? Dia marah kepada siapa?”

Sang Penterjemah menjawab, “Meng Qi akan menghukum Raja Kertanegara; Meng Qi akan mengirim seribu kapal dan sepuluh ribu Prajurit Tar-tar ke Tuban dan akan memporak porandakan Istana.”

“Kapan mereka akan datang?”

Penterjemah itu bertanya kepada Meng Qi; kemudian kembali lagi ke sang penanya, “Dia bilang pada akhir tahun ini.”

Seribu prajurit Singosari ikut mengantar Meng Qi ke pelabuhan, karena prajurit Tar-tar yang berada didalam kapal kemungkinan akan memberi perlawanan.

Meng Qi dan satu pengawalnya yang masih hidup naik perahu menuju ke-kapalnya. Dan kapal mengangkat sauh guna berlayar, kembali ke Tiongkok.


Bab 3

Keadaan Kerajaan Singosari kembali tenang setelah insiden Meng Qi, seolah tidak terjadi apa-apa. Tetapi sesungguhnya Kerajaan Singosari dalam keadaan bahaya, akan diserang oleh sebuah Kerajaan besar dari utara yang terkenal dengan pasukannya yang gagah berani.

Sesungguhnya, tentara Singosari yang berada dipusat Kerajaan jumlahnya tidak memadai untuk menjaga keselamatan Keluarga Raja di Istana. Hal ini disebabkan tentara Singosari lebih banyak bertugas di tanah jajahannya. Prajurit-prajurit Singosari mengikuti Admiral Empu Nala dan Adytiawarman di tanah jajahan.

Hal ini telah dibaca oleh Jayakatwang di markasnya ditengah hutan. Salah satu pemberi berita kepada Jayakatwang adalah Aria Wiraraja. Aria Wiraraja memberikan informasi kepada Jayakatwang jumlah prajurit Singosari yang diberangkatkan ke tanah jajahan.

Aria Wiraraja adalah staf Istana untuk urusan politik yang kecewa dan sakit hati, dikarenakan keputusan Raja yang memindahkan tugasnya menjadi Bupati Sumenep di Madura. Dengan demikian Aria Wiraraja sesungguhnya diturunkan pangkatnya.

Raja Kertanegara mengambil keputusan yang salah dengan memindahkan Aria Wiraraja; karena orang ini sangat potensial untuk memberi nasihat kepada Raja dalam hal pergolakan politik. Ayah baginda, Raja Ranggawuni sangat menghargai Aria Wiraraja.

Raden Wijaya masih mengadakan diskusi akan hal politik dan sosial dengan istri-istrinya dan Jayamatkan. Mereka mendiskusikan akan kemungkinan kedatangan tentara Tar-tar yang akan menyerang Singosari. Dan kemungkinan akan pemberontakan Jayakatwang.

Raden Wijaya perlu menanyakan Jayamatkan akan halnya keberpihakannya, “Hai kawan Jayamatkan, engkau mau membela ayahmu atau mau membela ayah mertuamu? Katakan terusterang, kami disini akan maklum.”

“Aku akan membela Negeriku, Kerajaan Singosari.”

“Kalau begitu, engkau akan membela ayah mertuamu, benarkah begitu?”

“Betul! Akan tetapi sesuai dengan adat kita, aku harus berbakti kepada orang tua. Peganglah kata-kataku bahwa aku akan membela Kerajaan Singosari.”

Semua yang hadir memberi selamat kepada Jayamatkan, “Kami semua percaya kepadamu Jayamatkan.”

Pada saat tentara Singosari jumlahnya tinggal sedikit, Jayakatwang bersiap-siap untuk menyerang Istana.

Sementara Aria Wiraraja memberikan saran, agar dibuat manufer militer palsu disebelah utara Istana yang dapat terlihat. Melihat adanya pergerakan tentara pemberontak disebelah utara, maka seorang bintara militer melaporkan kepada Baginda Raja, “Yang Mulia, kami melihat tentara Jayakatwang sedang bergerak dari arah utara; nampaknya mereka mau menyerang kita dari arah utara.”

“Benarkah? Seharusnya mereka akan menyerang kita dari arah selatan, karena markas mereka ada diselatan. Tetapi masih mungkin dari utara.”

“Apa yang harus kita lakukan Baginda?”

“Serang mereka segera! Komandan pertempuran dipegang oleh Raden Wijaya dan Jayamatkan.”

Kedua menantu Raja bergerak kearah utara membawa tentara kavaleri sebanyak seribu orang.
Sesampainya dihutan sebelah utara Istana, mereka tidak mendapatkan musuh seorang pun. Mereka betul-betul tertipu, bahkan mereka membiarkan Istana tanpa pengawalan.

Jayamatkan mendekati Raden Wijaya, turun dari kudanya dan berkata, “Saudaraku Wijaya, aku terpaksa meninggalkan barisanmu, karena ayahku memanggil ku untuk membelanya.”

Raden Wijaya diam saja. Dia juga turun dari kudanya dan mendekati kawannya.

Jayamatkan memeluk Wijaya, dengan meneteskan air-mata kesedihan, “Peganglah kata-kataku bahwa aku akan membela Kerajaan Singosari, walaupun aku berada di markas musuh.”

“Baik, aku dapat mengerti kamu, bagaimana seharusnya sikap anak terhadap ayahnya. Selamat jalan kawan dan sampaikan salam ku untuk ayahmu, Jayakatwang.”

Jayamatkan menaiki kudanya perlahan-lahan, kemudian dia menengok kearah Wijaya sessat dan melambaikan tangannya. Dia melarikan kudanya kearah selatan.

Tiba-tiba, seoarang prajurit berlari-lari menghampiri Wijaya, “Tuan, Istana kita diserang Jayakatwang. Mereka membakar Istana. Sayap kanan Istana sedang terbakar.”

“Pasukan! Kembali ke Istana!”

Ada tiga perwira militer yang ikut berjasa didalam perjuangan melawan pemberontakan Jayakatwang, mereka adalah Sora, Nambi dan Ranggalawe.

Sesampainya mereka di Istana, pasukan Singosari sedang dipukul mundur oleh pemberontak; sementara sebagian Istana tengah terbakar.

Ranggalawe dan kawan-kawannya menyelamatkan Keluarga Istana melalui terowongan rahasia. Tribuawanaweswari, Narendraduhita, Paramitha dan Gayatri dan para dayang-dayang mengikuti ke tiga perwira militer, masuk kedalam terowongan. Untunglah tidak seorang pun prajurit Jayakatwang yang melihat.

“Dimanakah Raja kita?” Tanya Wijaya kepada staf militernya.

“Menurut khabar, dia sudah tewas tertembus panah.”

“Mari kita cari jenazahnya.”

Mereka mendapatkan Raja sudah tewas tertembus panah; jenazah dibawa dan diselamatkan melalui terowongan rahasia. Raden Wijaya beserta sisa pasukan menyelamatkan diri juga melalui terowongan rahasia itu.

Pasukan induk pemberontak datang disertai Jayakatwang. Mereka dengan suka hati merusak Istana Singosari yang megah. Tidak ada perlawanan yang berarti bagi mereka.

Pada akhirnya Jayakatwang menyatakan diri sebagai Raja Singosari. Dan pemerintahan kembali ke Istana Kediri yang lama.

Dimulut terowongan ada hutan yang cukup lebat; disitulah Raden Wijaya beserta keluarganya menetap atau bersembunyi sementara waktu.
Mereka menetap disitu hampir satu bulan lamanya; yang membuat semua orang menjadi bosan.
Nambi memberi saran kepada Raden Wijaya, “Tuan, bagaimana kalau kita menetap sementara waktu di pulau Madura. Aku yang akan menanggung bila Aria Wiraraja berbuat tidak baik kepada kita.”

“Aria Wiraraja itu adalah bupati yang berpihak kepada Jayakatwang, sudah barang tentu dia akan membuat kita celaka; apa kamu kenal baik dengan beliau?”

“Dia adalah ayahku.”

“Apa? Jadi selama ini engkau melakukan kegiatan spionase terhadap kita, betulkah begitu?”

“Tidak Tuan, aku setia kepada Kerajaan Singosari; percayalah kepadaku, aku dengan sepenuh hati akan membantu Tuan.”

“Baiklah Nambi, aku percaya kepadamu. Sekarang engkau berangkat ke Madura, temui ayahmu dan ceritakan bahwa aku perlu bantuan beliau.”

Nambi berangkat bersama lima prajurit ke pulau Madura. Kemudian dia bertemu dengan ayahnya, Aria Wiraraja. Aria Wiraraja tidak mempunyai dendam dengan Keluarga Kerajaan, hanya kecewa; mengapa Raja Kertanegara memperlakukan dia secara tidak adil.

Dia duduk bersila dihadapan ayahnya, tangan dikatupkan dan berkata, “Wahai ayahanda, engkau sudah tau bahwa Kerajaan Singosari telah runtuh, Rajanya sudah wafat karena pemberontakan. Dan sekarang anak memantu Raja, Raden Wijaya memohon kepadamu.

Aku atas nama Kerajaan Singosari memohon kepada ayahanda agar kiranya menantu Raja, Raden Wijaya dapat berteduh dan dilindungi dirumah ayah untuk sementara waktu. Dia bersama keluarganya dan para pengikutnya dan juga sedikit serdadunya yang setia, memerlukan tempat tinggal untuk sementara. Aku tau bahwa Pulau Madura adalah tempat yang aman.”

“Anakku, aku sangat terkesan denganmu yang mana engkau datang mengatas namakan suatu Kerajaan besar seperti Kerajaan Singosari, seolah-olah engkau adalah seorang Menteri.”

“Jadi, bolehkah ayah?”

“Selamat datang menantu Raja; walaupun aku sudah dikecewakan oleh Raja, tetapi aku tetap setia kepada Kerajaan Singosari.
Tentu saja boleh, silahkan datang ke Pulau Madura.”

“Ayah, apakah benar kata ayah bahwa Kerajaan Singosari adalah Kerajaan Besar?”

“Engkau bodoh benar bahkan Raja Kublai Khan saja sudah tau; keharuman Kerajaan Singosari telah membuat gusar Raja Kublai Khan sehingga dia mengirim utusan yang bernama Meng Qi, agar Kerajaan Singosari menjadi jajahan Kerajaan Mongol.

Ini suatu bukti bahwa Kerajaan kita adalah Kerajaan yang besar dengan banyak jajahan.
Walaupun Kerajaan sudah runtuh seperti engkau katakan, prajurit-prajuritnya yang setia masih ada di tanah jajahan.

Tetapi Raja Kertanegara terlalu emosi, sehingga telinga Meng Qi dipotong. Konsekwensinya, kita akan diserang oleh tentara Tar-tar dalam waktu dekat.
Apakah engkau sebagai prajurit, berani menghadapi tentara Tar-tar?”

“Berani! Akan kukorbankan nyawaku demi Kerajaan Singosari.”

“Hebat, aku sangat bangga denganmu anakku; engkau seorang prajurit Singosari yang pemberani. Akan tetapi ini adalah suatu masalah besar.
Engkau tidak sendirian menghadapi tentara Tar-tar; ada Jayakatwang yang akan ikut bertempur melawan Tar-tar. Apakah engkau mau bekerjasama dengan Jayakatwang?”

“Tidak mau ayah, mereka adalah musuh kami. Apakah ayah mau memberikan kami saran?”

“Aku akan memberi saran langsung kepada Tuanmu, Raden Wijaya. Baiklah, engkau panggil beliau kesini.”

“Aku tau bahwa ayah membenci Raja Kertanegara. Tetapi, apakah ayah juga membenci menantunya?”

“Aku tidak membenci menantunya, bahkan ayah bersimpati kepadanya..”

Rombongan Raden Wijaya datang ke pulau Madura; dia disambut dengan hangat oleh Aria Wiraraja; keduanya berpelukan.

“Ari Wiraraja, terimakasih atas pertolonganmu yang mana aku dan rombongan Istana ini masih mendapat tempat dirumahmu. Aku mohon perlindungan mu dari para pemberontak. Aku tau pulau Madura ini aman dari serangan pemberontak.”

“Sudah seharusnya begitu, karena aku adalah pegawai Istana Singosari; walaupun aku tidak sejalan dengan Raja Kertanegara.
Engkau harus tau bahwa aku adalah penasihat politik dan perancang strategi pertempuran di zaman Prabu Ranggawuni.
Percayalah, engkau sebagai menantu Raja Kertanegara akan kubela hingga mendapatkan kedudukan di Istana sebagai Raja.”

“Terimakasih Paman!”

(Bersambung)

1 comment:

Anonymous said...

Hallo dokter saya sudah lihat blog dokter, bagus dok menarik, tapi belum saya baca semua karena keburu detailing Norvask dan Olmetec dok...., heehe...