Saturday, September 27, 2008

Antara Cinta dan Benci (Bagian 2)

Perang Saudara

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

Akuwu Wengker sedang bekerja di kantornya ketika berita kematian ayahnya datang. Berita itu mengatakan bahwa Raja telah wafat karena dibunuh oleh seseorang. Berita selanjutnya sangatlah mengejutkan, berbunyi, sipembunuh diduga adalah seorang prajurit Wengker, suruhan Akuwu Wengker.

“Bagaimana seorang anak dapat membunuh ayahnya; jika pun ada anak seperti itu, pastilah dia orang gila.” Pikir Akuwu

Seorang pengawalnya datang melapor, “Tuan, serombongan serdadu dari Medang datang, kelihatannya mereka akan menyerang kita.”

“Siapkan pasukan kita dan kuda ku si gagak lodra; panggil Patih Gajah Gendut untuk segera menyiapkan peperangan. Aku akan tampil dimuka pasukanku dalam sekejap.”

Gajah Gendut datang berlari-lari, “Tuan bagaimana tiba-tiba mereka bisa datang menyerang kita; apa masalah kita dengan mereka? Aku akan kibarkan bendera putih dan aku akan menanyakan maksud kedatangan mereka.”

“Baiklah aku setuju; laksanakan!”

Pasukan kafaleri berkuda Medang berkekuatan enam ratus prajurit dibawah pimpinan Patih Kebo Ireng. Putri Sekarpandanwangi turut serta, dia berada ditengah barisan berkuda.

Kedua pasukan yang akan berperang maju, semakin dekat dan semakin dekat. Patih Gajah Gendut mengibarkan bendera putih; dia berada didepan barisannya.

Sekarang jarak kedua pasukan sedemikian dekat sehingga sebilah panah dapat melukai musuhnya.

“Hai stop, jangan maju lagi! Kami datang dengan damai. Stop!”

“Hai pengecut! Bagaimana seorang prajurit masih berteriak damai pada hal engkau telah membunuh Raja kami seperti membunuh rusa.” Kata Patih Kebo Ireng.
Patih Kebo langsung memasang gendewa dan melepaskan anak panahnya. Anak panah melesat menuju ke sasarannya, leher Gajah Gendut. Karena tubuhnya yang tambun, dia kurang gesit untuk menghindari serangan anak panah, maka panah langsung menembus lehernya. Gendut jatuh ke bumi dan tewas seketika.

Akuwu Wengker memberi komando kepada pasukannya hanya dengan bahasa isyarat, kedua tangannya digerak-gerakan. Artinya pasukan dibagi dua; yang satu naik keatas bukit dan yang lain mundur dan kemuadian kembali di belakang barisan musuh.
Akuwu sangat mengenal medan, oleh sebab itu medan peperangan dapat dikuasai.

Barisan panah Akuwu segera menghujani panah dari atas bukit; sementara itu pasukan lainnya menyerang dari arah belakang. Maka pasukan Medang terjepit dari dua arah. Pasukan Akuwu menjepit Medang seperti gunting.

Putri Sekarpandanwangi bertempur dengan penuh semangat; dia sudah merobohkan sepuluh orang musuh dengan pedangnya. Dia ingin membalas dendam atas kematian ayahnya.

Dimana Patih Kebo Ireng. Dia terkena panah pada kakinya, sehingga kakinya tidak dapat digerakan. Kemudian dia bersembunyi dibawah semak-semak.

Akuwu mencari pimpinan musuh; kelihatan kepalanya ditolehkan ke kanan dan ke kiri. Pada akhirnya dia menemukan Patih yang sedang bersembunyi. Dengan mudah Patih Kebo Ireng dapat ditangkap. Akuwu menghunus pedangnya dan ditempelkan dileher Kebo, kemudian dia berteriak, “Hentikan pertempuran atau aku bunuh pimpinanmu!”

Pertempuran berhenti sesaat, tidak ada lagi terdengar suara gemerincing pedang, suara orang yang sekarat dan komando serang.
Semua orang menunggu komando dari pihak Medang.

Pada akhirnya, Putri Sekarpandanwangi memberikan komandonya, “Baik kawan-kawan, letakan senjatamu dan angkat tanganmu.”

Pasukan Akuwu segera merampas senjata musuh, mengikat tangannya dan membariskan. Sekarang tentara Medang menjadi tawanan tentara Akuwu Wengker.

Akuwu menanyakan Patih Kebo Ireng, “Apa alasanmu sehingga melancarkan serangan tiba-tiba?”

“Engkau dituduh telah membunuh Raja Ribut Sakti.”

“Apakah engkau mempunyai bukti-bukti mengarah ke hal itu?”

Patih tidak dapat menjawab, dia tertunduk, “Ken Uno benar, seharusnya dikumpulkan dahulu bukti-bukti sebelum menyerang Jati Wengker.” Pikirnya.

Karena lama tidak mau menjawab pertanyaan Akuwu, maka salah seorang prajurit Medang berteriak, “Bukti itu adalah keris yang dipakai oleh si pembunuh berlekuk delapan.”

“Keris berlekuk delapan banyak didapatkan; engkau boleh membelinya dipasar Medang. Jadi itu bukan bukti.”

“Jadi siapa pembunuh Raja?” Tanya orang tadi.

“Jika sekiranya engkau bertanya sebelum pertempuran ini terjadi, sudah barang tentu kita tidak akan saling bunuh seperti ini. Pertempuran ini adalah pertempuran yang tidak ada gunanya. Aku telah kehilangan Patihku yang terpercaya. Aku menyesalkan, mengapa sewaktu dia mencoba untuk mencegah perang ini, engkau malah membunuhnya.

Aku akan memulai memeriksa kalian satu persatu, mungkin sekali si pembunuh Raja berada diantara kalian.”

Pasukan Akuwu mengumpulkan mayat-mayat yang berserakan di medan tempur. Mayat itu dikuburkan disitu. Pekerjaannya dibantu oleh pasukan Kebo Ireng, seolah-olah tidak ada permusuhan diatara mereka.

Setelah itu para tawanan dibawa dan dimasukan kedalam penjara. Tidak ada maaf bagi Patih atau Putri, semua harus menjalani hukuman.

Patih Kebo Ireng tidak habis pikir, mengapa pasukan Akuwu lebih tangguh daripada pasukannya. Dia mengakui, Akuwu Wengker memang seorang pemimpin yang baik.

Sementara itu Istana Medang sedang dalam suasana kesedihan. Pimpinan militer pada saat itu ialah Penyewu Jaran Edan..
Jaran berpikir, mengapa malapetaka terjadi terus menerus di Negeri ini; pastilah ada yang tidak beres di Negeri ini


Bab 2

Ki Manjangan, prajurit mata-mata yang mendapat tugas untuk mengawasi kem musuh di perbatasan utara, sekarang menjadi petani penggarap sawah.

Pada suatu hari seseorang berkuda mendatangi sawahnya dan berkata, “Hasil padi yang baik.”

“Terimakasih”

“Apakah engkau mau mendapat hasil lebih dari ini.”

“Engkau sedang menawarkan pekerjaan untuk ku?

“Tepat sekali. Yaitu pengurus kuda. Aku adalah pimpinan militer Wulansari pada sektor selatan; kami membutuhkan seorang pegawai yang dapat mengurus kuda kami. Maukah engkau?”

“Jika gaji ku sesuai, aku mau.”

Mereka membicarakan uang gaji; dan pada akhirnya didapat kesepakatan. Maka jadilah prajurit mata-mata Medang mendapat kesempatan memasuki Markas Besar militer musuh, Wulansari.

Ki Manjangan bekerja rajin untuk mendapatkan kepercayaan dari militer Wulansari. Dia mencatat data-data musuh : pimpinan mereka adalah Kebo Anabrang yang telah meminta dia bekerja dan Boyo Pitu, pimpinan tertinggi disitu. Kekuatan musuh adalah tujuh ratus prajurit kafaleri berkuda. Akan tetapi bertambah dengan pasukan yang didatangkan dari pusat sebanyak delapan ratus prajurit berkuda. Mengapa mereka memusatkan pasukannya disini. Dapat diduga, mereka kemungkinan akan menyerang Kerajaan Medang.

Setelah bekerja dua bulan timbul permasalahan yaitu semua kuda jatuh sakit. Gejalanya adalah kuda tidak mau aktif, tetapi lebih banyak diam dan tidur.

Boyo Pitu sangat marah kepada Ki Manjangan, “Mulai sekarang engkau kupecat.”

“Ini kesempatan baik, untuk aku dapat melaporkan kepada Mas Alit Kereng.” Pikir Ki Manjangan.

“Baik Tuan, akan tetapi aku tidak bersalah.”

“Periksa baik-baik rumput yang engkau berikan; aku duga ada rumput yang mengandung racun.”

“Apakah Tuan jadi memecat aku?”

“Pada akhir bulan engkau boleh pergi.”

“Tidak jadi aku melaporkan karena kepergianku tertunda. Bila aku lari, mereka pasti akan menjadi curiga kepadaku.” Pikir Ki Manjangan.

Tampak beberapa orang dan seorang akhli berkelliling memeriksa kuda-kuda yang sedang sakit. Ki Manjangan turut serta untuk lebih memperluas masalah rumput racun yang dikatakan Boyo Pitu.

“Nah ini tumbuhan yang terbawa sebagai makanan kuda. Tumbuhan ini disebut “daun turon” Mahluk apapun yang menelan daun ini akan tertidur nyenyak.” Kata sang akhli.

Seorang perwira militer Wulansari bertanya, “Tuan, bagaimana efeknya terhadap manusia?”

“Aku katakan mahluk apapun, jadi manusia juga dapat terkena efek tidur.”

Kemudian orang tadi berbisik kepada temannya, “Kita akan pakai daun turon untuk menidurkan para pengawal Istana.”

“Betul, itu pemikiran yang jitu.”

Ki Manjangan berpikir didalam hati, “Dia mau menidurkan pengawal Istana; mungkin pengawal Istana Medang. Kalau aku dapat pergi dari sini, maka aku akan melaporkan hal penting ini kepada Mas Alit Kereng.”

Di akhir bulan, Ki Manjangan dapat bebas pergi dari Marka Besar musuh; dikarenakan di pecat oleh Boyo Pitu.

Dia tidak tau bahwa Mas Alit Kereng sekarang sudah menjadi Akuwu Wengker. Dan yang membuat dia terkejut ialah, Raja sudah wafat dibunuh oleh seseorang sewaktu sedang tidur.

Dia sampai di Istana Medang yang sedang berkabung. Dan dia melaporkan dirinya kepada atasannya dikesatuan mata-mata. Seharusnya kepada Mas Alit Kereng, tetapi ternyata sudah diganti oleh Kebo Langi.

Sayang sekali pertemuan dengan Kebo Langi tertunda dikarenakan ada rapat militer yang sifatnya darurat. Akan tetapi Kebo meminta Ki Manjangan untuk dapat turut didalam rapat.

Rapat dipimpin oleh Penyewu Jaran Edan, “Saudara-saudara sekalian, baru saja kita mendapat laporan bahwa pasukan kita menderita kekalahan. Bahkan semua pasukan kita menjadi tawanan Akuwu Wengker, termasuk Putri Sekarpandanwangi dan Patih Kebo Ireng.
Jika tidak ada hal lain yang akan dikemukakan, maka aku perintahkan kirim pasukan kedua untuk menbalas kekalahan.”

“Tuan, ada seorang bawahanku bernama Ki Manjangan yang baru saja pulang tugas dari memata-matai pasukan Wulansari diperbatasan utara. Kiranya dia akan melaporkan hasil pengamatannya. Silahkan Ki Manjangan.” Kata Kebolangi.

“Pertama, aku menyampaikan rasa duka atas wafatnya Raja kita. Aku menyalahkan semua kawan-kawan prajurit jaga Istana yang tertidur. Bagaimana mereka serentak bisa tertidur didalam tugas? Apakah sudah terjawab pertanyaan ini? Apakah engkau dapat menjawab pertanyaan ini?”

“Belum terjawab; hanya diperkirakan saja bahwa si pembunuh membacakan doa penidur.”

“Kalau aku boleh menjawabnya, maka aku akan mengatakan bahwa mereka telah menelan daun ini.” Ki Manjangan memperlihatkan daun turon.

“Darimana engkau dapatkan daun itu?”

“Aku dapatkan dari Markas Besar militer Wulansari. Mereka mengenal daun ini sesudah mengalami kejadian akan halnya semua kuda mereka jatuh sakit dengan gejala tidur. Seorang akhli mengatakan bahwa kuda itu tidak sakit, tetapi hanya tertidur setelah menelan daun ini.
Aku sebagai tukang kuda, tidak sengaja memberi makan dengan daun itu. Daun itu diberi nama daun turon.
Aku sempat mendengarkan dua orang militer berdiskusi. Katanya, mereka akan menggunakan daun itu untuk menidurkan pengawal Istana.

Karena aku telah membuat kesalahan maka aku dipecat sebagai tukang pemelihara kuda. Kesempatan itu aku pakai untuk melaporkan hasil pengamatanku kepada engkau.

“Engkau datang terlambat Ki Majangan. Jika engkau datang lebih dini mungkin engkau dapat menyelamatkan Raja.”

“Walaupun aku dipecat, aku tidak segera dapat meninggalkan markas. Karena aku masih mempunyai sisa waktu kerja hingga akhir bulan; jadi itulah sebabnya aku terlambat.”

“Jadi, apakah si pembunuh Raja dapat membagi-bagikan daun ini kepada para prajurit jaga? Alangkah beraninya dia.”

“Aku tidak mengetahui cara dia; mungkin dia bekerjasama dengan juru-masak dapur Istana. Daun turon akan mengakibatkan rasa mengantuk yang kuat hingga sebentar saja orang tertidur. Daun ini dapat dicampurkan pada minuman teh atau kopi.”

“Kebo Langi, selidiki siapa juru-masak yang dinas jaga pada malam naas pembunuhan Raja.”

Kebo Langi segera melaksanakan tugasnya mendatangi dapur Istana. Dia menanyai ketua juru masak, Hayam Joyo. Hayam Joyo memberi keterangan bahwa tidak ada seorang asing pun terlihat pada malam pembunuhan Raja. Jika Sora Mahisa dapat dianggap sebagai orang asing, maka dialah yang ku lihat sedang berada didapur pada tengah malam itu.”

“Jadi Sora Mahisa, kekasih Putri Sekarpandanwangi? Kalau begitu dia patut dicurigai sebagai pembunuh Raja. Apakah dia membuatkan teh dan kopi bagi para prajurit jaga?”

“Ya, seperti biasanya dia membantu kami dalam pekerjaan ringan itu.”

“Apakah engkau melihat dia telah menaburkan semacam serbuk kedalam setiap gelas atau mangkuk?”

“Aku tidak melihat itu.”

“Hayam Joyo, engkau harus berbicara didalam rapat sekarang juga.”

Hayam Joyo memberikan keterangan dihadapan Jaran Edan dan Ki Manjangan. Jaran Edan dan seluruh anggota rapat sependapat bahwa Sora Mahisa, kekasih Putri Sekar adalah orang yang patut dicurigai sebagai pembunuh Raja.

Pada akhirnya, Penyewu Jaran Edan mengungkapkan pendapatnya, “Kita telah salah duga akan halnya Akuwu Wengker sebagai pembunuh Raja, untuk itu kita patut meminta maaf dan dengan demikian, pengiriman pasukan tambahan dibatalkan. Sekarang kita harus bersiap-siap menghadapi serangan tentara Wulansari dari utara yang aku duga sebentar lagi akan terjadi.
Aku akan berangkat dengan beberapa pengawal dalam misi damai dengan Akuwu Wengker.”

Penyewu Jaran Edan beserta beberapa pengawalnya segera berangkat menuju Jati Wengker.

Sementara itu, Akuwu Wengker mencoba mendamaikan dua pasukan yang baru saja berperang, perang saudara yang tidak ada gunanya. Dia membebaskan pasukan Medang dan kemudian diundang ke Balairung, tempat berkumpul.
Disitu sudah menunggu pasukannya yang duduk santai.

“Apa maksud Akuwu dengan mengundang kita dan duduk bersebelahan dengan musuh kita; bukankah perang ini belum selesai. Dia bermaksud membuat kita malu.” Demikian ungkapan kesal seorang prajurit Medang.

Akuwu Wengker berpidato, “Saudara-saudara setanah air; kita baru saja menyelesaikan pertempuran yang tidak ada gunanya.
Penyebab pertempuran adalah karena aku dituduh sebagai pembunuh ayahku sendiri.

Aku bukanlah pembunuh ayahandaku sendiri. Bagaimana seorang anak seperti aku mau membunuh ayahnya sendiri. Jika engkau terus menganggap hal itu bisa terjadi, maka engkau sendiri adalah monster yang menakutkan.
Jadi percayalah bahwa aku bukan lah pembunuh dan memang tidak ada bukti-bukti kearah itu.

Sekarang sebaiknya kita lupakan masalah itu dan kita berdamai demi Kerajaan Medang. Dengan berlalunya waktu, aku yakin si pembunuh akan keluar juga menampakan dirinya, percayalah.

Demi kejayaan Kerajaan Medang, marilah kita berjabat tangan. Lupakan masa silam dan kita memulai dengan yang baru.”

Pasukan dari kedua kubu yang tadinya berseteru, dapat berdamai dan bahkan ada yang berpelukan dikarenakan mereka bersaudara.

Sementara itu Patih Kebo Ireng dan Putri Sekarpandanwangi juga hadir. Mau tidak mau mereka juga ikut bersalaman dengan Akuwu Wengker.

Seorang prajurit pengawal di minaret (pos jaga di atas bangunan tinggi) melaporkan, “Tuan sepasukan berkuda dari Medang sedang menunju kesini, jumlahnya hanya enam orang berkuda.”

Tak lama kemudian pasukan tersebut sampai di Istana Jati Wengker; mereka adalah Penyewu Jaran Edan dan kawan-kawannya.

Akuwu Wengker berteriak ,”Hai prajurit Medang! Lepaskan senjatamu sebelum masuk kedalam Istanaku!”

Jaran Edan ikut berteriak, “Aku datang dengan maksud damai; bila itu yang engkau kehendaki, baiklah.”

“Damai? Akupun ingin damai dengan engkau.”

Kedua orang itu berpelukan, menandakan bahwa perang saudara memang tidak akan di lanjutkan kembali.

“Apakah engkau mempunyai data baru akan halnya si pembunuh?”

“Ya aku sudah mendapatkan bukti-bukti baru yang menunjukan seseorang sebagai si pembunuh; nanti aku akan ceritakan kepada semua orang. Sekarang aku ingin istirahat.”

“Terimakasih Jaran; engkau telah membebebaskan aku dari tuduhan mereka.”

Keadaan di Balairung sudah ramai; dipenuhi oleh dua kubu pasukan yang sudah berdamai. Dan juga dihadiri oleh pemimpin-pemimpin kedua kubu yang berseteru, tetapi juga sudah damai. Tak lama kemudian Jaran Edan dan pengawalnya memasuki ruangan.

“Saudara-saudara, kita kedatangan Penyewu Jaran Edan dari Medang yang membawa berita penting akan halnya si pembunuh Raja. Marilah kita beri aplaus kepada Jaran Edan. Nah, Jaran waktu untuk mu, terangkan siapa sebenarnya si pembunuh Raja kita.”

“Terimakasih Akuwu; pertama-tama aku memberi hormat kepada Putri Sekarpandanwangi, Patih Kebo Ireng dan semua kawan-kawan prajurit dari kesatuan Medang maupun kesatuan Jati Wengker.
Kemudian aku atas nama Kerajaan, meminta maaf kepada Akuwu Wengker, bahwa Akuwu bukan lah pembunuh ayahnya, akan tetapi seorang prajurit Wulansari. Seorang prajurit Wulansari telah memasukan daun turon kedalam setiap gelas penjaga Istana. Daun turon, yang aku pegang ini, adalah daun yang dapat membuat seseorang tertidur lelap. Itulah sebabnya semua penjaga Istana tertidur lelap pada malam pembunuhan Raja.

Engkau pasti bertanya bagaimana caranya seorang asing apalagi dia prajurit Wulansari, berani datang ke Istana Medang dan memasukan daun turon kedalam gelas-gelas. Itu bisa terjadi dikarenakan prajurit itu ialah Sora Mahisa. Dia mendapat kebebasan untuk dapat keluar dan masuk Istana Medang dikarenakan dia adalah kekasih Putri Sekarpandanwangi.”

Seseorang wanita bereteriak, “Bohong! Engkau pembohong Jaran! Beraninya engkau menuduh kekasihku. Dia adalah pemuda desa dari Kedungsongo; dia anak Ki Marachandra; dia bukan seorang prajurit Wulansari.” Kata Putri Sekar.

Semua yang hadir gempar mendengar keterangan Jaran Edan. Semua orang saling berbisik dan mengungkapkan pendapatnya masing-masing. Balairung menjadi ribut seperti bunyi lebah. “Bagaimana Sora Mahisa bisa membunuh calon mertua-nya sendiri?”

Tiba-tiba, serombongan serdadu Medang dengan baju seragam yang robek-robek dan penuh luka ditubuhnya masuk ke Balairung dan menghadap Akuwu Wengker. Darahnya bahkan menetes di lantai Balairung.

“Akuwu Wengker, engkau sekarang pemimpin kami. Tolonglah kami; kami diserang oleh tentara Wulansari secara tiba-tiba. Mereka, pasukan kafaleri musuh berkekuatan penuh datang dari utara, membunuh prajurit maupun orang sipil, merusak dan membakar setiap bangunan; juga Istana kita habis dibakar.
Kami tidak mempunyai kesempatan untuk melawan, karena serangan datangnya secara mendadak. Mereka bersifat bengis dengan membunuh semua orang yang ditemukan. Rakyat lari masuk hutan atau mengungsi ke Jati Wengker yang dianggap tempat yang aman.”

“Sekarang musuh ada dimana?” Tanya Akuwu.

“Mereka mendirikan markasnya di Kedungsongo. Target selanjutnya adalah Jati Wengker. Dalam tempo tiga hari dari sekarang, mereka akan sudah sampai disini.”

“Tenang-tenang; saudara-saudara; Kerajaan Kita sedang mendapat musibah berupa serangan musuh, Kerajaan Wulansari dari utara. Aku meminta kepada saudara untuk membela Kerajaan kita mati-matian. Aku pun rela berkorban nyawa demi Kerajaan Medang. Bagaimana dengan saudara? Apakah mau berkorban seperti aku?”

“Kami siap berkorban, Akuwu.”

“Baiklah. Marilah kita mengatur strategi perang untuk menghadapai serangan ini”

(Bersambung)

No comments: