Wednesday, September 10, 2008

Hikayat Raja Ken Arok (Bagian ke 3)


Pemberontakan Panji Tohjaya

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

Kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Anusapati mengalami kemajuan pesat; rakyat Singoasari mengalami kemakmuran.

Raja Anusapati memerintah Kerajaan Singosari selama dua puluh tahun; Raja yang paling lama memerintah.

Istana Kerajaan yang baru berada di kota Daha merupakan Istana yang megah dan indah; dibangun sejak Ken Arok memerintah. Banyak orang-orang asing yang datang untuk mengagumi keindahannya.

Pelabuhan Tuban semakin ramai dikunjungi oleh pedagang asing dan pelancong.

Rakyat Singosari loyal kepada Rajanya, dikarenakan pemerintahan Anusapati telah terbukti membawa kemakmuran rakyat dan pemerintahan nya dirasakan adil.

Kecuali bagi Panji Tohjaya, dikarenakan dia berpendapat bahwa Raja yang syah adalah dia, bukan Anusapati. Karena dia adalah keturunan langsung Raja Ken Arok.

Maka Panji Tohjaya dan keluarga dan juga para pengikutnya bersembunyi ditengah hutan dan membuat markas besar militer pemberontak, siap melancarkan serangan ke Istana.
Markasnya betul-betul tersembunyi, tidak seorangpun pihak Kerajaan Singosari yang mengetahui keberadaannya di hutan yang lebat.

Pengikut-pengikutnya semakin bertambah dari hari kehari. Alasan mereka untuk bergabung dengan pemberontak adalah karena sakit hati kepada Raja dan alasan-alasan lainnya. Setiap anggota baru yang datang harus diinterogasi terlebih dahulu.

Panji Tohjaya menunggu dengan sabar kesempatan untuk menyerang Istana Kerajaan.


Bab 2

Pada akhir pemerintahan Raja Anusapati telah tumbuh generasi penerus, diantaranya adalah Ranggawuni, putra Raja Anusapati; dan Mahisa Cempaka, anak Mahisa Wongateleng. Keduanya telah menjadi pemuda-pemuda yang tangkas.

Ranggawuni dilantik menjadi Pangeran yang akan menggantikan ayahnya kelak. Mahisa Cempaka tidak mau ikut didalam urusan politik, dikarenakan telah mendapat arahan dari ayahnya, jangan bercita-cita untuk menjadi Raja dan bahkan jangan ikut-ikutan dalam masalah politik.

Ranggawuni menyadari bahwa kakeknya telah dibunuh oleh kakeknya Mahisa Cempaka. Akan tetapi dia tidak pernah tau dan tidak mau, apalagi ikut campur tangan. Dia justru menginginkan tercapainya kedamaian diantara kedua turunan keluarga itu dan menyarankan untuk melupakan masa lalu.
Ranggawuni bersahabat dengan Mahisa Cempaka dan mengadakan hubungan silahturahmi dengan keluarga Mahisa Wongateleng.

Ratu Ken Dedes sudah tua dan kecantikannya sudah pudar; akan tetapi pikirannya masih cerdas. Dia memberi nasihat kepada dua pemuda itu, “Wahai cucu-cucuku hendaknya engkau dapat hidup berdampingan secara damai, janganlah saling bermusuhan. Sekalipun engkau mempunyai kakek yang berbeda, akan tetapi engkau adalah satu rumpun dari aku, nenek Ken Dedes. Bejanjilah kepadaku untuk selalu damai.”

Mahisa Cempaka bertanya, “Nenek, saran nenek bagus sekali; akan tetapi nasihat nenek tidak untuk Panji Tohjaya, bukan?”

“Panji Tohjaya adalah keluarga lain dari kita; mereka tidak serumpun dengan kita, walaupun dia adalah putra Ken Arok.
Suamiku, Ken Arok telah menghianati pernikahan kami; dia menikah dengan wanita lain, Ken Umang secara diam-diam. Hingga Ken Umang berputra Tohjaya, mereka tidak pernah datang ke Istana; mungkin mereka takut kepadaku. Jadi mereka adalah musuh kita.”

Ranggawuni memberi komentar, “Jika sekiranya Panji Tohjaya datang untuk berdamai dengan kita, maka aku adalah orang pertama yang akan memeluknya.”

Mahisa Cempaka, “Nenek benar, mereka adalah musuh kita. Bahkan mereka lah yang sudah siap tempur dan akan mendatangi kita guna maksud penyerangan.”

Ranggawuni, “Panji Tohjaya bagaikan seekor harimau ganas ditengah hutan yang sewaktu-waktu datang ke Istana untuk membunuh Raja. Aku sesungguhnya menyesalkan tindakan dia, mengapa dia menjadi pemberontak?
Tidak seorangpun diantara kita yang mengetahui keberadaan markas besarnya.”


Bab 3

Tersebutlah seorang perwira militer Singosari bernama Ken Watu yang mencoba mencari markas Tohjaya. Dia bertindak bukan atas nama kesatuannya akan tetapi hanya tindakan pribadi. Untuk itu dia sengaja melakukan desersi, lari dari tugasnya sebagai prajurit Singosari.

Dia berjalan terus didalam hutan atas nalurinya hingga secara kebetulan sampai di markas Tohjaya. Kemudian dia ditangkap oleh pengikut Tohjaya untuk diinterogasi.

“Siapakah engkau?”

“Namaku Ken Watu, aku seorang pemburu binatang yang kebetulan tersesat.”

“Bohong, aku pernah melihat engkau didalam barisan prajurit Singosari; engkau sesungguhnya adalah prajurit Singosari; engkau sesungguhnya adalah mata-mata Kerajaan. Hayo mengaku, atau akan kupatahkan lehermu.”

“Aku mengaku, aku adalah perwira militer Kerajaan Singosari. Kedatanganku adalah untuk bergabung dengan barisan-mu, para pengikut Panji Tohjaya.”

Seorang pemuda cakap melintas ketempat interograsi dan kemudian menghampiri, “Biar aku yang akan menginterograsi dia.” Dia adalah Panji Tohjaya.

“Selamat datang di markas kami, Ken Watu.”

Tanpa ragu-ragu, Panji Tohjaya memeluk Ken Watu.

“Apa alasanmu sehingga engkau bersedia bergabung denganku ditengah hutan ini?”

“Karena aku adalah pengikut setia Raja Ken Arok. Pada mulanya, aku mengharapkan Mahisa Wongateleng yang akan menggantikan Ken Arok, akan tetapi aku kecewa dengan kenyataan, Anusapati sebagai keturunan Tunggul Ametung telah menjadi Raja.
Masih ada lagi keturunan Ken Arok, yaitu engkau, Panji Tohjaya. Jadi engkau sebenarnya yang harus menjadi Raja.
Maka aku bergabung dengan mu untuk mengusir Anusapati dari Istana Kerajaan.”

“Terimakasih Ken Watu atas kepercayaanmu kepadaku. Mulai saat ini engkau adalah prajuritku yang akan mengadakan penyerangan ke Istana.”

“Tuanku, terimakasih atas kepercayaan tuan terhadapku.
Selain itu, aku telah membawakan senjata keris Empu Gandring yang sakti, guna engkau gunakan untuk membunuh Raja Anusapati.”

“Darimana engkau dapatkan senjata ini?”

“Aku dapatkan ini sewaktu aku bertugas menjaga kamar Raja Ken Arok, sewaktu dia menjelang akhir hidup nya. Beliau dibawa kekamarnya dengan luka tembus panah diperutnya. Aku mendengar percakapan antara Anusapati dan Raja Ken Arok. Raja meminta Anusapati untuk menusukkan keris Empu Gandring ketubuhnya agar penderitaannya segera berakhir.
Jadi Raja wafat disebabkan tusukan keris oleh Anusapati, bukan karena tusukan panah diperutnya.”

“Benarkah begitu? Kurangajar engkau Anusapati! Engkau telah membohongi rakyat dengan mengatakan Raja wafat dikarenakan banyak mengeluarkan darah dari luka diperutnya.
Maka sekarang aku mempunyai dua alasan untuk menjadi pemberontak; yang pertama karena aku memang Raja yang syah; kedua aku akan membalas kematian ayahku.”

“Tuan, ceritaku belum selesai. Setelah Raja dibawa keluar kamar dan diumumkan kematiannya, aku masuk kedalam kamar Raja untuk membersihkan kamarnya.
Aku dapatkan keris Empu Gandring tergeletak dilantai penuh dengan darah. Aku ambil dan aku bersihkan. Aku menduga, keris ini dicabut dari tubuh Raja dengan penuh penyesalan dan rasa dosa; mengapa dia membunuh orang yang telah memelihara dan membesarkannya sejak kecil. Oleh sebab itu keris dicabut dan dibuang kelantai tanpa dia sadari.
Sekarang keris sakti itu menjadi milik Tuan; gunakan keris ini untuk membunuh Raja Anusapati.”

“Baik Ken Watu, terimakasih.”

Sejak itu, Ken Watu menempati markas Tohjaya, guna menyerang Istana dalam waktu dekat.

Setelah sempat menjadi prajurit selama satu bulan, pada suatu malam pekat, Ken Watu keluar dari kamarnya dan secara sembunyi-sembunyi masuk kedalam hutan. Dia sendiri, berjalan meraba-raba karena tidak membawa lampu penerangan, dan akhirnya berhasil keluar dari lingkungan markasnya.

Setiap pohon yang dilaluinya digoreskan pisaunya sebagai tanda pengenal. Dia berjalan terus kearah utara, arah Kota Daha, guna kembali ke markas yang asli yaitu kesatuan militer Kerajaan Singosari.

Ken Watu ingin kembali kekesatuannya dengan ingin mendapatkan alamat markas Tohjaya, musuh besar Raja Anusapati.

Pada hari ketiga, dia berhasil mencapai markas militer Singosari.

Ken Watu melaporkan dirinya kekesatuannya. Dia mengemukakan alasan mengapa melakukan desersi dengan mengatakan bahwa dia telah berburu, kemudian tersesat didalam hutan dan tertangkap oleh musuh. Guna menghindari penyiksaan dia bergabung.

“Engkau telah lari dari tugas, itu saja sudah suatu dosa besar dan berat hukumannya, Ken Watu. Apalagi engkau ternyata telah bergabung dengan kesatuan musuh, itu akan membawa kamu pada hukuman mati.”

“Guna menghindari penganiayaan para serdadu Tohjaya, maka aku dengan terpaksa mau ikut dengan kesatuan mereka. Tetapi aku berhasil melarikan diri; dan aku telah menandai dengan goresan pisau pada setiap pohon yang aku lalui. Jadi aku orang yang tau tempatnya markas mereka.”

“Engkau harus kumasukan kedalam penjara; sementara aku akan rundingkan nasibmu dengan Patih Empu Mara dan juga Raja.”

Penyewu Jaran Lanang melaporkan kepada Patih akan halnya anak buahnya, Ken Watu.
Kebetulan Raja sedang berbincang-bincang dengan Patih, maka Raja ikut mendengarkan laporan Penyewu Jaran Lanang.

Raja Anusapati memberi saran, “Orang ini telah mengetahui keberadaan markas musuh, jadi dia bisa dipakai sebagai penunjuk jalan didalam serangan kita ke pada musuh.
Serang Tohjaya sekarang juga. Aku ingin masalah Tohjaya dapat selesai secepatnya.”

“Baginda, dia masih kita ragukan kesetiaannya, apakah dia sudah menjadi mata-mata musuh atau sebaliknya. Mengapa dia mempuinyai inisiatif sendiri untuk pergi ke markas musuh? Mengapa dia dengan mudahnya bisa lari dari markas musuh?” Kata Patih Empu Mara.

“Engkau benar Patih. Sekarang engkau interograsi dia; bila terbukti memang mata-mata musuh, hukuman mati aku jatuhkan!”

Patih dan Penyewu mendatangi Ken Watu dipenjara. Patih dengan santai bercakap-cakap dengan Ken Watu. Dari masalah-masalah yang ringan hingga politik dan pada akhirnya masalah tugas pribadi. Patih mendapatkan kesan akan Ken Watu, bukan seorang mata-mata musuh, tetapi prajurit setia Singosari yang berinisiatif mendapatkan keberadaan markas musuh.

Setelah Raja mendapat laporan, maka Raja memberi komando kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka untuk menyerang markas Tohjaya. Prajurit yang dibawa sebanyak tiga ribu orang. Penunjuk jalan adalah Ken Watu.

Mereka berkuda hingga tapal batas hutan lebat. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Dengan penuh semangat, Ranggawuni memimpin barisan memasuki hutan lebat. Ken Watu meneliti pohon-pohon yang telah diberi tanda olehnya; dengan itu maka perjalanan dijamin tidak akan tersesat.

Pada hari kedua, pasukan diistirahatkan didalam hutan. Keesokan harinya mereka melakukan perjalanan kembali.

Pada hari ketiga mereka mencium asap, seperti ada orang yang sedang membakar sampah hutan dan kayu-kayu kering.

Penyewu Jaran Lanang memberi peringatan, “Hati-hati kita sudah dekat dengan musuh; nampaknya ada orang sedang membuat api dimuka sana.”

Ranggawuni mencari Ken Watu, “Hai penunjuk jalan! Dimanakah Ken Watu?”

Semua prajurit menoleh kekiri dan kekanan, mencari Ken Watu, akan tetapi Ken Watu lenyap; dia sudah melarikan diri.

Seorang prajurit yang berada dimuka datang melapor, “Markas musuh sudah musnah dimakan api, tidak seorangpun prajurit Tohjaya berada disana.”

“Cilaka! Kita telah ditipu oleh Ken Watu. Pasukan! Kembali ke Istana. Pasti Tohjaya sedang menyerang Istana.” Ranggawuni memberi komando.

Pasukan berjalan kembali ke Istana Daha; Mereka menjadi lelah untuk dapat bertempur dengan Tohjaya.


Bab 4

Tohjaya dan pasukannya yang berjumlah tiga ribu prajurit pemberontak menyerang Istana yang hanya dijaga oleh seribu prajurit Singosari. Patih Empu Mara dan seribu prajurit bertempur dengan gagah berani.

Keluarga Kerajaan sudah diungsikan ketempat yang lebih aman; termasuk nenek Ken Dedes, Mahisa Wongateleng dan keluarganya.
Akan teteapi Raja tidak mau ikut mengungsi walaupun sudah dibujuk, “Baginda, tempat ini sudah tidak aman, sebentar lagi musuh akan datang ketempat ini.”

“Aku ingin kematian-ku bersama-sama prajuritku dan Patihku. Biarkan aku disini. Tinggalkan aku sendiri.”

Empu Mara bertempur habis-habisan bersama prajurit setia. Pada akhirnya Patih mati tertusuk panah. Begitu juga banyak prajuritnya yang mati. Pertempuran tidak seimbang, pasukan Kerajaan kalah dalam jumlah prajurit.
Hal ini disebabkan prajuritnya sebagian besar telah pergi bersama Ranggawuni yang masuk kedalam hutan guna memerangi markas Tohjaya.

Tohjaya memberi semangat pasukannya, “Patih telah mati, kita hampir memenangkan pertempuran ini. Jika kita telah merebut Istana dan telah membunuh Raja, berarti kita lah pemenang didalam pertempran ini.”

“Horay-Horay” Pasukannya bersorak. Mereka maju mendekati pintu Gerbang Istana, mendorong pintu sekuat-kuatnya; akhirnya pintu Gerbang roboh dan pasukan Tohjaya masuk kedalam Istana.
Pasukan merampok harta Kerajaan di Istana, harta dijarah dan mereka bersuka ria. Tak seorang pun prajurit Singosari yang menjaga Raja.
Tentara Tohjaya betul-betul menikmati kemenangannya.

Akhirnya, Raja ditawan oleh musuh. Tangan baginda diikat, diajukan kemuka Tohjaya untuk diadili.

“Wahai Raja busuk! Akhirnya engkau menyerah kalah. Aku akan menghukum mati orang yang telah membunuh ayahku, Raja Ken Arok.”

“Seharusnya engkau bertanya kepadaku, mengapa aku membunuh ayahmu, Raja Ken Arok.”

“Aku sudah tau jawabannya, engkau ingin membalas dendam atas kematian ayahmu, Akuwu Tunggul Ametung, begitu bukan?”

“Bukan itu jawabannya; akan tetapi ayahmu telah meminta aku untuk menusukan keris yang engkau pegang itu ke dadanya. Karena beliau ingin memenuhi kutukan Empu Gandring yang mengatakan bahwa keris itu akan membunuh tujuh turunan Ken Arok. Setelah keris itu selesai menjalankan tugasnya menewaskan aku, maka keris itu juga akan membunuhmu, ingatlah!”

Panji Tohjaya pernah mendengar kutukan Empu Gandring; sekarang dia terheran-heran mengapa untuk membunuh Raja Anusapati dia harus menggunakan keris Empu Gandring, mengapa tidak memakai senjata lain. Mengapa Ken Watu sengaja datang ke markasnya hanya untuk menyerahkan keris Empu Gandring kepadanya.
Betul-betul kutukan Empu Gandring sangat menakutkan dan sakti.

“Sudah jangan banyak bicara! Matilah engkau!” Panji Tohjaya menusukan keris Empu Gandring ke tubuh Raja; Raja seketika menemui ajalnya.

Panji Tohjaya menyerahkan keris itu kepada ajudannya, “Musnahkan senjata terkutuk ini; musnahkan segera!”

Panji Tohjaya menyatakan diri-nya sebagai Raja dan sebagai pemenang didalam pertempuran ini. Pernyataannya disambut dengan tepuk tangan dan sorak sorai para prajuritnya dengan suara gegap gempita.
Kemudian disusul dengan pesta pora didalam Istana.

Akan tetapi masyarakat yang berada diluar Istana bersikap acuh dengan pengumuman Raja baru Tohjaya.
Bahkan, mereka mengadakan perlawanan terhadap seorang asing yang tiba-tiba keluar dari dalam hutan kemudian menyerang Istana. Mereka tidak mengenal Panji Tohjaya.


Bab 5

Sementara itu pasukan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sampai kepinggir kota Daha. Segera mereka mendapat khabar yang menyedihkan bahwa Baginda telah wafat, dibunuh oleh Panji Tohjaya. Dikatakan selanjutnya bahwa Istana sudah dikuasai oleh Panji Tohjaya beserta para Prajuritnya. Dan terakhir, Panji Tohjaya telah menyatakan dirinya sebagai Raja.

Ranggawuni dengan penuh kewibawaan berkata, “Kawan-kawan, marilah kita beristirahat satu atau dua hari disini; jika dirasakan masih kurang, kalian boleh beristirahat satu minggu. Karena kita juga ikut senang dengan kawan kita yang satu ini yang menyatakan dirinya sebagai Raja. Marilah kita ikut menikmati kemenangannya. Biarkan dirinya untuk dapat duduk di sanggasana Raja beberapa hari.”

Para Prajurit Singosari tertawa terbahak-bahak dan ada yang berkomentar, “Panji Tohjaya menyangka jika sudah membunuh Raja dan dapat menduduki Istana berarti Kerajaan Singosari sudah jatuh bertekuk lutut kepadanya. Ha, ha, ha pikirannya terlalu picik, karena dia terlalu lama diam dihutan.”

Kawannya berkomentar, “Tunggu pertempuran ronde kedua.”

“Kawan-kawan, marilah kita membangun markas kita disini; hayo bangun tenda kalian masing-masing; kemudian baru beristirahat.” Ranggawuni memberi komando.

Pasukan Singosari memang lelah disebabkan berjalan selama enam hari didalam hutan. Ranggawuni benar, jika dipaksakan untuk bertempur, kemungkinan mereka akan kalah.

Seorang pengawal Ranggawuni menghadap, “Tuan ada seorang pedagang pasar meminta menghadap; keperluannya adalah ingin memberikan sebilah keris yang sakti, sebagai hadiah kepada Tuan.”

Ranggawuni menemui seorang rakyat nya. Dia menduga seorang loyalis Raja Anusapati yang ingin menunjukan simpatinya dengan memberi sebilah keris.

“Hai kawula, engkau ingin memberiku senjata? Sebilah keris sakti? Jadi engkau sangat peduli dengan perjuangan kami di angkatan perang Kerajaan.”

“Benar Tuan, kami tidak mengakui Tohjaya sebagai Raja kami. Sebagai tanda kepedulian kami, maka kami menghadihkan keris sakti ini kepada Tuan; gunakan keris ini untuk membunuh Tohjaya.”

Keris dipegang oleh Ranggawuni dan diteliti, “Oh ini adalah keris Empu Gandring yang terkenal sakti. Aku sudah mengenalnya dari Kebo Ijo. Dari mana engkau dapatkan?”

“Aku dapatkan dari seorang prajurit pemberontak yang datang kepasar untuk menjual senjatanya. Dia meminta harga yang pas dengan kesaktian keris ini. Dia mengatakan bahwa keris ini baru saja dipergunakan untuk membunuh Raja. Keris itu memang berlumuran darah yang sudah mengering.
Nampaknya dia membutuhkan uang.”

“Berapa kepeng yang engkau minta dariku?”

“Tidak aku jual Tuan; tetapi aku menghadiahkan kepadamu dengan iklas.”

“Jika tidak aku beli, kutukan Empu Gandring mungkin akan menimpa aku juga. Ini uang duapuluh lima kepeng untuk harga keris ini.”

“Terimakasih Tuan, aku sudah beruntung.”

Panji Tohjaya sangat resah mendengar pasukan Ranggawuni telah sampai dan bersiap-siap untuk menyerangnya.
Sementara itu pasukannya yang juga sudah lelah, kecewa karena harus bertempur ulang. Ternyata tidaklah benar pendapat Panji Tohjaya bahwa mereka telah memenangkan pertempuran dengan membunuh Raja dan merebut Istana dan juga menyatakan dirinya Raja.

Ranggawuni mengadakan rapar militer untuk menetapkan strategi pertempuran disuatu rumah besar dipinggir kota. Pada akhirnya dipilih taktik pengepungan Istana dan menakut-nakuti musuh. Ranggawuni tidak ingin banyak prajurit nya yang akan mati.

Strategi ini tepat dengan terlihat Panji Tohjaya disertai para pengawalnya dan serdadunya memang menjadi takut. Mereka tidak bisa berdiam diri, karena bahan makanan mereka terbatas.

Setelah beberapa hari dikepung, Istana membuka diri dan prajurit pemberontak keluar guna bertempur. Terjadilah pertempuran dahsyat. Prajurit Tohjaya bertempur mati-matian disebabkan tidak ada tempat untuk melarikan diri.

Ranggawuni mencari Panji Tohjaya guna perang tanding berdua. Keris Empu Gandring sudah terhunus dan dipegang erat ditangannya, “Hai Tohjaya, aku lah lawanmu! Jangan membunuh prajurit tidak berdosa.”

“Baik! Aku memang mencarimu Ranggawuni.” Kata Tohjaya. Dia bersenjata tombak dan pedang yang tergantung dipinggang.”

“Hai Tohjaya, engkau lihat apa yang kupegang? Ini lah keris Empu Gandring. Keris ini tidak akan melarikan diri sebelum tugasnya terlaksana. Ingatlah kutukan Empu Gandring.

Alangkah kecutnya hati Panji Tohjaya, “Sudah kukatakan keris terkutuk itu untuk dimusnahkan, tetapi dia malah menjualnya dipasar. Kurang ajar!” Pikir Tohjaya.

Panji Tohjaya menyerang lebih dahulu dengan menusukan tombaknya. Ranggawuni melangkah mundur guna menghindar tusukan tombak yang nyaris mengenai dadanya.

Keris Empu Gandring diputar-putar dimuka Tohjaya dan kemudian balas menyerang.
Keris beradu dengan tombak, mengeluarkan percikan api dan juga getaran yang disalurkan ke batang tombak hingga ke tangan Panji Tohjaya. Dia merasakan getaran ditangnnya dan seketika tangannya menjadi lemas.

Keris Empu Gandring pada akhirnya dapat bersarang dengan mudah didada Panji Tohjaya. Tohjaya menemui ajalnya.

Serdadu Tohjaya menyerah seketika sewaktu melihat pimpinannya menemui ajalnya.

Serdadu musuh dilucuti senjatanya dan diikat tangannya. Selesailah pertempuran dengan cepat.

Para prajurit Singosari bersorak sorai dan mengelu-elukan Ranggawuni. Ranggawuni diusung diatas tandu dan kemudian didudukan diatas Singgasana Raja. Ini adalah suatu tanda bahwa prajurit dan rakyat Singosari setuju menunjuk Ranggawuni sebagai Raja secara tidak resmi.

Istana dibersihkan terlebih dahulu, baru kemudian Keluarga Kerajaan datang untuk menempati Istana.

Satu bulan kemudian Ranggawuni dilantik menjadi Raja.

Penasihat politik Ranggawuni yang bernama Aria Wiraraja memberikan nasihat kepada Raja, “Segera nusnahkan keris Empu Gandring sebelum dia memakan korban berikutnya. Buang dia ketengah laut dalam, agar tidak kembali lagi. Laksanakan dengan upacara penghormatan.”

Raja menyetujui nasihat Wiraraja dengan seksama. Upacara pembuangan keris Empu Gandring dihadiri para pejabat Istana dan para perwira militer.

Kerajaan Singosari kembali tenang dan seluruh rakyat bersukur atas tercapainya perdamain.


No comments: