Monday, August 17, 2009

Hikayat Tumenggung Wiranegara (Bagian 1)


Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi

Prolog

Kisah ini adalah riwayat hidup dari seorang pemuda asal Bali. Dia teraniaya; dia yang sedang berjalan terseok-seok dengan kaki dirantai bersambungan dengan rantai kaki kawan-kawannya sesama budak. Kakinya sudah lecet, luka dan bernanah dikarenakan terlalu lama dirantai; rasa lapar, haus dan letih menyertai perjalanannya. Jiwanya tertekan dengan perasaan takut, sedih, pilu, gundah dan marah, bercampur aduk didalam benaknya.

Para budak-budak itu sekarang sedang diturunkan dari kapal dengan pengawalan para serdadu kompeni yang bengis. Serdadu kompeni tidak segan-segan memecut dengan cemeti dipunggung para budak-budak naas itu.

“Oh Dewa Batara, apakah salahku? Apa salah ibuku? Apa salah bapaku? Apa salah Bangsaku? Sehingga aku dan kawan-kawanku dizalimi sedemikian kejamnya oleh Londo-Londo ini? (Londo=Orang Belanda) Ya Dewa, datangkanlah rasa keadilan; sesungguhnya aku tidak pernah berbuat salah pada Londo-Londo ini, tetapi mereka-lah yang menganiaya diriku dan Bangsaku; hanya dikarenakan mereka menang dan kemudian berhasil menguasai Negeriku. Ya Dewa kumohon kepadamu, kuatkanlah jiwa dan ragaku untuk menghadapi mereka.” Si pemuda meratap dan berdoa didalam hati.


Bab 1

Makasar Januari 1675, dimulainya kisah ini di Makasar. Sementara itu Bangsa Belanda sebagai bangsa penjajah sudah berhasil menguasai Pulau Jawa dan menduduki Batavia. (nama sebelumnya Sunda Kelapa kemudian diganti menjadi Jayakarta dan sekarang Batavia). Mereka mendirikan kantor dagang yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada tahun 1602; sebuah perusahaan raksasa yang mendapat izin penuh dari Pemerintah Kerajaan Belanda untuk berperang, berdamai, membuat perjanjian, pemegang hukum dan kekuasaan dan juga memungut pajak kepada rakyat beserta Raja-Rajanya ditanah jajahan Indonesia.

Guna lebih memperkokoh kekuasaan VOC, maka kota Makasar perlu diperkuat dengan benteng dan jalan raya guna menahan serbuan tentara asing lainnya dari Eropa, terutama Inggris dan Portugis yang bernafsu untuk menduduki Makasar dan Indonesia bagian timur; Juga menahan serbuan dari Kerajaan Goa yang mengancam VOC.

Untuk itu VOC perlu membangun Makasar dan menempatkan serdadu-serdadunya di sebuah benteng. Juga diperlukan jalan raya untuk transportasi perdagangan.

VOC memerlukan pekerja-pekerja murah yang mana mereka dapat memanfaatkan budak-budak didalam kerja rodi atau kerja paksa. Budak-budak itu adalah rakyat dari suatu Kerajaan yang dapat dikalahkan oleh VOC.

Kapten Van Beber dipercaya untuk pekerjaan berat itu. Dia membawahi empat ratus budak-budak yang harus bekerja paksa membangun benteng.

Cukup banyak budak-budak yang mati karena penyakit, kelaparan dan keletihan. Hal ini memicu keinginan untuk memberontak didalam benak masing-masing para budak itu. Akan tetapi pengawalan yang ketat dari serdadu kompeni membuat budak-budak itu berputus- asa, kecuali seorang budak dari Bali; Dia bernama Putu Meja. Putu mencoba mempengaruhi teman-temannya untuk lari; lari dari perbudakan yang tidak adil.

“Hai kawan-kawan, maukah kalian mengikuti aku? Mari kita lari, masuk kedalam hutan dan kita akan mendapatkan kebebasan. Sesungguhnya Kebebasan itu adalah hak kita sebagai manusia. Bagaimana pendapatmu? Apakah engkau setuju?”

La Monde, seseorang yang sudah cukup berumur diantara para budak berkata, “Larilah anak-anak muda; tetapi biarkanlah aku tertinggal disini sendiri; biarkanlah aku menemui kematianku disini.”

Putu melirik pada La Monde, “Kematian sudah lah pasti akan menjemput kita, dimanapun kita berada dan apa pun caranya kita akan menemuinya. Tetapi yang penting adalah harga diri kita. Jika kematian itu harus datang dengan cara dibunuh oleh serdadu kompeni didalam suatu pertempuran, maka kita akan mendapatkan harga diri itu.”

Cukup banyak budak-budak yang memandang benar ucapan Putu dengan penuh harapan. Pada akhirnya ada beberapa budak yang sepakat untuk mengikuti Putu melarikan diri.

Pada tengah malam, serombongan budak-budak itu berhasil melarikan diri dipimpin oleh Putu Meja. Tetapi upaya itu belumlah berhasil, karena Kapten Van Beber mengejar mereka.

Putu Meja berupaya melindungi kawan-kawannya, “Larilah kalian, biar aku sendiri yang akan menghadang Londo-Londo itu. Kalian harus mendapatkan dan menikmati kebebasan. Cepat! Cepat! Lari! Lari!”

“Terimakasih Putu!” Lebih dari sepuluh orang budak lari menyebrangi sungai yang ber-arus deras, menuju kealam bebas bagai burung yang lepas dari sangkar.

Tidak lama kemudian, Kapten Van Beber beserta para serdadunya datang menemui Putu.

“Hai kowe orang Bali! Mana kawan-kawanmu?”

“Mereka sudah lari setengah jam yang lalu kearah sana.” Kata Putu sambil menunjuk dengan jarinya kearah yang salah; sebenarnya mereka telah lari kearah kiri.

Van Beber memberi isyarat kepada serdadunya untuk segera mengejar kearah yang ditunjuk Putu.
“Engkau rupanya sebagai pimpinan mereka yang lari, benarkah?” Tanya Van Beber.

“Benar! Akulah orangnya yang merindukan kebebasan bersama kawan-kawanku. Jika engkau mendekati ku, aku akan tikam engkau dengan badik ini.”

“Sebelum engkau menikam aku, aku akan menembak engkau terlebih dahulu.”

“Tembaklah! Itu yang memang aku kehendaki, karena hidupku sudah tidak ada harganya lagi sebagai budak.”

“Baiklah, aku akan membunuh mu apabila aku tidak berhasil mengejar kawan-kawan mu.”

Sebenarnya dia tidak mau menembak Putu karena budak ini cukup berharga untuk tetap hidup, karena dia kuat untuk bekerja.

Tak lama kemudian, serdadu-serdadu kompeni itu datang tanpa hasil.

“Hai! Kowe bohong ya! Tidak ada kawan-kawanmu disebelah sana.”

“Serdadumu harus banyak berlatih didalam hal mencari jejak didalam hutan. Aku tidak berbohong kepadamu.”

“Tangkap!”

Sepuluh orang serdadu menangkap seorang budak. Salah seorang dari mereka maju dengan sombong untuk membekuk Putu; dengan tangkas Putu mengeluarkan badiknya yang tidak disangka oleh si-Londo itu. Badik menusuk pangkal lengannya, darah mengucur jatuh ketanah. Sembilan temannya maju serentak; salah seorang memukul kepala Putu dari belakang. Yang lain memukul kepala Putu dari depan. Pada akhirnya Putu jatuh pingsan. Tubuhnya terkulai diatas tanah; kemudian diseret kehadapan Van Beber.

“Bawa dia kepenjara. Dia sipembuat onar, penghasut dan pembawa masalah buat kita!” Kata Kapten Van Beber.

Van Beber bertemu dengan seorang pedagang bangsa Belanda, Meneer Van Moore, sewaktu pulang ke kem bersama Putu Meja yang masih pingsan. Putu ditandu oleh serdadu kompeni dan menjadi perhatian Van Moore. Meneer Van Moore tertarik melihat Putu yang mungkin dapat dipakai tenaganya dirumah; maka Van Moore membeli sang budak dengan harga murah dari Kapten. Si pembuat onar dan masalah sudah pergi dengan damai.

Putu Meja tersadar ketika dia sudah berada dikereta yang ditarik kuda. Dia sekarang berhadapan dengan seorang Londo yang lain, bukan Kapten Van Beber.

“Dimanakah aku sekarang?” Tanya Putu.

Si Londo melirik kepada kawannya, seorang pribumi disampingnya, seolah dia bertanya, apa maksud perkataan Putu. Nampaknya dia kurang pandai ber Bahasa, sementara si pribumi itu menguasai bahasa Belanda dan Indonesia. Keduanya bercakap dalam bahasa Belanda akan halnya budak itu.

Akhirnya si Pribumi itu menerangkan, “Engkau sekarang menjadi hamba dari Meneer Van Moore. Engkau akan dibawa ke Batavia, dikarenakan engkau sebagai budak sudah dibeli dari Kapten Van Beber.”

“Oh begitu kiranya”

Putu berdoa didalam hati, “Oh Dewa Batara, semoga nasibku tidak seburuk seperti nasibku ditangan Van Beber.”

Putu Meja bertanya kepada pribumi itu yang nampaknya mau berbaik hati, “Siapakah engkau sesungguhnya, wahai kawan? Oh Dewa Batara, engkau telah mengirim seorang hambamu yang pandai menghargai aku sebagai manusia; siapakah engkau?”

“Aku adalah pegawai Meneer Van Moore, merangkap asisten pribadi dan penterjemah Bahasa. Namaku adalah Matius Makara.”


Bab 2

Tersebutlah sebuah rumah dengan halaman rumput luas yang diteduhi oleh pohon-pohon rindang; itu adalah rumah Meneer Van Moore yang ber alamat di Jalan Jaga Monyet, dekat Harmonie, tepat di pinggir kota Batavia. Tampak noni-noni dan yongen-yongen sedang bermain di halaman rumah dengan ceria dan juga ada seorang Madam yang duduk dikursi panjang sedang membaca buku dibawah pohon rindang. Keluarga Van Moore kelihatannya keluarga yang serasi dan berbahagia.

“Hansye, ambil bola itu! Aku sudah lelah untuk selalu mengambil bola yang engkau sepak.”

“Itu lah permainan sepak bola. Hai lihat! Dedy sudah pulang.”

Semua orang melihat sebuah kereta berhenti dimuka pagar rumah. Meneer Van Moore turun dari kereta, diikuti oleh Matius Makara dan Putu Meja. Barang-barang bawaan dibawa oleh pembantu rumah. Anak-anak datang menyambut ayahnya dengan mencium pipi sang ayah. Anak gadisnya yang tertua mencium ayahnya lebih dahulu baru diikuti oleh ke tiga adik-adiknya. Yang terachir mencium adalah Mevrouw Van Moore.

Semua penghuni rumah duduk di ruang tengah, mengelilingi sang ayah yang kelihatan kelelahan. Si ayah asyik menikmati sebotol bir buatan Holland.

“Pappy, mana buah tangan untuk kami-kami?” Tanya anaknya yang paling kecil.

“Ambilkan tas ku disana; nanti aku tunjukan buah yang aneh dari Pulau Celebes.”

Anak itu bergegas ke kamar ayahnya untuk mengambil tas ayahnya.

“Nah ini dia. Rasa buah ini asam dan manis. Penduduk Pribumi tidak memanfaatkan buah ini, sehingga buah ini di buang-buang percuma. Hai Matius, buah apakah namanya yang kita ambil dari Celebes?”

“Aku tidak tau Meneer, itu hanyalah buah hutan yang liar, tidak ada namanya.”

“Kalau begitu, aku namakan buah “Marquizza”

“Untuk apa buah itu pappy.”

“Buah ini dapat dibuat syrup, minuman yang enak dan menyegarkan. Aku berencana untuk membuat syrup dari buah ini. Dan kemudian akan aku jual hingga ke Eropa.”

“Pappy, siapa orang pribumi yang ikut dengan mu?” Tanya Suzzane, anak gadisnya yang sulung.”

“Dia juga sebagai buah tangan dari ku yang sengaja aku bawa dia dari Makasar untuk membantu mengurus halaman kebun rumah ini.”

“Siapa namanya pappy?”
Meneer Van Moore terdiam, karena dia lupa menanyakan nama si budak yang baru dibelinya dari Kapten Van Beber.

Dia berpikir didalam hati, “Aku akan memberi nama “Untung” Semoga dia membawa keberuntungan padaku dan keluargaku”

Sesaat kemudian sang ayah berkata, “Namanya Untung”

“Untung, Untung apa sambungannya?”

“Untung saja, tidak ada sambungannya.”

Sementara itu Putu Meja berada di belakang dapur, seorang diri. Didalam hatinya dia bertanya, “Apakah aku masih sebagai budak bersama Londo yang satu ini? Nampaknya dia tidak seperti Van Beber; tetapi mungkin juga tidak, bahkan mungkin dia lebih ganas”

Putu tidak mendengar pembicaraan anggota Keluarga Meneer Van Moore tentang dirinya, dikarenakan jarak ruang tengah dan dapur cukup jauh dan terlebih lagi dia tidak mengerti Bahasa Belanda.

Tak lama kemudian datanglah Matius Makara menghampiri Putu Meja yang sedang termenung memikirkan nasib selanjutnya.

“Hai kawan! Siapakah namamu? Maaf aku belum sempat bertanya akan halnya namamu.”

“Jika engkau bertanya, aku juga tidak akan mau menjawab. Aku adalah orang yang tersiksa sebagai budak kompeni; oleh sebab itu, aku selalu menaruh curiga kepada setiap orang”

“Apakah engkau juga curiga kepadaku?”

“Tidak, karena aku sudah mendengar kata-katamu yang sejuk; yang engkau ucapkan lemah lembut, selembut ucapan ibuku. Maukah engkau berteman denganku, melindungiku, membagi kesenangan dan kesedihan diantara kita berdua? Namaku adalah Putu Meja.”

“Baiklah Putu Meja, aku mau berteman denganmu. Aku berharap dan berdoa agar nasibmu berubah menuju kebahagiaan.”

Putu mendekati Matius, memeluknya erat-erat, “Engkau diutus oleh Dewa Batara khusus untuk mendampingi aku; terimakasih Oh Dewa Batara.”

“Meneer Van Moore telah memberimu nama yang lain; kiranya engkau mau menerima nama barumu.”

“Dia menamakan aku apa?”

“Dengan segala kerendahan hati dan juga atas nama Meneer Van Moore, kiranya engkau mau menerima nama barumu, Untung.”

“Aku setuju; aku harus mau menerima apa-apa yang dikehendaki oleh tuanku, karena statusku adalah budak.”

“Engkau sekarang bukan budak, engkau orang bebas; Meneer Van Moore telah membeli kebebasanmu dari Kapten Van Beber. Semoga dengan namamu yang baru, Untung, engkau akan selalu beruntung.”

“Ya memang benar! Namaku yang lama mungkin membawa sial. Sampaikan salam hormatku kepada Meneer Van Moore yang telah membebaskan aku dari perbudakan.”

“Tugasmu yang baru adalah mengurus rumah ini, seperti menyediakan air mandi, membersihkan halaman rumah dan lain-lain. Bukankah itu tidak terlalu berat dibandingkan dengan membangun benteng dan jalan raya di Makasar?”

“Ya engkau benar Matius dan kakiku tidak lagi diikat dengan rantai.”

“Bahkan engkau akan mendapat gaji, sama seperti aku.”

“Wow, alangkah bahagianya aku ini. Sekarang aku menjadi manusia bebas yang berbahagia. Aku ingin semua orang tau bahwa namaku adalah Untung; nama yang selalu membawa keberuntungan.”


Bab 3

Meneer Van Moore menjadi pengusaha yang sukses di jamannya. Dia benar-benar mengusahakan syrup marquizza sebagai komoditi dagangnya yang ternyata laku keras dipasar Batavia, Banten dan Surabaya. Lebih lanjut dia mengusahakan syrup dari buah-buah lainnya seperti zurzzak.

Meneer percaya bahwa keberhasilannya disebabkan kehadiran Untung dirumahnya.
Meneer menginginkan semua orang disekelilingnya pandai menggunakan bahasa Belanda. Dia menugaskan Matius Makara untuk mengajarkan bahas Belanda kepada orang dirumah dan dikantornya.

Oleh sebab itu, Untung mendapat kesempatan untuk belajar bahasa Belanda, ditemani seluruh penghuni rumah. Dia memang beruntung sama seperti yang sedang dialami oleh tuannya.

Didalam ruang yang tidak terlalu luas ada tiga orang pribumi sedang belajar bahasa Belanda; mereka adalah Untung, Lukman dan Matius sebagai gurunya. Lukman bekerja sebagai juru masak didapur. Lukman memang perlu belajar bahasa Belanda karena lebih sering kontak dengan nyonya rumah didapur. Untung bersemangat belajar demi mengejar karirnya seperti karir Matius di Perusahaan marquizza milik Meneer Van Moore. Kelas dibuka sekali dalam seminggu, tetapi terkadang dapat tiga kali.

Sudah lama Suzzane memperhatikan ruang kelas dirumahnya. Sesungguhnya dia tertarik dengan pemuda Untung yang berpenampilan menarik; ingin sekali dia berkenalan dengan tukang kebunnya. Tidaklah salah bila dia mau berkenalan dengan Untung. Dia adalah gadis yang kesepian; apalagi dia memang gadis yang sudah waktunya mendapatkan jodoh.

Keinginannya tidak dapat dibendung, maka dia mendatangi ruang belajar mereka.

“Engkau kah orang yang bernama Untung?” Tanya Suzzane langsung kepada Untung.

Untung menatap muka Matius, seolah dia bertanya, si noni sedang omong apa. Matius menterjemahkan kedalam bahasa untuk Untung. Jadi komunikasi mereka harus memakai pihak ketiga sebagai penterjemah.

“Benar, aku bernama Untung.” Untung memberikan tangannya untuk berjabat-tangan.

Matius berkata kepada keduanya, “Secara kebetulan engkau datang Suzzane; engkau dapat membantu aku dalam pelajaran Bahasa Belanda ini. Kalian dapat langsung berpraktek didalam percakapan dan juga dapat saling mengisi atau memperbaiki kata-kata yang salah.

Nah Untung, belajarlah yang rajin, aku yakin engkau bisa; apalagi dapat langsung praktek didalam percakapan dengan Noni Suzzane.”

Untung merasa gembira dengan memperlihatkan senyum kepada Suzzane dan Matius. Kemudian dia bertanya dalam bahasa Belanda yang terpatah-patah, “Suzzane apakah engkau mau?”

“Ya sudah barang tentu aku mau menjadi partner mu karena engkau tampan. Bagaimana denganmu, apakah engkau juga setuju untuk menjadi partner ku”

“Hai! Jawabanmu menyimpang Suzzane; dia maksudkan, apakah engkau bersedia menjadi......menjadi partner didalam percakapan.” Kata Matius.

“Apakah engkau sudah tau apa arti dan maksud perkataanku, Untung? Tanya Suzzane.

Untung tau apa arti perkataan Suzzane 80%, akan tetapi belum mau bereaksi karena terkejut. Dia menjadi maklum akan adanya api cinta yang sedang dinyalakan Suzzane. Dia terdiam, memandang tajam mata Suzzane, menembus jantung hatinya. Sudah banyak gadis-gadis dikampungnya yang pernah dekat dengannya, akan tetapi cara menyampaikan rasa sayang dan cinta mereka, jauh berbeda dengan gadis Eropa seperti yang sekarang dia hadapi. Libidonya timbul memuncak; dia mendekat bagai singa mengendap-endap mendatangi mangsanya; tetapi sayang sang singa tidak berani menerkam.

Untung hanya memegang tangannya dan mencium tangan si noni.

Matius Makara tidak menyangka akan terjadi drama percintaan dihadapannya; bagaimana dua insan ini dengan mudah saling jatuh cinta, walaupun berbeda ras.

“Baiklah, pelajaran bahasa Belanda sudah usai hari ini.” Kata Matius.

Sejak itu, kedua pasang insan berlainan jenis itu sering bercakap-cakap didalam bahasa Belanda bercampur dengan bahasa Indonesia; terkadang serius dan terkadang penuh derai tawa. Cinta Suzzane telah mendapat sambutan oleh Untung; dia tidak bertepuk sebelah tangan.

Sementara itu Matius Makara tidak setuju dengan drama percintaan yang terjadi dikelasnya. Akan tetapi, dia hanyalah seorang guru dalam tanda kutip, jadi bagaimana melarangnya. “Sudah barang tentu Meneer Van Moore akan marah besar. Dan lebih dari itu, akan menjadi masalah besar bagi Untung. Sekarang ini beliau belum tau, jadi aku masih mempunyai kesempatan untuk memberitahukan Untung.” Pikir Matius Makara.

Pada kesempatan yang sudah direncanakan, Matius Makara mengungkapkan ketidak- setujuannya akan halnya drama percintaan itu kepada muridnya, si Untung.

“Untung, aku minta kepadamu dengan kerendahan hati dan demi keselamatanmu sendiri, janganlah engkau dekati noni Suzzane. Sesungguhnya dia bukanlah jodohmu.”

“Apa alasanmu?”

“Karena dia orang Belanda dan engkau orang Indonesia. Itu saja alasanku.”

“Wahai sahabatku, sesungguhnya aku kecewa mendengar teguranmu; seharusnya engkau tau akan halnya sahabatmu yang sedang dipuncak kebahagiaan seperti aku ini; aku yang sedang jatuh cinta.”

“Bukankah engkau yang pernah meminta aku untuk bersedia melindungi mu dan membagi rasa bahagia dan rasa sedih antara kita berdua? Ingatkah engkau? Dan kemudian engkau peluk aku dan aku sendiri menyetujui; sekarang inilah waktunya yang tepat untuk memenuhi janji kita untuk saling melindungi.”

Untung terdiam sesaat, merenung didalam hati, memikirkan akan arti persahabatan, “Matius memang benar adanya. Aku yang telah meminta kepadanya untuk melindungi aku. Tetapi aku harus tau apa alasan yang mendasar akan halnya larangan perkawinan antara orang Belanda dengan orang Indonesia? Jika hanya dia yang melarang, itu tidak adil.”

“Aku orang Bali dan Suzzane orang Belanda, lalu mengapa engkau larang jika aku mau mengawini Suzzane?” Akhirnya Untung bertanya.

“Bukan aku yang melarang, tetapi keluarganya; termasuk ayahnya, ibunya dan juga Bangsanya.”

“Bangsanya? Huh!

“Apa maksudmu?

Aku melihat tentara Londo, banyak diantaranya yang mengawini gadis-gadis desaku sewaktu mereka menaklukan Kerajaan Klungkung, Kerajaanku di Bali. Sedangkan aku telah ditangkap dan dijadikan budak oleh mereka. Mereka boleh berbuat sesuka hatinya sedangkan aku sekarang tidak boleh mengawini kekasihku Suzzane. Aku benci kepada Bangsa Belanda, mereka berbuat sekehendak hati.”

“Oh! Jadi engkau sekarang benci pada orang-orang Belanda, kalau begitu engkau juga harus membenci Suzzane, benarkan perkataanku ini?”

Matius bagaikan sedang meninju dagu Untung dengan kata-katanya. Untung terdiam sesaat, dia sekarang menyadari akan adanya pertentangan didalam hatinya. Dia harus memilih diantara dua pendapatnya, mencintai Suzzane, keluarganya dan bangsanya atau membencinya.

“Matius sahabatku, pelindungku dan juga tempat curahan hatiku; sesungguhnya aku wajib memilah-milah, siapa orang yang patut aku benci dan siapa orang yang patut aku cintai dan aku hormati; aku tidak bisa dan tidak boleh menilai semua orang adalah sama di Dunia ini.”

“Aku tau apa isi hatimu yang akan engkau uraikan sesudah ini, pastilah engkau akan mengungkapkan bahwa engkau mencintai Suzzane, benarkan begitu?”

“Betul adanya, dan aku membenci Van Beber beserta seluruh londo-londo yang memegang bedil di Makasar. Dengarkan janjiku, aku akan membunuh serdadu kompeni pada saatnya nanti; dengarkan lah jajnjiku!.”

Berdiri bulu kuduk Matius mendengar kan kata-kata Untung. Melihat penampilannya, dia mungkin saja kelak dapat membawahi serdadu didalam medan tempur.

“Apakah engkau mempunyai kekuasaan? Apakah engkau mempunyai serdadu dengan bedil ditangan, seperti yang dipunyai kompeni?” Tanya Matius Markus, setengah mengejek.

Untung hanya berdoa, “Oh Dewa Batara, berilah aku kekuasaan dan angkatan perang untuk melawan londo-londo yang sedang menghina Bangsaku. Sesungguhnya engkau lah hakim yang adil di Dunia ini.”

Suasana menjadi hening sesaat karena kedua orang itu terdiam; masing-masing merenung dengan pikirannya masing-masing.

Tidak lama kemudian Matius Makara bangkit dari duduknya, mendekati Untung dan kemudian memeluknya erat-erat.

“Apa maksudmu dengan memeluk aku?”

“Rasa kebangsaanku bangkit setelah mendengar kata-katamu dan doa mu. Engkau sungguh benar sahabatku, aku sekarang menyadari bahwa aku harus berpihak kepada Bangsaku; ikut menolong bangsaku yang sedang diinjak-injak oleh bangsa Belanda.”

“Matius, engkau harus tetap bekerja pada Meneer Van Moore. Dan yang paling penting adalah engkau mempunyai kesempatan belajar dari dia akan segala hal yang berguna. Sesudah itu engkau dan aku akan sama-sama berjuang memajukan rakyat kita. Sesungguhnya Meneer Van Moore adalah orang baik yang perlu kita hormati.”

“Engkau salah mengerti sahabatku. Aku lebih tau akan halnya Meneer Van Moore; dia sesungguhnya orang jahat, lebih jahat dari Kapten Van Beber. Engkau sekarang sedang bermain dengan anak singa, sementara induknya sedang pergi. Sebentar nanti sang induk singa akan kembali kesarangnya dan kemudian, menerkam dan mencabik-cabik tubuhmu. Oleh sebab itu, engkau harus menjauhi Suzzane atau engkau akan dibunuh oleh Meneer Van Moore. Aku perlu mengingatkan engkau karena engkau adalah sahabatku.” Kata Matius dengan serius.

“Baiklah, aku akan berusaha menjauhi dia. Tetapi aku berusaha untuk tidak menyakiti hatinya sebagai wanita.”

“Bagus sekali! Nah, berjanjilah atas nama Dewa Batara mu.”


Bersambung...

No comments: