Thursday, October 23, 2008

Antara Cinta dan Benci (Bagian 8)

Perdamaian Kedua Kerajaan

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi



Bab 1

“Rumahku telah dibakar dan hartaku telah dirampas oleh tentara Wulansari!” Prajurit lainnya berteriak.

“Benar kata prajuritku; demikian juga akan Istanaku yang telah dibakar; bahkan ibuku dan ayahku telah dibunuh oleh tentara Wulansari, atas perintah Raja Girindrawardana.” Kata Putri Sekarpandanwangi.

Pangeran Sora Mahisa semakin tegang; keringat dingin dari dahinya menetes deras, “Ini kerja yang salah dari ayahku, bukan aku. Tetapi aku sekarang yang harus menanggung akibatnya.” Pikir Pangeran.

“Baiklah Ratu Medang yang aku hormati; baiklah saudaraku, rakyat Medang yang teraniaya; aku atas nama Kerajaan Wulansari menyatakan bahwa Kerajaan Wulansari akan membayar ganti rugi semua kerugian yang telah terjadi selama pertempuran.”

Putri Sekarpandanwangi memotong pidato kekasihnya, “Terimakasih wahai Raja Wulansari yang aku hormati. Aku secara pribadi telah mengerti dan faham apa yang telah terjadi di dalam Kerajaan Wulansari, bahwa kalian tidak dapat menolak kehendak Raja-mu. Maka engkau tidak dapat mengatakan tidak sewaktu Raja memerintahkan untuk berperang melawan Kerajaanku.
Aku tau isi hati-mu yang sebenarnya bahwa engkau sesungguhnya enggan untuk berperang.

Sekarang, aku minta kepada kedua pasukan untuk segera menyimpan senjata-senjata kalian. Jangan ada lagi pertumpahan darah.

Aku minta kepada Raja Wulansari untuk segera membangun kembali kota Medang, membangun kembali rumah-rumah yang engkau bakar dan Istana Medang dan juga membayar ganti rugi pada setiap jiwa yang melayang dengan percuma.

Dan khusus kepada engkau, Jaran Edan, aku minta engkau mau menerima permintaan maaf dari saudaramu, tentara Wulansari. Sesungguhnya mereka tidak bermaksud menyakiti kita, aku tau itu, karena aku sudah berkumpul lama dengan Raja mereka, Pangeran Sora Mahisa. Dia adalah kekasihku.

Jaran Edan! Aku tugaskan engkau untuk menjadi juru runding didalam perundingan damai dengan pihak Wulansari.”

Jaran Edan maju dan mengahadap Ratu Medang, tanpa basa-basi penghormatan. Dia memang benar-benar edan. Semua orang tidak menyangka akan terjadi dialog dimuka umum, antara seorang prajurit dengan Ratunya.

“Wahai Ratuku! Sungguh besar jasamu terhadap Kerajaan Medang. Sesungguhnya engkau telah mengembalikan harga diri rakyat Medang. Raja kita telah dibunuh dengan cara yang curang, akan tetapi engkau telah membalasnya dengan cara yang wajar, didalam pertempuran yang adil.

Akan tetapi aku masih menyimpan suatu teka-teki didalam hatiku yang perlu kuungkapkan dihadapanmu. Maafkan aku, apa bila pertanyaan yang akan membuka tabir rahasia ini akan membuatmu marah kepadaku.

Sebenarnya, engkau sekarang berpihak kepada siapa, Wulansari atau Medang? Katakanlah sejujurnya, agar teka-teki didalam hatiku dapat terjawab.”

Ratu menjawab dengan tenang, “Aku tau pertanyaan ini sudah menjadi pertanyaan disetiap hati prajurit Medang, bukan hanya engkau, Jaran.

Aku bersama kekasihku berpihak kepada keadilan. Aku percaya bahwa langkahku diiringi oleh Para Dewa untuk menghentikan perang sadis yang dilancarkan oleh seseorang Raja yang tamak dan gila; maaf, dia adalah Raja Girindrawardana. Dia adalah ayah dari kekasihku sendiri atau ayah mertua-ku sendiri.

Bahkan kekasihku, Pangeran Sora Mahisa berpihak kepadaku; bukan hanya karena dia mencintaiku akan tetapi dia lebih mencintai Negerinya dan rakyatnya dan juga menjunjung tinggi rasa keadilan.
Terimakasih Pangeran Sora Mahisa, aku sungguh mencintai-mu.”

“HIDUP PUTRI! HIDUP SORA! HIDUP PUTRI! HIDUP SORA!! Gemuruh suara tepuk tangan dari semua yang hadir ditempat itu, baik itu dari pihak Medang atau pun Wulansari.

Kembali Jaran Edan tampil kemuka Ratunya, “Wahai Ratuku yang gagah berani, sesungguhnya aku belum puas dengan jawabanmu.
Apakah engkau akan tetap menjadi Ratuku atau menjadi Ratu Wulansari, berdampingan dengan Raja Wulansari?”

“ Pertanyaanmu kali ini sukar untuk mendapatkan jawabannya, karena menyangkut hal yang peka dan dapat melukai perasaan hati rakyat Medang; aku tidak berani mengungkapkan jawabanku sekarang ini.

Aku dan engkau sudah tau bahwa rakyat Medang sedang berjalan terseok-seok hingga mereka akan sampai di pulau Bali.
Sungguh pedih, duka dan nestapa mengiringi perasaan mereka yang telah dianiaya oleh tentara Wulansari.

Engkau-pun telah melihat dengan mata kepalamu sendiri, ketika aku duduk bersimpuh di hadapan kaki kuda Sora Mahisa untuk memohon belas kasihannya agar rakyatku dapat meneruskan perjalanannya hingga sampai ketujuan, Bali.
Aku sebagai Ratu-mu, harus dan terpaksa berbuat sedemikian rendah, demi keselamatan rakyat ku.

Itulah saat-saat dimana harga diri seluruh rakyat Medang jatuh ke titik terendah dihadapan tentara Wulansari.
Bagaimana aku sekarang harus menghianati mereka dengan menuruti nafsuku untuk menjadi Ratu dari musuh kita.

Nah sekarang aku harap engkau dapat mengerti permasalahan pribadiku dan kaitannya dengan permasalahan Negeriku. Oleh sebab itu, aku minta kepadamu untuk merundingkan masalah siapa Pimpinan Negeri Medang dimasa akan datang, dengan para tetua masyarakat.
Jangan mengharapkan terlalu banyak akan aku, akan tetapi aku siap menjadi Ratumu bila diminta.

Sesungguhnya aku telah banyak berkorban demi memenangkan pertempuran; berbagai perasaan telah kulalui bersama Pangeran Sora Mahisa, seperti rasa hina, takut, sedih, dendam, marah, bimbang dan terakhir cinta.

Salah satu diantara pengorbanan itu adalah aku harus mau menjadi istri Pangeran Sora Mahisa. Jika aku tidak mau, maka sudah lama aku tewas didalam sarang musuh.

Sekarang aku balik bertanya kepadamu, apakah aku seorang pengchianat bangsa? Apakah aku menjual Negeriku kepada musuh?”

Yang ditanya diam saja; dia berpikir, bagaimana Putri Sekar dapat membunuh Raja Girindrawardana dengan mudah dan mengapa Pangeran Sora tidak membantu ayahnya.

“Itulah titik sentral teka-teki didalam benakku wahai Ratu-ku. Sesungguhnya aku tidak mengalami apa-apa yang sudah engkau lalui bersama Pangeran Sora Mahisa didalam markas mereka; aku berada diluar lingkungan-mu.
Aku dapat mengerti bahwa semua itu adalah siasat untuk memenangkan pertempuran. Wahai Ratu, engkaulah pahlawan.”

“Terimakasih atas pujianmu Jaran Edan.”

Pangeran Sora Mahisa tampil kembali, memberi aba-aba kepada seluruh legiun perang nya agar pulang kembali ke markasnya.
Demikian juga Akuwu Wengker.

Sekretariat Negara mengadakan upacara kremasi pada jenazah pimpinan Negara Wulansari, Raja Girindrawardana.
Upacara berjalan secara hikmat dan juga penuh haru.


Bab 2

Pangeran Sora Mahisa segera dilantik menjadi Raja yang baru menggantikan ayahnya. Semua tetua masyarakat setuju dengan penggantian itu. Rakyat Wulansari mengharapkan pemerintahan Raja Sora Mahisa dapat memberikan manfaat akan dapatnya rakyat mengenyam kemakmuran.

Raja mendesak Putri untuk segera menikah, “Wahai Putri Sekar, sudah tiba saatnya untuk kita dapat menikah denga upacara dan pesta perkawinan yang meriah.”

“Sabarlah Kandaku, belum saatnya kita untuk menikah. Karena permasalahan politik didalam Negeriku belum selesai. Apa kata rakyat Medang, terutama si Jaran Edan; kata-nya, betul sudah sangkaan ku bahwa dia (Putri) sebenarnya berpihak kepada Wulansari, bukan kepada kita.

Karena alasan itu, maka kita harus menunggu hingga suasana menjadi tenang dan damai.

Sesungguhnya aku bercita-cita untuk menyatukan kedua Negeri didalam satu Kerajaan. Apakah engkau sejalan dengan pikiranku?”

“Itulah cita-cita ayahku; tentu saja aku setuju. Tetapi bila mereka tidak setuju, kita pun tidak akan kecewa. Bersatu atau tidak bersatu, kita harus tetap membayar uang ganti kerugian perang yang dilancarkan oleh ayahku.”

“Mereka sedang berunding untuk menetapkan Pimpinan mereka untuk masa akan datang. Sebaiknya aku hadir disana.”

“Tidaklah pantas engkau turut hadir, karena engkau adalah salah satu calon Pimpinan mereka. Nanti engkau disangka sedang mempengaruhi pendapat mereka.”

Putri Sekar terdiam sejenak. Sebenarnya Putri sedang rindu akan Negerinya, rindu pada kota Medang yang punah.

“Jika aku terpilih sebagai Pimpinan mereka, maka mau atau tidak mau kedua Kerajaan harus dipersatukan.”



Bab 3

Di kota Medang, didekat Istana yang sudah terbakar, Akuwu Wengker mengumpulkan seluruh rakyat Medang yang tertinggal; mereka yang tidak ikut mengungsi ke pulau Bali. Jumlah mereka kurang lebih dua puluh persen dari seluruh penduduk.

Akuwu sedang ber tukar pikiran secara bebas mengenai masa depan Kerajaan Medang yang hampir runtuh oleh serangan tentara Wulansari atau Raja Girindrawardana. Dan yang terpenting dari rapat itu adalah menentukan Pimpinan Kerajaan Medang, siapa yang pantas menjadi Raja di Medang.

“Marilah kita bahas semua saran, pendapat dan buah pikiran akan hal-nya Negeri kita setelah perang.
Podium ini, sekalipun hanya dibawah pohon beringin, tetapi penuh hikmat dan doa restu dari para pendahulu kita.

Sidang ini bebas, tidak ada rasa sungkan dan takut; berikan semua saran dan rasa tidak enak yang selama ini terpendam.” Akuwu Wengker membuka sidang.

“Akuwu, aku minta agar Wulansari mau membangun kembali Istana kita yang sudah runtuh. Juga rumah-rumah penduduk yang mereka bakar.”

“Aku setuju sekali; sudah sepantasnya mereka harus mau memenuhi kewajiban mereka, karena kita adalah dipihak yang memenangkan pertempuran.

Tetapi ada ganjalan didalam pikiran ku, siapa yang akan menempati kota Medang ini, karena penduduk Medang sudah tiba di Bali sekarang ini. Ini menjadi masalah kita.”

“Benar kata-mu Akuwu, siapa yang akan menempati Istana kita; sedang aku sendiri juga berencana akan berangkat ke pulau Bali.”

“Yang menempati Istana kita adalah orang yang akan berkuasa di Kerajaan Medang. Dia akan menjadi Raja dengan rakyat Medang yang hanya tinggal sedikit.”

“Saranku yang kedua adalah Raja kita kelak adalah Akuwu Wengker; dia adalah orang yang sangat tepat untuk dapat kita angkat menjadi Raja. Bagaimana kawan, apakah kalian sependapat dengan aku?”

“SETUJU! AKUWU tepat untuk menjadi Raja.!”

“Bagaimana Akuwu? Kawan-kawan kita sudah banyak yang setuju. Kita tidak dapat mengharapkan Putri Sekar, karena beliau sudah jelas akan menjadi Permaisuri di Kerajaan Wulansari.”

“Aku bersedia, akan tetapi harus ada calon Raja yang lain untuk kita akan dapat mengadakan pemilihan secara umum; agar adil. Jika benar aku diangkat menjadi Raja maka aku berharap bahwa pengangkatanku memang sudah menjadi kehendak rakyat.”

“HIDUP AKUWU! HIDUP AKUWU!” Semua yang hadir bertepuk tangan, karena gembira.

“Jika aku menjadi Raja, maka aku akan bertanya-tanya siapa yang akan menjadi rakyatku. Karena hampir semua rakyat sudah pindah ke pulau Bali.”

“KAMI SEMUA YANG ADA DISINI.”

Seorang nenek tua naik keatas podium dan mendekati Akuwu. Semua yang hadir menghawatirkan keselamatan Akuwu Wengker; mungkin dia adalah achli sihir yang akan mencelakai Akuwu.

Tampak si nenek berbisik-bisik ditelinga Akuwu dan Akuwu mengangguk-angguk.
Sungguh aneh, si nenek sekarang bersiap-siap akan menyampaikan pidatonya.

“Saudara-sauara, aku adalah Ratu-mu, Putri Sekarpandanwangi. Aku sengaja berpakaian seperti ini, karena kekasihku tidak menghendaki aku hadir didalam rapat kalian ini. Maka terpaksa aku harus berpakaian seperti ini dan secara diam-diam melarikan diri dari Istana Kuteprabu agar dapat hadir disini.

Apakah kalian tidak berkeberatan bila aku hadir ditengah-tengah kalian, rakyatku sendiri. Jika ya, maka aku akan pulang kembali ke Kerajaan Wulansari dan aku memang sudah tidak pantas lagi untuk mengaku sebagai Ratu dihadapan mu.”

“HIDUP PAHLAWAN KITA!” Jaran Edan berteriak sekuat-kuatnya.

“Terimakasih Jaran; aku mengenali suaramu yang lantang. Apakah aku masih pantas untuk menjadi Ratumu?”

“Sudah selayaknya engkau adalah Ratu kami; siapa yang berani bilang tidak, maka dia harus berhadapan dengan ku.”

“Terimakasih Jaran.”

“Oleh sebab itu, aku masih belum berputus asa untuk meminta engkau wahai Ratu-ku, jadilah Ratu Kerajaan Medang; janganlah menjadi Ratu Kerajaan Wulansari. Medang akan jauh berbeda dengan Wulansari.”

Semua yang hadir berbisik-bisik satu sama lain; suaranya bagai lebah ditengah hutan sunyi. Kebanyakan dari mereka setuju dengan pendapat Jaran Edan.

Tanpa diminta, Putri Sekarpandanwangi bersajak,

Engkau dan aku ingin bahagia mapan
Tenang dan lurus kedepan
Tak disangka Wulansari datang
Kenyataan pahit menghadang
Tak seorang pun dapat menghindar
Ini adalah kenyataan

Kita harus rela berkorban
Menghadapi kenyataan
Kaki-ku terbentang lebar.
Yang kiri ada di Medang
Yang kanan ada di Kuteprabu
‘Ku minta agar kedua-nya didekatkan
‘Gar ku dapat berdiri tegak, tenang

Kuteprabu dan Medang didekatkan
‘Gar engkau dan aku duduk bersebelahan
Hilangkan rasa dendam
Songsong masa depan penuh harapan
Lupakan masa lalu yang kelam bermusuhan
Saran ku patut dipertimbangkan
Demi kemakmuran dan kebahagiaan.

“HIDUP PUTRI SEKAR! HIDUP PUTRI SEKAR!!”
Tepuk tangan gemuruh membahana di kota yang sudah terbakar.

Akuwu Wengker menyongsong saudaranya, “Wahai saudaraku yang ku cintai; tidaklah pantas engkau berpakaian seperti ini. Dapatkah engkau bersalin pakaian agar kami semua dapat melihat kecantikanmu yang sebenarnya.”

“Baiklah adikku yang baik hati; aku akan berganti pakaian dan merias diri sebentar.” Putri Sekar turun dari panggung dan berganti pakaian.

Tak lama kemudian, dia tampil cemerlang, cantik, anggun dan rupawan. Dia benar-benar seorang pemain sandiwara, sehingga dia dapat lolos dari marabahaya, karena kepandaian-nya.

Semua yang hadir berdecak kagum; mereka lupa bahwa yang dihadapi adalah seorang Ratu yang harus dihormati bukan seorang pemain sandiwara.

“Sekarang engkau dapat merundingkan saranku tadi dan kemudian ungkapkan pendapatmu kepadaku; aku akan menunggumu.”

Semua hadirin saling bertanya-tanya, disebabkan kebanyakan diantara mereka belum mengerti saran Putri yang diungkapkan melalui sajak-nya.

“Wahai saudaraku, apa yang engkau maksudkan dengan kata-katamu, Ku minta agar Medang dan Kuteprabu didekatkan.” Tanya Akuwu Wengker.

“Aku minta agar kedua Kerajaan yang bermusuhan dapat dipersatukan didalam satu Kerajaan.”

Semua hadirin terdiam, tidak ada komentar; hal ini menandakan akan hal-nya ketidak setujuan mereka atas saran Putri.
Nampaknya mereka kecewa dengan saran Putri Sekarpandanwangi. Bagaimana mereka dapat disatukan. Sedangkan bertemu saja mereka enggan apalagi harus bekerja-sama secara harmonis didalam satu Kerajaan.

Akhirnya Akuwu Wengker memberikan komentar, “Wahai Ratu-ku, aku atas nama yang hadir disini menyatakan ketidak-setujuan atas saran Yang Mulia. Hal ini bukan karena kami tidak menghargai Ratu, akan tetapi rasa permusuhan kami terhadap Wulansari; tidak lah dapat dihilangkan dalam sekejap.
Aku lah orang pertama yang menyalami musuh, Pangeran Sora Mahisa. Tetapi itu tidak mengatas namakan seluruh prajuritku; itu adalah jabat tangan secara diplomatis.”

“Bukankah kita yang menang didalam pertempuran ini, maka kita yang akan berkuasa didalam Kerajaan yang dipersatukan itu.” Jaran Edan juga memberi komentar.

“Aku setuju dengan mu Jaran. Kita adalah pemenang, karena Raja mereka telah mati terbunuh didalam peperangan itu secara adil. Engkau sudah mengetahui, aku yang membunuhnya.
Jadi kita yang akan berkuasa, bukan mereka.

Aku yang akan memegang kendali pemerintahan; kemudian aku akan panggil semua saudara-saudara kita yang sudah terlanjur berada di Bali. Bukankah itu baik buat kita? Dan juga akan baik buat mereka. Kita akan menganggap rakyat Wulansari sebagai saudara kita yang duduk bersebelahan dengan kita.” Kata Ratu Sekar.

Tepuk tangan kembali menggema; mereka setuju dengan jalan pikiran Putri Sekar.

Akuwu Wengker memberikan jalan keluar, “Wahai Ratu yang bijak, marilah kita tunda dulu masalah pemersatuan kedua Kerajaan ini. Aku yakin bahwa waktu akan memecahkan masalah ini. Dengan waktu maka kita mengharapkan akan dapat mereda-kan nafsu amarah rakyat Medang. Dengan waktu maka kita mengharapkan kota Medang akan sudah berdiri kembali berikut Istana kita. Dengan waktu maka tidak akan ada lagi perbedaan adat istiadat antara warga Medang dan warga Wulansari sehingga mereka benar-benar akan dapat berbaur.

Untuk sementara, Kerajaan Medang tetap berdiri; hal ini penting untuk menghargai dan menghormati pendahulu-pendahulu kita.”

“Baiklah, engkau menunggu dan aku pun menunggu akan waktu yang berlalu; doa kita kepada Para Dewa agar waktu akan memberikan hal yang terbaik buat kita.

Atas nama Kerajaan Wulansari, aku mengundang kalian untuk hadir pada Perundingan Damai antara Kerajaan Medang dan Wulansari. Anggota delegasi kita adalah engkau Akuwu, Patih Kebo Ireng, Jaran Edan, Ki Manjangan dan anggota-anggota lainnya.”

Jaran Edan maju kedepan; dia selalu meng-ganggu Ratu Sekar, “Dan engkau sendiri mewakili siapa wahai Ratu.”

“Sudah kukatakan didalam syair-ku bahwa kaki-ku terbentang lebar; yang kiri ada di Medang dan yang kanan ada di Wulansari. Jadi aku dalam keadaan tidak stabil dengan keadaanku yang seperti itu. Aku mohon kepada seluruh rakyat Medang, terutama engkau Jaran; agar membantuku mendekatkan Medang dan Wulansari.

Untuk sementara aku tidak akan hadir di perundingan itu; hanya saja aku berpesan kepada anggota delegasi kita bahwa kita yang menang didalam perang itu, jadi kita yang berhak berbicara didalam perundingan itu. Dan hendaknya mereka hanya meng iya kan saran-saran kita.”

Sampai disitu, rapat dibubarkan oleh Akuwu. Para hadirin merasa puas dengan hasil rapat.

Putri-pun pulang dengan perasaan puas, walaupun usul nya akan pemersatuan kedua Kerajaan belum dapat disetujui.


Bab 4

Pada saat yang menyenangkan, kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu, Putri Sekar dan Pangeran Sora juga menyempatkan diri membicarakan masalah politik dalam Negerinya.

“Aku sudah berusaha menampilkan saranku, Persatuan kedua Kerajaan; akan tetapi mereka masih enggan. Hal ini dikarenakan rasa amarah masih melekat didalam diri mereka.

Akuwu menyarankan agar untuk sementara saranku ditunda dulu; waktu akan menentukan hal yang terbaik bagi kedua Kerajaan.”
“Kita harus berdamai lebih dahulu dengan Para Dewa sebelum berdamai dengan manusia. Jadi saranku, kita akan mengadakan sembahyang bersama dengan rakyat Medang di Candi Hindu. Aku yakin mereka akan menjadi lunak hatinya setelah itu.”

“Aku setuju dengan saranmu. Mari kita undang mereka untuk sama-sama bersembahyang di Candi.

Bahkan aku sudah melaksanakan pemujaan pada hari-hari pertama pertempuran, disebuah Candi Syiwa, ditengah hutan. Bahkan aku menulis syair di dinding Candi, sayair tentang kekejaman tentara Wulansari yang aku percaya sebagai hukuman kepada rakyat Medang yang telah lupa diri dan meninggalkan Para Dewa.”

Sekretariat Negara mengundang Akuwu Wengker dan para prajuritnya dan juga semua rakyat Medang untuk bersembahyang bersama.

Candi Hindu itu sudah ramai dipenuhi oleh kedua masyarakat untuk bersembahyang. Benar kata Pangeran Sora bahwa rakyat Medang dapat menjadi lunak hatinya dihadapan Para Dewa. Benar kata Putri Sekar bahwa kekejaman tentara Wulansari adalah bentuk hukuman dari Dewa kepada rakyat Medang yang sudah lupa diri.

Sekarang kedua masyarakat sudah mau berjabat tangan dan duduk bersama dan berbaur di kiri-kanan-nya.

Pangeran Sora Mahisa memberikan wejangannya selaku Raja Wulansari, “Saudara-saudara kami dari Medang dan juga rakyat Wulansari, hari ini adalah hari yang sangat indah, karena aku yakin Para Dewa turut hadir bersama kita sekarang ini.

Kita perlu menghadap Kepada Sang Hyang Wiji dan Para Dewa guna memohon berkah dan ampunan dikarenakan kesalahan-kesalahan kita yang telah lalu.

Dewa yang Agung, kami menghadap mu guna memohon berkah agar Negeri kami mendapatkan kemakmuran dan juga kedamai-an bagi kedua bangsa, Wulansari dan Medang.

Berikanlah rasa aman, teduh dan tenang kepada kedua masyarakat. Jauhkan rasa benci dan dendam bagi kedua masyarakat. Bersihkan hati mereka dari rasa amarah. Janganlah engkau berikan hukuman kepada kami karena kesalahan yang tidak disengaja.”

Akuwu Wengker juga diberi kesempatan untuk mengucapkan wejangannya, “Isi pidatoku sama seperti isi pidato Pangeran Sora Mahisa.
Wahai kawan-kawanku rakyat Medang, sudah masanya engkau harus mau menerima permintaan maaf dari saudaramu sendiri, tentara Wulansari. Aku yakin bahwa tindakan mereka adalah sesuatu yang tidak disengaja dikarenakan ada-nya tekanan dari Raja mereka. Oleh sebab itu, maaf kan lah mereka dengan tulus hati. Hanya kepada Para Dewa saja lah permasalahan ini akan diselesaikan, semoga Para Dewa mau memaafkan kita.

Kerajaan Medang menjadi sedikit renggang dikarenakan penduduknya telah pergi mengungsi ke Pulau Bali. Termasuk juga aku, Jaran Edan dan masih banyak prajuritku yang lain yang akan juga pergi ke Pulau Bali.

Aku perintahkan kepada Patih Kebo Ireng dan Ki Manjangan untuk tetap tinggal di Medang, sebagai wakil Pemerintahan, membantu Ratu Sekarpandanwangi yang berkedudukan di Kuteprabu.

Kepada Ratu Sekarpandanwangi, aku memohon diri untuk pergi, meninggalkan Medang, menuju Pulau Bali, setelah Perundingan Damai selesai.”

Semua orang yang hadir terdiam mendengar permohonan pengunduran diri dari Akuwu Wengker. Terlebih Ratu Sekar; dia tidak menyangka akan permintaan itu. Akan tetapi Ratu diam saja selama upacara tersebut; mungkin setelah selesai dia akan menanyakan kebenarannya.

Upacara keagamaan telah selesai dan semua pengunjung Candi Hindu pulang kerumahnya masing-masing.


Bab 5

Perundingan Damai antara Kerajaan Medang dan Wulansari diadakan di Kuteprabu. Wakil dari Medang adalah Akuwu Wengker, Patih Kebo Ireng, Jaran Edan. Kebo Langi, Ki Manjangan dan masih banyak penyewu lainnya. Wakil dari Kerajaan Wulansari adalah Patih Gajah Urip, Penyewu Boyo Lali, Pangeran Sora Mahisa dan Penyewu-pwenyewu lainnya.

Putri Sekarpandanwangi tidak turut serta dengan alasan yang sudah dijelaskan melalui syairnya. Kedudukan Putri sudah jelas, dia adalah Ratu Kerajaan Medang; akan tetapi dia harus menikah dengan Raja Wulansari, Pangeran Sora Mahisa. Karena kedudukannya yang unik, maka dia tidak mau terlibat didalam perundingan damai.

Para Dewa seolah mengiringi jalannya perundingan dengan terbukti tidak ada nya silang pendapat, semua berjalan secara halus dan wajar. Pangeran Sora Mahisa menghormati kedudukan kekasihnya, sehingga dia menuruti apa-apa permintaan kekasihnya.

Pada akhir rapat tersebut, diambil keputusan oleh kedua belah pihak bahwa, Kerajaan Wulansari mengganti kerugian akibat peperangan yang dilancarkan oleh Raja Girindrawardana; Kerajaan Medang tetap berdiri, tidak dipersatukan, sekalipun Ratunya berkedudukan di Kuteprabu selaku Permaisuri Raja Sora Mahisa. Rakyat Medang yang tertinggal di Kota Medang adalah penduduk bebas dan terhormat, akan dilindungi kemerdekaannya oleh Akuwu Wengker yang akan mengontrol dari Pulau Bali.
Setiap jiwa yang tewas mendapat santunan oleh Kerajaan Wulansari yang diberikan kepada keluarga terdekatnya.


Bab 6

Perpisahan antara kakak dan adik akhirnya terjadi juga di Istana Kuteprabu. Banyak rakyat Medang dan Wulansari yang ikut hadir di Balairung untuk melihat upacara perpisahan tersebut.

Putri Sekarpandanwangi sembab matanya disebabkan dia banyak menangis; dia menyesalkan akan tindakan nya yang pernah menyerang Jati Wengker tempo dulu, sebelum jelas salah atau tidaknya Akuwu Wengker. Kalau dia mengingat-ingat peristiwa itu, timbul kebenciannya kepada Sora Mahisa, orang yang sudah tega membunuh ayahnya. Tetapi kemudian, kebencian itu diredamnya sendiri, “Jika bukan karena ada dia selaku “singa jantan” yang mau melindungi “si anak ayam” yang lemah, maka sudah barang tentu jiwa ku sudah lama melayang, tewas di tangan Raja Girindrawardana, “si ular python”.

Akuwu Wengker mendekati kakaknya, memeluknya erat-erat dan membisikan kata-kata perpisahan, “Aku kan pergi tak lama; ini bukanlah perpisahan yang nyata; bukan kah aku harus datang ke kota Medang guna memeriksa rakyat Medang yang tertinggal. Aku harus yakin mereka dapat hidup bahagia, tidak tertindas oleh tentara Wulansari.”

“Benarkah begitu adikku? Oh aku bahagia karena engkau tidak meninggalkan aku. Sesungguhnya aku merasa asing di Istana Kuteprabu; keadaan ku masih tetap sama seperti dulu, tetap sendiri di sarang musuh. Sekiranya ada Komandan tempur Medang yang mau membela aku.”

“Aku akan sering-sering datang ke Kota Medang untuk menjaga keselamatan rakyatku dan juga termasuk engkau, kakakku. Jika Sora Mahisa menyakitimu, laporkan segera kepadaku.”

“Ya adikku, aku akan melaporkan kepadamu, kalau dia berbuat macam-macam. Tetapi bukan masalah pribadi kita berdua, masalah politik dan keadilan sosial di masyarakat, terutama masyarakat Medang.

Wahai adikku, jadilah engkau petani di tanah Jawa, tanah Majapahit. Banyak pekerjaan lainnya yang engkau senangi, yang aku akan dapat berikan kepadamu.
Mengapa engkau mau menjadi pengungsi?”

“Supaya aku lebih dekat dengan rakyat ku di Pulau Bali. Mereka juga rakyatmu yang membutuhkan bantuan dan uluran tanganmu. Janganlah engkau melupakan mereka.

Aku akan menebar cerita yang benar tentang engkau kepada mereka; bahwa sesungguhnya engkau telah kawin dengan Komandan Wulansari, Komandan musuh, adalah suatu siasat untuk memenangkan pertempuran. Pada akhirnya engkau berhasil membunuh Raja musuh, orang yang banyak membuat kesusahan pada orang lain dan pada rakyatnya sendiri.

Jika aku tidak bercerita, tentu lah mereka tidak akan tau apa maksudmu untuk bersedia kawin dengan Raja musuh. Jadi kepergianku ke Pulau Bali sesungguhnya memuat banyak hal keperluan politik dan perasaan emosi ku yang tersisa kepada mereka.”

“Baiklah adikku, aku bangga dengan mu, sesungguhnya engkau pantas menjadi Raja di Kota Medang. Aku menawarkan kedudukan itu, maukah engkau?”

“Aku menolak; karena nantinya aku akan menjadi Raja tanpa rakyat; hampir semua rakyat ku sudah pindah ke Pulau Bali. Lebih baik aku menjadi Lurah di Bali, ditengah-tengah rakyatku sendiri.”

“Aku bisa mengerti itu semua.”

“Yang akan menempati Istana Medang yang akan di bangun kembali adalah Patih Kebo Ireng; sementar Istana Jati Wengker akan ditempati oleh Ki Manjangan. Tetapi mereka ada dibawah kendalimu. Jika engkau setuju.”

Kembali mereka berdua berpelukan dan akhirnya Akuwu berbalik badan untuk segera pergi.

Jaran Edan menghadap Ratu, memberi hormat dan juga ikut pergi. Sekarang dia tidak lagi bertanya-tanya kepada Ratunya karena semua nya sudah jelas, bahwa Ratu tidak dapat diharapkan untuk memerintah Negeri di Istana Medang. Dan dia tidak bersedia tinggal bersama dengan orang-orang Wulansari.

(Tamat)



No comments: