Tuesday, June 25, 2013

Raja Rakeyan Jaya Dharma


Diceritakan oleh Satoto Kusasi


Pengantar kata

Pada suatu kesempatan aku ingin mendengarkan kembali cerita Nenek ku; Maka aku mendekati nya dan berkata, “ Nek ! Bolehkan kami mendengar cerita nenek yang lain. Sudah lama Nenek tidak bercerita. Hayo Nek, berceritalah ! “

“ Baik ! Akan tetapi, apakah engkau suka mendengarkan cerita Nenek mu ? “

“ Sudah tentu Nek, kami suka mendengarkan ! Hayo Nek ! Berceritalah ! “

Nenek ku diam sebentar; Cerita apa yang belum diceritakan kepada cucu-cucu nya ?

Dia teringat bagian yang tertinggal akan cerita si Rakeyan; Bagaimana selanjutnya setelah dia bersama istrinya pulang ke tanah Sunda, kampung halaman nya.

“Aku akan bercerita tentang Raja Rakeyan Jayadharma; Apakah engkau masih ingat siapa sesungguhnya Rakeyan Jayadharma itu ? “

“ Iya Nek, dia adalah seorang pelancong dari Jawa Barat yang dapat merebut hati Dyah Lembu Tal; Kemudian mereka menikah di Kota Singosari.”

“ Engkau benar! Setelah mereka menikah, maka suaminya, Rakeyan Jayadharma memohon izin kepada ayah mertua nya, untuk pulang kembali ke kampung halamannya di Jawa Barat. Ayah mertuanya, Mahisa Cempaka dan Keluarga merasa sedih ditinggal pergi oleh anak perempuannya yang akan ikut dengan suaminya.

Setelah Rakeyan berpidato dimuka rakyat Singosari, di pelabuhan Tuban, maka kapal yang membawa mereka berangkat ke Jawa Barat. ( Lihat cerita Pendiri Kerajaan Majapahit )

Apa selanjutnya kisah mereka ? Dengarkan cerita ku ! Jangan ribut ! “

Nenek memulai ceritanya dengan bernyanyi lebih dulu,

Ku kan tinggalkan Singosari

Karena ku harus ikut suamiku

Aku sebagai pelancong, seperti dia

Tujuan ku adalah Kota Kawali ( sekarang Ciamis)

Akan kah aku bahagia ditempat yang baru ?

Seolah tidak !

Akan kah mereka menolak kedatanganku?

Dewa yang Agung lebih tau dari ku, akan nasibku.

Aku dihinggapi perasaan takut dan cemas

Yang tidak jelas sebab nya

Akan kah kutanyakan perasaan ku kepada nya ?

Mengapa hatiku bimbang ?

Oh tidak perlu ditanyakan.

Aku tidak mau mengganggu dia

Karena aku pernah berhutang nyawa kepadanya

Seolah aku harus berhutang nyawa kembali

Hai Dyah Lembu Tal !

Engkau wanita yang beruntung !

Engkau telah mendapatkan suami yang ganteng

Seharusnya engkau berbahagia !



Bab 1

Tersebutlah seorang wanita muda, dikawal oleh banyak serdadu Sunda, karena dia seorang bangsawan dari Kerajaan Sunda. Dia datang ke Pelabuhan untuk menanti kan seseorang.

Dia sedang menanti kedatangan kekasihnya di Pelabuhan Sunda.

Dia menanti dengan sabar, setiap hari; Dari pagi hingga sore hari.

Sungguh dia sangat mencintai kekasihnya, Rakeyan Jayadharma, yang sedang pergi ke Kerajaan Singosari.

Dia, Putri Dewi Dara Buana, adalah wanita Ningrat dari Kerajaan Sunda yang sudah dijodohkan dengan Pangeran Rakeyan Jayadharma dari Kerajaan Sunda Galuh, guna mencapai satu tujuan politik, yaitu persatuan Kerajaan Sunda.

Tetapi sayang Pangeran Rakeyan Jayadharma tidak berkenan dengan wanita itu, kemudian meninggalkannya; Disebabkan karena memang tidak berjodoh atau karena masalah politik.

Bahkan Rakeyan Jayadharma sudah menikah di Singosari dengan Putri Dyah Lembu Tal, wanita pilihannya sendiri.
Akan tetapi Rakeyan tidak pernah mengutarakan ketidak setujuan nya kepada Dewi Dara Buana; Sehingga Dewi tidak tau bahwa dia sudah ditinggalkan oleh kekasih nya.

Sungguh kasihan ! Dewi Dara Buana sangat mencintai Rakeyan dan tetap mengharapkan Rakeyan dapat menjadi suaminya. Bahkan, dia menyangka Rakeyan masih tetap mencintai nya. Maka dia tetap menunggu kedatangan kekasih nya ber hari-hari.

Sekali lagi, sungguh kasihan Dewi Dara Buana.
Hingga akhirnya kapal yang membawa Rakeyan Jayadharma beserta istrinya tiba, berlabuh. Sepasang merpati yang sedang di mabuk asmara keluar dari kapal dan menginjakan kakinya di tanah Sunda.

Rakeyan memegang pinggang istrinya erat-erat; Sementara Dyah Lembu Tal memandang muka suaminya dengan mesra, seolah-olah dia minta dicium.

Semua peristiwa itu dilihat oleh Dewi Dara Buana dengan mata telanjang; Tepat di depan muka nya; Dapat dibayangkan betapa hancur hati Putri Dewi Dara Buana. Dia menjadi shock dan jatuh pingsan; Benar-benar jatuh ke bumi.

Dia patah hati seketika.
Para pengawalnya cepat-cepat mengangkat dia, dimasukan kedalam kereta dan kemudian dilarikan secara diam-diam ke arah Barat, menyebrangi Sungai Citarum, langsung ke Istana Pakuan di Kota Pakuan ( sekarang Bogor ).

Sementara itu, Rakeyan Jayadharma tidak tau kalau semua tingkah nya bersama istrinya, sedang diperhatikan oleh Dewi Dara Buana; Bahkan Rakeyan juga tidak tau, bahwa kedatangannya sedang di nantikan oleh seseorang dengan penuh harap.

Dyah Lembu Tal tidak terlalu gembira di tanah Sunda, karena ada perasaan yang janggal didalam hatinya; Perasaan sedih, takut, cemas bercampur aduk, yang kesemua nya menuju ke tidak pastian. Ketidak pastian akan nasib nya di tanah Sunda.

“ Apakah aku harus mengungkapkan perasaan ku ini kepada suamiku ? Bukankah dia adalah suamiku yang juga harus membagi rasa sedih dan duka, disamping rasa gembira dan suka ?”

Pikir Dyah Lembu Tal.
Dyah tidak tahan menahan perasaannya yang galau; Dia akhirnya mau juga membagi rasa sedihnya, “ Kanda ku yang kucintai, apakah semua orang di tanah Sunda ini mau menerima kehadiranku ? Akan aku sebagai tamunya ? “

“ Pertanyaan mu, sungguh mudah dijawab; Sudah pasti mau ! 

Bahkan mereka akan bangga, engkau sebagai tamu rakyat Sunda.

Di karenakan engkau seorang wanita cantik.
Justru aku merasa heran mengapa engkau bertanya seperti itu ? “

“ Karena aku mempunyai perasaan takut dan cemas dan juga disertai rasa sedih; Sesampai nya aku ditanah Sunda ini. Apa sesungguhnya alasan perasaan takut pada diriku ini ?”

“ Sunda Galuh adalah rumahku, kampung halaman ku. Aku disini mempunyai kekuasaan, karena aku adalah Putra Mahkota dari Kerajaan Galuh.”

“ Nah ini sebab nya ! 

Karena engkau memegang kekuasaan, maka aku menduga akan ada pesaing-pesaing mu yang akan merebut kekuasaan itu dari tangan mu.”
“ Jadi apa mau mu, wahai kekasihku ? Apakah aku harus menjadi rakyat kebanyakan ?

Apakah aku harus tanggalkan gelar kebangsawananku ? ”
“ Oh tidak sama sekali.! Ingatlah bahwa aku berhutang nyawa kepada mu, maka aku akan berjuang bersama mu untuk mempertahankan kekuasaan mu ! Percayalah ! “

“ Ketahui lah, bahwa aku adalah suami mu, yang harus membela mu, bukan sebalik nya.”

Dyah Lembu Tal berpikir dan menduga penyebab rasa galau nya, apakah mungkin ayah mertua nya yang harus dihadapi, sebentar lagi ?, 

“ Akan kah mertuaku itu seorang yang baik hati lagi bijaksana ? Melihat caranya Patih Danureja, yang penuh hormat dan sopan sesuai adat Istana, maka sudah tentu demikian juga kiranya perilaku Raja nya. 

Jadi mertua ku pasti Raja yang bijaksana, dia bukan penyebab rasa galau pada diriku.”
Ada satu kemungkinan lainnya yang membuat dia cemas; Yaitu nasehat kakeknya, untuk tidak terlibat didalam percaturan politik didalam Negeri, Kerajaan Singosari.

Dyah bercerita kepada suaminya, akan halnya Negeri Singosari, Kerajaan nya, 

“ Wahai suamiku yang kucintai ! Aku teringat akan nasihat kakek ku, untuk tidak ikut didalam permasalahan politik di negeri ku.
Singosari adalah Negeri yang penuh dengan intrik politik pada zaman kakek ku masih hidup; Banyak Raja dan calon Raja saling bunuh-membunuh, demi ambisi kekuasaan.

Bahkan kakek ku tidak mau menjadi Raja ketika itu, walaupun dia sesungguhnya mempunyai hak untuk menjadi Raja.”
“ Siapakah kakek mu itu ? “

“ Mahisa Wongateleng, Putra Raja Ken Arok di Kerajaan Singosari. “

“ Itu adalah masa lalu, tiga atau empat generasi sebelum kita; Sekarang sudah jauh berbeda, terlebih Galuh, sebuah Kerajaan yang aman dan makmur.”

“ Mungkin karena nasehat kakek ku, untuk tidak mencampuri urusan politik, yang telah membuat aku merasa takut dan cemas.

Akan tetapi, tidak semua Raja itu menakutkan, aku akan buktikan apakah Raja Prabu Guru Dharmasiksa itu seorang yang arif bijaksana atau sebaliknya ? Aku telah memuji Beliau didalam syair ku, sewaktu kubacakan dimuka rakyat Singosari yang mengantarkan kita dipelabuhan Tuban. Masih ingatkah engkau, akan syairku ? ”

“ Benar, engkau memuji Raja Galuh yang bijak dan tanah Sunda yang subur makmur. 

Hayo, kita buktikan bahwa ayahanda ku itu seorang yang bijak.

Mari kita menghadap ayah ku. ! “
Ke dua sejoli yang berbahagia itu berlari-lari kecil menuju Istana Galuh di kota Kawali.

Akhirnya mereka sampai dimuka Tachta Kerajaan Galuh; Kedua nya duduk ber sila dimuka Tachta Raja. Sementara Raja duduk diatasnya; Memang Beliau sedang menanti kedatangan Putra nya dan menantu perempuannya. Raja sudah diberi tau akan kedatangan Rakeyan bersama istri.”

Dyah Lembu Tal berdatang sembah, dengan mengatupkan kedua telapak tangannya, kemudian berkata, 

“ Hamba bernama Putri Dyah Lembu Tal, berdatang sembah kehadapan Paduka yang Mulia. Harap ayahanda mau mengetahui, bahwa hamba sekarang sudah menjadi istri dari Kakanda Rakeyan Jayadharma.
Kiranya Paduka mau menerima hamba didalam lingkungan Keluarga Kerajaan, sebagai menantu Paduka. Mau kah Paduka mengambil aku sebagai menantu ? ”

Raja bersabda, “ Sudah barang tentu aku mau ! Karena engkau adalah menantu ku yang cantik jelita. Kita tidak usah memakai tata bahasa yang terlalu formil, dikarenakan engkau sekarang sudah menjadi menantuku. Selamat datang di Kerajaan Galuh ! “

Rakeyan berkata, “ Nah ! Sudah kah engkau dengar suara dari seorang Raja yang bijak ? Beliau mewakili suara Rakyat Galuh yang mengatakan selamat datang di Kerajaan Galuh.

Jadi perasaan risau pada dirimu, terhapus sudah !

Sekarang engkau tidak mempunyai alasan lagi untuk takut, cemas dan juga sedih.“
Raja bersabda, “ Ya benar seperti itu, bahkan aku bangga akan engkau yang begitu cantik dan mempersona.” 

Rakeyan berkata kembali, “ Ayah ! Dia adalah Putri dari Mahisa Cempaka, Perdana Menteri Kerajaan Singosari. Ayah harus tau bahwa Nenek Buyutnya adalah Ken Dedes, wanita tercantik di zaman nya. Maka dari itu, Nenek nya menurunkan kecantikannya kepada cucu buyutnya, Dyah Lembu Tal.

Raja , “ Ken Dedes ...? Oh ya aku teringat cerita kakek ku, benar dia terkenal karena kecantikannya; Sungguh engkau beruntung Rakeyan ! “
Dyah berkata kembali, “ Semua orang terlalu memuji aku, yang sesungguhnya aku tidak mempunyai keistimewaan. Bahkan aku tidak pandai ber- bahasa Sunda.

Aku bertekad akan mempelajari bahasa itu, walaupun kita dapat bercakap-cakap dengan memakai bahasa Melayu.

Aku juga akan menyesuaikan diri dengan cara hidup wanita Sunda. Aku akan belajar memasak masakan Sunda.”
Raja berkata, “ Terimakasih yang mana engkau mau belajar bahasa Sunda. Akan tetapi bahasa Melayu adalah bahasa nomer dua setelah bahasa Sunda, di Negeri kami; Jadi engkau tidak harus belajar bahasa Sunda. 

Ketahuilah oleh mu bahwa tanah Sunda pernah menjadi koloni Kerajaan Sriwijaya yang memakai bahasa Melayu.”

Rakeyan Jaya Dharma memotong pembicaraan ayahnya, “ Ayah, bolehkah kita membuat suatu pesta pernikahan lagi di sini ? Agar semua orang, rakyat Galuh tau bahwa aku sudah mempunyai istri; Dan kemudian aku akan perkenalkan istri ku kepada mereka.”

Baginda terdiam cukup lama. Ada sesuatu permasalahan yang sedang dipikirkan; Masalah yang tampil kembali di pikirannya, dikarenakan permintaan dari anak nya.

Raja bersabda, “ Sesungguhnya aku ingin meng iya kan permintaanmu, tetapi aku tidak bisa. Bukankah engkau sudah dijodohkan dengan Putri Bangsawan Kerajaan Sunda yang bernama Dewi Dara Buana ?

Jadi jangan lah membuat Dewi kecewa untuk kedua kalinya, dengan adanya pesta pernikahanmu di tanah Sunda ini.”

Rakeyan, “ Maafkan aku ayah; Aku memang telah membuat Dewi patah hati. Akan tetapi, aku tidak men cintai dia; Aku hanya mencintai Putri Dyah Lembu Tal.”

“ Jodohmu adalah pilihanmu; Engkau boleh memilih wanita diseluruh Dunia ini.

Akan tetapi, harus diingat akan kedudukanmu sebagai Putra Mahkota dan calon Raja Galuh.”

“ Lalu kenapa ? “

“ Engkau seorang pemimpin yang harus mendengarkan pendapat masyarakat didalam Negeri dan Luar Negeri.”

“ Jodoh ku adalah masalah pribadi ku, bukan masalah orang lain.”

“ Nah disini letak kesalahan mu ! Engkau sebagai seorang pemimpin masyarakat, tidak bisa berkata seperti itu; Engkau adalah milik masyarakat, jadi dengarkan pendapat masyarakat; Termasuk juga masalah pribadi mu yang satu itu.

Jika engkau adalah rakyat Sunda dari kaum kebanyakan, maka engkau boleh berkata bahwa jodohmu adalah masalah pribadi mu; Nyata nya engkau adalah calon Raja disini.

Tetapi, masalah perjodohan yang diajukan oleh Raja Sunda itu, sesungguhnya tidak bisa aku terima. Tidak lah mungkin persatuan dua Kerajaan akan dapat direkatkan, hanya dengan suatu perjodohan. Akan timbul permasalahan dikemudian hari, siapa yang akan menjadi Raja dari kedua Kerajaan yang dipersatukan ? “

“ Ayah, aku menjadi bingung mendengarkan keterangan ayah; Sesungguhnya ayah setuju atau tidak setuju dengan pernikahan ku yang sudah dilaksanaka di Singosari ?

Katakan lah ayah ! Jangan membuat kami bimbang ! “

“ Sudah pasti ayah setuju dengan kalian berdua; Apalagi menantu ku seorang wanita cantik. Ayah tidak mungkin menyuruh kalian untuk bercerai, bukan ? Karena perkawinan kalian sudah terjadi.

Untuk selanjutnya, engkau harus merundingkan kepada ayah mu, sebelum mengambil keputusan, keputusan yang penting.
Hanya saja, kita sama-sama harus menantikan kemarahan Raja Sunda. Mungkin dia akan melaksanakan sesuatu makar yang akan merugikan kita; Atau bahkan akan melaksanakan suatu penyerangan militer melawan Kerajaan Galuh, Kerajaan kita; Siapa tau ? “

Dyah Lembu Tal menangis mendengar keterangan ayah mertua nya. Dia memegang tangan suami nya erat-erat.

Rakeyan membujuk, “ Jangan menangis sayang !”

Dyah Lembu Tal berkata, “ Nah ini ! Sudah terjawab alasan nya, akan aku yang selalu merasa takut, cemas dan juga sedih; Rupanya Raja Sunda mungkin akan menyerang kita. Ini lah alasan rasa takut ku yang selama ini tersembunyi !

Rupanya akan ada peperangan; Yang disebabkan karena aku; Aku yang menjadi pilihan Kakanda Rakeyan, untuk menjadi istrinya, bukan Dewi.

Jadi peperangan ini jika toh harus terjadi, disebabkan oleh karena aku !

Akan tetapi,.....Kanda Rakeyan, jangan takut !
Dengarkan aku ! Aku akan berada digaris depan medan tempur ! 

Aku akan mati-matian berjuang melawan musuh-musuh Kerajaan Galuh.
Justru ini yang akan menjadi kesempatan buat ku, untuk membayar hutang nyawa pada mu Rakeyan ! Aku akan rela mengorbankan nyawaku di medan tempur ! “

Rakeyan berkata, “ Aku tidak pernah menuntut akan hutang nyawa dari mu, wahai kekasihku. Pertolongan ku kepada mu pada waktu dulu itu, hanyalah suatu kewajiban didalam suatu masyarakat, untuk saling tolong menolong.

Sesungguhnya, yang menolong engkau pada waktu itu adalah Tuhan, bukan aku ! Percayalah ! “

Raja bersabda, “Engkau tidak perlu mengorbankan nyawa mu Dyah ! Masalah ini adalah masalah kami, bukan masalah engkau !

Sudah ! Sudah ! Mari kita ganti topik pembicaraan kita !

Ayah mengharap kan seorang cucu dari kalian berdua, Dyah dan Rakeyan ! “

“ Benar ayah, kami berdua juga begitu adanya. Maka kami ber doa menghadapkan muka kami kepada Dewa Batara, agar kami dapat di karuniai seorang anak.”


Bab 2

Singkat cerita, maka lahirlah cucu Raja Prabu Guru Dharmasiksa; Anak laki-laki yang sehat. Keadaan ibu juga sehat. Anak itu diberi nama oleh kakek nya, Raden Wijaya.

Keluarga Rakeyan Jaya Dharma sungguh berbahagia mendapatkan seorang Putra yang akan meneruskan perjuangan ayah dan kakek nya, sebagai Raja kelak di Kerajaan Galuh.

Sementara itu, situasi politik di tanah Sunda, sudah tenang. Tidak ada pergerakan politik semisal rasa permusuhan dari Kerajaan Sunda. Mungkin Raja Sunda sudah melupakan usul nya akan perjodohan yang ditolak oleh Rakeyan; Dia sudah mengubur masalah itu dalam-dalam.

Atau, dikarenakan pengaruh Raja Prabu Guru Dharmasiksa yang telah membuat Raja Sunda diam. Sungguh Raja Galuh itu mempunyai wibawa dan kharisma yang membuat lawan politiknya menaruh hormat.

Semoga peperangan antar kedua Kerajaan hanya tinggal mimpi saja, tidak akan pernah terjadi. Begitulah permohonan Dyah kepada Para Dewa-Dewa di Nirwana.

Sementara itu Putri Dewi Dara Buana tetap membujang, demi cinta nya kepada Rakeyan. Rasa dendam dan amarah nya, masih tetap membara didalam hatinya; Untuk suatu waktu akan ditimpakan kepada perempuan yang sudah berani merebut kekasinnya, yaitu Dyah Lembu Tal.
Rakyat Galuh harus berduka cita, dikarenakan Raja meninggal Dunia. Raja meninggal Dunia dengan tenang setelah menderita sakit beberapa hari.

Raja ini lah yang boleh dikatakan telah meredakan situasi politik yang memanas, akan ancaman peperangan antara Sunda dan Galuh. Dengan kepulangan Beliau, maka rakyat Galuh mulai cemas kembali; Cemas akan ancaman peperangan dari Kerajaan Sunda.

Beberapa minggu kemudian, Raja Rakeyan Jayadharma dilantik untuk menggantikan ayah nya. Pelantikan diikuti pesta meriah oleh masyarakat Galuh.

Raden Wijaya tumbuh menjadi laki-laki remaja, sehat dan cerdas. Teman-teman nya yang sebaya banyak sekali, karena dia pandai bergaul, dan tidak memandang kasta. Buat dia, rakyat kecil, maupun keluarga Bangsawan itu sama saja.

Sahabat karib nya terutama adalah, si Gendut, si Asep, si Rusa dan si Ujang. Kegemaran Raden adalah bermain, semacam permainan sepak bola, secara beregu; Jadi dengan demikian semakin banyak teman-teman Raden.

Selain itu, Raden juga gemar berdarma wisata, terutama daerah-daerah baru, yang belum pernah dia datangi.

Untuk kegemaran nya akan berdarma wisata itu, ayahandanya mengingatkan, “ Raden, jangan engkau mendekati Sungai Citarum, apalagi menyebrangi sungai itu; Hal ini disebabkan Kerajaan Sunda masih menaruh permusuhan dengan Kerajaan Galuh.

Ingatlah nasehat ku ! Engkau akan di tangkap dan disiksa oleh serdadu Sunda.”

“ Ayah ! Mengapa Kerajaan Sunda bermusuhan dengan Kerajaan kita, Kerajaan Galuh ? “

“ Karena ayah mu di jodohkan oleh mereka, dengan seorang wanita yang ayah tidak mencintai nya; Ayah hanya mencintai ibu mu saja.”

“ Sungguh aneh dan bodoh permintaan mereka ! Jadi hanya karena itu mereka bermusuhan dengan kita ? “

“ Benar kata mu, mereka bodoh.

mereka mau menjodohkan ayah mu, agar kedua Kerajaan dapat bersatu.

Apakah karena ayah kawin dengan wanita itu, lalu kedua Kerajaan dapat bersatu ?”
“ Oh begitu adanya. 

Baik ayah, aku akan berhati-hati.”
Hingga pada suatu hari, si Asep memberi usul kepada Raden, “ Hai Raden, pernahkah engkau berdarmawisata ke Cibeurem ? Sungguh tempat itu sangat indah; Kita dapat mandi-mandi di Sungai Cibeurem dan juga bermain sepak bola.”.

“ Ya aku suka ! Dimana kah tempat itu ? “

“ Kita dapat berkuda kesana. Tempatnya tidak terlalu jauh .”

“ Dimana itu ? “

“ Sungai Cibeurem adalah anak Sungai Citarum.”

Raden Wijaya terdiam, karena teringat nasehat ayahnya, untuk tidak mendekati Sungai Citarum, apalagi menyebrangi nya.

“ Jika aku harus pergi ke Sungai Citarum, aku tidak mau ! Kalian saja lah yang pergi ! “

“ Kami sudah sering kesana; Justru kami memberi saran ini khusus untuk mu wahai Raden !”

“ Katakan ! Sungai Citarum atau Cibeurem ? “

“ Bukan Citarum, tetapi Cibeurem; Memang benar, Citarum dekat dari sana. “

“ Baik lah, mari kita pergi “ Pada akhirnya Raden Wijaya mau juga.

Tetapi Raden tidak akan pamit kepad ayahya, karena sudah pasti ayahnya akan melarang.

Maka Raden Wijaya beserta kawan-kawan karibnya berkuda ke Sungai Cibeurem. Selama dalam perjalanan, rakyat menyambut kedatangan sang Pangeran dengan penuh rasa hormat. Semua orang mengenal siapa dia sesungguhnya, Pangeran Raden Wijaya.

Ada seorang laki-laki yang selalu mengikuti perjalanan mereka; Dia selalu membantu bila Raden menemui kesukaran.

Akan tetapi, Raden Wijaya tidak suka kalau dia mengikuti terus menerus; Sungguh dia menggangu perjalanan Raden.

Akhirnya Raden bertindak, “ Wahai Ki sanak ! Jangan lah engkau mengikuti kami terus. Kami ingin bebas untuk pergi kemana saja. Jadi jangan lah engkau mengikuti kami ! “

Laki-laki itu menghadap si Rusa dan berkata, “ Wahai Raden Wijaya, kami adalah rakyat Galuh yang setia kepada Raja dan Kerajaan. Tidak ada maksud kami yang lainnya, kecuali ingin menunjukan kesetiaan kami kepada mu, wahai Raden Wijaya.”

Si Rusa bermain mata dengan Raden, seolah-olah dia berkata, biarkan aku disangka sebagai Raden Wijaya. Jadi sudah pasti, dia bukan rakyat Galuh, tetapi rakyat Sunda.

Rusa berkata, “ Terimakasih atas kesetiaan mu itu ! Nah sekarang pergilah ! “

Laki-laki itu pergi; menoleh sebentar kepada si Rusa dan berkata, “ Ketahuilah, namaku adalah Sasra Madakara; Jika engkau meminta pertolongan ku, aku akan datang dengan segala senang hati ! “

Tanah Sunda sesungguhnya tidak dapat dipisahkan untuk menjadi dua Kerajaan; Dikarenakan orang Sunda adalah satu bangsa, satu bahasa dan satu adat istiadat. Bahasa Nasionalnya adalah bahasa Sunda.

Dulu nama Kerajaannya adalah Kerajaan Tarumanegara; Hanya ada satu Kerajaan.

Jadi dengan demikian, Raden Wijaya tidak bisa membedakan akan hal nya seseorang sebagai rakyat Sunda atau rakyat Galuh.

Jika ada seseorang dari Kerajaan Sunda melamar kerja menjadi tentara di Kerajaan Galuh, kemungkinan dia akan dapat diterima. Suatu hal yang sangat berbahaya; Akan membahayakan keamanan Kerajaan.

Kelima orang itu sampailah ditempat tujuan. Mereka berenang renang di sungai yang airnya jernih. Mereka juga mencari ikan dan ketam.

Raden Wijaya memberi komentar, “ Kita seharusnya bermain bola ditempat ini, tetapi kita hanya ber lima. Baik lah, kita akan kembali lagi dan membawa teman-teman kita lebih banyak, untuk bisa bermain bola. Sekarang, mari lah kita pulang ! “

Si Asep antusias, “ Bagus Raden, kita akan kumpulkan kawan-kawan kita yang lain. Bagaimana kalau minggu depan kita akan kembali, setuju ? “

Semua setuju dengan saran si Asep.

Tidak berapa lama kemudian lima orang serdadu Kerajaan Sunda menyebrangi Sungai Citarum, kemudian menambatkan perahunya. Mereka memakai seragam tentara Kerajaan dan bersenjata lengkap, seolah-olah sedang pergi bertempur.

Mereka datang mendekati ke lima pemuda itu.

Salah seorang serdadu bertanya, “ Siapa diantara kalian yang bernama Raden Wijaya ? “

Si Rusa langsung berkata, “ Aku ! Mau apa kalian ? “

“ Aku mengharapkan kedatangan Raden di Istana kami di Pakuan. Undangan ini resmi dari Paduka Raja kami, karena kami menghormati Raden .”

“ Kalau aku tidak mau, kalian mau apa ? “

Kelima serdadu itu berpandang pandangan, kemudian berkata, “ Kami akan memaksa !”

Raden Wijaya menghunus kujang belati nya, diikuti semua kawan-kawan nya. Walaupun mereka tidak mengira seperti ini jadinya, tetapi mereka terpaksa harus siap untuk berkelahi.

Serdadu-serdadu itu juga menghunus pedang nya dan memasang tamengnya. Sungguh situasi yang sangat gawat.

Rusa berkata, “ Kalau kalian mencederai kami, maka akan terjadi pertempuran dahsyat antara kedua Kerajaan. Dengarkan lah ancamanku ! “

Tiba-tiba dari arah hutan disebelah sana, keluar anak panah yang beterbangan, mengarah kearah para serdadu-serdadu itu. Untung saja mereka sudah siap dengan tamengnya.

Dari dalam hutan ada orang berteriak, “ Jika engkau membuat celaka Pangeran kami, akan kami bunuh kalian semua. Kami tentara Galuh, sudah siap untuk bertempur ! “

Tidak disangka, ke lima serdadu itu menyarungkan kembali pedang mereka dan kemudian pergi mendapatkan perahunya dan siap-siap untuk bertolak kembali kesebrang. Seharusnya mereka bertempur, bukan menjadi takut seperti ini. Sungguh mengherankan, bagaimana mereka pergi begitu saja ? Hanya dikarenakan mendengar suara ancaman dari dalam hutan, mereka sudah takut.

Raden hanya berpikir, “ Ada pihak militer Galuh yang ternyata mengikuti aku; Benarkah ? Serasa aku tidak percaya ! Ayahanda setahu ku tidak pernah bertindak, menyuruh serdadu untuk mengawal aku, secara rahasia.”

Tidak lama kemudian, keluarlah dari persembunyiannya orang yang memanah serdadu itu; Dia ternyata si Sasra Madakara.

Sasra segera mendekati si Rusa, mengatupkan kedua telapak tangannya dan berkata, “ Sudah kukatakan bahwa pertolongan ku akan diperlukan oleh kalian; Benarkan kata-kata ku itu ? ”

Rusa berkata, “ Terimakasih atas pertolongan mu ! “

Raden Wijaya tampil dan berkata, “ Hentikan sandiwara mu wahai Sasra ! Kami sudah mengetahui bahwa engkau sesungguhnya berkawan dengan mereka. Engkau adalah salah satu anggota militer Kerajaan Sunda. Tugasmu adalah menawan aku.

Ketahuilah bahwa aku adalah Raden Wijaya yang sesungguhnya.

Setiap orang dari rakyat Galuh mengenal muka ku, tetapi engkau tidak; Jadi jelas engkau adalah rakyat Sunda di sebrang Sungai Citarum ini.

Sekarang pergilah engkau ! Jika tidak, engkau yang akan kutawan dan kemudian akan terjadi pertempuran besar.

Kawan-kawan siap semua, mari kita serang dia !”

Sasra Madakara lari kearah teman-temannya yang sedang menunggu.

Walaupun dia belum sempat mengakui, tetapi jelas dia adalah bagian dari militer musuh, dengan bergabung nya dia dengan kawan-kawan nya, serdadu-serdadu itu.

Raden Wijaya berkata, “ Ayahku tidak tau sudah segawat ini memanasnya permusuhan mereka kepada kami. Ini berita yang penting yang harus kusampaikan kepada ayah ku, bahwa pihak militer musuh sudah bersiap-siap disebrang sungai, untuk melancarkan serangan.”

Sesampainya Raden Wijaya di Istana Kawali, ayahnya sedang menunggu dengan cemas, dan marah kepada anaknya.

“ Sudah ku bilang, jangan mendekati tepi Sungai Citarum ! “

“ Ampun ayah ! Benar aku sudah melanggar larangan mu. Tetapi mengapa ayah sudah tau bahwa aku baru saja datang dari sana ? “

“ Setiap pergerakan mu, ada serdadu ku yang mengawasi, kearah mana engkau pergi ! Sekarang ceritakan kepadaku, apa yang sudah terjadi ? “

“ Aku hampir ditawan oleh lima serdadu musuh yang berpakain dinas lengkap, dengan membawa senjata perang mereka. Nampaknya mereka sudah bersiap-siap akan menyerang kita ayah. Aku bersama kawan-kawan melawan dengan senjata seadanya.

Untung ada orang yang menghalau mereka pergi; Jika tidak, kita semua dapat ditawan oleh mereka. Tetapi orang itu kuduga sebagai pasukan mata-mata dari mereka juga. Jadi, seolah-olah mereka sedang bermain sandiwara dihadapan kita.”

Raja Rakeyan Jayadharma termanggu-manggu mendengar laporan anaknya.

“ Apa maksud dia untuk bermain sandiwara dihadapan mu ?”

“ Mungkin dia yang namanya Sasra Madakara ingin agar kita memakai tenaga nya, sebagai prajurit Galuh. Tetapi ini hanya dugaan ku saja, ayah.”

“ Dugaan mu mendekati kebenaran. Dia sebagai pasukan mata-mata pihak musuh,ingin masuk kedalam markas militer kita; Kemudian membuat laporan ke markas mereka di Pakuan.”

“ Aku tidak bisa membedakan mana rakyat kita sebagai orang Galuh, dan mana rakyat musuh sebagai orang Sunda. Hal ini sangat berbahaya ayah .”

“ Engkau benar Raden !

Besok kita akan mempersiapkan pertahanan militer kita, untuk menyongsong serangan mereka. Patih Danureja dan aku akan memimpin rapat perang.”

“ Aku akan ikut bertempur ayah !

Percayalah padaku ayah ! Aku sudah cukup kuat untuk membela Negara.”
“ Engkau sama dengan ibu mu yang bersemangat membela Negara ! 

Begitu lah cucu-cucu keturunan Ken Arok, yang selalu siap tempur;

Kecuali kakek Mahisa Wongateleng, yang tidak mau mencampuri urusan politik.
Aku bangga dengan mu wahai anakku; Engkau sungguh serdadu sejati, yang berani mati membela Negaramu ! “

“ Terimakasih atas pujianmu, ayah ! “

Dyah Lembu Tal datang mendekati anaknya, memeluknya dan menciumnya. “ Oh Dewa Batara, terimakasih engkau telah melindungi anak ku.”

“ Ibu, aku hampir saja ditangkap oleh musuh.”

“ Ya , aku sudah mendengar cerita mu dari balik tirai. Jadi peperangan sungguh benar terjadi. Semua itu karena aku.”

Rakeyan menengahi, “ Jangan berkata seperti itu, sayang ! Peperangan ini karena ada seseorang yang haus akan kekuasaan, jadi bukan karena engkau atau aku. Perkawinan kita sudah di syahkan dan diberkati oleh Para Dewa.”

Dyah Lembu Tal terdiam; Dia merasa bersalah karena selalu mengulang-ulang kata-kata nya. Walaupun Rakeyan berkata secara lemah lembut, tetapi sesungguhnya dia sedang menegur istrinya.

Tak lama kemudian Dyah bersenandung, membaca puisi atau barangkali sedang mengungkapkan isi hati.

Prahara di tanah Sunda

Aku lah pemicu nya

Semua rakyat terbawa bawa

Apakah aku bersalah ?
Tidak !

Kata suamiku

bukan aku

Tapi orang yang gila kuasa
Beribu rakyat harus berperang

Membawa senjata membunuh lawan

Seolah tidak mungkin itu karena aku

Aku hanya seorang wanita lemah
Betul kata suami ku, akan dia yang bersalah

Dia yang dapat menggerakan tentara

Dia yang belum puas akan kekuasaan

Tapi kuyakin, aku lah pemicunya.
Suami ku marah

Ku ulang lagi kata-kata itu

Nasib membuat aku bersalah

Telah membuat rakyat Galuh Susah
Rakeyan Jayadharma mendekati istrinya, memeluknya dan berkata, “ Aku tidak marah, sayang. Dan engkau memang benar adanya. Perkawinan kita adalah pemicunya. Tetapi sebelum itu sudah kuduga, bahwa Raja Sunda itu sesungguhnya berkeinginan mempersatukan dua Kerajaan, dibawah kekuasaannya. 

Tetapi dia ingin mencapai cita-citanya, tanpa pertumpahan darah, yaitu dengan perjodohan.
Dia menduga, dengan aku mengawini Dewi, maka rakyat Galuh akan mau bersatu dengan rakyat Sunda, dibawah kekuasaan nya. 

Apakah itu masuk diakal mu ? Tentu tidak bukan. 

Apakah dengan aku mengawini Dewi, maka kekuasaan Raja yang ada padaku, harus kuserahkan kepada Raja Sunda ? Tidak masuk diakal.

Seolah-olah, Kerajaan Galuh sama harganya dengan harga seorang wanita yang bernama Dewi Dara Buana.
Sekarang, aku membenarkan, bahwa engkau sesungguhnya pemicu prahara ini; Tetapi engkau tidak bersalah. Orang yang bersalah adalah orang yang gila kuasa. Dan masalah perkawinan kita, dipakai sebagai alasan oleh dia, agar serangan militer mereka kepada kita, dapat dianggap syah dan beralasan.

Raja Sunda itu menyangka, bahwa aku adalah Raja yang lemah, tidak seperti ayahnya yang mempunyai Kharisma.”

Dyah Lembu Tal mendekap pada dada suaminya, sambil menangis.

Raden wijaya juga datang menghampiri, dan memeluk kedua orang tuanya.

Maka ketiga-tiganya saling berpelukan, didalam tangis.
Raden Wijaya berkata, “ Hai mengapa kita harus menangis ? Bukankah kita adalah keluarga yang berbahagia ? ”

Ayahnya menjawab, “ Benar kata mu, kita adalah keluarga yang berbahagia.”

“ Kalau begitu pendapat ayah dan ibu ku, marilah kita rayakan dengan makan-makan hidangan yang lezat cita rasanya ! “

“ Dan marilah kita tertawa, bukan menangis.
Dinda, engkau bercita-cita untuk menjadi koki yang terbaik; Engkau ingin belajar bagaimana caranya membuat masakan khas Sunda. Tetapi aku tidak setuju jika engkau bekerja di dapur, karena engkau adalah Permaisuri Kerajaan.

Aku akan menempatkan seorang koki yang piawai di dapur.

Engkau boleh memperhatikan cara dia memasak.”
“ Terimakasih Kanda ! Bagaimana pun aku sebagai seorang wanita tertarik untuk bekerja di dapur yang penuh tantangan. Masakan Sunda sungguh berbeda dengan masakan Singosari. Orang Sunda suka makan sayur mentah; Sedang orang Singosari suka makan daging, kecuali daging lembu.”

“ Baik lah ! Semua terserah kepada mu ! “



Bab 3

Raden Wijaya harus memenuhi janji nya kepada kawan-kawan nya untuk datang kembali ke Sungai Cibeurem; Mereka akan bermain bola secara beregu.

Kawan-kawan nya sudah mempersiapkan segalanya; Utamanya pertandingan, regu siapa akan melawan regu apa, sudah siap untuk dipertandingkan di dekat Sungai Cibeurem.

Mereka tidak memandang gawat peristiwa yang telah menimpa mereka, apalagi akan ancaman peperangan antara Sunda dan Galuh. Yang penting buat mereka adalah permainan sepak bola.

Yang penting bagi para remaja itu ialah kegembiraan.

Raden Wijaya harus meminta izin kali ini kepada ayahanda nya, dengan sedikit harapan akan dikabulkan; Dikarenakan situasi ke Negaraan yang menjadi gawat. Hal ini dapat dimengerti oleh Raden, tetapi tidak bagi si Asep, si Rusa, si Gendut dan si Ujang. Buat mereka, ancaman peperangan itu hanya omong kosong belaka.

Hal ini dapat kita mengerti, karena orang Sunda disebrang sungai adalah masih ada ikatan famili dengan orang Galuh; Jadi bagaimana mereka mau berkelahi antar sesama famili, hanya dikarenakan Raja nya berkelahi dengan Raja nya orang lain.? 

Akhirnya Raden menghadap ayahandanya, “ Ayah berikanlah kami izin untuk pergi sekali lagi ke Sungai Cibeurem untuk bermain sepak bola; Kawan-kawan ku sudah menagih janji ku.”

“ Tidak kah engkau merasa takut dan cemas dengan pengalamanmu kemarin itu ?

Tidak ! Aku tidak mengizinkan engkau pergi ! 

Nampaknya engkau yang menjadi target untuk di sandra oleh mereka, ingatlah itu !

Setelah engkau ditangkap dan dibawa ke Pakuan, maka Raja Sunda akan mendikte kehendaknya kepada ku. Jika aku tidak mau, maka engkau akan di bunuh.

Itulah skenario musuh, yang kudapat dari kesatuan mata-mata ku.”
“ Baik lah ayah aku akan membatalkan pertandingan ini. Teman-teman ku akan mengerti alasan yang gawat ini.”

Hadir disitu Patih Danureja yang sedang berbincang dengan Raja Rakeyan Jayadharma.

Patih memberi usul kepada Raja, “ Paduka, anakanda Raden Wijaya dapat kita pakai sebagai pancingan, apakah benar musuh mau menangkap Raden; Sebagai bentuk provokasi mereka kepada kita.

Kami rencanakan suatu skenario. Sewaktu Raden bermain sepak bola, kami akan bersembunyi di hutan didekat arena pertandingan; Bila mereka datang untuk menangkap Raden, maka kami akan keluar untuk membela Raden.

Dengan demikian benar sudah, bahwa mereka telah membuat provokasi untuk suatu pertempuran yang sesungguhnya.

“ Jika begitu skenario mu, maka kekuatan kita harus ditambah menjadi seribu serdadu, agar anak ku selamat.”

“ Yang akan bersembunyi didekat arena sepak bola, cukup sepuluh orang saja. 

Janganlah kita menampakan kekuatan pasukan kita ! Bila terlalu banyak, akan dapat terlihat dari sebrang sungai; Maka rencana kita akan gagal.
Diperkirakan mereka hanya akan mengerahkan paling banyak dua puluh serdadu untuk menangkap Raden.

Sementara itu, ada seribu prajurit kita, yang akan kita tempatkan di tempat yang agak jauh; Tidak nampak oleh musuh. 

Bila kami repot sewaktu menghadapi musuh, maka kami akan panggil kawan-kawan kami. dengan siulan atau terompet.”

“ Jika begitu aku setuju.”

“ Terimakasih Paduka; Agar menjadi jelas kepada kita, apakah mereka mau berperang atau tidak ? “

“ Benar katamu Patih ! 

Jadi dengan demikian Raden ! Maka ayah mu mengizinkan engkau untuk pergi ke Sungai Cibeurem bersama kawan-kawan mu untuk bermain.”

Tampak wajah Raden Wijaya berseri-seri.

Dia berlari-lari mendapatkan kawan-kawannya.

“ Hai kawan-kawan, marilah kita pergi ; Ayahku telah memberi izin kepadaku ! “

Patih Danureja sibuk mempersiapkan pasukannya. Kemudian dia bersama sepuluh anak buahnya mengikuti Raden Wijaya dari kejauhan.
Raden bersama rombongannya sampai di arena Sungai Cibeurem, untuk melaksanakan pertandingan sepak bola. Semakin banyak anak-anak muda yang datang untuk bermain dan juga untuk menonton. Sekingga arena menjadi semakin ramai, melebihi yang diharapkan.

Memang Patih Danureja telah memberi instrruksi kepada Raden Wijaya, untuk bersikap seperti apa adanya; Artinya, Raden harus menganggap tidak ada ancaman peperangan atau pun penculikan terhadap Raden.

Apa yang akan dilakukan oleh pasukan musuh disebrang sungai ?, Setelah mereka menyaksikan Raden Wijaya bersama teman-temannya sedang asyik bermain ? 

Hal itu lah yang sedang dinantikan oleh Patih Danureja bersama para prajurit-prajuritnya.
Benar dugaan Patih, pasukan musuh meluncurkan perahu yang memuat dua puluh lebih prajurit nya, menyebrang Sungai Citarum. Mereka membawa misi untuk menangkap Raden Wijaya untuk dihadapkan kepada Putri Dewi Dara Buana.

Perahu itu sampai di tepi sungai, kemudian ditambatkan dan para prajurit turun kedarat; Mereka langsung menyerbu ke arena pertandingan yang ramai dengan anak-anak muda.

Mereka langsung mencari dimana Raden berada. Tetapi Raden telah bersembunyi, disembunyikan oleh Patih sesuai dengan skenario.

Arena menjadi gempar dengan teriakan teriakan, tangisan dan seruan untuk lari; Semua orang takut, melihat puluhan serdadu musuh menghunus pedang dan mengancam anak-anak muda yang tidak tau-menahu. 

Patih bersama sepuluh prajurit Galuh keluar dari dalam hutan, “ Hai pengecut, kami lawan mu yang sesungguhnya; Jangan hanya berani kepada anak kecil ! “

Maka terjadilah pertempuran yang seru.

Tak lama kemudian tiga perahu yang penuh dengan muatan prajurit Sunda, diturunkan, dan kemudian mendarat ditepi sungai. Maka terjadi pertempuran yang tidak seimbang.

Akan tetapi, bala bantuan seribu prajurit Galuh datang, turun membantu.

Melihat hal itu, musuh menjadi ketakutan dan mundur perlahan-lahan hingga ketepi sungai dan kemudian melarikan diri; Dengan meninggalkan mayat-mayat kawannya.
Keadaan menjadi aman kembali; Tetapi pertandingan tidak jadi dilaksanakan, karena semua kawan-kawan Raden sudah pulang. Akan tetapi, tidak ada yang mengalami cidera.

Dengan peristiwa itu, maka Patih Danureja mengumumkan bahwa peperangan antara kedua Kerajaan sudah berlangsung dan akan terus berlanjut. Berita penting itu disampaikan langsung kepada Raja Rakeyan Jayadharma.

Rakyat Galuh merasa sedih dengan peperangan. Mereka bertanya-tanya, mengapa ada peperangan ?. Siapa yang menyebab kan peperangan ini ?

Menjadi lebih sedih lagi, setelah mereka menyadari, bahwa ternyata keluarga dekatnya berada disebrang sungai, yang berarti bagian dari rakyat Kerajaan Sunda, musuh nya.
Boleh dikatakan bahwa peperangan ini adalah ‘Perang Saudara ’, dimana paman melawan keponakan; Kakak melawan adik dan seterusnya. Dikarenakan Sunda adalah satu Bangsa.



Bab 4
Raja Rakeyan Jayadharma dengan berat hati mengumumkan kepada rakyatnya, bahwa Kerajaan dalam bahaya akan penyerangan Kerajaan tetangganya, Kerajaan Sunda.

Persiapan pertahanan Negara segera diselenggarakan oleh Raja beserta Para Menteri dan utamanya para Perwira Militernya.

Pasukan Galuh di tempatkan ditepi Sungai Citarum; Maka kedua pasukan yang akan bertempur, hanya dapat saling mengejek, diakarenakan terpisah oleh sungai. Kadang-kadang ada anak panah yang beterbangan, tetapi tidak menimbulkan korban.

Hari demi hari berlalu, yang pada akhirnya kedua pasukan itu ditarik kembali ke barak nya masing-masing. Tetapi bukan berarti peperangan sudah selesai. Peperangan tetap berlanjut; Utamanya dari pihak Kerajaan Sunda yang bernafsu akan menaklukan Kerajaan Galuh. Entah, strategi apa lagi yang akan digunakan oleh musuh ?

Rakyat dari kedua belah pihak juga menjadi tenang.

Sungguh mengherankan, akan tidak ada nya petugas yang memeriksa para pelancong atau pendatang dari dan ke daerah musuh; Yaitu mereka yang menyebrangi Sungai Citarum.

Sungguh berbahaya bagi Kedua Kerajaan, akan kemungkinan aksi pasukan mata-mata yang akan berbuat kekacauan didalam Istana atau tempat-tempat vital lainnya.

Dikarenakan urusan ekonomi perdagangan adalah nomer satu bagi rakyat, dibanding dengan urusan politik. Rasa lapar lebih dipentingkan dari pada rasa permusuhan.

Sementara itu Permaisuri Kerajaan Dyah Lembu Tal, sibuk belajar memasak, masakan khas Sunda. Dia sekarang mempunyai kegemaran memasak.

Dibantu oleh seorang koki yang dengan sabar mengajari Ibu Dyah Lembu Tal, cara memasak berbagai masakan yang lezat cita rasanya.
Pada suatu hari, Dyah Lembu Tal memasak masakannya dengan dibantu oleh seorang koki dapur Istana; Masakan itu sudah di coba oleh koki dan dinyatakan bagus dan enak. Kemudian koki membagi menjadi dua piring; Yang dimaksukan, satu untuk Raja.

Kemudian koki membawa kedua piring itu ke atas meja makan, diruang makan.

Dyah Lembu Tal datang dan melihat kedua piring itu; Yang satu lebih banyak dari yang lain.

Dyah berpikir, “ Mungkin yang banyak itu untuk suami ku, sedang yang lebih sedikit untuk diri ku. Dia, koki menghargai Raja nya.”

Karena terasa lapar, Ratu Dyah makan makanan yang ada dipiring.

Sementara yang porsi nya lebih besar, disimpan untuk suaminya nanti; Bila suami nya sudah pulang dari berburu.

Memang sungguh lezat masakan si koki ini; Tapi resep dan cara membuatnya sudah dicatat oleh Dyah. Jadi Dyah akan bisa membuatnya sendiri; Dan akan membanggakan dirinya didepan suaminya, bahwa dia juga bisa seperti wanita Sunda.

Tiba-tiba si Koki masuk kedalam ruang makan dan melihat Ratu Dyah yang sedang bersantap. Sesungguhnya, tidak diperbolehkan pelayan atau koki dapur masuk kedalam ruang makan, sewaktu Raja dan Keluarga Raja sedang bersantap. Koki juga pasti sudah tau akan aturan Istana, tetapi kali ini si Koki agak lain pembawaannya. Nampaknya dia mempunyai keperluan yang mendesak untuk melihat Ratu bersantap.

Tampaknya koki menjadi pucat setelah melihat Ratu Dyah sedang bersantap; Kemudian dia cepat-cepat membalikan badan, dan kembali lagi kedalam dapur.

Ratu menghentikan makan nya sebentar hanya untuk memberitahukan rasa masakannya. Ratu berkata, “ Aku tau engkau akan bertanya pada ku tentang rasa masakan mu itu, bukan ? Ya memang enak dan istimewa, terimakasih.” 

Ratu Dyah tidak marah, bahkan memuji nya.
Si Koki tidak menampakan kegembiraan setelah di puji, tetapi mukanya tetap hambar saja.

Dyah Lembu Tal juga melihat kejanggalan si Koki; Dyah berkomentar didalam hati, “ Seharusnya dia mengucapkan rasa terimaksih nya atas pujian ku; Tampaknya ada masalah yang sedang dipikirkan oleh nya, sehingga pikirannya tidak berada di dapur Istana.”

Dyah meneruskan makan nya, hingga hidangan itu habis di makan.

Dyah Lembu Tal setelah itu mengerjakan keperluan pribadinya, sambil menunggu suaminya pulang berburu di hutan. 

Hingga menjelang sore hari, suami pulang sambil membawa seekor rusa, sebagai hasil buruannya. Hasil buruan mereka disembelih dan dagingnya dibagikan kepada Raja dan para pengiring Raja. 

Raja Rakeyan beserta para pengiring nya terlihat lelah; Mereka kemudian pulang kerumah masing-masing. Masing-masing mendapat jatah daging rusa, hasil buruannya.

Raja membersihkan badannya, kemudian berbaring di kursi panjang, untuk melepaskan penat nya. Ratu Dyah berada disampingnya, menebar senyum kepada suaminya.

“ Kakannda !, Setelah istirahat, kanda dapat menikmati masakan kas Sunda, yang disukai oleh kanda. Aku sudah menikmati sebelumnya, memang enak sekali.”

“ Terimakasih Adinda.”

“ Sekali ini yang memasak adalah koki Istana; Akan tetapi lain waktu, aku yang akan memasak untuk Kakanda, karena aku sudah mencatat resep nya.”

Raja makan hidangan yang dipersiapkan. Raja tampak bernafsu memakan masakan kesukaannya itu.

Akan tetapi, tidak lama kemudian, Raja merasa perutnya sakit, lidahnya kering dan mengeluarkan banyak keringat dingin.

“ Aku merasa sakit pada perut ku dan badan ku juga terasa tidak nyaman ! Tolong panggilkan tabib untuk ku ! “

Tak lama, Tabib datang untuk memeriksa.

“ Tabib, aku merasa sakit pada perut ku setelah makan makanan ini .”

Tabib memeriksa perut Raja, lidah Raja dan Nadi Raja.

Tabib berkata, “ Aku perlu seekor anjing untuk mengetahui keadaan makanan ini. Mungkin sakit nya Baginda disebabkan makanan ini.”

Anjing didatangkan, kemudian makan makanan bekas Raja. Setelah makan, anjing itu terdiam, karena mungkin dia merasakan rasa yang sama dengan Raja, sakit pada perutnya.

Tidak berapa lama kemudian, anjing itu mati dengan mengeluarkan isi perutnya.

“ Paduka Raja telah diracun dengan Racun Warangan.” Tabib berkata.

Alangkah terkejutnya Dyah Lembu Tal mendengar keterangan Tabib. 

Dyah berpikir, “ Sudah pasti dia yang meracuni Raja. Bukankah dia kelihatan gugup dan berpandangan kosong sewaktu dia memperhatikan aku yang sedang makan ? Ya karena porsi yang satu lagi berisi racun yang sesungguhnya diperuntukan untuk aku.”

Dyah Lembu Tal berteriak histeris, “ Tangkap koki Istana ! “

Beberapa serdadu dipimpin oleh Raden Wijaya, masuk ke ruang dapur dan menanyakan koki yang masak bersama Ratu Dyah Lembu Tal, siang tadi.

“ Koki Sasra Madakara sudah pergi sejak dua jam yang lalu, Tuan. Dia meminta izin, dikarenakan akan melihat anaknya yang sakit .”

Raden Wijaya bertanya, “ Siapa nama nya ? Coba kau katakan sekali lagi ! “

“ Namanya Koki Sasra Madakara.”

“ Oh, dia ! Dia yang hampir saja berhasil menangkap aku ! Kurang ajar kau ! Tidak jemu-jemu nya engkau ingin mencelakakan keluarga ku ! 
Mari kita kejar ! “
Serombongan serdadu Galuh dibawah pimpinan Raden Wijaya mengejar ke arah Barat’

“ Kita menuju tepi Sungai Citarum “

Kuda-kuda dipacu secepat-cepatnya, hingga mencapai tepi sungai. Tampak sebuah perahu dengan satu penumpang berada di tengah sungai. Perahu nya tidak bergerak, karena yang mendayung hanya dia saja; Ditambah lagi cara mendayung yang salah karena gugup dan takut, membuat perahu mundur-maju.

Raden bersama sepuluh prajurit, mendayung perahu mendekati perahu tersebut.

Betul, dia adalah Sasra Madakara yang sudah meracuni Raja Rakeyan Jayadharma.
Raden memasang anak panah, melepaskan beberapa panah. Salah satu anak panahnya tepat menembus leher Sasra Madakara. Dia menjerit kesakitan.

Kemudian beberapa prajurit menghampiri dan menawan si pembunuh.

Tampaknya Sasra mulai melemah karena kehabisan darah.
“ Siapa yang menyuruh engkau wahai Sasra ! Mengakulah ! Engkau hampir mati, jadi tidak perlu takut untuk mengaku ! “ Raden Wijaya membentak si pembunuh.

“ Putri Dewi Dara Buana, untuk meracun Dyah, bukan Raja ! “

Tak lama kemudian Sasra Madakara mati.

Raden Wijaya merasa sedih, meneteskan air mata.

“ Jika sekiranya aku berkunjung ke dapur Istana, tentu aku akan tau, ada penyelundup pasukan mata-mata musuh, yang berada di dapur Istana dengan rencana jahat nya.
Aku menyesal tidak memberi laporan yang lengkap akan hal nya si Sasra Madakara, kepada Patih Danureja. Dia yang pernah merengek-rengek kepada ku untuk diperbolehkan membantu aku dan robongan ku, didalam perjalanan ku.

Jadi dia mempunyai maksud yang lain, agar dia dapat masuk kedalam Istana dan meracuni ibu ku. Tetapi kenyataan nya, dia telah berhasil masuk kedalam Istana; Bahkan dapat menjadi koki Istana.

Dia lah sesungguhnya si pembunuh ! Siapa yang mengira ? “
Raja belum ajal, tetapi sudah lemah; Dikelilingi oleh para pejabat Istana dan Keluarga Raja Istana.

Raja bersabda, “ Aku mengangkat pengganti ku, Raja Galuh berikutnya; Dia adalah adik ku, Rakeyan Saunggalah; Jadi dia sekarang adalah Raja Rakeyan Saunggalah.

Engkau adikku ! Pimpinlah Laskar Galuh untuk berperang melawan Kerajaan Sunda !
Engkau Patih Danureja, bawalah keluargaku, Ratu Dyah Lembu Tal dan Raden Wijaya ke Singosari; Kembalikan dia ke ayah Mertuaku. Salam hormat ku kepada ayah mertua ku.

Tugas ini penting, karena istriku yang sebenarnya sebagai sasaran pembunuhan, bukan aku.

Selamatkan lah istriku dan anak ku!

Jangan perbolehkan keluarga ku kembali, sebelum Galuh menjadi aman.
Tetapi engkau Danureaja ! Harus cepat kembali untuk segera berperang melawan Kerajaan Sunda !”

Tidak ada lagi pesan-pesan Raja. Pada akhirnya Raja wafat dengan tenang.

Seluruh rakyat Galuh berduka cita disertai rasa dendam akan si pembunuh dan orang-orang di belakang si pembunuh.

Putri Dyah Lembu Tal sangat berduka dengan kepergian suaminya yang sangat dicintai; Benar dugaan Putri, bahwa dia akan berhutang kembali kepada suaminya, berupa hutang nyawa untuk kedua kalinya. Tetapi, kali ini hutang tersebut terlalu berat untuk dipikul oleh suaminya, karena dia harus memberikan nyawa nya.

Nyawa suaminya harus dikorbankan untuk melindungi nyawa nya sendiri.

Air mata Dyah terkuras habis; Dia menangis sejadi-jadinya.

Tidak ada yang berani mendekati dan membujuknya untuk berhenti menangis.
Pada akhirnya Patih Danureja datang membujuknya, “ Wahai Ratu ku, sesungguhnya engkau harus segera pulang ke Singosari. Ini pesan dari Raja Rakeyan Jayadharma.

Semua demi keselamatan mu.”
“ Baik lah paman Patih, aku dan anakku harus bersiap-siap.

Karena aku mengerti, bahwa aku lah sesungguhnya yang akan dibunuh.”



Bab 5
Kapal yang membawa Ratu Dyah dan Putranya sudah berangkat dengan disertai puluhan serdadu Galuh, guna menjaga keselamatan Ratu Dyah.

Tetapi nampaknya musuh tidak mengganggu perjalanan.

Sementara Kerajaan Galuh yang ditinggalkan dalam dalam keadaan perang dengan Kerajaan Sunda.

Raden Wijaya sudah menyampaikan berita langsung dari Sasra Madakara, kepada ibunda nya; Bahwa pembunuhan Raja itu adalah perintah dari Dewi Dara Buana. Yang sesungguhnya ditujukan kepada Ibundanya, bukan ayah nya.

Tidak henti-hentinya pikiran kalut, sedih dan takut, menjadi buah pikir didalam hati Putri Dyah Lembu Tal; Sehingga dia menjadi murung dan pendiam. Anak nya datang mencoba menghibur ibunda nya. “ Mam, jangan terlampau sedih; Jaga lah kesehatan mu. Ada bagian-bagian yang menggembirakan diantara bagian-bagian yang menyedihkan; Jika kita membaca sebuah buku.

Ingatlah Mam, bukan kah kita akan bertemu dengan Kakek dan nenek kita di Singosari ? Itulah bagian yang menggembirakan. “

“ Betul katamu wahai Raden ! Tidak terasa sekarang engkau sudah besar, sudah bisa memberikan saran yang berguna bagi ibu mu; Terimakasih Raden ! “

“ Bersenandung lah Mam ! Senandung yang positif menggembirakan kita yang mendengarkan.”

Patih Danureja tersenyum-senyum melihat tingkah Raden.

Sekarang Putri Dyah kelihatan lebih segar dan mempunyai buah pikir yang akan diungkapkan didalam puisinya.

“ Sebelum berangkat ke tanah Sunda, aku telah membacakan puisi; Maka sewaktu pulang pun aku harus membacakan sebuah puisi.”

“ Benar Mam, itu lah yang ku maksud kan tadi ! “
Dyah membaca puisi nya, 


Aku kan pulang

Pulang ke kampung halaman

Singosari, tempat ku dibesarkan

Ku tau, teman handai taulan, kan datang.

Ku akan bercerita akan kemakmuran

Galuh dengan Raja yang agung

Rakyat yang tentram dan penuh kedamaian

Jangan lah engkau katakan yang sebaliknya.


Ku takut, ayah dan ibu ku kan risau

Biar lah aku saja yang merasakan

Hendaknya khabar baik saja disampaikan

Bukan kah itu yang di harapkan ?


Singosari kan menjadi tujuan

Dewa Batara kan mengantarkan

Ketempat yang lebih baik

‘Tuk anak ku didalam karier pekerjaan.


“ Mam, aku termasuk yang diungkapkan didalam puisi mu; Dikatakan bahwa aku akan meniti karier ku di Singosari.

Jadi apakah kita tidak akan pulang kembali ke Kerajaan Galuh, atau kita akan menetap di Singosari? “

Patih Danureja menjawab, “ Tidak Raden ! Karena disana sedang ada pertempuran. Engkau sendiri sudah merasakan akan pahitnya pertempuran itu; Yaitu ayah mu telah menjadi korban, bahkan korban yang pertama.

Tidak, engkau dan ibu mu tidak boleh pulang ke Galuh !

Itu adalah perintah mendiang Raja, Raja Rakeyan Jayadharma.”

Putri Dyah berkata, “ Benar kata Paman Patih, kita tidak akan pulang kembali ke Galuh. Sesungguhnya engkau pewaris Tachta, wahai Raden; Tetapi lupakanlah !

Bahkan ayah mu sudah menetapkan adik nya sebagai penerus kedudukan Raja.”
Raden Wijaya berkata, “ Jika aku akan menjadi Raja kelak, maka aku memilih menjadi Raja di Kerajaan Singosari, bukan di Kerajaan Galuh ! 

Patih Danureja dan Putri Dyah tercengang mendengar perkataan anak muda, Raden Wijaya.

Kedua nya berpandang-pandangan.
Akhirnya Putri Dyah berkata, “ Wahai Raden anak ku ! Jangan lah engkau terlalu sombong ! Aku takut Para Dewa akan marah kepada mu.”

“ Doa ibu ku didalam puisinya yang terdengar oleh ku, menjanjikan; Katanya, Dewa Batara akan mengantarkan aku ketempat yang lebih baik, didalam meniti karier pekerjaan ku.

Maka aku berani berkata seperti itu Mam, karena ibu telah berdoa, men doa kan anak nya.”

“ Menjadi Raja ditempat yang baru, tidak lah semudah yang engkau ucapkan, wahai anak ku! Singosari adalah Kerajaan besar dan kaya raya. Bagaimana engkau dapat menjadi Raja ditempat itu ? 

Sementara banyak sekali orang yang menyatakan diri nya pantas untuk menjadi Raja di Singosari yang semua nya itu akan menjadi pesaing mu.”
“ Mam ! Aku tidak bisa menjawab. 

Akan tetapi, ucapan ibu ku sebagai doa agar aku dapat meniti karier ku; Adalah sangat berharga untuk ku, dan Para Dewa benar akan mengantarkan aku ketempat yang lebih baik.”
Ibu nya mendorong kemauan anak nya, “ Ya Para Dewa, dengarkan lah kata-kata anak ku, dan kabulkan lah ! “

“ Terimakasih Ibu ! “

Pada akhirnya kapal dapat berlabuh di Pelabuhan Tuban dengan selamat. Para penumpangnya menginjakan kaki mereka di tanah Singosari. Putri Dyah Lembu Tal sangat antusias untuk sampai di rumahnya, rumah ayah-bunda nya. Putri sangat rindu akan semua yang pernah menjadi kenang-kenangan di Kota Singosari.

Rumah nya sudah berubah, karena pohon beringin dimuka rumahnya sudah ditebang; Digantikan dengan taman berumput hijau dengan bunga-bunga yang beraneka warna nya.

Tampak seorang laki-laki tua sedang memberi makan burung-burung dara, sambil tidur-tidur di kursi panjang. Dia adalah Mahisa Cempaka.

Tiba-tiba ada perempuan yangb berteriak, “ Ayah ! Ayaha ! Aku pulang ayah ! Aku anak mu pulang ayah ! “

Mahisa Cempaka terkejut; Bangun dari kursinya dan menatap seorang perempuan yang berlari-lari menghampiri. Mata Mahisa sudah rabun, sehingga dia lambat untuk bereaksi menyambut kedatangan putri nya.

“ Siapakah engkau ? “

“ Aku Dyah ! Aku Dyah, ayah ! Anak mu ! “

“ Oh anak ku sayang ! Ayah terkejut !

Mana si Rakeyan ? Katanya mau sering pulang, tapi mana ? Dia berbohong kepada ayah !”
Dyah menangis mendengar ayah nya, berkata tentang suaminya. Suaminya yang sekarang tiada.

“ Mengapa engkau menangis, wahai Dyah Lembu Tal ?

Seharusnya engkau pulang dan sering menjenguk ayah ibu mu.

Benar kan kata ku ? “
Dyah Lembu Tal memeluk ayah nya erat-erat, disertai air mata yang jatuh ter urai.

“ Ayah ! Rakeyan sudah berpulang; Dia sudah mati. Ya, mati dibunuh oleh lawan-lawan politiknya. “

“ Hai siapa bersama mu ? “

Dyah kelihatan gembira, sewaktu dia melihat Raden Wijaya dan Patih Danureja dan juga banyak serdadu Galuh yang datang dengan sikap sopan. 

“ Ayah, jangan takut ayah ! Ada pengganti suamiku ! Ini lah dia, Raden Wijaya, anak ku. Bukan kah dia mirip dengan si Rakeyan ayah ?.

Nak kemari nak, beri kan salam mu kepada kakek mu, Mahisa Cempaka.! “
Raden Wijaya duduk bersila dihadapan kakek nya, dengan kedua telapak tangan nya dikatupkan, “ Kakek, hamba bernama Raden Wijaya, putra Raja Rakeyan Jayadharma dari Kerajaan Galuh. Akan tetapi ayah ku sudah meninggal Dunia, diracun oleh lawan politik nya.

Sebelum ayah menghembuskan nafas nya yang terakhir, dia sempat memberi salam kepada kakek, Mahisa Cempaka.”
Patih Danureja berkata, menimpali kata-kata Raden, “ Benar wahai Mahisa Cempaka; Aku wajib menyampaikan salam hormat Raja kami, Rakeyang Jayadharma, sebelum beliau wafat.

Aku Patih Danureja, dari Kerajaan Galuh.

Dapat kami beritakan bahwa sekarang ini sedang terjadi pertempuran di Negeri kami, melawan Kerajaan Sunda, disebrang Sungai Citarum.

Musuh telah memulai penyerangan lebih dahulu dengan meracuni Raja kami, melalui makanan yang dimasak oleh seorang koki Istana, yang ternyata adalah pasukan mata-mata musuh.

Kami mendapat mandat untuk menyerahkan Putri bapak beserta keluarganya, ketempat yang lebih aman, di Singosari.

Mohon maaf kepada bapak, karena kami harus cepat-cepat pulang untuk segera terjun di medan tempur.”

“ Marilah kita masuk lebih dahulu kerumah ku ! Dyah, ibu mu sangat rindu kepada mu. Oh Dewa yang Agung, terimakasih engkau telah mendatangkan anak ku ini.”
Semua orang memasuki rumah Mahisa Cempaka, yang dulu nya pernah di rampok oleh Kolo Gondo Mayit. ( Lihat cerita Pendiri Kerajaan Majapahit ).

Dyah meneteskan air mata, sewaktu dia melihat boneka kesayangannya masih ada di lemari kaca. Dia menghampiri boneka itu dan mencium nya dengan mesra; Ini lah benda-benda kenangan yang masih tersisa.

Seorang wanita tua datang berlari-lari kecil, memeluk Dyah erat-erat, “ Dyah, Dyah, Dyah ! “

Diyah Lembu Tal seolah tidak mau melepaskan pelukan ibu nya. Dia menagis lebih keras ,

“ Ibu, Ibu , Ibu! Dia sudah tiada Ibu ! Dia sudah mati, diracun oleh Dewi Dara Buana.”
“ Apa ? Apa yang sudah terjadi ? “

“ Ibu, aku datang dengan berita duka, bahwa suami ku sudah mati dibunuh denga cara diracun oleh kerabat Raja Sunda. Suami ku makan makanan yang sudah dibubuhi racun oleh koki Istana. Koki Istana itu ternyata adalah serdadu musuh; Dia menaburi makanan Raja dengan racun Warangan.

Suami ku mati dengan penuh penderitaan, Ibu; Ini semua tidak adil ! ”

Ibu nya terdiam dengan muka yang pucat.

Akhirnya Ibu memberikan kata-kata yang menghibur, “ Semua sudah menjadi kehendak Para Dewa di Nirwana; Biarlah anak ku, relakan kepergian nya; Para Dewa akan menggantikan dengan sesuatu yang membahagiakan, percayalah ! “

Patih Danureja beserta para prajurit pengawalnya memohon pamit untuk undur diri, karena tugas berat menanti mereka.

Kakek Mahisa Cempaka menemui cucu nya yang ganteng dan menyenangkan, “ Hai cucu ku ! Apakah engkau akan menjadi rakyat Singosari ? Aku senang sekali jika engkau menjadi rakyat kami ! “

Raden Wijaya duduk bersila dimuka kakeknya, “ Ya kakek, benar kata kakek dan juga kata ayah ku; Dikarenakan Negeri kami sekarang ini tidak aman. Kami mohon kiranya kami dapat tinggal untuk sementara dirumah kakek.! “

“ Dengan segala senang hati, kami menerima seorang cucu untuk tinggal bersama kami. Rumah kakek mu ini, juga rumah mu, rumah ibu mu; Jadi tidak lah engkau perlu memakai aturan-aturan yang tidak perlu.

Nanti, engkau akan ku antar ke Istana Kerajaan Singosari.”

Raden Wijaya terdiam. Dia berpikir, “ Yang benar saja Kakek ? Datang ke Istana bukan sesuatu yang lumrah; Bisa-bisa kita akan ditangkap oleh serdadu jaga Istana ! “

Akhirnya Raden berkata, “ Benarkah kek ? Ah....kakek kiranya sedang bersenda-gurau atau mau membohongi cucu nya, benarkan demikian ? “

“ Tidak ! Aku tidak bersenda-gurau. Aku serius ! “
“ Apakah kakek mengenal Raja Singosari.... yang bernama Raja ..ah aku lupa nama beliau !”

“ Raja Ranggawuni “

“ Ya benar, Ranggawuni. Apakah kakek mengenal beliau ? Jika Kakek tidak mengenal secara dekat, tidak usah lah Kek ! Nanti kita akan diusir oleh serdadu jaga Istana ! Kita akan malu.”

“ Aku mengenal Beliau, bahkan Beliau memanggil aku ‘Paman’; Karena aku adalah bekas Perdana Menteri di Kerajaan Singosari. Tetapi karena faktor usia, maka aku dipensiun oleh Beliau. Kita akan bertamu kepada Raja Ranggawuni; Dan aku akan memperkenalkan engkau sebagai cucu ku; sebagai keturunan generasi ke lima dari Raja Ken Arok.

Dan sekali gus, engkau juga seorang Pangeran dari Kerajaan Galuh Sunda di Jawa Barat.”

“ Wow....terimakasih Kek; Kakek memang hebat, mau menampilkan cucu nya, sebagai seorang Nigrat. Tetapi apakah benar, aku ini generasi ke lima dari keturunan Raja Ken Arok?

“ Benar, sungguh benar kata ku ini. Ibu mu adalah keturunan ke empat; Sedang aku adalah keturunan ke tiga. Ayah ku, Mahisa Wongateleng adalah Putra Raja Ken Arok, Raja pertama dari Kerajaan Singosari.”

“ Jadi bila kita akan berkunjung ke Istana ? Aku sudah tidak sabar Kek ! “

“ Nanti !

Kakek akan mencari hari baik, yang nantinya Raja akan menerima kita dengan lapang dada.”

No comments: