Monday, August 24, 2009

Hikayat Tumenggung Wiranegara (Bagian 4)

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi

Bab 10

Menunggu adalah sesuatu yang menjemukan; waktu sungguh sangat berat untuk dilalui karena yang akan melalui harus tinggal didalam hutan yang lebat, tidak menyenangkan. Terlebih untuk seorang Raja atau Pangeran dan keluarganya; itulah yang sedang terjadi dengan Pangeran Purbaya dan keluarganya dan juga dengan para pengikutnya yang berjumlah delapan pulu tujuh prajurit Banten.

Mereka telah lari dari medan tempur Banten demi menyelamatkan diri dan keluarganya. Mereka terus dikejar-kejar oleh serdadu Kompeni dibawah komandan Kapten Tack.
Bagaimana nasib sang Pangeran bila dapat tertangkap? Pasti mereka akan dibunuh semuanya, karena Pangeran Purbaya mempunyai pengaruh besar pada rakyatnya. VOC memperkirakan rakyat Banten akan bangkit lagi melawan Kompeni dibawah pimpinan Pangeran Purbaya; suatu yang tidak diinginkan oleh Kompeni.

Sudah diceritakan sebelumnya, Pangeran Purbaya berkirim surat dengan cara yang unik kepada Kapten Tack; yang isinya dia bersedia menyerah asalkan dijemput oleh Perwira militer VOC yang Pribumi, bukan orang Belanda.

Maka tugas dialihkan kepada Letnan Untung yang baru diangkat menjadi serdadu Kompeni beserta lebih dari seribu prajuritnya.

Di suatu hutan yang sunyi, duduk seorang Putri cantik ditepi sungai, seorang diri. Kakinya dibiarkan berjuntai masuk kedalam air sungai yang jernih. Ikan-ikan banyak mengelilingi kakinya, seolah mereka sedang mengagumi sang Putri yang cantik. Dia adalah Putri Gusik Kesuma, istri dari Pangeran Purbaya. Sudah dua bulan lamanya Putri Gusik Kesuma bersembunyi didalam hutan bersama suaminya dan juga bersama para pengikutnya.

Bagaimana perasaan sedih dan duka sang Putri yang tergambar dari sinar redup wajahnya yang cantik jelita; bagaikan matahari diliputi oleh awan mendung. Hari-harinya selama dihutan penuh dengan rasa takut akan saatnya kedatangan Kapten Tack yang akan menghukum dia dan keluarganya berikut seluruh pengikutnya.

Sang Putri bersenandung didalam kesepiannya dihutan sunyi.

Sementara itu Untung dan pasukannya sudah berada dilereng Gunung Gede, menyusuri sungai Cigundul yang dikatakan sebagai tempat persembunyian Pangeran Purbaya. Untung memperkirakan bahwa apa bila dia dapat menelusuri sungai hingga sampai ke hulu, kemungkinan akan dapat menjumpai Pangeran dan kawan-kawannya.

Mereka tidak memakai seragam tentara VOC, sekalipun menjalankan tugas untuk kepentingan VOC. Untung percaya bahwa kehadirannya akan dapat diterima oleh Pangeran Purbaya.

Setelah berjalan selama setengah hari, akhirnya Untung mendengar suara merdu seorang wanita yang sedang bernyanyi, suaranya merdu tetapi lirik lagunya menggambarkan kesedihan yang memilukan:

Langit mendung kelam kelabu diangkasa Negeri
Sedih, sakit,dan pilu terasa nyeri
Rakyat menangis, prajurit menjerit dan Raja lari
Engkau menang, aku kalah lalu siapa yang menghakimi?
Tunjukan padaku siapa benar, siapa salah dan siapa disakiti
Wahai anak cucuku, ingatlah akan tugasmu
Ibu Pertiwi sedang menangis pilu
Menantikan engkau dan upaya perjuanganmu
Membebaskan Nusantara dari bencana sang angkara

Untung memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk tidak membuat suara yang akan mengejutkan sang Putri. Mereka bersembunyi diantara semak-semak.

Dikarenakan jumlah prajurit Untung yang mencapai hampir seratus orang, maka kehadirannya sudah barang tentu diketahui juga oleh sang Putri, “Wahai Kisanak, siapakah engkau? Apa maksud kedatanganmu?”

Untung dengan tangkas keluar dari persembunyiannya,menghampiri dan menghormat sambil membungkuk dihadapan Putri, “Aku adalah Letnan Untung dari ketentaraan VOC; maksud kedatanganku adalah menjemput Paduka yang mulia Pangeran Purbaya.”

“Oh begitu, jika beliau tidak mau, apa tindakanmu terhadap kami wahai Letnan Untung?”

“Akan kubiarkan beliau hidup bebas bersama keluarganya dan juga pengikutnya; silahkan beliau pergi kemanapun beliau sukai.”

“Betulkah begitu? Akan tetapi jika beliau bersedia dijemput oleh mu, lalu beliau mau dibawa kemana?”

“Akan kuhadapkan beliau kepada Kapten Tack, atasanku.”

“Apakah setelah itu Kapten Tack akan menjatuhkan hukuman mati?”

“Sepanjang pengetahuanku, orang yang sudah menyerah tidak boleh dihukum mati. Apalagi Pangeran Purbaya, bukan hanya menyerah tetapi juga menyerahkan seluruh Negerinya beserta isinya kepada yang menang. Aku sangat menghormati Paduka yang telah memberikan pengorbanannya yang begitu besar.”

“Oh Untung, alangkah sejuk hatiku mendengarkan ucapanmu, terimakasih. Baiklah, akan kupanggil suamiku, sementara engkau tunggu saja disini.”

Setelah menunggu selama setengah jam, datanglah rombongan Pangeran Purbaya. Beliau diusung diatas tandu Kerajaan yang menandakan bahwa beliau adalah Raja, Raja yang dihormati oleh rakyatnya.

Untung menghampiri tandu, duduk berjongkok dan menghaturkan sembah dengan mengatupkan kedua telapak tangannya. Tindakannya diikuti oleh seratus prajuritnya. Aksi dan tata cara Istana yang diperlihatkan Untung membuat hati sang Pangeran terpesona dan bertanya-tanya, apakah dia termasuk rakyat Banten, rakyatku sendiri?.

“Wahai Paduka Yang Mulia Pangeran Purbaya, aku Untung dan seratus prajuritku datang mengaturkan sembah, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan taufik dan hidayahNya kepadamu dan semoga Paduka beserta keluarga diberi panjang umur dan berbahagia.”

“Hai Untung, siapakah engkau sebenarnya? Apakah engkau ikut bertempur dipihakku melawan Kompeni di medan tempur Serang Banten yang baru berlalu?”

“Aku adalah Letnan Untung dari ketentaraan VOC; tugasku adalah menjemputmu untuk dihadapkan kepada Kapten Tack.”

“Apa? Jadi engkau berdiri dipihak musuh; sungguh memalukan.” Pangeran kelihatannya sangat kecewa.

“Memang benar sungguh memalukan. Jika Paduka tidak bersedia kuantar, maka aku akan undur diri untuk pamit. Terserah pada Paduka,”

Pangeran terdiam, nampak mereka berdua dengan istrinya sedang berbisik-bisik. Nampaknya ada perbedaan pendapat antara suami dan istri.

Pada akhirnya Pangeran berkata, “Baiklah Letnan Untung, antarkan aku untuk menghadap Kapten Tack, aku akan menyerah kalah.”

Rombongan Pangeran bergerak keluar dari hutan dengan diiringi oleh Letnan Untung dengan prajuritnya.

Ke delapan puluh tujuh prajurit Banten nampaknya menaruh curiga kepada Untung dan menganggap Untung sebagai penghianat Bangsa. Oleh sebab itu mereka tidak menaruh simpati dan membatasi pembicaraan.

Sungai Cigundul bermuara pada sungai Cikalong yang lebih besar. Rombongan sekarang sudah sampai di tepi sungai Cikalong.

Iduk pasukan Letnan Untung bermarkas ditempat ini, pada suatu tempat yang dirahasiakan.

Tanpa pemberitahuan kepada Letnan Untung, tiba-tiba datang pasukan VOC lainnya dibawah komandan Vaandrig Kuffeler untuk menjemput Pangeran Purbaya yang sedang berada dibawah pengawasan Letnan Untung. Komandan Vaandrig Kuffeler yang mempunyai anak buah londo-londo semua, tidak memandang sebelah mata akan kehadiran pasukan Letnan Untung.

Serta merta komandan Vaandrig Kuffeler menangkap Pangeran Purbaya, mengeluarkan beliau dari tandu kebesarannya secara paksa dan kemudian membogrol kedua tangannya. Semua prajurit Banten terperangah akan aksi ini, tapi mereka masih tetap tinggal diam.

Tidak demikian halnya dengan Letnan Untung. Dia memberi isyarat dengan tangannya, itu adalah komando yang tidak diucapkan, tetapi semua prajuritnya sudah tau, artinya serang.

Banyak anak panah beterbangan kearah serdadu Belanda itu dan mereka semuanya mati dibantai seketika, tertembus anak panah, termasuk komandannya sendiri, Vaandrig Kuffeler.

Sekarang baru terbuka mata para serdadu Banten bahwa Letnan Untung bukanlah seorang pengchianat bangsa. Tindakan Untung adalah ungkapan rasa jengkel dan kecewa akan aksi teman sejawatnya yang bertindak tidak sopan kepada seorang Raja. Tindakan Vaandrig memang sudah melewati batas atas diri seorang Raja Banten. Sedangkan sebaliknya, Untung mempunyai pandangan berbeda; bahwa Pangeran Purbaya adalah orang penting yang wajib harus dihormati.

Putri Gusik Kesuma menangis histeris melihat pertempuran singkat. Limapuluh mayat londo-londo VOC bergelimpangan didepan matanya. Sementara Pangeran Purbaya juga menjadi kaget dan takut.

“Wahai Paduka Pangeran Purbaya, ketahuilah bahwa aku tidak bersedia mengantar kan engkau kehadapan Kapten Tack, karena aku sekarang kembali menjadi buruan Kompeni. Apakah Paduka tetap ingin menghadap Kapten Tack?” Tanya si Untung.

“Ya, aku akan tetap menghadap Kapten Tack, karena aku akan menyerah.”

“Walaupun sudah terjadi perlakuan kasar dari Kompeni kepada Paduka yang Paduka sudah merasakannya sendiri?”

“Ya” Jawab Pangeran pendek.

“Baiklah! Hai Kawan-kawan prajurit Banten, antarkan Rajamu kepada Kompeni. Aku dan tentaraku hanya dapat mengantarkan beliau dan kalian semua sampai disini saja.” Kata Untung kepada tentara Banten.

Putri Gusik Kesuma menghadap suaminya, “Kanda, sebaiknya kita ikut berjuang bersama Untung. Janganlah kanda menyerah kepada Kompeni, marilah kita kuatkan tekat kita dan semangat kita melawan Kompeni.”

“Jika itu yang engkau mau, pergilah adinda bersama si Untung.”

“Hukuman mati akan menanti kanda di Batavia. Aku berani mengatakan seperti itu dengan melihat cara Vaandrig Kuffeler yang telah bertindak kasar kepada kanda. Itulah suatu tanda bahwa kanda tidak akan diterima dengan baik oleh mereka.”

Berbagai cara telah dilalui untuk membujuk Pangeran Purbaya, tetapi beliau tidak bersedia untuk ikut dengan perjuangan si Untung; beliau memilih untuk mnyerahkan diri kepada Kompeni. Hingga akhirnya beliau berlalu bersama sisa tentara Banten menuju Batavia.

Maka dengan demikian selesai sudah tugas Untung di kedinasan ketentaraan VOC, sesuai dengan kehendak Untung sendiri; tugasnya hanyalah menampakan muka kepada Pangeran Purbaya. Dia kembali menjadi buruan VOC sebagai napi.

Sementara itu Putri yang cantik, Gusik Kesuma meminta kepada si Untung untuk dapat bergabung didalam kesatuanya, “Wahai Letnan Untung, terimalah aku yang malang ini didalam kesatuan tentaramu untuk ikut berjuang bersamamu melawan Kompeni.”

“Aku dengan senang hati menerima Tuan Putri yang aku junjung tinggi selaku Ratu Kerajaan Banten.”

“Janganlah engkau memanggil aku dengan berbagai gelar-gelar kebangsawanan. Aku sudah bercerai dengan suamiku, jadi aku bukan lagi seorang Ratu yang harus dihormati. Aku adalah tentara wanita yang akan berperang melawan Kompeni; aku adalah bawahanmu.”

“Betulkah demikian adanya? Aku juga meminta kepadamu untuk tidak memanggil aku dengan sebutan Letnan, karena aku sudah mengundurkan diri dari dinas ketentaraan VOC.

Jika engkau tidak tersinggung dengan moto perjuangan kami disini, dengarkanlah, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup menjadi budak kompeni.”

Termenung Gusik Kesuma mendengar moto perjuangan si Untung dan kawan-kawannya; “Jelas, moto itu ditujukan kepada sikap bekas suamiku yang mau hidup menjadi budak kompeni.” Pikir Gusik Kesuma.

Untung kembali memberikan pandangan kepada Putri Gusik Kesuma, “Wahai Putri, engkau adalah seorang wanita Ningrat yang biasa hidup di Keraton, jadi engkau akan menderita bila engkau bersama kami. Akan tetapi keinginanmu telah memberikan dorongan moril kepada kami untuk selalu berjuang membebaskan Ibu Pertiwi dari sang angkara. Jadi aku putuskan, akan mengantarkan engkau hingga sampai dirumah orang tuamu di Kartasura.”

“Oh Untung kembali engkau siram hatiku dengan air sejuk; sungguh kata-katamu membuat aku menjadi tenang dan bahagia. Aku ucapkan terimakasih kepadamu dan juga kepada seluruh laskarmu akan halnya akan mengantarkan aku sampai kerumahku.” Kata Putri Gusik Kesuma dengan pandangan kagum kepada Untung.

“Marilah kita bergerak meninggalkan tempat ini sesegera mungkin, karena aku yakin sebentar lagi tentara VOC yang lain akan datang untuk menangkap aku. Hapuskan jejak-jejak kita agar mereka tidak tau keberadaan kita”

Maka Untung beserta kesatuan tentaranya bergerak menuju hutan-hutan di Jawa Barat.

Sementara itu Kapten Tack mendengar laporan akan halnya Untung yang telah membantai lima puluh serdadunya yang dipimpin komandan Vaandrig Kuffeler. Dia berteriak-teriak didepan anak buahnya, “Sampai keujung Dunia pun engkau akan ku kejar Hai Untung! Engkau yang meminta kepadaku untuk tidak berchianat, tetapi nyatanya engkau sendiri yang berchianat. Terkutuklah engkau!”

Maka dilakukan pengejaran dengan segera; dipersiapkan lima ratus prajurit VOC bersenjata lengkap dibawah pimpinan Jacob Couper. Pasukan berkuda Jacob segera berangkat untuk mengejar.

Pasukan Untung sampai di desa Rajapalah, mereka mendirikan kemah-kemah untuk beristirahat. Keesokan harinya mereka bersiap-siap angkat kaki kembali.

Seorang pasukan mata-mata melaporkan kepada Untung, “Tuan, mereka datang mengejar dengan kekuatan lebih dari lima ratus tentara berkuda; nampaknya mereka juga sudah tau akan keberadaan kita disini.”

“Bagus, kalau begitu kita akan menantikan mereka disini dan kita akan bantai mereka semua.”

“Caranya bagaimana?” Tanya Patih Gendut.

“Jangan di bongkar dulu perkemahan kita, buatlah seolah-olah kita masih menetap di desa ini; kemudian kita bersembunyi dan siap tempur di sekitar kemah kita. Kita akan pilih posisi kita yang baik dan tersembunyi dengan jarak tembak yang cukup dekat untuk sebatang anak panah dapat mengenai sasarannya. Gendut, tugasmu adalah memilih tempat yang kumaksud.”

“Baik Paduka.”

Semua orang bekerja; kemah yang sudah dibongkar dipasang kembali; tungku-tungku untuk memasak ditaruh kembali ditempatnya. Sementara penghuninya angkat kaki untuk bersembunyi dan siap dengan panah, tombak dan parang atau pedang. Sekalipun mereka mendapat bedil dari VOC, pasukan Untung tidak terbiasa menggunakannya.

Untung menunggu dan menunggu, tetapi musuh belum juga datang menyerang perkemahannya. Pada mulanya dia menduga-duga, jangan-jangan ada penghianat yang melaporkan siasatnya.
Untung berunding dengan Patih Gendut, Suromenggolo, Jakapasopati, Sambernyowo dan Haji Mat Toha. Untung mengungkapkan pendapatnya, “Jika mereka datang sekarang, maka terjadi pertempuran satu lawan satu yang seimbang. Aku yakin mereka takut dan akan menghindari pertempuran semacam itu, karena mereka sesungguhnya takut mati. Jadi ada kemungkinan lain, mereka akan menyerang dimalam hari sewaktu kita sedang tidur.”

“Aku juga mengira seperti itu. Diwaktu kita sedang tidur, mereka akan membakar kemah kita dan membantai kita dengan mudah.” Kata Patih Gendut.

“Jika kalian sependapat dengan aku, maka sebagian dari kita turun kekemah untuk menghidupkan kemah dan sebagian yang lain berjaga dtempat ini. Buatlah seolah-olah kita sedang lengah dan santai diperkemahan kita. Karena aku yakin mereka sedang meneropong kita dengan teropongnya dan mempersiapkan serangan fatal ditengahmalam.”

Malampun tiba, keadaan kemah masih tenang. Prajurit meninggalkan kemah satu persatu dan bersembunyi. Kemah dibiarkan dengan lampu minyak masih menyala didalamnya. Kemudian mereka menunggu sambil beristirahat.

Pada tengah malam, datanglah Jacob Couper dan serdadunya mengendap-endap tanpa suara, mendekati perkemahan dan mulai menyalakan api untuk membakar. Sebelum sempat mereka bertindak, satu persatu londo-londo itu mati tertembus panah. Mereka menjadi panik, karena musuhnya tidak tampak. Anak panah beterbangan dari dalam hutan.

Mereka membalas dengan bedil locoknya tetapi hanya menembaki hutan yang gelap, tanpa mengetahui sasarannya dengan pasti.

Akhirnya hampir semua serdadu VOC itu mati; yang lain melarikan diri. Untung segera mengejar mereka dan menebas leher mereka dengan pedang.

Mayat-mayat serdadu Belanda itu berjumlah lima ratus dua puluh satu orang, termasuk Jacob Couper. Tidak ada yang ditinggalkan hidup oleh Untung, semuanya dibantai. Korban dipihak Untung, hanya seorang tewas tertembak oleh Belanda yang menembak secara acak kedalam kegelapan hutan.

Sudah barang tentu Kapten Tack marah dan berjajnji akan membunuh Untung dimanapun dia berada.


Bab 11

Untung harus tetap menjadi pengembara, karena dia dan kawan-kawannya maklum sebagai buruan Kompeni. Untung dan pasukannya meninggalkan Jawa Barat dan menuju Jawa Tengah, tepatnya ke Kerajaan Cirebon. Kerajaan Cirebon adalah daerah merdeka yang belum dipengaruhi oleh Kompeni.

Bagian logistik pasukan Untung memberi saran kepada Untung untuk suatu kegiatan upaya mencari dana dari masyarakat Cirebon; dengan mengadakan pertunjukan atraksi akrobatik, berdagang dan berbagai cara lainnya yang bisa dilakukan. Maka dibentuk panitia oleh Untung.

Untung berhasil mengumpulkan mereka yang pandai bermain silat, sulap, sandiwara, menari, menyanyi dan macam-macam atraksi. Para prajurit memandang ini sebagai hiburan, menghilangkan rasa jenuh dan rasa takut. Untung sendiri ikut terjun dengan atraksi tari kecak dari Bali. Dalam satu minggu dia berhasil melatih lima puluh prajuritnya untuk menari kecak dan siap dipertunjukan.

Sementara itu, nama harum Untung dan pasukannya sudah terdengar dikalangan masyarakat. Kebanyakan dari mereka sangat memuji perjuangan Untung dalam melawan Belanda.

Sungguh mengejutkan, Putri Gusik Kesuma menyerahkan sekotak perhiasan kepada Untung untuk modal awal usaha mereka. Untung kelihatan terpesona sewaktu melihat satu kotak emas dan berlian yang berasal dari Belanda, Inggris, India dan lain-lain. Barang berharga ini pastilah sangat mahal harganya.

Untung menatap mata sang Putri cantik jelita, “Wahai Putri, aku sesungguhnya tidak berani menerima barang berharga ini; Apakah engkau benar-benar merelakannya?”
“Semua ini adalah bukti pengorbananku yang tulus ikhlas demi Ibu pertiwi, demi kesukssan engkau didalam perjuangan. Bahkan nyawaku pun akan kuberikan, karena aku sudah mendengar moto perjuanganmu.”

Untung terdiam sesaat. Dia betul seorang laki-laki yang emosionil; kelihatan matanya merah dan akhirnya meneteskan air mata, tanda suka cita dan rasa haru yang mendalam. Akhirnya dia berkata lirih, “Bolehkah aku memelukmu?”

Putri menganggukan kepalanya. Dan kedua insan berlainan jenis ini berpelukan sebatas persahabatan. Untung membatasi pergaulannya sampai disitu saja, karena dia sadar adanya perbedaan kelas, Putri adalah seorang Ningrat dan dia hanyalah bekas budak yang hina.

Dengan dukungan dana dari Putri yang tidak terduga, maka Panitia merubah rencana semula menjadi rencana yang sedikit megah. Dibangun teater dari tenda besar dan dibuat semacam sandiwara keliling yang akan mengadakah pertunjukan seni selama satu bulan di Kota Cirebon dan juga ditempat-tempat lain yang akan disinggahi didalam perjalanan pasukan. Dan kebetulan tampil seniman-seniman diantara prajurit Untung yang neneknya memang berdarah seni dari Mataram. Panitia juga membeli peralatan musik, gamelan dan lain sebagainya.

Patih Gendut memberi saran, “Jika kita membuat pagelaran yang sedemikian besarnya, maka kita wajib melapor kepada penguasa daerah ini, Sultan Cirebon. Bukan kita mengada-ada, akan tetapi itu lah tata krama, agar beliau tidak tersinggung.”

“Sungguh tepat usulmu Gendut; aku dan engkau akan pergi ke Istana Cirebon untuk melaporkan akan adanya pagelaran kita.”

Singkat cerita, si Untung menghadap Sultan Cirebon. Dengan duduk bersila dimuka Singgasana, mengatupkan kedua telapak tangannya, Untung berkata, “Kami datang berdua untuk mengaturkan sembah kepada Baginda, semoga Baginda dalam keadaan selamat dan berbahagia. Aku adalah Untung dan Kawanku adalah Gendut. Kami beserta pasukanku sekarang ini sedang berperang melawan Belanda. Untuk itu kami membutuhkan dana guna membiayai pertempuran tersebut.

Izinkanlah kami membuat pertunjukan sandiwara keliling yang akan kami pertunjukan di kota Cirebon ini dan juga kota-kota kecil lainnya.”

“Selamat datang Untung. Aku sudah mendengar kabar tentang diri mu dan aku mengagumi akan kehebatanmu dalam perjuanganmu menghadapi Kompeni.”

“Harapan kami adalah Baginda berdiri dipihak kami dan sejalan dengan perjuangan kami; betulkah demikian Baginda?”

“Ya sungguh benar; bahkan aku berterimakasih kepadamu, karena aku masih kerabat dekat dengan Sultan Banten yang baru saja digulingkan; bukan oleh anaknya menurut pendapatku, tetapi oleh Kompeni. Alhamdullilah, ada orang yang membantu membalaskan sakit hatiku, orang itu adalah engkau, Untung.

Untuk mengungkapkan rasa terimakasihku, maka aku mengizinkan pagelaranmu dan merestui perjuanganmumu. Lebih dari itu, aku juga memberikan sumbangan berupa beras”

“Terimakasih Baginda.”

Dengan suka cita kedua pejuang itu pulang kembali ke kem.

Dan pagelaran seni diadakan oleh panitia dengan penuh semangat. Hari pertama pembukaan ternyata sangat meriah, pengunjung banyak yang datang, bahkan Baginda Sultan Cirebon pun menyempatkan datang.

Peran Putri Gusik Kesuma ternyata ada, bahkan cukup menentukan; dia berbaur dengan para pesinden diatas panggung dan ikut menyanyi. Dia tidak sungkan membantu Untung didalam usaha dan perjuangan, walaupun dia wanita Ningrat yang seharusnya tidak mempertontonkan dirinya diatas panggung.

Justru para penonton, terutama para pemuda datang untuk dia, dikarenakan Putri Gusik Kesuma cantik mempersona. Mereka datang dengan berbagai tingkah untuk menarik perhatian sang Putri.

Pertunjukan seni itu menampilkan sandiwara lima babak yang diambil dari cerita-cerita rakyat dengan diiringi tabuh gamelan dan nyanyi para pesinden.

Pertunjukan sukses dan berhasil mendapatkan uang yang cukup banyak. Panitia sangat bersyukur; akan tetapi pada hari kedelapan tenda harus diangkat dengan memperhitungkan masalah keamanan.

Mereka menyadari bahwa mereka sedang berada di medan tempur dan baru saja membunuh limaratus dua puluh satu orang Belanda.

Sebelum itu, terjadi suatu keributan pada waktu pertunjukan ketika seorang anak muda maju secara nekat naik keatas panggung dan mendekati Putri Gusik Kesuma. Dia begitu tergila-gila dengan Putri dengan langsung memegang dan mencium Putri. Segera Untung turun tangan untuk mencegah sang pemuda untuk dapat bertindak lebih lanjut yang akan membuat malu dan takut Putri.

Ternyata pemuda itu melawan dan menusukan senjatanya kearah Untung. Pisau hampir menusuk perut Untung, tetapi dapat ditangkis dengan lengannya, sehingga lengan kanan Untung mendapat luka yang mengeluarkan darah. Segera pengawal Untung turun tangan meringkus sang pemuda nekad dan dibawa kepada prajurit keamanan Keraton Cirebon.

Di perjalanan, sang pemuda yang tidak dikenal itu kembali memberontak dan kali ini dapat merebut senjatanya dari pengawal Untung dan menusukan pisau itu ke salah satu prajurit Untung yang berakibat fatal.

Dia terlepas dan lari sambil berteriak-teriak, “Aku anak Raja, tidak seorangpun yang dapat melarang perbuatanku. Aku mau kawin dengan perempuan itu dan tidak boleh ada yang melarang, karena aku adalah anak Raja.”

Prajurit Untung sebanyak lima orang mengejar sang pemuda dan berhasil meringkus sang pemuda. Kali ini tangannya diikat dan mulutnya ditutup dengan kain. Dia digelandang ke pos keamanan Keraton Cirebon untuk dapat dipenjara.

Satu Prajurit Untung pada akhirnya menemui aja secara percuma karena lengah, dia tidak mengira sang pemuda akan dapat membunuhnya.
Ternyata kerusuhan tersebut berbuntut panjang yang menyebabkan rombongan laskar Untung belum dapat melanjutkan perjalanannya, dikarenakan pemuda tersebut memang benar anak dari Sultan Cirebon.

Bersambung

No comments: