Tuesday, September 16, 2008

Cinta Terlarang (Bagian 2)

Raja Ditawan Musuh

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

Jaran, Banyu Urip dan empat puluh prajurit-prajurit dari kesatuan rahasia, sekarang berada di penjara. Keadaan mereka sangat menyedihkan. Mereka bersikap diam tidak banyak bicara, kecuali Jaran. Jaran berbicara dengan pengantar makanan dengan maksud belajar bahasa Sunda. Seolah tidak ada beban bagi sang Raja, sekalipun semua anak buahnya takut akan hukuman yang akan diberikan musuh.

Seorang penjaga penjara memberikan keterangan bahwa Putri Dyah Pitaloka berkenan mengunjungi tawanan; oleh sebab itu para tawanan diperbolehkan keluar menuju gedung Balairung guna bercakap-cakap dengan Putri.

Semua prajurit Majapahit saling bertanya, alangkah baiknya sikap Putri kepada mereka; dia mau bercakap-cakap dengan mereka yang sekarang menjadi orang hina.

Mereka sedikit menghirup udara bebas, duduk dikursi yang baik dan diperlakukan seperti tamu. Tak lama kemudian seorang ajudan Putri yang bernama Dayang Galuh Lembayung memberikan pengumuman, “Saudara-saudara para prajurit Majapahit yang budiman, Putri Dyah Pitaloka berkenan memberi salam kepada kalian dan juga ingin bercakap-cakap dengan kalian. Hal-hal tentang Kerajaan Pajajaran yang kalian ingin ketahui boleh ditanyakan kepada Tuan Putri. Dan sebaliknya hal yang tidak dimengerti oleh Tuan Putri mengenai Kerajaan Majapahit, juga akan ditanyakan oleh Tuan Putri kepada kalian.”

Tak lama kemudian tampil seorang wanita muda yang penuh karisma dan cantik.
Semua orang Majapahit kagum akan kecantikannya.

“Selamat datang di Negeri Pajajaran; Aku adalah Putri Dyah Pitaloka; aku adalah Putri dari Raja Maharaja Lingga Buana. Sekarang marilah kita bercakap-cakap secera kekeluargaan mengenai hal yang kalian belum ketahui.
Siapa yang akan memulai lebih dulu? Silahkan.”

Semua orang Majapahit diam, tidak ada yang mau memulai.
Tak lama kemudian, Jaran berdiri dan bertanya, “Tuan Putri, namaku Jaran; pada waktu kita berbaris menuju penjara, kita melewati gedung Kaputren. Disana aku melihat Tuan Putri sedang berdiri di pintu. Betulkah itu Tuan Putri?”

“Ya, betul itu adalah aku. Aku kagum dengan daya ingatmu. Itu menandakan bahwa engkau adalah prajurit Majapahit yang terlatih.

Sekarang, aku boleh bertanyakan? Mengapa engkau datang dengan jumlah sedikit untuk menyerang kami? Seharusnya dalam jumlah banyak, agar engkau dapat memenangkan pertempuran. Atau engkau sebenarnya adalah pasukan yang lari dari tugas.”

“Untuk pertanyaan yang bersifat interograsi, maka komandan kami yang akan menjawab. Banyu jawablah pertanyaan Tuan Putri.”

“Kami tidak lari dari tugas, akan tetapi kami sedang kesasar hingga kami tidak tau bahwa tanah yang kami injak adalah bagian Istana anda. Maka atas nama Kerajaan Majapahit, kami menghaturkan maaf.”

“Bagaimana kalian bisa kesasar?”

“Kami mendapat tugas untuk meneliti tapal batas antara kedua Kerajaan; sebagaimana kita ketahui antara Majapagit dan Pajajaran ada hutan lebat, sehingga kita tidak tau tapal batas. Sewaktu kami asik berjalan, kami tidak sadar bahwa kami sudah melampaui batas hingga kami sudah sampai di halaman Istana anda.”

“Mengagumkan cara kamu berbohong kepadaku. Ingatlah diruang ini hadir secara gaib Dewa Sang Hiang Wiji. Jika engkau berbohong terus maka engkau akan celaka.
Dan memang kalian akan celaka, akan dihukum mati semua.”

Putri Dyah Pitaloka ternyata dapat berubah sifatnya. Dari wanita yang lemah lembut, menjadi wanita yang kejam sekejam perwira militer.

Banyu Urip terdiam, dia tidak dapat meneruskan keterangannya. Balairung menjadi sunyi, masing-masing ketakutan akan ancaman hukuman mati. Termasuk Raja Prabu Hayam Wuruk yang sekarang ketakutan.

“Dia bukan wanita sembarangan yang dengan mudah dapat dijadikan kekasih.
Tetapi aku masih mempunyai kartu truf bahwa aku adalah Raja Majapahit.” Prabu berpikir.

Karena Banyu Urip terdiam lama sekali, maka pada akhirnya Jaran mengambil alih, “Tuan Putri, baiklah kami mengaku bahwa kami ini adalah kesatuan mata-mata dari Kerajaan Majapahit; yang mana, memang kami kesasar hingga masuk kehalaman Istana. Jika sekiranya kami harus dihukum mati, kami akan terima; itu adalah sudah menjadi risiko kami sebagai prajurit.”

“Alangkah beraninya kamu Jaran dalam menghadapi maut.”

“Sebelum aku menemui ajal, bolehkah aku memberikan informasi yang sangat rahasia untuk engkau dapat memenangkan pertempuran ini.”

“Rahasia apa itu Jaran, katakan lah!”

“Aku akan mengatakannya didalam ruang tertutup, hanya engkau dan aku yang hadir disitu.”

“Jika engkau akan menciderai aku, maka aku akan berteriak dan para pengawalku akan menangkap engkau Jaran.”
Putri berbisik, memberi instruksi kepada Galuh Lembayung agar disediakan ruangan.

Suatu ruangan disediakan beserta empat pengawal berbadan tegap menunggu diluar ruangan. Juga Dayang Galuh Lembayung ikut berjaga diluar.

“Nah sekarang engkau boleh mengutarakan rahasia itu, hayo katakan!”

“Bahwa aku adalah Raja Majapahit. Sesungguhnya yang kukatakan.”

“Ha, ha, ha Jaran, Jaran. Itu adalah akal bulus yang sudah kuno. Semua orang boleh mengaku seperti itu. Akan tetapi aku tidak percaya kepadamu; seorang Raja tidak pernah pergi bertempur, dia hanya duduk di Singgasana dikelilingi para gundik-gundiknya.”

“Aku bersumpah atas nama Dewa Sang Hyang Wiji, aku adalah Prabu Hayam Wuruk yang sebenarnya.”

“Baiklah jika engkau Raja Majapahit, apa rencanamu selanjutnya guna aku dapat memenangkan pertempuran ini.”

“Aku akan menarik mundur pasukanku dan kembali ke Singosari; akan tetapi bebaskanlah aku beserta anak buahku.”

“Baik, itu adalah harga yang setimpal.”

Kedua orang itu keluar dari ruangan kemudian Putri dikawal ketat oleh prajuritnya. Mereka mengira Putri telah diciderai, tetapi ternyata tidak.

Putri Dyah Pitaloka berbisik kepada Dayang Galuh Lembayung, “Beritakan kepada Panglima dan ayahandaku bahwa ada orang yang mengaku sebagai Raja Hayam Wuruk diatara para tawanan.”

Dayang Galuh Lembayung berlari-lari kecil keruang kerja Panglima Maung Jaya. Kemudian kedua orang itu pergi keruang kerja Raja.

Panglima melaporkan, “Paduka, salah satu dari tawanan kita ada yang mengaku sebagai Raja Hayam Wuruk.”

“Apa? Jika benar begitu, dia Raja gila. Beraninya menyerang langsung kedalam Istanaku. Hayo kita lihat.”

Raja dikawal oleh Panglima, dayang Galuh, Ujang Lunut dan beberapa perwira militer, pergi ke Balairung Istana guna menemui Raja gila itu.

Mereka disambut oleh Putri Dyah Pitaloka dengan sikap manja kepada ayahnya. Kepribadian Putri dapat berubah-rubah, kadang-kadang dapat manja kepada ayahnya dan kadang dapat bersikap kejam dan kasar kepada musuh-musuh Negara.

“Ayah, itu orangnya yang berdiri sendirian.
Dia yang ganteng, aku suka dia; dia yang mengaku sebagai Raja Hayam Wuruk.”

“Dia tidak seperti Raja, tetapi seperti anakku. Lebih tepat kalau dia mengaku sebagai anakku. Bawalah dia kesuatu ruangan untuk interograsi.”

Raja mengadakan rapat singkat untuk menentukan sikap kepada Raja Hayam Wuruk. Akhirnya mereka menentukan sikap bahwa mereka akan bekerja sama dengan Raja Majapahit didalam penarikan mundur pasukannya. Sebagai imbalan-nya Raja Majapahit dan anak buahnya akan dibebaskan.

Jaran sudah tidak diborgol kakinya. Nampaknya prajurit pengawal Pajajaran menaruh hormat kepadanya setelah ada kabar yang disampaikan secara berbisik bahwa Jaran adalah Raja Majapahit.

Dia ada diruang tertutup, menanti partner rundingnya, Raja Maharaja Lingga Buana.

Akhirnya pintu dibuka dan masuk empat orang; mereka adalah Raja Lingga Buana, Panglima, Putri dan Ujang Lumut.

“Selamat datang di Negeri kami, wahai Raja Majapahit. Betulkah engkau Raja Majapahit?” Lingga Buana menyapa lebih dulu.

“Benar, aku lah Raja Prabu Hayam Wuruk, Raja dari Kerajaan Majapahit. Engkau tentunya Raja Maharaja Lingga Buana, benarkah?”.

“Benar adanya. Tarik mundur seluruh serdadumu dan engkau akan kubebaskan.”

“Terimakasih, sekarang aku dapat bernafas lebih lega.”

“Bagaimana caranya engkau akan menarik mundur seluruh tentara-mu?” Tanya Panglima Maung Jaya.

“Aku akan membuat surat perintah kepada Patih-ku; surat akan diantar oleh bawahanku, Penyewu Banyu Urip. Surat itu berisi perintah untuk menarik mundur seluruh tentara kembali ke Singosari.”

“Bagus sekali! Kami akan selalu memperhatikan hasil kerjamu dari hari kehari. Aku mendapat khabar dari kesatuan rahasiaku yang mengatakan Gajah Mada sudah mengirim tentara ke Pakuan dengan maksud aksi penyerangan. Benarkah begitu?”

“Aku tidak tau akan tetapi aku belum memerintahkan penyerangan; mungkin ini adalah inisiatif Patih.”

“Waktu sangat berharga karena nampaknya Patih-mu sudah tidak sabar menunggu hasil kerja mu sebagai mata-mata.
Engkau akan kuberi ruang kerja tersendiri. Engkau dan anak buahmu tidak perlu tidur di penjara. Tetapi engkau tetap menjadi tawanan kami sampai pekerjaanmu selesai dengan baik.
Aku harap engkau mau bekerjasama dengan teamku guna mengupayakan penarikan mundur seluruh tentara Majapahit. Baiklah, selamat bekerja.”
Raja Lingga Buana berkata tanpa senyum; dia menjaga jarak dengan musuhnya.

“Wahai Raja Majapahit, engkau masih mempunyai hutang yang harus cepat dibayar kepada kami, ingatlah!” Putri Dyah Pitaloka mengingatkan.

“Aku akan membayar hutang itu Tuan Putri yang cantik”


Bab 2

Raja Majapahit harus hadir didalam rapat perang yang diadakan oleh Maharaja Lingga Buana. Situasi yang mengherankan akan hal-nya seorang Raja musuh hadir didalam rapat perang, sebagai nara sumber.

Situasi Negeri Pajajaran sangat menegangkan, karena terbetik kabar bahwa tentara Majapahit sudah mulai bergerak ke arah Pakuan. Anak Negeri sudah pergi mengungsi dari kota Pakuan menuju ketempat yang lebih aman.

Setiap pemuda Sunda selalu memanggul senjata dan siap berkelahi dengan orang Majapahit. Tentara Sunda bersembunyi dihutan-hutan tetapi siap tempur.

“Wahai Raja Majapahit, bagaimana usahamu?” Tanya Lingga Buana.

“Aku sudah menyiapkan kuda dan surat yang akan diantarkan ke Sunda Kelapa hari ini. Mudah-mudahan tidak ada halangan apapun dan hari ketiga surat dapat dibaca oleh Patih.”

“Utusan-mu tidak akan dapat menembus blokade tentara Majapahit. Jalan menuju Sunda Kelapa sudah diblokir hari ini. Bahkan tentara musuh sudah bergerak kearah sini.” Panglima Maung Jaya ber-ujar.

“Benarkah begitu Panglima? Berapa kekuatan mereka?”

“Ini yang aku herankan; menurut agen rahasia kita, jumlah mereka hanya seribu orang; seolah mereka menganggap kita ini lemah. Kita mempunyai kekuatan tiga ribu prajurit aktif dan dua ribu sukarelawan. Jadi kita akan dapat memenangkan pertempuran dengan mudah.”

“Wahai Raja Majapahit, apa maksudmu dengan hanya mengirim sedikit prajurit?” Tanya Maharaja Lingga Buana.

“Setahuku, prajurit-prajurit ku itu tidak dimaksudkan untuk berperang; akan tetapi mereka datang dengan maksud damai. Dia akan mengirim surat penawaran damai.
Jika engkau setuju untuk menyerah, maka seluruh tentara kami akan ditarik mundur dan Pajajaran akan dipersatukan dengan Majapahit dibawah panji-panji Majapahit.”

“Kurang ajar! Menyerah kalah? Aku yang akan menebas kepala sang utusan.” Kata Panglima Maung Jaya.

“Engkau benar Panglima, aku akan gempur ke seribu prajurit utusan itu sampai mereka lari tunggang langgang.” Raja Lingga Buana menimpali. Situasi ruang rapat menjadi tegang karena teriakan-teriakan kedua orang itu. Para prajurit pengawal memegang tombaknya lebih erat, seolah ada musuh didepannya.

“Jika engkau menciderai sang utusan maka itu berarti pernyataan perang dengan Majapahit. Pertempuran besar-besaran akan segera terjadi.” Prabu Hayam Wuruk menimpali dengan kalem.

“Tunggu dulu, bersabarlah. Jangan marah-marah seperti itu. Apakah kita sudah lupa bahwa kita akan meminta jasa Raja Majapahit untuk menarik mundur tentaranya.
Wahai Raja Majapahit yang aku hormati, engkau masih mempunyai hutang; ingatlah! Hayo bayar hutang itu sekarang juga.” Kata Putri Dyah Pitaloka.

“Ya benar putriku; engkau masih mempunyai hutang wahai Raja Majapahit. Jadi bagaimana sikapmu dengan kedatangan utusan Majapahit mu ini?” Tanya Lingga Buana

Prabu Hayam Wuruk terdiam. Dia juga tidak mengerti harus bagaimana menghadapi sang utusan. “Tentunya mereka akan sangat terkejut melihat aku berada disarang musuh. Jadi aku harus bicara apa kepada mereka?” Pikir Prabu.

Karena Prabu Hayam Wuruk terus diam dan merenung, maka Putri Dyah Pitaloka menduga Raja itu sakit; mungkin sedang menderita tekanan mental.

“Ayah, tamu kita kelihatan tidak sehat. Mungkin dia menderita tekanan mental akibat peperangan yang diadakannya sendiri. Sebaiknya dia diistirahatkan dulu, agar menjadi tenang.”

“Engkau benar anakku, bawalah beliau kekamar tamu untuk istirahat satu atau dua jam; akan tetapi harus kembali lagi. Dikarenakan waktu sangat berharga buat kita.”

“Marilah kita ke kamar tamu wahai Raja Majapahit, agar engkau dapat beristirahat.” Putri Dyah Pitaloka menggandeng tangan Prabu.

Untuk pertama kali tangannya disentuh oleh wanita pujaannya, maka jantung Prabu berdegup cepat, keringat dingin menetes dari dahinya dan mukanya sedikit pucat, “Oh Dewa, aku mohon kepadamu agar wanita ini menjadi jodohku. Aku sungguh sungguh mencintainya, apapun halangannya.” Pikir Prabu.

Kedua insan berlainan jenis itu sampai di kamar tamu, “Nah kita sudah sampai ditujuan, jadi selamat beristirahat disini.”

“Wahai Dyah, janganlah aku ditinggal sendiri disini. Aku akan mengutarakan rencana kita dalam menghadapi para utusan tersebut.”

“Baiklah, utarakan upayamu dalam menghadapi sang utusan; aku akan mendengarkan.”

“Dyah, aku mencintaimu sepenuh hatiku.”

“Apa? Apa yang engkau katakan? Coba katakan sekali lagi!”

“Aku mencintai-mu. Jadilah engkau kekasihku.”

Dyah Pitaloka memandang muka Prabu dengan penuh perasaan; lama sekali dia memandang, “Suatu hal mengejutkan” Pikir Dyah.

“Bagaimana engkau dapat mencintai seorang Putri dari Raja musuh mu sendiri. Itu sesuatu hal yang tidak mungkin dapat terjadi.”

“Hubungan kita tidak ada kaitannya dengan masalah politik antara kedua Negara; akan tetapi suatu cinta murni yang tumbuh dari diriku saat aku melihat engkau untuk pertamakali di gedung Kaputren.
Percayalah aku mencintaimu sayang.”

“Cinta itu akan erat hubungannya dengan politik kedua Negeri kita. Ingatlah bahwa kita sedang berperang, engkau adalah musuhku.
Jika sekiranya tidak ada peperangan diantara kita, sesungguhnya aku bersedia menjadi pasanganmu.”

“Oh Dewa yang Agung terimakasih engkau telah mengirim mahlukmu yang aku sayangi. Dyah, sejuk hatiku mendengar kata-kata terakhir dari mu”

“Akan tetapi, pikirkanlah sekali lagi sebelum terlambat. Karena banyak masalah yang akan engkau hadapi karena engkau adalah seorang Raja dan Aku seorang Putri Kerajaan.
Masalah pertama adalah bagaimana caranya engkau akan menghadapi ayahku sebentar ini.”

“Apapun yang akan terjadi, aku akan tetap mencintaimu.
Aku sudah siap untuk meminta engkau menjadi istriku dari ayahmu.
Dan bahkan cinta kita akan menjadi suatu alasan akan halnya keberadaanku didalam Istana-mu sewaktu kita menghadapi sang utusan.”

“Apa maksudmu?”

“Aku akan katakan kepada utusan Majapahit bahwa keberadaanku di Istana musuh adalah dalam rangka melamarmu; karena aku jatuh cinta kepada Putri Kerajaan Pajajaran.”

“Aku harap cinta kanda bukan dimaksudkan hanya untuk keluar dari masalah menghadapi sang utusan, tetapi betul-betul cinta murni.
Aku juga mencintaimu kanda sayang.”

Prabu seketika memeluk Dyah dan memberikan ciuman panjang, “Aku sungguh mencintaimu.”

“Kanda masih mempunyai kesempatan untuk menarik diri sebelum terlanjur mencintaiku. Karena aku mempunyai syarat-syarat yang harus engkau penuhi agar aku menjadi istrimu.”

“Katakan apa syarat-syarat yang harus aku penuhi, adinda sayang.”

“Aku ingin menjadi Permaisuri Raja Majapahit, bukan hanya sekedar gundik.
Anak-anakku yang juga berarti anak-anakmu adalah pewaris Kerajaan Majapahit dan Pajajaran yang dipersatukan.”

“Aku setuju karena engkau benar akan menjadi Permaisuri Kerajaan Majapahit.”

“Aku sekarang lega. Sebetulnya ada lagi satu syarat yang tidak mengikat yaitu izinkan aku tinggal bersamamu di Pakuan.”

“Aku harus ikut mengawasi kedua anak Negeri, Pajajaran dan Majapahit dan juga seluruh Nusantara. Akan tetapi sudah pasti engkau boleh tinggal di Pakuan.”

“Marilah kita kembali keruang rapat. Ayahku berpesan bahwa waktu sangat berharga.”

Kedua sejoli yang sudah menyatakan sebagai kekasih kembali ke ruang rapat. Semua hadirin terdiam sewaktu keduanya datang. Masing-masing bertanya didalam hati, “Mereka dari mana dan apa yang dikerjakan?”

Putri Dyah Pitaloka tertunduk dengan muka merah, menggandeng Raja Majapahit dan duduk ditempatnya. Prabu Majapahit kelihatan lebih cerah dan segar daripada semula.

Kelihatannya rapat memang ditunda karena menunggu nara sumber Raja Majapahit. Kehadiran Raja Majapahit didalam rapat perang darurat itu memang sangat penting. Masalah yang mendesak adalah Patih Gajah tidak sabar menunggu; dia langsung mengerahkan serdadunya menyerang Pakuan. Tetapi Raja menyangkal bahwa itu bukan penyerangan tetapi misi perdamaian.

Putri memutar otak, bagaimana caranya memberitahukan ayahnya akan hubungannya dengan kanda Prabu-nya; bagaimana cara memberitahukan hal ini. Akhirnya dia berketetapan hati akan memberitahukan sekarang juga.
Hal ini terkait dengan rencana Prabu dalam menghadapi utusan; karena dia akan mengatakan alasan keberadaannya di Istana, guna melamar Putri.

Putri mendekati ayahnya dan berbisik ditelinganya, “Ayah, kita sudah mempunyai rencana didalam menghadapi sang utusan; Prabu Hayam Wuruk sudah menyusun kata-kata apa yang akan beliau ucapkan kepada sang utusan.”

“Apa rencana dia?”

“Beliau akan mengatakan bahwa keberadaannya di Istana musuh adalah dalam rangka melamar Putri, diriku, untuk dijadikan Permaisuri.
Ayah aku setuju dengan beliau karena aku mencintai dia.”

“Apa??” Baginda Maharaja bertanya dengan suaranya yang keras sekali karena Beliau sangat terkejut sewaktu mendengar pernyataan Putrinya.

Hadirin didalam rapat itu menengok kearah Baginda Maharaja, termasuk Panglima Maung Jaya.

“Ada apa Baginda?” Tanya Panglima.

“Cobalah terangkan kepada pamanmu ini akan hal dirimu dan Raja Majapahit. Terangkan juga kepada semua yang hadir disini.”

Putri Dyah memberitahukan kepada para hadirin, “Saudara-saudara, aku terikat dengan adat Sunda yang mana aku tidak diperkenankan untuk menyatakan hubungan ku dengan seorang laki-laki yang akan menjadi suamiku. Oleh sebab itu aku meminta kepada Prabu Hayam Wuruk untuk menerangkan nya kepada saudara-saudara. Silahkan kanda Prabu”.


“Tidak ada keraguan bagiku untuk mengungkapkan perasaan sukacita-ku kepada hadirin dan terutama kepada ayah mertuaku, Maharaja Lingga Buana. Aku mencintai Putri Dyah Pitaloka dengan setulus hatiku. Aku jatuh cinta sewaktu aku melihat dia sedang berdiri dipintu gedung Kaputren.
Didalam kesempatan ini aku memohon kepada Paduka Maharaja Lingga Buana, kiranya aku dapat mempersunting anak gadisnya, Putri Dyah Pitaloka untuk dapat bersanding denganku dan menjadi istriku. Aku mohon. Aku berjanji akan menjaganya dari marabahaya.”

Maharaja Lingga Buana sangat terkejut, kelihatan mukanya yang pucat. Demikian juga seluruh hadirin. Tidak disangka bahwa Raja musuh ini datang ke Istana sebenarnya hanya untuk melamar Putri, akan tetapi juga membawa pasukan untuk menyerang. Sesuatu yang aneh sedang terjadi di Istana Kerajaan Pajajaran.

Beliau lama terdiam. Nampaknya beliau sedang berpikir panjang, “Orang ini yang mengaku Raja dari musuhku datang kepadaku hanya untuk melamar Putriku, tetapi sekaligus juga sebagai komandan penyerangan, aneh dan mengerikan. Dia bagaikan seekor harimau buas dengan taring yang diperlihatkan, masuk melalui pintu dapur dan sekarang duduk dimukaku dengan ekor dikibas-kibaskan dan juga terus menerus memandang diriku, seolah-olah dia sedang meminta makan. Akan kah kubunuh saja harimau itu atau justru aku harus pelihara. Oh Dewa, berilah petunjuk mu agar aku dapat memberi jawaban segera kepada harimau ini.”

Ruangan rapat menjadi hening. Putri Dyah Pitaloka tertunduk resah, karena dia merasa sebagai titik pusat permasalahan. “Seharusnya kutolak lamaran tadi kalau aku tau ayahanda akan menjadi takut dan resah seperti ini. Tetapi aku memang mencintai si pemuda ganteng ini dan yang paling penting adalah harapan ku akan menyelesaikan masalah politik; perkawinanku dapat menghentikan serangan laskar Majapahit.”

Prabu Hayam Wuruk juga terdiam. Sama halnya dengan Putri Dyah dia juga sedang berpikir, “Oh Ibu, aku sedang berjuang untuk mendapatkan calon menantu ibu yang ibu harapkan. Aku sekarang sedang menunggu jawaban ayahnya, ya atau tidak. Masalahnya menjadi genting karena saat ini kita berada di medan tempur; bila dia menjawab tidak, aku tidak tau apa yang akan menimpa diriku, nasibku. Ibu mintakan kepada Para Dewa agar aku dapat keluar dari mara bahaya ini; karena statusku sekarang ini adalah tawanan mereka dan akan dihukum mati bila aku gagal mengusahakan perdamaian.”

Setelah menunggu beberapa lama, pada akhirnya Raja Maharaja Lingga Buana buka suara, “Baiklah Raja Majapahit, aku terima lamaranmu. Aku akan memberi tambahan nama didepan namamu, ananda. Maka aku akan memanggilmu, Ananda Prabu Hayam Wuruk. Tugas dari ayahmu kepada mu, Ananda Prabu adalah mengusir semua prajurit Majapahit dari tanah Parahyangan.”

“Terimakasih ayahandaku.” Prabu Hayam Wuruk beranjak mendekati ayah mertuanya, duduk didepanya dan sujud sungkem didepan kakinya. Putri Dyah Pitaloka menyusul dan ikut sungkem kepada ayahandanya.

Semua hadirin bersorak gembira. Rupanya mereka ikut menunggu dengan tegang dan mengharapkan persetujuan Baginda atas lamaran itu.

Panglima Maung Jaya ber ujar, “Hai Raja Majapahit, bagaimana dengan masalah utusan-mu, apa sikapmu dan apa yang akan engkau katakan kepadanya.”

“Dia akan terkejut melihat aku ada disarang musuh. Akan aku katakan kepadanya, kehadiranku disini adalah didalam rangka meminang Putri Dyah Pitaloka untuk kujadikan istri. Maka dari itu pulanglah dengan damai, hentikan serangan ini karena Kerajaan ini adalah Kerajaan ayah mertuaku, Maharaja Lingga Buana.”

“Bagus sekali, terimakasih.”

(Bersambung)

2 comments:

sidipranyoto said...

Bagaimana pak Satoto kok ada cerita raja Majapahit kluyuran cari cewek sendiri ke Pajajaran dan dengan mudah ditangkap musuh. Kalau cerita Ki Mengir saya salut, itu bagus, tapi yg ini, walaaah! Saya usul ada cerita versi lain.

Sidi

Satoto Kusasi said...

Bapak Sidi yang baik hati ; Terimakasih telah membaca cerita Nenek ku. Aku pun mempunyai pikiran yang sama dengan mu, bagaimana Raja musuh bisa menjadi 'Nara-sumber' disuatu rapat militerKerajaan Pajajaran. Ditambah lagi, rapat militer yang sangat genting dan mencekam..... Bukan main !!

Tetapi, kalau Pak Sidi mau protes dengan alur cerita ini, ... jangan kepada saya !
Protes itu sebaiknya ditujukan kepada Nenek ku. Tetapi sayang Nenek ku sudah lama wafat.

Atau protes bisa ditujukan kepada adik ku, yang sudah menyarankan kepada Nenek nya untuk merubah jalan cerita nya; Agar cerita ini tidak sedih.

Nenek ku memberi saran untuk tidak menyebarkan berita ini kepada kawan-kawan ku, Karena nenek takut ditangkap polisi Cyber Crime. Cerita ini adalah berita HOAX dan sudah kadulawarsa. Tetapi tidak ada berita 'Ujaran Kebencian'

Percaya deh !