Sunday, August 24, 2008

Pembunuhan Seorang Raja (Bagian 1)

Pemberontakan Semi dan Kuti

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

Para pemberontak berkumpul dipinggir kota Singosari; mereka bersiap-siap akan menyerbu kedalam Istana Trowulan. Mereka adalah kumpulan perampok, pencuri, pencoleng dan mereka yang kecewa dengan Raja Kerajaan Majapajit.
Pimpinan mereka adalah Semi dan Kuti.

Mereka mulai bergerak kearah Istana sambil bersorak sorai; suaranya gegap gempita. Jumlah mereka diperkirakan dua ribu orang. Masing-masing membawa senjata.

Prajurit pengawal Istana ketakutan dan pada akhirnya lari meninggalkan Raja-nya di Istana, tanpa pengawalan.
Raja pada waktu itu adalah Raja Jayanegara, Raja kedua di Kerajaan Majapahit. Beliau sangat ketakutan dengan muka yang pucat dan keringat dingin menetes dari dahinya.

Raja masih tetap didalam kamarnya, “Tolonglah aku! Siapa-siapa yang mau menolong aku. Tolonglah!” Dia meratap meminta belas kasihan.

Para pemberontak sudah sampai dimuka pintu gerbang, mendorong pagar dan pintu gerbang hingga runtuh. Mreka menyerbu masuk kedalam gedung Istana.
Pintu Istana di rusak dengan kampak.

Tidak seorangpun prajurit Majapahit yang mengawal disitu.

Seorang prajurit Majapahit secara diam-diam, masuk kedalam kamar Raja melalui jendela, “Tuanku, jangan takut! Aku adalah prajuritmu yang akan menolongmu. Sekarang engkau diam, jangan berteriak atau menangis dan ikuti aku.”

Raja digandeng, melompati jendela dan dinaikan keatas punggung kuda. Kuda dilarikan bersama si penolong. Kuda melewati belakang Istana diatara semak-semak, kemudian memasuki hutan dan menghilang.

Beberapa menit kemudian, para pemberontak telah sampai dimuka pintu kamar Raja. Pintu dirusak, dirobohkan dan mereka menyerbu masuk guna merampok harta benda Raja.
“Kita terlambat, Raja sudah lari.” Kata salah seorang Pemberontak.
Para pemberontak menguasai Istana. Mereka berpesta pora dengan minum minuman keras untuk merayakan kemenangan.

Pada waktu itu, Angkatan bersenjata Majapahit memang sangat lemah; banyak prajurit Majapahit yang lari dari tugas (desersi).


Bab 2

“Baginda, kita sudah sampai ditempat yang aman. Hamba jamin tempat ini aman, para pemberontak tidak ada yang tau bahwa Baginda ada disini; percayalah padaku.”

“Baiklah!”

“Aku akan pergi memerangi para pemberontak”

Raja sendirian didalam kamar. Raja takut dibunuh oleh para pemberontak. Bahkan dia berusaha mencari tempat persembunyian didalam kamar itu.

Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk orang. Baginda lari bersembunyi dibalik lemari tetapi tidak sempat. Seorang wanita masuk kedalam kamar dengan membawa makanan dan minuman untuk baginda.

“Siapakah engkau? Apakah engkau akan membunuhku?”

“Aku adalah istri prajurit yang menolong Tuan. Aku ditugaskan untuk mengantarkan makanan dan minuman ini untuk Tuan. Makanlah, agar Baginda menjadi lebih sehat”

Raja kelihatan sedikit tenang.
“Aku lupa menanyakan nama suamimu, siapakah nama suamimu?”

“Penyatus Gajah Mada.” (Penyatus = staf militer dengan bawahan seratus prajurit)

“Apakah aku dapat mempercayai kamu?”

“Sudah pasti Baginda dapat mempercayaiku.”

“Aku takut makanan ini sudah dicampur racun.”

Wanita itu diam tidak mau menjawab. “Apakah begitu takutnya dia akan kematian, sehingga sikapnya agak sedikit aneh.” Pikirnya.

“Engkau makan makanan ini lebih dahulu, baru aku menyusul. Hayo makanlah.”

“Aku tidak pantas makan bersama Baginda didalam ruangan ini.”
“Jika engkau tidak mau makan, akupun tidak mau makan. Aku semakin yakin bahwa makanan ini sudah dicampur racun.”

Wanita itu dengan terpaksa makan dan minum makanan Raja. Setelah itu dia beranjak mau pergi.

“Hai, jangan engkau pergi. Aku akan melihat reaksi makanan itu didalam tubuhmu.”

Wanita itu berhenti sebelum mencapai pintu. Dia sekarang takut menghadapi Rajanya. Terpaksa dia diam bersama Raja didalam kamar itu.

Setelah menunggu beberapa saat, Raja melahap makanan dan minuman dengan bernafsu. Dia kelihatan kelaparan karena tidak makan dan minum selama di Istana.

Setelah Raja selesai bersantap, maka wanita itu beranjak akan pergi. Tetapi dilarang kembali oleh Raja, “Jangan engkau tinggalkan aku seorang diri disini. Aku benar-benar takut kalau-kalau pemberontak itu akan datang kekamar ini dan kemudian membunuhku.”

“Baginda, aku adalah seorang wanita yang lemah. Aku bukan seorang prajurit anggota militer. Jadi percuma saja aku berada disini. Akan tetapi, aku akan berjaga-jaga di luar rumah kemudian aku akan mengatakan kepada pemberontak bahwa rumah ini kosong, tidak berpenghuni.”

Mengapa Raja bernafsu sekali untuk ditemani?
Pada kenyataannya Maya adalah wanita yang cukup cantik. Mungkin sekali Raja ingin didampingi oleh seorang wanita cantik. Itu adalah alasan Raja yang benar, bukan karena takut dibunuh.

Nampaknya Raja tidak memperdulikan apakah wanita itu istri prajuritnya. Juga tidak perduli bahwa prajuritnya itu adalah prajurit terbaik yang telah menyelamatkan jiwanya.

Pada akhirnya Maya, istri Gajah Mada dengan terpaksa memberikan kesuciannya kepada Rajanya. Mereka hari-hari berkumpul di kamar itu.

Dimana Gajah Mada sekarang?
Dia seharusnya menjaga istrinya.

Gajah Mada adalah seorang prajurit sejati, dia sekarang ada dimedan tempur melawan para pemberontak


Bab 3

Gajah Mada mendatangi kampung untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat terhadap Raja dan Negara mereka. Apakah mereka perduli atau tidak perduli dengan pemberontakan yang sedang berkecamuk saat itu. Dia melepaskan seragam militernya, agar tidak diketahui bahwa dia adalah anggota militer.

Gajah memukul kentong bambu untuk memanggil orang-orang kampung. Dia berkeliling kampung untuk memanggil, “Hai kawan-kawan! Mari kita berkumpul di sini, Mari kita satukan tekad kita untuk melawan kaum pemberontak.”

Pada akhirnya lapangan sudah dipenuhi oleh masyarakat yang perduli dengan keadaan Negerinya.

Gajah berpidato, “Tahukah engkau, bahwa Raja kita sedang ditawan oleh kaum pemberontak di Istananya. Istana sudah jatuh ketangan kaum pemberontak yang dipimpin oleh Semi dan Kuti.
Apakah engkau akan diam saja dengan situasi yang seperti ini? Marilah kita lawan Semi dan Kuti. Dia tidak mempunyai tujuan yang jelas, tetapi hanya mau merampok saja.”

Seorang tua menjawab, “Tugas melawan pemberontak adalah tugas militer, bukan tugas kita sebagai rakyat biasa. Panggilah anggota militer untuk berperang melawan kaum pemberontak.”

“Sayang sekali, mereka sudah takut lebih dulu sebelum berperang. Jadi mereka sudah melakukan desersi; sekarang entah dimana mereka.
Tapi aku yakin kekuatan rakyat lebih tangguh daripada militer, percayalah padaku.
Hayo para pemuda berkumpul disini untuk membentuk barisan yang kuat guna memukul mundur kaum pemberontak.”

Para pemuda yang merasa terpanggil untuk mempertahankan Negara berdatangan dan membentuk barisan. Akhirnya barisan itu panjang dan kuat. Lebih dari seribu orang.

Serombongan pemuda datang dengan barisan yang teratur dan rapi dan juga membawa senjata lengkap. Dapat diduga mereka adalah anggota militer yang melakukan desersi.

Gajah Mada melatih mereka cara berkelahi menggunakan keris, pedang, tombak dan panah.

Semua pemuda-pemuda itu sepakat untuk mengangkat Gajah Mada sebagai Komandan pertempuran.

Lebih membesarkan hati Gajah, adalah kedatangan barisan lain dari kampung-kampung yang jauh untuk bergabung. Dan juga logistik bahan makanan didatangkan secara sukarela dari rumah-rumah penduduk yang kaya.
“Ternyata rakyat Majapahit masih mencintai Raja dan Kerajaan; syukurlah.” Pikir Gajah

Akhirnya pasukan rakyat itu sudah berjumlah empat ribu orang, cukup untuk mengusir kaum pemberontak dari Istana.

Gajah Mada mengadakan rapat guna menetapkan strategi pertempuran, guna menguasai Istana Trowulan. Strategi disetujui, hari penyerangan juga disepakati oleh anggota peserta rapat.

Pada tengah malam, beberapa tangga dipasang pada tembok Istana. Prajurit yang gagah berani menaiki tangga, melewati tembok Istana dan masuk kedalam Istana. Penjaga-penjaga malam kaum pemberontak dibinasakan seketika.
Kemudian mereka membuka pintu gerbang Istana, pasukan Gajah Mada masuk seperti air bah kedalam Istana. Semi dan Kuti tidak berdaya dan menyerah kalah.

Beberapa prajurit memeriksa semua kamar di Istana guna mencari Raja. Mereka gagal mendapatkan Rajanya. Kembali mereka kepada Semi dan Kuti, “Dimana Raja kami yang engkau telah sembunyikan; atau telah engkau bunuh?”

“Ampun! Kami tidak pernah melihat Raja sejak kami menduduki Istana. Mungkin Raja sudah lari sebelumnya.”

“Aku yang telah membawa lari Raja; sekarang beliau ada dirumahku dalam keadaan selamat.” Kata Gajah.

“HIDUP GAJAH! HIDUP GAJAH!” seluruh laskar rakyat berteriak-teriak.

“Baiklah, kita bersihkan lebih dulu Istana kita, baru aku akan bawa Raja ke Istana ini.”

Seluruh prajurit laskar rakyat bekerja bahu membahu mengubur mayat-mayat dan membersihkan darah manusia yang tertumpah.

Sementara itu, Penyatus Gajah Mada pulang kerumahnya untuk menjemput Raja.
Gajah sangat gembira karena dia sebagai pemenang didalam pertempuran didalam Istana; wajahnya selalu berseri-seri; terbayang istrinya juga akan gembira mendengar kabar akan kemenangannya.

“Maya! Aku pulang sayang. Tolong bukakan pintu!”

Istrinya keluar membukakan pintu, kemudian memeluk suaminya.

“Kanda, aku sekarang menjadi machluk kotor yang menjijikan; sesungguhnya aku tidak boleh memeluk kamu.”

“Ada apa? Dengarkan aku, aku dan rakyat Majapahit sebagai pemenang dalam pertempuran didalam Istana; seharusnya engkau ikut bergembira bersamaku.”
“Selamat kanda; kanda datang dengan selamat saja aku sudah bersyukur, apalagi menang.
Akan tetapi Raja telah menodai aku. Aku tidak bisa melawan karena dia seorang Raja.”

“Apa? Dia sudah menodaimu? Dia memperkosa kamu? Kurang ajar! Apapun dia, aku akan bunuh.” Gajah menghunus kerisnya dan menuju ruangan Raja; sudah pasti Raja akan dibunuh.

Maya menghalang-halangi suaminya, “Sabar kanda! Kita harus memasang strategi seperti kebiasaan kanda didalam menghadapi setiap pertempuran. Ingatlah dia seorang Raja!”

Gajah terdiam, menyarungkan kembali kerisnya dan mengangguk-angguk, “Baiklah istriku, nanti ada waktunya yang tepat untuk membalas sakit hati kita.”

“Marilah kita menemui dia dan jaga sikap kanda; jangan perlihatkan sikap marah pada wajahmu. Oh Dewa, turunkanlah keadilan di alam Dunia ini!”

Keduanya menuju kamar Raja.

“Baginda, dengan penuh kebanggaan, hamba mengabarkan bahwa pemberontak telah kami tumpas; Semi dan Kuti sudah kami tangkap, sisa pasukannya sudah lari dan sebagian lagi sudah kami bunuh.
Sekarang ini, pasukan rakyat sedang menunggu kedatangan Baginda di Istana Trowulan.”

“Terimakasih Gajah! Hayo kita berangkat.” Raja bersabda.

Singkat ceritanya, Raja dan Gajah berkuda menuju Istana, menggunakan satu kuda. Sesampainya dihalaman Istana, rakyat dan prajurit rakyat meng-elu-elukan kedatangan beliau. “HIDUP RAJA! HIDUP GAJAH! HIDUP RAJA! HIDUP GAJAH!”

Seluruh rakyat Majapahit datang menemui dua orang berkuda tersebut. Sehingga kuda tidak bisa berjalan atau bergerak.

“Pidato-pidato” Rakyat meminta Raja untuk berpidato.

Raja dan Gajah turun dari kudanya. Kemudian Raja naik keatas podium dan berpidato.

“Rakyat Majapahit yang aku cintai. Pertama-tama, aku mengucapkan banyak terimakasih kepadamu atas kemenanganmu, kemenangan ku dan kemenangan seluruh Rakyat Majapahit atas kaum pemberontak.”

“Baginda! Baginda harus berterimakasih kepada Gajah Mada. Karena dia-lah kami dapat memenangkan pertempuran ini. Dia-lah komandan pertempuran.” Seseorang diantara kerumunan orang, berteriak.

“Baiklah! Terimakasih Gajah, engkau telah memimpin pasukan rakyat. Terimakasih Gajah Mada.”
“Ucapan terimakasih saja tidak lah cukup. Naikan pangkatnya menjadi Patih!” Kembali orang itu berteriak.

Kali ini semua orang setuju, “Naikan pangkatnya menjadi Patih. HIDUP PATIH GAJAH MADA” Seluruh rakyat Majapahit berteriak serentak.

Raja terdiam, meng-angguk anggukan kepalanya; akhirnya Raja bersabda, “Baiklah Gajah, sekarang engkau memimpin Angkatan Perang Kerajaan Majapahit. Aku akan melantik engkau menjadi Patih secara resmi, atas jasamu menyelamatkan Kerajaan.”

“HIDAP RAJA!! HIDUP PATIH!! HIDUP RAJA!! HIDUP PATIH!!”

Gajah Mada naik keatas podium, berdatang sembah kepada Raja, “Terimaksih hamba atas kepangkatan yang telah diberikan Paduka kepada hamba.”

Semua orang menyaksikan tindakan Gajah yang membuat mereka mengenal lebih dekat akan adat kebiasaan santun orang ini.

“HIDUP PATIH GAJAH MADA!!!” Secara spontan semua berteriak.

“Wahai rakyat Majapahit, aku berterimakasih atas kepercayanmu kepadaku. Percayalah! Aku akan bekerja keras membela Negeri ini dari setiap serangan musuh-musuh Kerajaan.” Demikian Gajah, memberikan respon singkat.


Bab 4

Gajah Mada pulang kembali ke rumahnya. Usai sudah tugasnya didalam penumpasan pemberontakan Semi dan Kuti. Dia rindu kepada istrinya yang sudah lama ditinggal kan untuk melayani Raja. Oleh sebab itu dipacu kudanya menuju rumah.

“Maya aku sudah pulang.”

Istrinya keluar dan memeluknya.

“Apakah kanda masih mencintaiku?”

“Tentu saja aku masih mencintaimu sayang.”

“Sekalipun aku sudah kotor ternoda?”

Gajah memeluk istrinya, menetes airmatanya dan akhirnya dia berkata, “Aku yang salah Maya; seharusnya aku menyuruh perempuan lain untuk melayani Raja, bukan kamu.”

“Bahkan aku saja tidak dipercaya, apalagi perempuan lain.
Tetapi aku yakin bukan masalah dipercaya atau tidak dipercaya, tetapi masalah cantik atau tidak cantik. Raja ingin perempuan cantik yang dapat melayani beliau.”

Kembali darah Gajah mendidih, “Kurang ajar!” Dia memegang hulu kerisnya.

“Sabar kanda; ingat dia seorang Raja.
Pastilah didalam benak beliau terpatri pendapat, Negeri ini kepunyaan ku, termasuk setiap istri prajuritku.”

“Aku disuruh sabar, tetapi engkau memanas-manasi hatiku, bagaimana?”

“Aku juga panas; hatiku penuh dendam terhadap beliau. Jika sekiranya aku sanggup, aku sendiri yang akan membunuhnya.”

Keduanya termenung penuh dengan penyesalan.

“Maya kita alihkan pembicaraan kita dengan hal-hal yang mengembirakan. Kita tinggalkan masalah kita yang pelik, semoga Para Dewa memberikan jalan keadilan kepada kita dan juga hambanya yang berkuasa.”

“Ada kabar apa yang membuat hati kita gembira?”

“Aku sekarang menjadi Patih. Raja telah mengangkatku menduduki jabatan itu.”

“Aku mengharapkan, dia memberikan kedudukan Patih kepadamu bukan bentuk suatu suap, agar engkau tutup mulut dan tenang atas kelakuannya terhadap aku.”

“Seluruh rakyat yang meminta langsung kepada Raja, agar aku menduduki jabatan Patih; jadi bukan inisiatif Raja. Raja tidak mempunyai rasa terimakasih kepadaku samasekali, jadi kitapun tidak mempunyai kewajiban membalas budi nya.
Akan tetapi kita mempunyai kewajiban terhadap Negeri ini, karena rakyat yang memintaku langsung kepada Raja.”

Maya bangga kepada suaminya, dia mendekati suaminya, memeluknya dan menciumnya.


Bab 5

Keadaan Istana Trowulan menjadi tenang setelah pemberontakan Semi dan Kuti. Keluarga Kerajaan kembali ke Istana, melakukan aktifitas kesehariannya dengan tenang.

Patih Gajah Mada sibuk mengatur prajurit-prajuritnya, menghukum prajurit yang lari dari tugas, mengangakat prajurit baru yang ikut berjasa didalam memadamkan penberontakan dan masih banyak lagi kesibukan beliau.
Tak lama kemudian beliau dilantik oleh Raja Jayanegara menjadi Patih.

Raja sekarang dapat hidup santai didalam Istana Trowulan. Raja tidak bisa menghilangkan kebiasaan jeleknya terhadap wanita-wanita cantik. Para orang tua menjauhkan anak gadisnya yang cantik dari padangan mata beliau.

Terbetik rumor Raja jatuh cinta kepada adik tirinya, adik dari satu ayah tetapi lain ibu.

Kabar itu terus semakin nyata dan akhirnya, Raja tidak lagi ragu-ragu menyatakan cintanya kepada adiknya sendiri.

Ayahnya, Raja Raden Wijaya Kertarajasa mempunyai banyak istri-istri dan juga selir.
Dengan Dara Petak, lahir Raja Jayanegara.
Dengan Gayatri Rajapatmi, lahir Tribuwanatunggadewi.

Raja Jayanegara sekarang jatuh cinta dan betul-betul menikah dengan salah satu anak gadis Raden Wijaya dengan seorang selir.

Seluruh staf Istana menjadi geger dan terkejut. Menurut hukum Agama Hindu, tidak diperkenankan seseorang menikah dengan gadis dari satu darah keturunan.

Tidak ada yang berani menentang kehendak Raja; semua orang takut, termasuk ibu-ibu tirinya.

Beberapa bulan kemudian, Raja rindu kepada istri Patih Gajah Mada, Maya. Dia langsung memerintahkan untuk memboyong Maya ke Istana.

Sekretraris Raja memberi nasihat kepada Raja, “Baginda yang mulia, Maya adalah istri syah dari Patih Gajah Mada. Jadi tidak mungkin Baginda membawanya ke Istana, apapun alasannya.”

“Ada alasan yang tepat yaitu aku akan memberikan hadiah karena dia telah berjasa didalam pemberontakan Semi dan Kuti; dia telah merawat aku dengan penuh kasih sayang selama aku mengungsi. Aku akan membuat surat kepada Patih Gajah Mada akan hal ini.”

Sang sekretaris meninggalkan Raja dengan penuh kemasgulan. Raja sukar untuk dinasihati.

Serombongan prajurit datang kerumah Gajah dengan membawa tandu kosong yang akan ditempati Maya. Kemudian seorang prajurit berdatang sembah kepada atasannya, menyampaikan surat Raja kepada Patih.

Patih Gajah Mada membaca surat Raja, “Patih, aku mengundang istrimu karena mengingat jasanya didalam merawat aku, selama aku dalam pengungsian dirumahmu.
Aku akan memberikan hadiah kepadanya, sebagai tanda terimaksihku kepadanya, Raja Jayanegara.”

Gajah Mada merah padam mukanya menahan amarah. Surat diserahkan kepada istrinya. Maya membaca surat tersebut.

“Apakah dia belum puas melihat penderitaanku? Wahai Raja lalim yang angkara murka. Aku akan senang apa bila dia sudah mati berkalang tanah.”

Sekarang Gajah Mada menjadi lebih tenang dibandingkan istrinya, “Sabarlah istriku, aku percaya kepada Dewa yang akan memberikan kesempatan kepada kita untuk membalas dendam kita.”

Maya segera dibawa dengan memakai tandu ke Istana Trowulan.

Semua staf Istana saling berbisik akan skandal Raja dengan istri Patih, “Lihat, dia simpan istri Patih didalam kamar.”

Keluarga Kerajaan sangat malu akan kelakuan Raja yang kurang bermoral, terutama Putri-Putri dari Raja Kertanegara.
“Keponakanku ini tidak bisa didiamkan, aku harus segera bertindak.” Gayatri Rajapatmi berpikir.


Bab 6

Suatu hari, Raja mengeluh akan keadaan kesehatannya. Kaki kiri beliau sakit.
Sekretaris memanggil tabib Istana untuk mengobatinya.

Hari demi hari kaki kiri beliau menjadi bengkak; tidak mau sembuh walaupun sudah diobati oleh tabib Istana.

Dipanggil tabib yang lain untuk mengobati kaki beliau, tetapi juga tidak mau sembuh.

Raja meminta kepada sekretaris agar dibuatkan pengumuman kepada seluruh rakyat Majapahit yang pandai dalam ilmu ketabiban agar dapat menyembuhkan kakinya. Hadiah akan diberikan dalam jumlah banyak bagi mereka yang berhasil.

Sekretaris mengumumkan kepada rakyat disemua pelosok-pelosok Negeri akan sakitnya Raja dan meminta kepada para tabib datang ke Istana untuk menyembuhkan kaki Raja.

Patih Gajah Mada dipanggil oleh Ibu Suri Gayatri Rajapatmi guna membicarakan kelakuan Raja yang memalukan.

“Patih, terimakasih engkau telah datang memenuhi panggilanku. Sebelum kita berbicara, tolong dilihat apakah ada orang yang akan ikut mendengarkan.”

Gajah memeriksa seluruh ruangan kamar, baik dalam atau luar, kemudia balik melaporkan, “Tidak ada orang yang memata-matai kita, Ibu Suri.”

“Baiklah. Patih, aku minta kepadamu untuk menghabisi keponakanku itu. Aku mengharap engkau juga setuju dengan keinginanku itu, karena aku tau istrimu juga ikut menjadi korbannya, begitu bukan?”

“Apakah yang dimaksud Ibu Suri itu membunuhnya?”

“Ya, betul!”

“Aku tidak berani Paduka Ibu Suri, suruhlah orang lain saja.”

“Sudah barang tentu orang lain, bukan kamu yang akan melakukannya. Akan tetapi aku minta kamu untuk mengaturnya.”

“Kalau begitu baik, aku setuju.”

“Sekarang dia sedang sakit; carilah seorang tabib yang rumahnya jauh dari Istana dan tidak dikenal. Suruh dia untuk membunuhnya dan beri uang sebanyak-banyaknya untuk upah dan untuk ongkos melarikan diri sejauh-jauhnya; aku sarankan ke pulau Bali.”

Patih Gajah Mada hanya diam saja, “Sudah barang tentu sang tabib akan meminta upah banyak, karena tugasnya yang luar biasa.” Gajah berpikir.

“Aku tau apa yang sedang engkau pikirkan. Jangan takut Gajah, ini uang kepeng lima kantung; aku kira lebih dari cukup.”

“Terimakasih Ibu Suri. Hamba pamit, akan hamba lasanakan.”

Gajah segera pulang, dia akan pegang rahasia. Akan tetapi apakah juga ke istrinya dia harus memegang rahasia?

“Tetapi ini adalah khabar yang menggembirakan istriku; tidak ini bukan rahasia buat dia.” Pikir Gajah.

Sesampainya dirumah, Gajah menceritakan rencana Gayatri untuk menghabisi Raja, kepada istrinya, “Maya, apakah engkau pandai memegang rahasia? Aku akan menceritakan rencana Keluarga Raja untuk menghilangkan aib pada diri mereka.”

“Ceritakanlah! Percayalah aku akan memegang rahasia.”

“Ibu Suri Gayatri mempunyai rencana akan membunuh keponakannya, Raja. Bukankah itu rencana kita juga. Kebetulan Raja sedang sakit. Gayatri mengungkapkan rencananya guna memanggil tabib yang tidak dikenal; bukan untuk menyembuhkan Raja, tetapi membunuhnya.”

“Oh Dewa-Dewa, engkau sedang melaksanakan keadilan di dunia yang kejam ini, terimaksaih ya Dewa yang Agung.” Maya berucap sambil menangis.

“Baiklah istriku, aku segera mencari tabib yang dimaksud; aku pergi” Gajah mengambil kudanya dan pergi.

Beberapa hari kemudian, Patih Gajah pulang bersama seorang tabib, bernama Tanca.

Mereka berdua masuk kedalam kamar dirumah Gajah. Kamar ditutup, kemudian mereka berdua berunding.

“Tanca, tugasmu adalah mengobati Raja di Istana Trowulan.”

“Itu memang tugasku. Aku merasa tersanjung mendapat kesempatan mengobati seorang Raja, Raja Majapahit.”

“Tetapi ada sedikit penyimpangan dari tugas murnimu dalam hal ini. Yaitu engkau harus membunuh Raja. Jangan ada seorangpun berada dalam kamar Raja sewaktu engkau melaksanakan pembunuhan itu. Sesudah selesai, engkau harus lari melalui jendela, masuk kesemak-semak. Tidak jauh dari situ, aku sudah menyiapkan seekor kuda untuk engkau melarikan diri. Larilah engkau ke pulau Bali.”

Ruangan menjadi senyap. Akhirnya Tanca berkata, “Aku tidak sanggup Tuan, cari orang lain saja.”

Segera Gajah mengeluarkan lima kantung penuh Kepeng; ditaruh dihadapan Tanca, “Ini upahmu dan berikut ongkos perjalananmu melarikan diri kepulau Bali.”

Mata Tanca berbinar-binar melihat kepeng yang ada dilima kantung, berisi penuh.

“Baiklah akan aku laksanakan. Tolong doakan aku kepada para Dewa agar aku selamat.”

“Bila engkau tidak selamat, aku yang akan menjadi taruhannya. Engkau akan mengaku bahwa engkau disuruh oleh Patih Gajah; kemudian aku ditangkap dan dihukum mati.”


Bab 7

Tanca dengan penuh percaya diri menghadap sekretaris Istana untuk mendaftarkan diri sebagai tabib. Dia diterima dengan hormat. Tidak ada tabib yang lain selain dia, disitu.
“Silahkan Tanca engkau boleh mengobati Raja-mu.”

Waktu itu hari sudah senja. Memang Tanca meminta kepada Raja untuk menjalankan tugasnya diwaktu malam.

“Aku tidak mau ditemani; para pengawal Raja harap menunggu diluar kamar.
Kamar harus dikunci dari dalam; apabila aku memerlukan bantuan mu baru akan aku panggil kamu.”

Tanca berdiri dimuka raja yang sedang terbaring. Mulutnya membaca doa-doa yang tidak jelas kedengarannya. Kemudian dia menghunus kerisnya, kembali doa-doa dibacakan dimuka keris itu. Tampak Raja ketakutan melihat keris Tanca.

“Untuk apa keris itu diperlihatkan kepadaku?” Tanya Raja.

“Untuk mengusir setan yang sekarang berada dirongga dadamu. Jadi Baginda harus membuka baju. Hamba akan mengusir setan itu.”

Baginda membuka baju, dadanya terbuka dan kembali berbaring.

Tanca dengan sigap menusukan kerisnya kebagian vital didadanya. Kemudian mulut baginda ditutup, supaya tidak berteriak. Darah tertumpah ke tempat tidurnya. Kelihatan Raja sudah wafat.

Tanca mencabut senjatanya, berjalan menuju jendela dan keluar. Dia mengendap-endap diantara semak-semak. Tidak jauh dari situ, terlihat seekor kuda yang memang sudah dipersiapkan. Dia menaiki kudanya perlahan-lahan; setelah agak jauh kuda dipacu kearah timur.

Dua jam kemudian, para pengawal Raja dimuka pintu saling bertanya, “Sedang apa Tanca didalam, mengapa lama sekali dia mengobati Raja?”

“Mungkin kaki Raja sedang dipotong olehnya.”

“Kalau begitu, kita perlu mengetahui. Mari kita masuk.”

“Ya aku setuju.”

Tetapi ternyata pintu terkunci dari dalam; mereka semakin curiga kepada Tanca. Ramai-ramai mereka mendobrak pintu kamar Raja.

Akhirnya pintu dapat terbuka secara paksa, terlihat Baginda sudah wafat dengan luka lebar di dada kirinya.

“Tangkap Tanca!” Komandan jaga berteriak. Segera beberapa prajurit berkuda lari kearah belakang Istana.
Jejak kuda Tanca sudah tidak jelas; nampaknya Tanca telah menghapus jejak kudanya.

Tanca selamat hingga sampai pulau Bali. Tidak seorangpun tau siapa Tanca sebenarnya; siapa yang memerintahkan dia, siapa dibalik pembunuhan Raja, Raja Jayanegara.

Semua Kerabat Kerajaan ikut bersedih. Hari berkabung diadakan secara Nasional Kerajaan Majapahit.

Atas inisiatif Gayatri, beliau mengangkat Putrinya sebagai Raja.
Pengganti Raja Jayanegara ditetapkan Tribuanatunggadewi.
Walaupun tidaklah lazim seorang wanita diangkat menjadi Raja.

Tribuanatunggadewi mempunyai seorang putra bernama Hayam Wuruk.
Setelah dianggap cukup umur, Hayam Wuruk dilantik menjadi Raja menggantikan ibunya.

No comments: