Monday, September 29, 2008

Antara Cinta dan Benci (Bagian 4)

Memasuki Sarang Python

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi



Bab 1

Kakak dan adik mempunyai kesempatan untuk merundingkan strategi pertempuran melawan tentara Wulansari. Akuwu Wengker mengadakan pembicaraan rahasia dengan Putri Sekarpandanwangi, bagaimana caranya mengalahkan Wulansari; lebih dari itu mereka juga membicarakan rencana membunuh Pangeran Sora Mahisa sebagai balas dendan kematian ayah mereka.

“Apakah engkau masih mencintai kekasihmu, Pangeran Sora Mahisa, wahai kakak-ku Putri Sekar?”

“Aku tidak lagi mencintai dia, bahkan membencinya; aku merencanakan pembunuhan terhadap dia.”

“Sekarang aku merasa lega; jadi kita sama berjuang melawan dia. Aku sendiri berputus-asa dikarenakan aku dan pasukanku tidak sanggup berperang langsung berhadap-hdapan. Jumlah pasukan ku terlampau sedikit. Aku menyesalkan sikap ayah dan Patih yang tidak mendukung usahaku didalam merekrut prajurit-prajurit baru. Bahkan aku pada waktu itu disangka ingin menjadi Raja.”

“Sudahlah, aku atas nama ayah menyampaikan maaf atas kesalahan ayah. Untuk menebus kesalahan itu, aku akan menyampaikan strategi ku untuk membunuh Pangeran Sora Mahisa.”

“Sampaikkanlah, bagaimana caranya.”

“Kebetulan ada rombongan pengungsi. Aku akan menjadi salah satu pengungsi; aku akan menyamar menjadi orang kebanyakan diantara mereka. Semoga Brahma Narendra tidak mengenalku dan tidak seorangpun yang mengenal aku.

Rombongan akan melalui desa Kedungsongo, markas musuh. Aku pura-pura kesasar dan aku sengaja memasuki markas itu. Semoga Sora Mahisa masih mencintai diriku.

Aku akan ditangkap oleh tentara Wulansari dan dihadapkan kepada komandan mereka, Sora Mahisa. Dia masih mengenalku dan masih mencintaiku; aku dibebaskan dan aku dapat tinggal dimarkas mereka.

Suatu malam yang direncanakan, aku akan menyelinap memasuki tendanya dan menancapkan keris ini ke dadanya, sama seperti yang dia lakukan terhadap ayah kita.
Keris ini adalah keris yang dipakai oleh dia sewaktu membunuh ayah kita.”

“Itu suatu rencana yang baik sekali, aku setuju. Akan tetapi beberapa kali engkau mengatakan kata semoga. Jadi itu berarti sesuatu yang tidak aman; engkau memasuki daerah yang sangat berbahaya yang mana nyawamu terancam.”

“Bahkan aku akan rela berkorban nyawa demi Kerajaan Medang.”

“Kalau begitu aku harus turut serta bersama-mu untuk menjaga keselamatanmu.”

“Tidak bisa adikku; engkau adalah pimpinan pejuang yang sudah dikenal oleh musuh; siapa yang tidak mengenal Akuwu Wengker. Sifat kerahasiaanku akan mudah terbongkar.

Hanya Dewa yang akan turut besertaku. Dan aku akan bergantung pada tali cinta. Bila dia tidak mencintai ku lagi, maka tali itu akan putus, aku akan jatuh dan mati.”

Rombongan pengungsi semakin panjang dan lebar; anak Negeri dari Jati Wengker akan bergabung dengan kawan-kawannya dari Ibu Kota Medang; dan direncanakan akan bersatu dengan rombongan pengungsi lain dari Majapahit dan juga Blambangan.

Brahma Narendra Gupta, petapa yang penuh Kharisma. Dia berpidato, “Marilah ikut didalam barisan, daripada engkau mati kelaparan tanpa usaha mencari makanan. Pulau Bali adalah tempat tinggal Para Dewa, disana ada makanan untuk mu.
Perjalanan kita akan dikawal oleh Para Dewa menuju kerumahnya di Bali. Jadi kita tidak perlu takut menghadapi tentara Wulansari.”

“HURAY HURAY MARI KAWAN-KAWAN KITA MENUJU PULAU BALI.”

Rombongan berjalan perlahan-lahan, dikarenakan banyak wanita, anak-anak dan orang tua.

Sementara itu Ki Manjangan beserta sepuluh prajurit Wengker mendapat tugas rahasia dari Komandan, untuk menjaga keselamatan Putri Sekarpandanwangi. Putri tidak perlu tau dan memang dia menolak untuk ditemani.

Ki Manjangann berlari-lari diatara para pengungsi guna menemui Brahma Narendra. Dia melihat bahwa rombongan akan melalui Kedungsongo, markas musuh; ini sangat bebahaya bagi keselamatan semua pengungsi.

“Brahma, tolong engkau perintahkan mereka agar menjauhi Kedungsongo, belokan barisan kekiri, masuk kedalam hutan.”

“Barisan ini bukan barisan militer yang mudah di komandoi; tetapi barisan orang tua dan wamita. Apalagi disuruh masuk kedalam hutan, pastilah mereka akan ketakutan.”

“Benar juga; jadi harus bagaimana? Pastilah akan ada korban dari tentara Wulansari yang kejam.”

Perkiraan Ki Manjangan tidak meleset; beberapa saat kemudian tampak tentara Wulansari menghadang ditengah jalan dengan sikap angkuh. Dan itu Sora Mahisa ikut bersama mereka didalam penghadangan.

Pengungsian rakyat ke pulau Bali ditentang oleh Raja Wulansari; benar dugaan Putri didalam pidatonya bahwa jika terjadi maka tidak seorang pun yang akan membayar pajak; Raja akan mendapatkan tanah kosong tanpa penghuni, sehingga perang yang dilancarkan olehnya adalah perang yang sia-sia.

Sementara itu Putri merasa senang, seolah Dewa memberi jalan kepadanya; ini kesempatan untuk dapat masuk kedalam markas mereka.
Dia membiarkan rambutnya tidak terurus, muka hitam karena arang dan baju yang dikenakan adalah baju yang sudah tua dan koyak-koyak.

“Hai rakyat Kerajaan Medang, engkau adalah orang-orang bebas; dan kami tidak akan menggangu kalian lagi. Oleh sebab itu pulanglah kalian kerumah masing-masing. Bekerjalah seperti biasa.”

Seorang anak kecil berteriak, “Rumah kami telah dibakar oleh engkau; kami tidak mempunyai rumah lagi.”

Seorang tua juga berteriak, “Kami perlu makan, makanan kami habis dan sekarang kami akan pergi ke pulau Bali untuk mencari makanan.”

Seorang anak berteriak, “Kedua orang tua kami telah engkau bunuh, jadi buat apa tinggal ditempat yang tidak aman seperti ini.”

Pangeran Sora Mahisa menjadi hilang kesabarannya; dia memberi isyarat dengan tangannya; itu berarti panah!

Tiba-tiba, seorang tua renta jatuh terpanah. Kemudian seorang wanita juga tewas seketika tertembus panah didadanya. Seorang anak kecil menjerit keras karena perutnya tertembus panah.

Semua anggota rombongan terdiam tidak ada yang berkomentar lagi. Mereka hanya ber doa dalam hati, memohon pertolongan Para Dewa yang dipercaya ikut mengawal mereka.

Tiba-tiba, seorang perempuan jelek keluar dari barisan, berlari-lari menuju kuda Sora Mahisa dan kemudian berlutut dimuka kudanya.

“Wahai Raja yang menang perang; akulah pimpinan rombongan pengungsi ini. Biarkanlah mereka berlalu. Engkau boleh menahan aku sebagai tawanan perang; aku akan menjadi pengganti nyawa mereka. Aku adalah Putri Sekarpandanwangi, Ratu yang kalah perang.”

“Apa? Putri Sekar, engkau kah? Benarkah engkau Putri Sekarpandanwangi?” Tanya Sora Mahisa.

“Ya memang aku Putri Sekarpandanwangi; aku menyerah kalah kepadamu, akan tetapi bebaskan rakyat ku untuk berlalu.”

Sora Mahisa turun dari kudanya, menghampiri kekasihnya, ikut berlutut didepannya dan mencium keningnya, “Oh Dewa, terimakasih aku dapat menjumpai kekasihku kembali. Marilah Sekar, engkau adalah kekasihku yang hilang.”

“Oh Dewa, nasibku kupertaruhkan; selamatkan lah aku ya Dewa; nyawaku sekarang bergantung pada seutas tali, tali cinta.” Putri ber doa.

“Wahai rakyat Medang, engkau dapat berlalu hingga ke pulau Bali; akan tetapi pimpinanmu, Putri Sekarpandanwangi menjadi tamuku, dia adalah kekasihku.”

Tidak ada tepuk-tangan dan sorak-soray atau huray-huray. Semua diam dan mulai melangkah perlahan-lahan dan kemudian dipercepat. Semua orang takut dengan prajurit Wulansari yang terkenal kejam.

Didalam hati mereka menduga-duga, “Siapa wanita gila yang mengaku sebagai Putri Sekarpandanwangi. Tapi kenyataannya Pangeran Sora mau mengakui dia sebagai kekasihnya.”

Sementara itu Ki Manjangan beserta anak buahnya menjadi putus asa setelah Putri Sekar dibawa oleh Sora masuk kedalam markasnya. Mereka masuk kedalam hutan, berpisah dengan rombongan pengungsi.


Bab 2

Putri Sekarpandanwangi betul-betul ditangkap oleh dua serdadu dan dibawa kedalam ruang interograsi.

Keduanya menggeledah seluruh bawaannya dan tubuhnya. Mereka menemukan sebilah keris yang ditaruh dibalik bajunya.

Prosedur militer harus dijalankan walaupun dia adalah kekasih-nya komandan.

Sementara itu, Pangeran Sora Mahisa sedang gundah gulana, pikirannya kacau; bagaimana dia harus mempertanggung jawabkan pembunuhan ayah kekasihnya, Raja Ribut Sakti.

Seorang prajurit melaporkan, “Kami menemukan senjata dibalik bajunya. Ini sebilah keris.”

“Baik, engkau boleh undur diri.”

“Tuan, hati-hati dengan dia, pasti dia mempunyai maksud yang tidak baik terhadap tuan.”

Sora Mahisa memegang keris yang diberikan pengawalnya, “Ini adalah kerisku yang pernah kugunakan untuk membunuh ayahnya.”

Dia termenung sedih, dia menyalahkan dirinya, “Mengapa aku harus membunuh ayah dari kekasihku. Alangkah bodohnya aku, bukankah aku bisa menugaskan Boyo Pitu untuk melaksanakan tugas itu.

Tidak juga itu sesuatu yang lebih baik. Sudah pasti aku juga yang harus bertanggung jawab, karena aku adalah atasan Boyo Pitu.”

Dia terus termenung dan nampaknya dia menderita tekanan jiwa; nampaknya dia akan bunuh diri dimuka kekasihnya untuk mempertanggung jawabkan pembunuhan Raja Medang.

“Tidak ada jalan lain untuk membuat dia percaya bahwa aku benar-benar mencintainya, selain dari bunuh diri didepan dirinya.”

Dia memegang keris itu, melangkah menuju kamar tahanan Putri dan berhenti dimuka kamarnya. Empat pengawal berlari mengikuti dia. Mereka takut Pangerannya akan dibunuh oleh Putri.

Sementara itu Putri ketakutan dikarenakan kerisnya telah diketemukan; itu berarti maksud tujuannya sudah diketahui oleh mereka, ingin membunuh Sora.

“Inilah akhir riwayat hidupku. Ya Dewa jika tidak ada pertolongan darimu, aku akan tewas sebentar lagi.”

Pintu kamarnya dibuka orang, cahaya memasuki kamarnya, terlihat bayang-bayang seseorang sedang membawa keris dimuka pintu.

“Wahai kekasihku, gunakanlah keris ini untuk membunuh ku sekarang juga. Kata-kata terakhir dariku adalah aku benar-benar mencintaimu.” Dia menyorongkan gagang keris kehadapan kekasihnya.

Putri Sekar tekejut; bukan dia yang akan dibunuh tetapi sebaliknya dia minta dibunuh.

“Wahai Raja yang menang, seharusnya engkau membunuh aku, bukan sebaliknya. Aku adalah Ratu yang kalah dalam peperangan, nasibku ada ditanganmu.”

“Aku mencintaimu sesungguhnya. Aku tau bahwa engkau akan menyangkal; dimana ada kekasih yang membunuh calon ayah mertuanya sendiri. Itulah aku dan aku mempunyai alasan yang tidak dapat diterima oleh akal siapapun. Maka dari itu aku menginginkan kematian.”

“Apa alasanmu yang tidak dapat diterima oleh akal?”

“Pembunuhan itu adalah tugas dari ayahku agar aku membunuh Raja musuh-nya, Raja Ribut Sakti.”

“Mengapa engkau tidak menolak tugas itu?”

“Aku akan dibunuh sebagai penghianat.”

“Mana ada seorang ayah yang tega mau membunuh anaknya sendiri.”

“Itu lah alasan yang tidak dapat diterima oleh akal.
Didalam perang yang kejam dan brutal seperti ini, sesungguhnya itu dapat terjadi; dan itu telah terjadi pada diriku.
Aku menyesali nasibku, oleh sebab itu bunuhlah aku sekarang juga. Aku hanya ingin engkau tau bahwa aku sangat mencintaimu.”

“Apakah engkau ikut setuju jika aku berencana membunuh ayahmu? Karena dia rupanya tokoh dibelakang pembunuhan ayahku.”

“ Itu seperti anak ayam yang berencana membunuh seekor ular python; seolah tidak akan mungkin terlaksana.”

“Akan tetapi anak ayam itu akan dibantu oleh singa jantan, yaitu dirimu. Maukah engkau membantuku?”

“Aku akan membantu mu dengan sekuat tenaga dan pikiran.”

“Sungguh? Jika begitu engkau telah menyatakan dirimu sebagai penghianat, penghianat Raja-mu dan Kerajaanmu.”

“Aku mencintai Negeriku, tetapi tidak Raja, ayahku. Aku ikut dengan rencanamu dengan tujuan menghentikan perang gila ini.”

“Baiklah, engkau bukan seorang penghianat, tetapi pejuang pembela keadilan; keadilan bagi siapa pun.”

“Oh Dewa, terimakasih atas pertolonganmu. Rencana-ku untuk membunuh Sora Mahisa berkurang limapuluh persen. Dan aku harus terus bergantung pada tali cinta. Oh Dewa jangan lah engkau putuskan tali cinta itu, nyawaku tergantung pada keutuhan tali itu.” Putri Sekar berpikir didalam hati.

“Putri Sekar, maukah engkau kembali kepadaku? Sungguh aku tadi menderita tekanan jiwa sehingga aku ingin bunuh diri. Hanya dirimu yang dapat menjadi obat penawar sakit ku.”

Tidak ada jawaban dari Putri Sekar. Dia bahkan memperlihatkan muka yang cemberut dan menjadi lebih buruk rupanya dari pada wanita gila yang mengaku sebagai Putri Sekarpandanwangi.

Pangeran Sora Mahisa bertepuk tangan dua kali untuk memanggil pengawalnya. Kemudian dia berbisik kepada pengawalnya .
Tak lama kemudian, datanglah beberapa dayang yang membawa baju-baju baru, kosmetik dan bermacam-macam wangi-wangian. Putri dibawa oleh mereka untuk dihias kembali seperti semula.

Putri Sekarpandanwangi kembali kehadapan Sora Mahisa seperti sediakala, cantik dan mempersona dan juga penuh kharismatik. Pangeran Sora Mahisa sangat bangga kepada kekasihnya. Dia berencana membuat pesta di markasnya, merayakan pertemuan kembali dengan kekasihnya.
Keesokan harinya pesta itu diadakan, semua serdadu Wulansari beserta perwiranya berkumpul untuk melihat kekasih Komandannya.

Sementara, Putri Sekarpandanwangi tidak turut gembira, karena terpikir olehnya bahwa dia sekarang berada di markas musuh besarnya, tempat yang sesungguhnya tidak aman. Terlebih dia telah mengungkapkan rencananya untuk membunuh pimpinan tertinggi mereka, Raja Wulansari. Walaupun itu diungkapkan hanya kepada kekasihnya, Sora Mahisa; akan tetapi dinding kamar selalu mempunyai telinga.

Ternyata apa yang ada dibenak Putri, juga dipikirkan oleh Pangeran Sora Mahisa.
Bahkan pasukan mata-mata Raja sebetulnya ada dimana-mana; disamping mata-mata yang khusus bekerja untuk diri Mahisa.

Sora Mahisa merencanakan persembunyian kepada Putri Sekar, “Engkau harus segera ku sembunyikan di suatu tempat yang aman dari jengkauan si ular python. Aku yakin agen rahasia Raja sudah bekerja melaporkan hal nya engkau; dan sudah barang tentu si ular python merasa lapar hendak menelan anak ayam.”

“Jadi aku harus bagaimana? Lekas sembunyikan aku!”

“Aku akan mengatakan kepada laskarku, bahwa kita berdua akan menikah di Kuteprabu; oleh sebab itu aku mengajukan cuti selama dua minggu yang sebenarnya adalah kita akan pergi ke dusun Watukumpul, suatu tempat di ujung utara, tempat persembunyianmu.”

Pangeran Sora Mahisa menggandeng tangan kekasihnya; dia tersenyum kepada semua orang; nampaknya dia bangga dengan kekasihnya.

“Saudara-saudara, hari ini adalah hari yang bahagia bagiku dan juga bagi Putri Sekarpandanwangi. Aku sudah lama berkenalan dengan Putri Kerajaan Medang dan sekarang aku dan dia berencana untuk menikah di Kuteprabu. Oleh sebab itu aku minta cuti selama dua minggu guna keperluan dimaksud. Pimpinan laskar aku serahkan kepada Penyewu Boyo Pitu.

Hari ini adalah hari yang bahagia jadi marilah kita berpesta semeriah-meriahnya; selamat!”

Putri Sekarpandanwangi tidak terlalu gembira, apalagi Sora mengatakan bahwa dia akan menikahi Putri; Putri masih sakit hati akan kematian ayahandanya.

“Dia tidak mengatakan yang sebenarnya kepada para hadirin bahwa dia telah membunuh ayah kekasihnya. Itu baru lah dia sebagai seorang yang jujur.” Pikir Putri.

Hari itu semua laskar tidak bekerja tetapi makan dan minum sepuasnya. Sebaliknya, para pengungsi menderita kelaparan, kehausan dan kelelahan. Banyak diatara mereka yang mati ditengah jalan.
Itulah hukum perang, yang menang bergembira dan yang kalah bersedih hati.

Dipagi buta, sebuah kereta kencana berangkat menuju perbatasan utara dan terus menuju ke Ibukota Kuteprabu dari Kerajaan Wulansari. Penumpangnya hanya dua orang, Pangeran Sora Mahisa dan Putri Sekar. Nampaknya mereka tergesa-gesa dan sangat rahasia.

Ditengah jalan, Pangeran Sora Mahisa mencoba menghibur kekasihnya dengan bernyanyi atau bercerita akan hal yang lucu-lucu; akan tetapi Putri tetap diam saja. Dia berbeda dengan Putri sewaktu di Kaputren dulu yang lebih aktif mengungkapkan cintanya.

Sementara itu, Raja Wulansari, Prabu Girindrawardana masih berada di medan tempur di Majapahit. Istana Trowulan sudah diduduki dan Keluarga Istana Kerajaan melarikan diri masuk kedalam hutan.
Seorang agen rahasia Raja melaporkan,”Baginda, Pangeran Sora Mahisa akan menikah dengan Putri Raja Ribut Sakti yaitu Putri Sekarpandanwangi, dalam minggu ini. Tempat pernikahannya adalah di Istana Kuteprabu.”

“Apa? Kurangajar anak itu. Beraninya melangkahi ayahnya. Pada hal dia sudah kujodohkan dengan seorang gadis baik-baik pilihanku. Biarkan saja, tapi engkau ikuti dia, dimana dia bertempat tinggal terakhir. Kita akan sudahi riwayatnya Putri itu.”

Sora dan Sekar sampai di Istana Kuteprabu dengan selamat. Semua staf Istana menyambut kedatangannya dengan suka cita. Pangeran Sora perlu mengadakan rapat singkat dan kemudian istirahat sebenetar. Sementara Putri juga beristirahat di kaputren.

“Aku sekarang benar-benar berada di sarang ular python; keadaan ku sekarang penuh bahaya yang dapat merengut nyawaku. Aku hanya menggantungkan nasibku pada cinta Sora Mahisa.”

Seorang pengawal memberitahukan kepada Sora Mahisa bahwa Raja Girindrawardana akan pulang kembali pada hari lusa.

“Mengapa dia pulang cepat-cepat? Apakah dia sudah dilaporkan akan halnya kekasihku dan kemudian dia cepat-cepat pulang guna mengadili kekasihku. Benar-benar ayahku terlalu jauh turut campur didalam urusan pribadiku.

Tetapi, aku memang telah mengundang seorang serdadu musuh untuk masuk kedalam markas ku, bahkan Istana ayahku.
Dia hanya lah serdadu wanita yang bersenjatakan sebilah keris; dan keris itu pun hasil pinjaman dariku.

Dan bagaimana aku sendiri; aku sudah mengungkapkan kepada dia untuk membantunya didalam rencana pembunuhan ular python. Sekarang kaki kiriku melangkah di Kerajaan Medang, sementara kaki kanan ku masih tertinggal di Kerajaan Wulansari.

Malam ini adalah malam kesempatan bagiku untuk mengungkapkan rasa cintaku dan membangkitkan rasa cintanya seperti dulu.”

Pada suatu taman yang indah di Istana Kuteprabu, kedua sejoli sedang asyik memadu cinta. Tapi sayang pihak wanita tidak begitu berminat untuk menanggapinya.

Pangeran Sora Mahisa melantunkan sebuah lagu kenangan yang waktu itu sedang populer; sewaktu dia untuk pertama kalinya mengungkapkan cintanya.

Putri menangis mendengarkan lagu itu. Pangeran Sora Mahisa menjadi bingung dibuatnya.
“Mengapa engkau menangis kekasihku?”

“Lagu itu mengingatkan kenangan mesra ku bersamamu; tetapi semua itu sirna tanpa bekas sama sekali. Aku teringat kamarku di gedung Kaputren, tetapi itu sudah habis terbakar; engkau lah yang membakarnya. Aku teringat ayahku, tetapi dia sudah mati dan engkau lah yang membunuhnya.”

Pangeran Sora Mahisa sekarang ikut menangis, tersedu-sedu.

“Hai mengapa engkau turut menangis? Tidak sepantasnya Raja yang menang ikut menangis, tetapi Ratu yang kalah.”

“Janganlah engkau menyalahkan aku terus menerus; Raja Girindrawardana adalah penyebab semua petaka ini. Rakyatnya dan juga aku, tidak dapat mengatakan tidak kepadanya.”

Suasana taman hening, kedua insan itu putus pembicaraan.
Akhirnya Putri melantunkan sepotong puisi,

Engkau datang bagai Rama menemui Sinta
Engkau begitu gagah dan cemerlang
Engkau bagaikan bulan diantara bintang-bintang
Tiba-tiba engkau menghilang ditelan gerhana
Dimanakah engkau sekarang?

“Aku disini sayang, gerhana hanya berlangsung beberapa menit saja; kemudian bulan yang engkau rindukan kembali lagi bersinar.”

“Kanda, aku sesungguhnya takut dengan suasana Istana ini. Aku menyadari bahwa tempat ini adalah sarang ular python, sedangkan aku adalah machluk yang lemah, hanya seekor anak ayam. Cepat kanda, sembunyikan aku, agar dia tidak memangsa aku.”

Pangeran pergi berkeliling taman.

“Apa yang engkau lakukan kanda?”

“Aku memeriksa kalau-kalau ada orang yang ikut mendengarkan pembicaraan kita.
Nah malam ini juga engkau akan diantar ke dusun Watukumpul. Engkau akan diterima oleh Kromo, kepala dusun dan berdiam dirumahnya selama perang berlangsung. Kromo adalah sahabatku.”

“Terimakasih kanda.”

“Rencanaku semula untuk membunuh Sora berkurang sebanyak tujuh puluh lima persen; dan aku semakin kuat memegang tali cinta dikarenakan ular python selalu mengancam aku.
Sekarang si singa jantan benar-benar membuktikan kehendaknya untuk menolong aku.” Pikir Putri Sekarpandanwangi.

Pagi dini hari, sebuah kereta yang berisi seorang wanita dan dikawal oleh sepuluh prajurit berkuda Wulansari berangkat menuju dusun Watukumpul diujung utara Negeri Wulansari.

Perjalanan memakan waktu selama satu hari penuh dan sampailah Putri dirumah Kromo, kepala dusun.

Putri merasa bahagia ditempatkan disuatu dusun yang sunyi, jauh dari medan tempur. Terlebih sambutan dari tuan rumahpun menyenangkan.

(Bersambung)

No comments: