Friday, October 3, 2008

Antara Cinta dan Benci (Bagian 5)

Demak Menyerang

Diceritrakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

Keesokan harinya Prabu Girindrawardana beserta seluruh prajuritnya menarik diri dari medan tempur di Majapahit. Tampaknya Raja sangat tergesa-gesa untuk pulang. Hal ini yang membuat Pangeran Sora Mahisa takut; apakah kepulangannya ada hubungannya dengan masalah kekasihnya atau kah ada alasan lain.

Kepulangan Raja ke Ibukota Kuteprabu tidak disambut oleh rakyatnya dengan meriah; hal ini menandakan bahwa rakyat sudah jemu dengan keadaan perang yang terus menerus dilancarkan oleh Raja. Hanya ada beberapa orang saja yang menyambut Raja.

Raja lelah, dia langsung tidur di kamarnya. Dimuka pintu kamarnya ada beberapa pengawal yang menjaga keselamatan Raja.

Sekretariat mengumumkan bahwa besok pagi ada rapat militer yang penting dan darurat; diharapkan semua perwira militer harus hadir di Balairung Istana.

Jajaran militer Wulansari sangat disiplin dikarenakan peraturan yang keras dan kontrol oleh Raja secara langsung.

Semua perwira militer sudah duduk di lantai Balairung. Mereka masih menerka-nerka ada masalah apa dengan Kerajaan, apakah ada perang baru? Siapakah yang akan dihukum karena melanggar disiplin militer?

Demikian juga dengan Pangeran Sora Mahisa, apakah Raja akan mempersoalkan kekasihku, Putri Sekarpandanwangi.
Pangeran kurang senang dengan sikap ayahnya.

Akhirnya Raja datang disertai oleh Patih Gajah Urip, Pangeran Sora Mahisa dan para pengawal.

Prabu Girindrawardana memulai rapat, “Aku harus pulang secepatnya, disebabkan adanya ancaman dari Kerajaan Demak yang akan melancarkan serangan ke Kerajaan kita. Berita didapat dari agen-agen rahasia kita di utara.

Aku perintahkan pada Pangeran Sora Mahisa agar menarik seluruh personilnya untuk memperkuat pertahanan kita di utara.
Patih, kerahkan seluruh prajurit kita guna memperkuat pertahanan kita di utara. Demak akan segera menyerang kita.

Patih Gajah Urip, aku ingin tau, berapa personil jumlah semua?”

“Baginda, yang ada berjumlah tiga ribu orang dan akan ditambah seribu limaratus pasukan dibawah Pangeran Sora Mahisa; jadi jumlah semua adalah empat ribu limaratus personil.”

“Bagus, kita cukup kuat. Dan aku perintahkan semua anggota militer tidak ada yang cuti. Semua harus siap tempur. Kerajaan Demak tidak boleh dianggap enteng.”

Semua orang menjadi lega, karena rupanya ada perang baru dengan Kerajaan Demak; dan tidak ada anggota yang kena hukum karena melanggar disiplin militer.

Prabu Girindrawardana tidak segan-segan untuk memberikan hukuman bagi anggota pasukannya yang menentang perintahnya; dan juga tidak ragu-ragu memberi hukuman pada keluargannya sendiri, Pangeran Sora Mahisa.

Sora Mahisa juga merasa lega, karena Raja tidak menyinggung masalah kekasihnya; apakah dia lupa atau pura-pura lupa untuk memberikan hukuman

Prabu Girindrawardana melanjutkan, “Medan tempur diperkirakan akan terjadi diperbatasan utara; mereka akan masuk merembes dari utara, memasuki perbatasan Negara. Aku akan memimpin tiga ribu prajurit dan mendirikan pos di sektor Utara-Timur. Aku akan ditemani oleh Patih Gajah Urip, Penyewu Boyo Pitu dan Penyewu Boyo Lali. Boyo Lali adalah adik dari Boyo Pitu.

Sementara Pangeran Sora Mahisa memimpin seribu limaratus prajurit yang akan menempati pos Utara- Barat.

Patih Gajah Urip, segera lah engkau persiapkan seluruh pasukan dalam waktu selambat-lambatnya tiga minggu.”

Pangeran Sora Mahisa berpikir, “Kekasih ku berada di dusun Watukumpul, daerah yang akan menjadi medan tempur. Jadi aku harus memindahkan nya segera.”

Maka dia mengirim seorang kepercayaannya untuk memindahkan Putri ke desa Kaliurang, di Utara-Barat.

Kemudian Pangeran Sora Mahisa pulang ke markasnya di Kedungsongo dan memindahkan seluruh pasukannya kembali ke Negerinya.


Bab 2

Putri Sekarpandanwangi sangat berbahagia di dusun Watukumpul, karena dia yakin dusun itu adalah tempat yang aman dari kejaran si ular python. Dia suka berkuda, berkeliling dusun dan melihat-lihat pemandangan alam. Kromo berbaik hati dengan meminjamkan kudanya kepada Putri.

Hari itu dia menerima surat dari kekasihnya yang diantar oleh seorang prajurit Wulansari.

“Kekasihku, Putri Sekar, engkau harus kupindahkan kembali dikarenakan daerah dusun Watukumpul akan menjadi medan tempur peperangan antara Kerajaan Demak melawan Kerajaan Wulansari. Kromo dan prajurit kepercayaanku akan mengantar mu ke desa Kaliurang, arah barat. Sora Mahisa.”

“Mengapa semua tempat menjadi ajang pertempuran; agaknya semua Raja-Raja di tanah Jawa ini suka berperang. Mereka saling serang dan tidak memperdulikan lagi nasib rakyatnya. Ini adalah pertanda Para Dewa sedang marah kepada umat manusia khususnya di tanah Jawa.” Pikir Putri Sekar.

Putri terus berkuda ketempat yang agak jauh dari rumahnya. Dia melihat-lihat para petani yang sedang bekerja. Dusun Watukumpul adalah daerah yang aman, subur dan petaninya rajin; maka tidak heran penduduknya makmur.

Putri melihat sekumpulan petani yang memakai topi lebar hingga menutupi mukanya secara seragam. Mereka berbeda dengan petani-petani lainnya.

“Mungkin mereka adalah para pionir prajurit Demak; pasukan mata-mata Demak yang masuk ke wilayah musuh.” Pikir Putri.

Putri memperlambat lari kudanya dan menghampiri mereka. Tidak disangka seorang diantaranya malah menegur Putri, “Selamat pagi Tuan Putri, Putri Sekarpandanwangi.”

“Hai engkau Ki Manjangan, suaramu sudah kukenal, tidak dapat kau menipuku walaupun engkau sembunyikan mukamu.”

Ki Manjangan membuka topinya, membungkuk memberi hormat kepada junjungannya. Demikian juga ke sepuluh prajurit bawahannya.

“Apakah Tuan Putri baik-baik saja keadaannya?”

“Aku dalam keadaan baik-baik; dari mana engkau tau bahwa aku berada disini?”

“Kami mendapat tugas militer untuk terus mengawal Tuan Putri, tanpa sepengetahuan Tuan Putri. Kami mengikuti kemanapun Tuan Putri pergi.
Kami sempat berputus asa sewaktu Tuan Putri ditangkap oleh Sora Mahisa di markas nya di kedungsongo; kami sudah menyangka yang tidak-tidak akan nasib Tuan Putri. Akan tetapi dua hari kemudian, sebuah kereta kencana meluncur membawa Tuan Putri bersama Sora; kami ikuti hingga sampai di Istana Kuteprabu. Kami tetap khawatir akan nasib Tuan Putri di Istana musuh ini, mungkin Tuan Putri sudah dimasukan kedalam penjara.
Kami tugaskan Singo Barbaran untuk masuk kedalam Istana dan menyelidiki keadaan Tuan Putri.
Singo, ceritakan lah pengalamanmu sewaktu engkau masuk kedalam Istana.”

“Pertama aku melamar menjadi pegawai Istana; Dewa menolongku, ternyata aku dapat diterima sebagai pegawai Istana. Tugasku adalah membersihkan taman Istana. Aku mulai bekerja menyapu taman. Secara kebetulan aku melihat Tuan Putri sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki. Aku terus menyapu dan aku mencoba mendekati. Tetapi sayang, aku diusir oleh seorang Pengawal Istana. Aku tidur di halaman Istana hingga menjelang pagi. Aku melihat sebuah kereta meluncur secara rahasia; penumpang nya tidak terlihat dan ada sepuluh prajurit yang ikut mengawal. Aku menduga kemungkinan penumpangnya adalah Tuan Putri. Aku bangunkan kawan-kawan ku dan berangkat mengikuti kereta itu dari jauh. Ternyata Tuan Putri sampai di dusun Watukumpul.”

“Pengalamanmu sungguh menarik Singo; sekarang marilah kita duduk-duduk di bawah pohon beringin itu guna melepas rindu dan mengatur siasat.”

Mereka pergi kebawah pohon dan santai beristirahat.

“Aku mengucapkan terimakasih atas pengawalanmu. Akan tetapi, ternyata aku harus pindah lagi kearah barat tepatnya ke desa Kaliurang; dikarenakan daerah ini akan menjadi medan tempur antara Wulansari melawan Demak.
Aku minta agar engkau tetap mengawasi aku, tetapi pengawasannya dari jauh saja.”

“Sebetulnya Tuan Putri berada dalam keadaan yang sangat berbahaya. Dikarenakan sewaktu-waktu Raja Wulansari akan membunuh Tuan Putri. Oleh sebab itu, aku menyarankan agar Tuan Putri segera lari melepaskan diri dari jerat. Sekarang ini-lah kesempatan yang sangat baik untuk melarikan diri bersama kami. Hayo Tuan Putri!”

“Sesungguhnya aku sekarang sedang dalam tugas Negara yang sangat rahasia. Aku ditugaskan untuk membunuh pimpinan tertinggi Kerajaan Wulansari. Aku minta maaf karena engkau tidak turut hadir didalam rapat rahasia itu.
Keteranganku ini, hanya-lah untuk kalian saja, jangan engkau bocorkan kepada orang lain.”

“Siapa yang akan membantu Tuan Putri? Apakah kita boleh membantu?”

“Aku akan berjuang sendiri. Aku hanya akan ditemani oleh Dewa; dia, aku percaya akan membantuku didalam setiap menghadapi kesulitan, selama aku berada disarang musuh.”

“Alangkah beraninya engkau. Sejujurnya, aku dan kawan-kawan tidak ada yang berani berada di sarang tentara Wulansri yang terkenal sangat kejam.”

“Baiklah Ki Manjangan dan kawan-kawan, kita sekarang berpisah tetapi besok pagi kita akan bertemu kembali; karena aku akan berangkat ke Kaliurang sementara engkau akan mengikuti perjalananku dari jauh. Daerah yang akan ku lalui terkenal sebagai sarang perampok; jadi sewaktu-waktu aku memerlukan bantuan kalian.”


Bab 3

Ki Manjangan dan kawan-kawan berkuda perlahan-lahan, mengawasi Tuan Putri yang memakai kereta berkuda dan dikawal oleh dua puluh prajurit Wulansari. Mereka berpikir, “Tuan Putri Sekar nampaknya sudah menjadi bagian dari Keluarga Kerajaan; lihatlah, dia dikawal oleh begitu banyak serdadu musuh.”

Pemerintah Wulansari menganjurkan kepada rakyatnya agar mereka dapat mengungsi kearah barat, disebabkan daerah mereka akan dipakai sebagai medan tempur. Rakyat sudah terbiasa dengan pertempuran demi pertempuran yang diprakarsai oleh Raja Girindrawardana.
Oleh sebab itu, dalam perjalanan Putri, banyak dijumpai rombongan pengungsi lainnya dengan alasan yang sama dengan Tuan Putri.

Banyak serdadu Wulansari yang ikut mengawal mereka, sama halnya dengan Putri Sekar. Mereka sudah memaklumi akan bahaya perampok-perampok di tengah jalan.

Ki Manjangan melihat segerombolan orang diatas bukit, bersenjata lengkap tetapi mereka tidak memakai seragam. “Lihat kawan-kawan, ada segerombolan perampok yang sedang menanti kedatangan rombongan Tuan Putri kita.”

“Ini adalah tugas kita untuk mengawal Tuan Putri.” Kata Singo.

“Akan tetapi jumlah mereka diperkirakan lebih dari seratus orang, jadi kemungkinannya kita akan kalah bila kita melawan mereka. Mungkin juga mereka adalah tentara Demak yang sesungguhnya.

Nampaknya, mereka membiarkan rombongan Tuan Putri berlalu dan nampaknya mereka santai saja di atas bukit itu.

“Kita harus bagaimana?” Tanya Singo.

“Singo, engkau kutugaskan untuk dapat menjumpai mereka secara tidak senganja. Berpura-pura lah engkau sedang bekerja memotong rumput. Pada saat mereka melewati engkau, tegurlah secara baik-baik dan berikan keterangan yang mereka perlukan; semoga mereka memperkenalkan diri.”

“Baik, aku berangkat.”

Rombongan yang dikira perampok itu melewati Singo yang sedang asyik memotong rumput. Pimpinan rombongan memakai kedok penutup wajah.

“Hai Ki sanak, tahukah engkau jalan menuju Kaliurang?”

“Tuan dapat berjalan terus selama kurang lebih satu jam dengan kuda; setelah bertemu dengan cabang jalan, pilih lah jalur yang ke kiri; tak lama Tuan akan sampai di tujuan.”

“Hai dialek bicaramu menunjukan bahwa engkau adalah orang dari kota Medang; benarkah engkau orang dari Kerajaan Medang?”

“Benar, aku pengungsi dari Kerajaan Medang; siapakah Tuan sesungguhnya?”

Orang itu membuka kedoknya, “Aku adalah Akuwu Wengker.”

Langsung Singo Barbaran memberi salut secara militer, “Namaku Singo Barbaran; aku adalah prajurit dibawah pimpinan Ki Manjangan; tugas kami adalah menjaga keselamatan Tuan Putri Sekarpandanwangi; Tuan Putri dalam keadaan selamat dan sekarang berada di Kaliurang.”

“Terimakasih Singo. Dan mana pimpinanmu dan kawan-kawan mu? Aku harus bertemu dengan mereka.”

“Aku ada disini.” Terdengar suara Ki Manjangan dari dalam hutan. Tak lama kemudian, dia tampil beserta prajurit-prajuritnya.

“Kita berkumpul kembali di Negeri orang. Kita harus ingat bahwa perang masih tetap berlanjut, belum ada perdamaian dengan Wulansari.

Marilah kita berkumpul dan bersembunyi didalam hutan, karena daerah ini juga akan menjadi medan tempur antara Demak melawan Wulansari.”

Akuwu memberikan pengarahan kepada bawahannya,

“Saudara, saudara; sesungguhnya keberadaan Putri Sekar di sarang musuh adalah untuk membunuh Pangeran Sora Mahisa. Ini memang tugas Negara untuk Putri Sekar.

Kenyataan yang kita dapati adalah dia sampai saat ini masih tetap selamat demikian juga dengan Pangeran Sora Mahisa. Hal ini menandakan bahwa Pangeran Sora Mahisa masih mencintai dan masih melindungi Putri.”

Patih Kebo Ireng bertanya, “Bagaimana kedudukan Putri di sarang musuh? Apakah dia itu musuh atau teman tentara Wulansari? Aku menjadi rancu dan bingung.”

“Setahuku dia adalah musuh, bahkan bertekad akan membunuh bekas kekasihnya; akan tetapi dia mengharapkan bekas kekasihnya masih mau mencintainya yang dengan demikian Sora dapat melindungi dirinya selama dia berada disarang musuh.

Sekarang masalahnya adalah kedudukan Putri terhadap Sora Mahisa, apakah Sora masih mencintai dia atau tidak; aku berkesimpulan, dia masih mencintai Putri.
Bagaimana menurut Patih?”

“Aku sependapat dengan mu Akuwu. Tetapi ada satu hal yang perlu mendapat perhatian; yaitu inti permasalahan akan halnya pembunuhan Raja Ribut Sakti oleh Sora.
Seolah Sora sedang memegang dan bermain dengan ular cobra yang sewaktu-waktu dapat menggigitnya.”

“Engkau benar Patih; Sora seolah sudah dapat meyakinkan Putri bahwa pembunuhan itu bukan salahnya, sehingga sekarang ini Putri dapat memaafkan kekasihnya.”

“Engkau benar Akuwu, dan seolah Putri dapat mengerti kesulitan Sora.”

“Aku mempunyai rencana, kita akan tunggu Sora pada saat dia menginjungi kekasihnya; dan kemudian kita akan tangkap dia. Kita tidak akan menyakiti dia, tetapi hanya ingin menanyakan alasan dia, mengapa begitu tega membunuh ayah mertuanya sendiri.

Aku mengharapkan dia akan datang ke Kaliurang dengan membawa sedikit pengawal.”

Ki Manjangan memberi saran, “Akuwu, sebaiknya engkau membuat surat kepada Putri Sekar sebelum bertindak, agar dia dapat memakluminya dan tidak marah.”

“Saranmu bagus, aku segera membuat surat itu; siapa yang akan mengantarkan surat?”

“Singo Barbaran.”

Bunyi surat itu adalah,

Wahai Putri Sekar,
Aku, Akuwu Wengker, Komandan tempur pasukan Kerajaan Medang, meminta izin kepadamu guna menangkap Sora, kekasihmu.
Aku berjanji tidak akan menyakiti dirinya, akan tetapi hanya akan menanyakan alasan-nya mengapa dia tega membunuh ayah mertuanua sendiri.
Aku selalu memakai topeng, agar aku tidak dikenali oleh musuhku; ini sesuai dengan saranmu, bukan?”
Akuwu Wengker.

Singo Barbaran dengan surat itu pergi kerumah besar, tempat tinggal Putri Sekar.


Bab 4

Putri menempati sebuah rumah besar milik pribadi Pangeran Sora Mahisa di Kaliurang. Sayang sekali, setelah duapuluh serdadu itu selesai mengantar Putri, mereka meninggalkan Putri. Demikian halnya dengan Kromo.

Sekarang Putri hanya dikawal oleh dua orang prajurit Wulansari saja. Tentu Putri Sekar sangat menghawatirkan akan keselamatan dirinya. Dia berdoa, “Oh Dewa, aku adalah machluk yang lemah, sementara aku terancam akan dibunuh oleh Raja Wulansari. Tolong lah hamba Mu ini; aku sekarang hanya dikawal oleh dua orang prajurit saja. Tolong gerakan hati Sora Mahisa agar mau menambah prajuritnya ditempat ini. Oh Dewa yang Agung, pertolonganMu kuharapkan sekarang juga.”

Sementara itu Prabu Girindrawardana sedang berdiskusi dengan Bulus Lunyu, salah seorang agen rahasia kepercayaanya. “Bagaimana Demak mau meluasakan daerah kekuasaannya, apa maunya?”

“Selain itu mereka juga akan membawa Agama baru yang mereka bawa dari Negeri Arab. Itulah yang aku tau Baginda.”

“Bagaimana kekuatan militer mereka, apakah mereka bisa mengalahkan kita?”

“Kekuatan kita terletak dalam jumlah personil prajurit, tetapi tidak dalam bidang persenjataan.”

“Apa maksudmu?”

“Mereka mempunyai senjata dahsyat yang kita menamakan-nya “meriam” Suaranya menggelegar dan anak panahnya berupa segumpal besi yang melesat cepat. Baginda, persenjataan kita jauh tertinggal dari mereka; senjata kita sudah kuno.”

“Mereka beli dari mana? Aku tugaskan sekarang engkau membeli senjata itu, berapapun harganya.”

“Mereka merampas dari orang Portugis dalam pertempuran di Malaka. Mereka memenangkan pertempuran dan membawa pulang senjata orang Portugis yang ditinggalkan, berupa meriam itu tadi. Mereka sebetulnya tidak tau nama senjata itu; tetapi ada tertera di alat itu “Santa Maria”; oleh sebab itu mereka menyebutnya meriam.”

“Cari dimana orang-orang Portugis itu berada dan kita akan membeli senjata mereka.”

“Baik Baginda.”

“Oh ya ada satu hal yang sangat penting yang akan menjadi tugasmu juga. Aku meminta engkau untuk membunuh Putri Sekarpandanwangi sekarang juga, sebelum kita berangkat ke medan tempur. Buatlah pembunuhan itu seolah-olah suatu kecelakaan, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan pada Pangeran Sora Mahisa.
Ingatlah tugas ini sangat rahasia, jangan sampai terbongkar; jangan sampai hubungan antara ayah dan anak menjadi seteru.”

“Baik Baginda.”

Prabu Girindrawardana memerintahkan suatu pembunuhan dengan gaya ringan saja. Sudah banyak lawan-lawan politiknya yang dibunuh oleh agen rahasianya; salah satu diantaranya adalah Raja Ribut Sakti.

Bulus Lunyu memanggil anak buahnya untuk merundingkan rencana pelaksanaan pembunuhan Putri Sekarpandanwangi.
Ada sepuluh orang anak buahnya yang berkumpul dirumahnya.
Mereka duduk santai menikmati kopi dan pisang goreng yang dihidangkan oleh seorang pelayan Bulus Lunyu.

“Menurut berita yang kami dapat dari kawan-kawan kita, target kita itu hanya dikawal oleh dua orang prajurit. Jadi kerja kita hanya ringan dan mudah.

Agar terkesan sebagai sebuah kecelakaan, maka para operator harus menutupi wajah dan berlaku seperti perampok.” Bulus Lunyu memulai perundingannya.

“Kita mempunyai lima puluh personil, apakah itu belum cukup?”

“Itu berlebih lebihan, itu seolah serombongan prajurit. Jadi kita hanya memerlukan sepuluh atau lima belas orang saja agar terkesan sebagai perampok.”

“Kapan kita bisa memulai bekerja Bulus?”

“Lusa kita dapat berangkat. Tapi ingat ini adalah tugas yang sangat rahasia, jangan sampai bocor.”

Setelah itu mereka duduk santai dan mengobrol akan hal-hal lainnya.”

Sang pelayan meminta diri kepada Bulus karena tugasnya sudah selesai. Perempuan itu keluar dari rumah Bulus dan melarikan kudanya ke arah kantor Pangeran Sora Mahisa. Kebetulan Sora masih bekerja sampai jauh malam.

“Pangeran, mereka akan membunuh kekasih Tuan sekarang juga. Jagalah dia baik-baik.”

“Terimakasih Ken Melati, engkau adalah perwiraku yang gagah berani. Ini uang yang cukup untuk engkau dan keluargamu dapat melarikan diri ke Luar Negeri. Pergilah dan jangan kembali lagi.”

Pangeran Sora Mahisa memberi komando rahasia kepada seratus lima puluh prajuritnya yang dapat dipercaya untuk segera berangkat ke Kaliurang. Tugas mereka akan menjaga keselamatan Putri Sekar Pandanwangi.
Mereka berangkat di tengah malam, melalui jalan setapak didalam hutan.

Selesai Putri Sekar berdoa, saat itu juga datang seorang Penyewu tentara Wulansari menyerahkan surat kepada Putri.
Bunyi Surat itu adalah,
Kekasihku, aku mengirim seratus lima puluh prajurit untuk menjagamu dari serangan perampok.
Aku juga akan datang ketempatmu menjelang hari ke tiga, guna mendirikan pos pertempuran melawan Demak.
Sora Mahisa, kekasihmu.

“Oh Dewa, secepat itukah jawabanmu. Terimakasih oh Dewa yang Agung.
Hai ular python, aku sekarang bukan anak ayam yang takut kepadamu, tetapi Raja elang yang mempunyai cakar tajam guna menjepit badanmua dengan kakiku dan membawamu terbang kesarangku. Aku akan memakan-mu bukan sebaliknya, karena engkau bukan lagi python tetapi ular kecil.”

Rumah besar itu segera dipenuhi oleh para prajurit Wulansari. Mereka berjaga-jaga didalam rumah maupun diluar rumah.

Sementara itu, Singo Barbaran yang akan mengantarkan suratnya Akuwu Wengker, tidak dapat menjalankan tugasnya dikarenakan banyak sekali serdadu didalam rumah besar itu. Dia kembali lagi ke dala hutan.

“Akuwu, rumah kediaman Putri sudah dipenuhi oleh serdadu Wulansari; jadi aku gagal menyampaikan surat ini.”

“Ada berapa serdadu itu?”

“Kurang lebih ada tujuh puluh orang; tetapi yang ada didalam rumah aku tidak tau. Nampaknya mereka menanti musuh yang akan menyerang rumah itu.”

“Jadi pertempuran dengan Demak akan segera berlangsung; kita awasi pertempuran dari dalam hutan, jangan sampai kita ketahuan oleh mereka.”

(Bersambung)

No comments: