Friday, June 4, 2010

Antara cinta dan benci part 1

SATURDAY, SEPTEMBER 27, 2008

Antara Cinta dan Benci (Bagian 1)

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi





Prolog



Kerajaan Majapahit di saat mendekati keruntuhan adalah saat yang menyedihkan bagi anak Negeri-nya. Dimana-mana terjadi huru hara, prahara dan peperangan antar para penguasa; Sehingga rakyat menderita.

Oleh sebab itu, Anak Negeri lebih memilih menjadi mengungsi, lari ketempat lain; Mereka memilih pulau Bali sebagai tempat tinggal baru yang paling aman.



Apa sebenarnya yang sedang terjadi ditempat itu?; Sehingga rakyat perlu menjadi pengungsi. Tidak seorang pun tau; Akan tetapi sejarah mengatakan bahwa ada seorang Raja yang mengamuk pada saat itu.

Dia adalah Raja Girindrawardana.

Raja itu lah yang dipercaya sebagai penyebab prahara di masa akhir Kerajaan Majapahit.



Nenek bernyanyi sebelum memulai ceritanya.



Prahara menyelimuti Majapahit

Asap membumbung diantara puing-puing

Mayat manusia bercampur bangkai kuda, tersebar, membusuk amis

Tak seorang pun berada di kota mati, tempat yang menakutkan

Hanya burung si ruak-ruak bangkai berpesta pora, bersama serigala.



Engkau yang diliputi angkara murka, merusak, membunuh, membakar

Istana, rumah, candi, luluh lantak, hangus membara.

Jadi lah kota mati, kota yang ditinggalkan

Sedih, sakit, pilu dan derita, dirasa tak berkesudahan

Puas kah engkau?

Bahkan engkau tak mampu menjawab.





Anak Negeri pun pergi mengungsi

Petaka harus dijauh-i

Bali tempat tujuan, layak ‘tuk dihampiri

Penduduknya saling menghormati

Tempat teduh, penuh dengan kedamaian

Rumah Para Dewa dan Dewi



Dunia mengutuk mu

Maksud apa engkau marah membabi-buta

Engkau sendiri-pun tak tau

Oh Dewa, sudahilah hukuman darimu

Kami memang tak pernah mengingatmu

Ampunilah kami dan keluarga kami





Bab 1



Pangeran Putri nan cantik adalah Putri Sekarpandanwangi; dia adalah Putri dari Raja Ribut Sakti dari Kerajaan Medang. Selain cantik, dia juga cerdas; Maka tidak lah salah bila ayahnya mengangkat Putri sebagai Pangeran Putri Mahkota, untuk kelak dapat menggantikannya.



Raja Ribut Sakti juga mempunyai seorang anak laki-laki dari selir, namanya Mas Alit Kereng. Sesungguhnya Mas Alit kecewa pada ayahnya, karena dirasakan keputusan Ayahnya tidak adil.

Bukankah dia seorang laki-laki yang pantas menjadi Raja.



Mas Alit Kereng berusaha mengangkat dirinya dengan cara mempengaruhi Para Menteri, Perwira militer dan Ketua-ketua adat; Guna meyakinkan mereka bahwa dirinyalah yang sebenarnya pantas menjadi Raja kelak.



Tetapi semua usahanya gagal, dikarenakan dia terlahir dari seorang selir Raja.



Raja Ribut Sakti mengetahui akan upaya-upaya anaknya. Raja khawatir jika dikemudian hari, anaknya akan melancarkan pemberontakan melawan kekuasaanya.



Dia mencurigai gerak gerik anaknya. Sesuatu yang lumrah bahwa seorang anak melawan bapaknya didalam suatu Keluarga Kerajaan, demi kekuasaan.



Pada suatu ketika, datanglah seorang prajurit mata-mata, melaporkan kepada Mas Alit Kereng bahwa ada pasukan asing yang membuat kemah di perbatasan utara Negeri. “Hati-hati Tuan, kemungkinan mereka akan melancarkan serangan ke pada kita dan menguasai Negeri kita. Mereka adalah tentara Wulansari dari Kerajaan Wulansari”



“Betulkah laporanmu? Jika begitu adanya, maka engkau kutugaskan untuk terus memata-matai mereka! Bila ada pergerakan pasukan mereka, maka segera laporkan kepadaku.

Dan sekarang aku akan melaporkan hal ini kepada ayahku dan Patih Kebo Ireng.”



Mas Alit Kereng melaporkan hal nya musuh yang berkemah di utara perbatasan; Akan tetapi tanggapan ayahnya sangat mengecewakan; Raja kurang menanggapi laporan anaknya. Demikian juga Patih Kebo Ireng.



Prajurit mata-mata itu bernama Ki Manjangan. Mas Alit Kereng memberikan perintah kepada Ki Manjangan, “Engkau berpura-pura menjadi petani didekat kem mereka, dan perhatikan kegiatan mereka baik baik. Laksanakan segera !”



Ki Manjangan pergi menjalankan tugas Negara dengan membawa alat-alat pertanian ke dekat kem musuh.



Mas Alit Kereng sangat prihatin akan kekuatan militer Negerinya, Kerajaan Medang, yang dinilai tidak cukup kuat guna menghadapi serangan musuh; Kelemahannya ada pada kekurangan personil dan juga latihan perang.



Mas Alit Kereng terpanggil untuk membela Negara-nya oleh sebab itu dia mengadakan kampanye, berpidato didepan masyrakat, guna memanggil para pemuda untuk menjadi prajurit.



Dia berkampanye dipasar-pasar, “Hai saudara-saudara-ku, Negeri kita dalam keadaan bahaya peperangan yang akan dilancarkan musuh. Aku mendapat laporan bahwa Kerajaan Wulansari akan melancarkan serangan.

Marilah kita bela Negeri kita. Aku memanggil para pemuda untuk menjadi prajurit.

Hayo kawan !, Mari masuk kedalam barisan! Dan bela Negeri kita, Raja kita.”



Seseorang memberi komentar, “Kita sudah lama hidup dalam kedamaian, tidak mungkin ada perang. Ini hanyalah upayamu untuk menjadi Raja. Aku tidak percaya Wulansari mau melancarkan serangan.”



Pada akhirnya semua orang meninggalkan Mas Alit Kereng. Mereka mengira Mas Alit sedang berkampanye untuk dirinya sendiri agar dapat diangkat menjadi Raja. Tak seorangpun diantara yang hadir percaya bahwa Kerajaan Wulansari di utara akan menyerang Kerajaan Medang.



Mungkin juga dikarenakan rakyat sudah mapan dan bahagia sebagai petani dan pedagang; Mereka tidak suka menjadi prajurit pembela Negara-nya.



Aksi kampanye memanggil para pemuda dari Mas Alit, ternyata berbuntut panjang. Ayahnya memanggilnya ke Istana. Mas Alit Kereng merasa tidak bersalah, bahkan merasa sudah berjasa membela Negara; Oleh sebab itu dia dengan senang hati datang ke kantor ayahnya.



Akan tetapi, Raja ternyata marah besar, “Apakah engkau tau bahwa perbuatanmu itu sudah dapat dikatakan suatu bentuk pemberontakan melawan kekuasaanku.”



“Ayah, aku hanya memanggil para pemuda untuk menjadi prajurit, lain tidak.”



“Aku tau dibalik itu, engkau berkampanye untuk menjadi Raja menggantikan aku.”



“Memang aku ingin menjadi Raja. Tetapi karena sudah menjadi ketapan ayah bahwa kakak-ku yang engkau tunjuk menjadi Raja, maka aku hanya pasrah dan menurut semua perintah ayah.”



“Aku tidak percaya kepada mu. Mulai sekarang engkau ku buang ke desa Jati Wengker di selatan. Engkau adalah orang buangan politik. Jangan coba-coba melancarkan pemberontakan lagi.”



“Baik ayah, aku menurut kata ayah.”



Dengan diantar-kan oleh Patih Kebo Ireng, Mas Alit sampai di desa Jati Wengker dan hidup disana sebagai petani. Jati Wengker berada di kaki gunung Ratu Sewu, adalah tempat yang sunyi, jauh dari Ibu Kota Medang. Perjalanan kesana memakan waktu dua hari berkuda.



Akan tetapi, semua staf Istana dan seluruh pegawai Istana sangat menyesalkan tindakan Raja. Dikarenakan Mas Alit adalah organisator yang piawai dan dapat membuat suasana Istana menjadi hidup.



Dia hanya membuat satu kesalahan, yaitu ingin menjadi Raja; dan itu memang sudah diungkapkan, dan dia dapat menerima nasib-nya.

Akan tetapi, dia orang yang rendah hati, dan berkepribadian menarik.



Oleh sebab itu mereka menunjuk seseorang untuk membujuk ibu Mas Ali, Ken Uno, agar dapat mempengaruhi Raja.



Pada suatu malam, ketika Ken Uno akan pergi tidur bersama Raja, Ken Uno bertutur kepada suaminya, “Coba kau pikirkan sekali lagi, apakah ada seorang anak yang melawan ayahnya didalam suatu pemberontakan politik di Dunia ini. Aku yakin anak kita itu tidak ingin menjadi Raja seperti yang engkau duga, kecuali anak kita memang sudah gila, gila kekuasaan seperti yang sedang engkau pikirkan.



Akan tetapi, dia memang ingin menjadi pemimpin. Seorang pemimpin tidak selalu Raja; dapat juga menjadi Akuwu (residen), atau kepala dapur Istana, atau pimpinan militer dan masih banyak lagi pekerjaan yang lain.”



“Wahai istriku, apa saran-mu mengenai anak kita itu?” Raja bertanya.



“Dia pernah menulis surat kepadaku bahwa dia ingin menjadi Akuwu di Jati Wengker. Aku rasa dia tepat menjadi Akuwu di tanah buangan itu.”



“Aku setuju! Wilayah selatan memang harus dijaga. Kalau begitu kita akan panggil dia ke Istana dan kita lantik dia sebagai Akuwu di Jati Wengker.”



Akhirnya misi Ken Uno berhasil. Mas Alit dipanggil ke Istana dan dilantik menjadi Akuwu. Semua orang senang dapat menolong Mas Alit dari keterpurukan. Kecuali Patih Kebo Ireng, dia tidak setuju; Bahkan dia menghadap Raja, “Tuan, anak Tuan masih tetap perlu diawasi; karena aku yakin dia akan melancarkan serangan ke Medang dan akan menjatuhkan kekuasaan Tuan.”



“Tidak Kebo, dia justru akan menjaga wilayah Selatan dari Kerajaan kita.”



Bulan demi bulan dan tahun demi tahun lewat sudah, Jati Wengker maju pesat dibawah pimpinan Mas Alit. Kota Wengker menjadi kota yang tertata dengan baik. Penduduknya bertambah disebabkan banyak anak Negeri yang pindah dari Ibu kota Medang ke kota Wengker.



Penduduk biasa memanggil Mas Alit dengan panggilan Akuwu Wengker dari pada Akuwu Mas Alit Kereng.



Pada akhirnya Akuwu Wengker membangun Istana sendiri yang lebih indah daripada Istana ayahnya di Medang. Lebih dari itu dia juga perlu membangun angkatan perangnya sendiri dengan alasan untuk mengusir para perampok dan perompak dari pesisir selatan.



Sementara itu, Patih Kebo Ireng mengingatkan kepada seluruh staf Istana agar berhati-hati kepada orang yang tidak dikenal, yang masuk kedalam Istana tanpa diundang.



Boleh jadi dia adalah seorang pembunuh dari Jati Wengker yang akan membunuh Keluarga Kerajaan dan bahkan membunuh Raja.



Patih melaporkan kemajuan Jati Wengker kepada Raja, “Tuan, dia sudah membangun Istananya sendiri. Istana itu lebih bagus daripada Istana Tuan disini. Dan yang paling parah ialah dia telah membangun angkatan perang. Bukankah itu berarti ada suatu Kerajaan didalam Kerajaan.”



“Baiklah, laporanmu akan menjadi pertimbanganku. Apakah dia sudah membayar pajak?”



“Dia tidak pernah membayar pajak sejak dua tahun belakangan ini.”



“Kalau begitu, kita akan mengadakan rapat dua hari dimuka denga topik pembicaraan Jati Wengker.”



Akan hal-nya Putri Sekarpamdanwangi; Dia tidak pernah ambil perduli dengan kesuksesan adik tirinya. Dikarenakan dia sendiri mempunyai masalah, yaitu masalah jodohnya.



Putri Sekarpandanwangi merasa ke-sepian dan bertambah sepi sejak Patih Kebo ireng melarang dia keluar dari Istana, demi keselamatan jiwanya.



Dia pernah bertanya kepada Patih akan halnya peraturan yang melarang dirinya keluar dari lingkungan Istana, “Paman Patih, mengapa aku tidak boleh keluar dari Istana ? apakah karena Akuwu Wengker sekarang sukses dalam membangun daerahnya?”



“Betul, dikarenakan aku bertanggung jawab akan keselamatan seluruh Keluarga Kerajaan, termasuk keselamatan engkau, wahai Putri.



Ketahuilah, bahwa dia telah membangun Istana dan juga membangun angkatan perangnya. Bukankah itu berarti dia tidak pernah lupa akan cita-citanya, untuk menjadi Raja; Aku menduga-duga, dia akan melancarkan serangan ke Medang guna merebut kekuasaan dari ayahnya.”



“Jadi dengan demikian kita akan berperang melawan adik tiriku?

Pertimbangkanlah olehmu, bahwa dia adalah orang yang baik, tidak sombong dan dapat dipercaya.”



“Mengenai perang dengan Jati Wengker, ayahmu akan memutuskan didalam rapat kabinet nanti.”





Bab 2



Jauh hari sebelum masalah politik dengan Jati Wengker timbul, Putri Sekarpandanwangi telah berusaha untuk mendapatkan pasangan hidupnya.

Memang dia belum mendapatkan jodoh; Dikarenakan para pemuda segan dengan titelnya sebagai Putri Mahkota. Siapa pemuda yang berani datang ke Istana untuk berkencan dengan calon Ratu dari suatu Kerajaan.

Terlebih setelah masalah politik dengan Akuwu Wengker dan kecurigaan Patih akan halnya seorang pembunuh dari Jati Wengker, maka setiap pintu gerbang Istana dijaga oleh para pengawal lebih ketat dari sebelumnya.



Dia sekarang berada di Kaputren bersama para dayang-dayang.



Putri Sekarpandanwangi berkeluh kesah kepada para dayang-dayang Istana, “Bagaimana mungkin akan ada seorang pemuda ganteng yang datang ke Istana ini kalau penjagaannya menjadi lebih ketat dari sebelumnya.



Pintu gerbang utama, pintu gerbang utara dan juga pintu selatan dijaga secara ketat; Jadi, apa maunya si Patih Kebo. Apakah aku harus mati kesepian seperti orang didalam penjara.”.



Seorang dayang memberi saran, “Wahai Putri !, Engkau adalah wanita cantik. Aku tau bahwa semua pemuda di Negeri ini merindukanmu, tetapi dia tidak berani datang kesini dan engkau tidak boleh keluar dari Istana.”



“Jadi apa saranmu?”



“Engkau harus berkompromi dengan para prajurit jaga dipintu gerbang itu.

Katakan kepada mereka, bahwa bila ada seorang pemuda pemberani yang ingin bertemu dengan engkau, maka katakanlah, dia dipersilahkan masuk kedalam Istana.”



“Saran yang bagus, akan kulaksanakan.”

Maka Putri Sekarpandanwangi memanggil semua Pengawal Istana untuk diberikan pengarahan sesuai dengan saran dayangnya. Para pengawal mengerti duduk permasalahan dari Putri, yaitu masalah jodohnya.



Dua hari kemudian, seorang pemuda datang menemui prajurit jaga di pintu gerbang. “Ki sanak boleh aku bertanya, kemana jalan menuju Pasar yang terdekat.?” Tanya si pemuda itu.



“Engkau dapat berjalan lurus, bila sampai pada pohon beringin, maka engkau sudah sampai ditujuan.”



“Oh terimakasih atas jawabanmu. Akan tetapi, aku sebenarnya ingin memasuki Istana ini, bolehkah?” Tanya si pemuda dengan berani.



“Apa keperluanmu?”



“Sesungguhnya aku ingin sekali menemui Putri Sekarpandanwangi.

Aku rindu ingin bertemu dengan dia. Aku sudah puas hanya melihat wajahnya saja.

Aku sekarang tidak bisa tidur karena dia selalu hadir didalam bayang-bayang mimpiku.”



“Betulkah begitu? Baiklah, engkau tunggu disini, aku akan tanyakan akan masalahmu kepada Tuan Putri apakah dia berkenan untuk menerima mu atau tidak.” Prajurit pengawal Istana beranjak pergi menemui Putri.



Sementara sang Pemuda menunggu dengan penuh harap.

Sesungguhnya dia tidak menyangka bahwa prajurit jaga itu begitu sopan, tidak seperti yang ia duga sebelumnya bahwa prajurit jaga itu akan menghardik.



Akhirnya, prajurit itu datang dan mengatakan bahwa Putri berkenan untuk bertemu.



Alangkah terkejutnya si Pemuda. Untuk kedua kali-nya dugaannya tak terbukti, bahwa dia akan diterima oleh Putri, pujaan hatinya.

Dengan penuh rasa was-was dan juga harapan, dia berjalan gontai menuju Gedung Kaputren, dikawal oleh prajurit. Dia mengatur kata-kata yang tepat untuk menyapa Putri.



Sekarang Putri sudah berdiri dimukanya. Akan tetapi, hilang kata-kata yang sudah disusun didalam benaknya, apa yang akan dikatakan kepada wanita pujaan hatinya. Dia hanya tunduk, tidak berani memandang wajahnya.



“Hai pemuda, engkau sudah sampai ditempat tujuanmu. Aku lah Putri Sekarpandanwangi. Apa khabar darimu wahai Pemuda ?”



“Baik Tuan Putri.”



“Siapakah engkau sebenarnya?

Apakah engkau pernah bertemu dengan aku?”



“Nama ku adalah Sora Mahisa, aku anak demang Ki Marachandra dari desa Kedungsongo. Aku pernah melihatmu di suatu pesta diluar Istana ini. Engkau begitu mempersona dan memikat; Akan tetapi aku mohon maaf, mungkin aku tidak pantas untuk mengatakan seperti itu, karena aku datang dari kelas yang lebih rendah.”



“Tidak mengapa Sora, aku berterimakasih atas pujianmu, bahkan engkau pantas memujiku. Dan engkau adalah pemuda yang cakap dan aku pun pantas memuji mu.”



“Terima kasih Tuan Putri.”



“Jangan panggil aku Tuan Putri, tetapi Sekar, itu sudah cukup.”



Kelihatannya Putri ingin mendekati pemuda itu, oleh sebab itu dia membuang semua perbedaan kasta diantara mereka berdua. Kemudian kedua insan berlainan jenis itu terlibat percakapan yang cukup menarik. Putri terhibur dan bahkan dapat tertawa terbahak-bahak mendengar cerita yang ganjil dan lucu dari Sora.



Setelah satu jam mereka bercakap-cakap, maka Sora mohon diri.



“Hai Sora, jangan lupa untuk datang kembali ketempat ini! Tetapi engkau tidak perlu datang sebagai tamu Istana yang formil. Engkau cukup melewati pintu dapur dan aku akan memberitahukan pada koki di dapur akan adanya tamuku yang istimewa.



Bila engkau bertemu dengan Patih kebo Ireng, maka engkau harus bersembunyi dari dia. Dikarenakan dia tidak menghendaki kehadiranmu. Dia melarang aku untuk tidak menerima tamu, demi keselamatan jiwaku.”



Sora Mahisa merasa bersalah telah membuat Putri menjadi sibuk karena kehadirannya, “Jika kehadiranku di Istana ini akan membawa kerepotan padamu, sebaiknya aku tidak usah datang lagi kesini.”



“Oh jangan begitu Sora!; Datanglah, jangan sampai tidak datang !.”



Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu sudah, Sora Mahisa selalu hadir di gedung Kaputren untuk menemani Sekar. Semua staf Istana sudah dapat memaklumi bahwa telah terjadi kisah cinta antara Putri dengan pemuda dusun Kedungsongo.

Terlebih juru-masak Istana, mereka sudah sangat mengenal Sora Mahisa; Dikarenakan Sora suka membantu aktifitas dapur Istana dengan membuat-kan nasi goreng atau menyediakan kopi bagi keluarga Istana dan termasuk para prajurit pengawal.



Akan tetapi kehadiran Sora tetap menjadi suatu rahasia untuk Patih dan Raja.



Hingga pada suatu hari, Sora Mahisa mengungkapkan cintanya yang mendalam kepada wanita pujaannya. Dia bersenandung lagu yang sedang populer pada masa itu, diikuti oleh nyanyian Putri yang membuat mereka menjadi kompak sehati.



Putri duduk di kakinya, kemudian Sora mengungkapkan cintanya, “Aku sungguh mencintaimu sayang, Jika sekiranya Para Dewa merestui dan engkau menyetujui, aku akan menjadi pendamping-mu; Maukah engkau wahai kekasihku?”



“Aku juga mencintaimu, maka tentu saja aku mau.”



Sekar menyambut pernyataan cinta pemudanya dengan senang hati. Maka jadilah keduanya sepasang kekasih yang siap menuju ke pelaminan dan perkawinan secara resmi.







Bab 3



Pada suatu malam yang sunyi, seseorang memasuki Istana. Dia menutup wajahnya dengan masker, berjalan perlahan-lahan, mendekati kamar tidur Raja. Sementara itu, semua prajurit jaga sedang tidur nyenyak.

Seharusnya, mereka tidak boleh tidur dalam keadaan tugas jaga.



Dia membuka pintu kamar Raja, mendekati Raja yang sedang tidur nyenyak dan menikamkan keris ke tubuh Raja. Raja merintih sebentar, tetapi mulutnya ditutup oleh tangan sang pembunuh.

Istrinya , Ken Umang hampir terbangun, tetapi dia tertidur kembali.



Sang pembunuh cepat-cepat pergi, keluar dari kamar Raja dengan meninggalkan kerisnya yang masih tertancap didada Raja.

Dia berjalan dengan mengangkat tumit agar tidak terdengar derap kakinya. Kakinya menapak diantara para prajurit jaga yang tertidur dilantai dimuka pintu kamar Raja.



Dia harus melewati sekelompok prajurit jaga ditempat lain; Yang ternyata juga sudah tertidur nyenyak. Oleh sebab itu, dia dapat melenggang hingga sampai di dapur Istana.



Dia membuka maskernya, mencuci tangannya dan pakaiannya yang terkena tumpahan darah Raja; Kemudian menuju pintu dapur yang menghubungkan ke halaman belakang Istana. Dia keluar mendapatkan kudanya dan pergi begitu saja bersama kudanya.



Perbuatannya selama di dalam dapur, telah dilihat oleh seorang koki juru masak.

Akan tetapi, koki diam saja; Seolah-olah koki sudah mengenalnya.



Tak lama kemudian, terdengar teriakan Ken Umang, “Pengawal! Pengawal! Ada pembunuh yang telah membunuh suamiku.”



Putri Sekarpandanwangi pun terbangun, berlari menuju kamar ibunya. Dia terperangah melihat keadaan ayahnya yang sedang menghadapi maut. Dia ikut berteriak-teriak histeris, “Pengawal! Pengawal, Tolong! Tolong!”



Patih Kebo Ireng datang kekamar Raja, “Ada apa Tuan Permaisuri?”



“Lihat Raja mu! Dia dibunuh orang; Apakah engkau melihat si pembunuh atau orang yang dicurigai?”



“Aku tidak melihat seseorang pun yang patut dicurigai.” Kata Patih; Didalam hatinya, dia berkata, “Maaf, sebenarnya aku tertidur lelap jadi aku memang tidak mengetahui sama sekali keadaan Istana. Tetap, mengapa aku hari ini sangat mengantuk?”



Patih mendekati Raja dan mencabut keris yang masih tertancap.

Pada akhirnya Raja wafat tanpa sempat meninggalkan pesan.



Keris tersebut belekuk delapan, keris yang biasa dibuat di Jati Wengker. Keris buatan Medang biasanya berlekuk tujuh.



Patih Kebo Ireng mengumpulkan anak buahnya, untuk ditanyakan kalau melihat seseorang yang dicurigai selama jaga di muka kamar Raja.



“Maaf Tuan, aku begitu mengantuk, sehingga aku tidak dapat membuka mata ku dan kemudian aku tertidur.”



“Keadaan ku pun sama; aku sangat mengantuk dan tertidur pulas. Apakah Tuan mau menjatuhkan hukuman untuk ku?”



Patih Kebo Ireng berkata, “Aneh semua orang mengantuk, termasuk aku. Pastilah si pembunuh telah membacakan mentera penidur sehingga kita semua tertidur. Siapakah dia?” Kata Patih.



“Siapa dia? Tentulah dia mempunyai kesaktian yang menakjubkan.”



Patih berpendapat, “Aku menduga sipembunuh adalah orang dari Jati Wengker, salah seorang prajurit Akuwu Wengker.”



“Mengapa Tuan menduga seperti itu?”



“Karena keris yang tertancap ditubuh Raja, berlekuk delapan; Itu adalah keris buatan Jati Wengker.”



“Tuan, seorang pencuri bisa saja mempunyai keris berlekuk delapan.”



“Ya engkau benar; aku hanya menduga-duga. Dikarenakan masalah Jati Wengker sekarang ini sedang hangat-hangat nya dibicarakan.” Kata Patih.



Patih melanjutkan, “Kita harus bersiap untuk membuat laporan kepada anak Negeri akan halnya kematian Raja, besok pagi.



Apa yang harus kukatakan kepada mereka akan hal-nya si pembunuh. Apakah sebaiknya kita akan mengatakan bahwa sipembunuh diduga adalah seorang prajurit Jati Wengker, utusan Akuwu Wengker?

Apa engkau setuju?”



“Kita setuju Patih.” Seorang prajurit berkata.



Prajurit yang lain berkata, “Pertimbangkan sekali lagi Patih akan halnya tuduhan kita kepada Akuwu Wengker. Carilah bukti-bukti lainnya yang dapat menguat-kan tuduhan itu.”



“Tentu saja akan kucari bukti-bukti lain. Akan tetapi besok pagi rakyat akan menanyakan siapakah si pembunuh, maka kita harus memberikan jawaban sementara sebelum dibuktikan kebenarannya.”





Bab 4



Kabar kematian Raja di kabarkan dan disebarkan dengan memakai suara kentong bambu atau kayu dari kampung ke kampung. Hingga dalam satu hari semua anak Negeri sudah maklum bahwa Raja telah wafat dibunuh oleh seseorang yang dapat berhasil masuk kedalam kamar Raja.



Rakyat Medang gempar; mereka membicarakan kematian Raja di sudut-sudut kota, di warung kopi dan di pasar-pasar.



Salah seorang memberikan kemungkinan bagaimana caranya sang pembunuh beraksi, “Sang pembunuh masuk kedalam Istana dengan menggunakan tali tambang dan berhasil meloncati tembok Istana. Tetapi sebelumnya dia membaca mentera penidur, sehingga semua pengawal Raja tertidur lelap.”



“Siapa kira-kira dia? Apakah betul orang dari Jati Wengker?”



“Aku tidak berani mengatakan itu, tetapi Patih. Mari kita berkumpul dimuka Istana untuk mendengarkan keterangan Patih pagi ini.”



Dimuka pintu gerbang Istana, sudah berkumpul anak Negeri Medang; termasuk diantaranya adalah Ken Uno, ibunda Akuwu Wengker.



Patih Kebo Ireng disertai para pengawalnya datang dimuka rakyat Medang. Dia memulai keterangannya.



“Saudara-saudara, dengan terpaksa kami harus memberitahukan suatu berita duka yang kita sama-sama tidak mengharapkan. Bahwa, Raja telah wafat tadi malam dikarenakan tikaman oleh seorang pembunuh.”



“Mengapa engkau tidak menangkap si pembunuh?” Seseorang berteriak.



“Aku mengerti betapa kalian marah. Aku akan meneruskan keteranganku; jadi harap jangan di putus dengan kemarahanmu.



Malam itu kami bertugas jaga di istana. Pada tengah malam, kami merasa mengatuk dan pada akhirnya kami semua tertidur. Pada saat kami tertidur itu lah, diduga si pembunuh melakukan aksinya untuk melaksanakan pembunuhan.

Di-duga, dia memasuki kamar Raja tanpa seorang pengawal yang mengetahui dan membunuh Raja, tanpa seorang pun menjadi saksi.



Melihat keris yang tertinggal, milik si pembunuh, maka diduga si pembunuh berasal dari Jati Wengker; kemungkinan adalah prajurit Akuwu Wengker. Keris tersebut berlekuk delapan, khas buatan Jati Wengker.”



“Hai Patih, janganlah engkau sembarangan menuduh. Ketahuilah bahwa Akuwu Wengker adalah orang baik. Dia telah sukses dalam pembangunan daerahnya. Aku menduga, engkau sebenarnya sakit hati dan iri hati kepada Akuwu.” Kata Ken Uno.



Ramai orang-orang memberi komentar dan bercakap sendiri-sendiri; Pada akhirnya seseorang berteriak, “Engkau benar Patih, mari kita serang Jati Wengker; mari kita singkirkan Raja palsu, Akuwu Wengker! Sudah lah pasti dia si pembunuh-nya.”



Yang lain berteriak juga ikut menyetujui, “Serang Jati Wengker!”



“Jika kalian mau menyerang Jati Wengker, kumpulkan lebih dahulu bukti-bukti kesalahan Akuwu Wengker dan adili dia. Bila memang bersalah, kalian boleh menyerang Akuwu.” Kata Ken Uno; seorang ibu yang membela anaknya.



Jenazah Raja masih di semayamkan di Balairung Istana dan ditangisi oleh istrinya, Ken Umang.

Hadir juga disitu Putri Sekarpandanwangi, Patih kebo Ireng dan para perwira militer Medang dan juga para tetua masyarakat.



Ken Uno tidak hadir, karena dia tau bahwa dia sedang terpojokan dengan tuduhan miring kepada anaknya, Akuwu Wengker.



Tiba-tiba, Permaisuri Ken Umang memberi instruksi kepada Patih Kebo Ireng, “Patih segera siapkan pasukan untuk menyerang Jati Wengker; jangan tunggu lagi; serang sekarang juga.

Aku benci kepada anak itu.”



Patih Kebo Ireng terkejut mendengar komando perang dari Permaisuri; dia tidak menyangka tuduhannya kepada Akuwu berakibat perang; itu adalah perang saudara.



Dia menyesali kata-katanya di muka warga yang telah menduga Akuwu Wengker sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian Raja.



(Bersambung)

No comments: