Saturday, September 27, 2008

Cinta Terlarang (Bagian 6)

Pertempuran

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

Penyatus Gajah Papat adalah utusan Patih Gajah Mada, pembawa surat seruan damai. Dia merasa heran melihat keadaan Istana Trowulan yang tidak seperti biasanya; penjagaan Istana dinilai sangat berlebihan, banyak serdadu dipintu gerbang Istana; mereka kerlihatannya serius. Apakah ada pertempuran; dia tidak yakin bahwa Patih Gajah sedang berseteru dengan Raja.

Setelah dia mendekati pintu gerbang, dia diperiksa oleh parajurit jaga, senjatanya disita

“Aku adalah utusan Patih Gajah Mada, akan menghadap Baginda guna menyerahkan sepucuk surat ini.”

“Ya, silahkan masuk.”

Gajah Papat memasuki Istana dan langsung menghadap Prabu Hayam Wuruk. Dia berdatang sembah sujud kepada Baginda dan mengaturkan surat dari Patih.

“Mana Patihmu?”

“Dia ada di Markas, menunggu jawaban surat dari Baginda.”

“Tidak semestinya cara Patih seperti itu didalam melaporkan hasil kerjanya, betulkan kata-ku wahai prajurit?”

“Betul Baginda; bahkan hamba melihat keadaan Istana Trowulan yang tidak seperti biasanya; penjagaan ketat sekali seolah-olah akan ada perang.”

“Sungguh aneh kata-kata mu wahai utusan. Apakah engkau belum mendengar kabar bahwa Patihmu itu mau melawan kekuasaanku sebagai Raja. Dia memimpin pemberontakan melawanku.”

“Aku sudah mendengarnya Baginda, tapi aku tidak yakin. Dia sebetulnya kita sanjung sebagai pahlawan Majapahit, rasanya tidak mungkin mau memberontak. Jika aku boleh tau, apa alasan Patih Gajah memberontak.”

“Jangan tanya padaku, tetapi Patih. Tapi setauku, dia tidak setuju dengan perkawinanku dengan Putri Kerajaan Pajajaran. Semua rakyatku setuju dan ikut bahagia melihat Rajanya yang bahagia, kecuali Patih seorang. Apakah engkau setuju dengan perkawinanku, wahai prajurit utusan?”

“Aku ikut bahagia bila Baginda bahagia.”

“Nah itu yang betul. Jadi engkau harus maklum bahwa sebentar lagi kita akan saling bunuh; pengikut Patih melawan pengikut Raja. Jika engkau mau menjadi pengikut Patih maka segera engkau angkat kaki; akan tetapi bila engkau mau menjadi pengikut ku, maka engkau akan tetap disini dan menanti serangan Patih Gajah.”

“Aku akan menjadi pengikutmu Baginda.”

“Baik, terimakasih atas dukunganmu.”

Kemudian Prabu Hayam Wuruk membaca surat Patih,

Prabu Hayam Wuruk yang berbahagia.
Kami kesatuan laskar Majapahit telah berhasil menguasai seluruh Sumatra didalam ekspedisi militer kami. Kami mengetahui bahwa keberhasilan itu adalah berkat doa kepada Para Dewa dari Baginda kepada kami yang berjuang.
Kami pun mengucapkan selamat berbahagia kepada Baginda didalam menempuh hidup baru dengan Putri Dyah Pitaloka.
Kami laskar Majapahit tidak akan lagi menyerang Kerajaan Pajajaran yang sudah menjadi Kerajaan Shabat.
Kiranya kami dapat berkumpul dan kompak kembali didalam kekuasaan Baginda.
Salam hormat kami
Patih Gajah Mada.

“Dimana kalimat tentang pembunuhan yang telah dilancarkan terhadapku, didalam surat ini? Dia berpura-pura tidak tau. Suatu rencana pembunuhan apa lagi terhadap seorang Raja, adalah suatu hal yang sangat serius dan tidak dapat dimaafkan. Bahkan itu sudah suatu aksi pemberontakan.”

“Aku tidak mengetahui akan halnya pembunuhan terhadap Baginda.”

“Ya aku tau engkau tidak tau. Jadi surat ini tidak akan aku balas, bahkan engkau, utusannya bergabung kepada kesatuan Pasukan Raja.”

Patih Gajah Mada menunggu kepulangan sang utusan, tetapi sia-sia. Setelah menunggu selama dua hari, Patih segera mengambil keputusan untuk segera melancarkan serangan gertakan.

Jumlah pasukannya hampir empat ribu personil. Mereka bergerak perlahan-lahan mendekati Istana Trowulan dari segala arah. Pada jarak beberapa meter yang diperkirakan panah tidak akan melukai, mereka berhenti.

Prabu Hayam Wuruk memberi komando, “Pasukan berpanah menjaga di balkon Istana; panah, bila musuh datang terlalu dekat. Kita akan segera keluar dari Istana pada pagi hari sewaktu mereka masih tertidur dan kita akan gempur dan bunuh mereka.”

Sementara musuh semakin memperketat pengepungan Istana. Rombongan demi rombongan mereka datang hingga barisan pengepung semakin tebal.

Matahari mulai tenggelam, maka hari menjadi senja dan gelap. Istana menjadi gelap karena komandan tempur tidak memperkenankan memasang lampu minyak. Prajurit-prajurit muda ketakutan dan ada yang menangis, karena Istana hampir seperti kuburan.

Pada tengah malam, seorang prajurit melapor kepada Prabu, “Tuan, pengepungan semakin melemah; kelihatannya barisan pengepung menipis. Mereka telah pergi satu persatu, sedikit demi sedikit meninggalkan barisannya. Apa maksud mereka?”

Prabu Hayam Wuruk juga bingung, apa sebabnya musuh pergi meninggalkan mangsanya yang jelas terkepung.

“Tuan, pasukan Gajah benar-benar sekarang telah pergi, hanya ada beberapa orang saja yang masih tinggal. Tuan, sebaiknya kita pergi menyusul mereka. Nampaknya mereka sedang menghadapi musuh baru; entah siapa musuh baru mereka.”

“Baiklah.
Pasukan ! Bangun! kita keluar dari Istana. Tangkap salah satu prajurit musuh untuk kita tanyakan, kemana mereka pergi.”

Pasukan Raja keluar dari Istana; tetapi sayang mereka gagal menangkap salah satu prajurit musuh, karena mereka betul-betul sudah berlalu.

Prabu Hayam Wuruk berpikir keras, kemana pasukan Gajah pergi.

Akhirnya, Banyu Urip memberikan pendapatnya, “Baginda, musuh pergi menyongsong pasukan Pajajaran yang baru datang.

Itu dugaanku. Ingatlah, bahwa engkau adalah anggota Keluarga Kerajaan yang harus dibela, jadi Panglima Maung Jaya membawa pasukannya untuk bertempur membela engkau Baginda.”

“Engkau benar Banyu! Kalau begitu mereka datang dari arah barat. Jadi sebaiknya kita menggerakan pasukan kita kearah barat. Pasukan bergerak kearah barat!”

Pasukan Raja segera bergerak. Prabu ingat kebiasaan bertempur pasukannya sewaktu Prabu bertugas bersamanya, mereka suka sekali menyerang musuh selagi tidur ditengah malam.

Akhirnya, Prabu dan pasukannya sampai di desa Bubat, tempat medan tempur. Benar dugaan Prabu akan halnya kebiasaan pasukannya, menyerang musuh yang sedang tidur nyenyak.
Tampak musuh Gajah yang kacau balau dan lari tunggang langgang, karena tidak ada persiapan bertempur.

Benar dugaan Banyu, musuh Gajah adalah pasukan Pajajaran adanya. Mereka datang di desa Bubat dan mendirikan Markas dan berkemah ditempat itu. Pasukan dibawah komandan Panglima Maung Jaya.

Panglima bereteriak membangunkan pasukannya yang sedang tidur nyenyak, disebabkan kelelahan. Tetapi mereka terlambat, karena Pasukan Majapahit sudah berada ditengah-tengah para prajurit Pajajaran yang baru terbangun.

Banyak korban berjatuhan diantara pasukan Pajajaran yang perlaya ditikam musuh. Termasuk diantara mereka adalah Panglima sendiri; mati tertikam pedang.

Tetapi untung sekali, mereka memakai taktik lari, masuk kedalam hutan dan bersembunyi. Sebagian besar pasukan dapat diselamatkan; yang lain mati karena tidak ada waktu untuk melarikan diri.

Panglima tidak mengetahui bahwa desa Bubat sudah mendekati Ibu-kota Singosari, suatu tempat yang tidak aman, karena betul-betul daerah kekuasaan musuh. Jadi dia mendapat masalah besar dengan mendirikan kemah-kemah disitu.

Melihat pasukan Pajajaran dikalahkan, Prabu segera memberi komando penyerangan, “Serang!”

Terjadi pertempuran ronde kedua untuk Patih Gajah Mada. Kedua pasukan saling bunuh, meskipun mereka adalah bersaudara.

Bahkan seorang prajurit Patih Gajah Mada berteriak-teriak, “Baginda, jangan bunuh prajurit Baginda sendiri.!

Prabu terus merangsek kedalam barisan musuh, diikuti oleh Boyo moro, Joko Singo , Banyu Urip dan pengawal-pengawalnya. Prabu sekarang lebih condong membela Pajajaran dan membenci pasukan Gajah.

Patih Gajah Mada memberi komando secara rahasia, untuk membunuh Prabu Hayam Wuruk secepatnya, agar jalannya pertempuran tidak berlarut-larut yang akan menimbulkan banyak koraban. Jaika Prabu dapat dibunuh, pasti pertempuran dapat dihentikan.

Prabu yang menunggang kuda terus merangsek dan berhasil membunuh banyak prajurit Gajah. Dia melihat kekanan dan kekiri mencari pembantu-pembantunya yang sudah tidak kelihatan.

Sekarang dia menyadari, dia sendirian ditengah-tengah musuhnya; hal ini adalah taktiknya sendiri untuk memisahkan Pemimpin musuh dari pembantu-pembantunya. Sekarang taktik itu mengenai dirinya.
Tiba-tiba, seorang pendek dan bermuka jelek, berteriak, “Hai Raja yang agung! Hentikan pertempuran! Jika tidak, aku akan potong-potong mayat istrimu menjadi seribu potong .

Dia adalah Patih Gajah Mada; disampingnya ada prajurit yang membopong sesosok mayat wanita dengan pakaian kebesaran Putri Kerajaan; matanya tertutup masker; muka nya pucat; perutnya terburai usus bekas tusukan pedang atau keris.

Pertempuran terhenti sesaat. Tidak ada teriakan orang yang meregang nyawa. Tidak ada teriakan komando. Tidak ada bunyi gemerincing pedang.

Semua menunggu reaksi Prabu Hayam Wuruk, apakah mau diteruskan atau mau dihentikan pertempuran itu.

Setelah menunggu beberapa saat, Prabu berjalan menuntun kudanya mendekati orang yang membopong mayat istrinya. Mayat diserah terimakan, ditaruh diatas punggung kudanya dan dia berteriak, “Hentikan pertempuran!”

Prabu berjalan gontai, menuntun kuda dengan mayat wanita yang dicintai. Dia berjalan terus kearah utara.

Sementara pembantu-pembantunya dan prajurit Pasukan Raja bergerak mau mengikuti Raja, akan tetapi dicegah oleh Patih Gajah Mada, “Biarkan dia berjalan bebas sendiri, tidak perlu ditemani. Engkau akan tetap menjadi prajurit-prajuritku karena perjuangan kita belum selesai. Ini hanyalah riak-riak kecil didalam perjuangan kita.”

Selesailah pertempuran ronde kedua. Semua prajurit pasukan Gajah maupun pasukan Raja merasa lega karena pertempuran yang mengerikan ini dapat berhenti dan mereka sama-sama tidak mempermasalahkan siapa yang kalah atau siapa yang menang; bagi kedua kelompok yang penting adalah pertempuran dapat berhenti.

Mereka sependapat bahwa membunuh keponakan sendiri adalah sangat menyedihkan.

Patih Gajah pandai mengatur barisannya yang porak poranda karena perang saudara menjadi barisan yang kompak kembali.

Dia bagaikan singa Afrika yang sedang menjilat luka-lukanya dikarenakan baru saja berkelahi dengan saingannya.



Bab 2

Prabu Hayam Wuruk berjalan sendiri tanpa seorangpun yang mengawal. Dia sangat sedih, begitu cepat kekasihnya pergi menjemput maut. Dia membenci desa Bubat, tempat yang mengerikan; oleh sebab itu dia berjalan terus tidak mau menoleh kebelakang. Dia akan pergi meninggalkan Kerajaannya.

“Engkau betul kekasihku, sewaktu engkau memberikan saran padaku, sebaiknya aku meningalkan gelar Raja dan menjadi petani atau pedagang atau menjadi Pendeta di tanah Parahyangan.”

Pikirannya menjadi kacau; dia terus berjalan ke arah utara tanpa tujuan yang jelas. Dia berdoa kepada yang maha kuasa, Para Dewa, didalam hatinya, “Oh Dewa yang Agung, Engkau lah yang mengatur hidup manusia, juga manusia seperti aku. Wafatkanlah aku jika Engkau mengartikan bahwa aku sudah tidak mempunyai peran di Dunia ini. Dengan demikian aku dapat bersama kembali dengan kekasihku, itulah kebahagian buatku. Sesungguhnya aku ingin bersama dengan dia yang aku cintai. Tolonglah aku ya Dewa yang Agung.”

Dia menjumpai batas hutan lebat. Dia beristirahat disitu. Terpikir untuk mengubur mayat kekasihnya disitu.

Tetapi dia tidak mempunyai alat untuk membuat lobang ditanah; dia memakai alat seadanya dan kalau perlu memakai tngannya.

Lubang yang masih dangkal dapat diselesaikan. Dia beristirahat sebentar. Jika ada Banyu Urip tentu dia dapat memberi perintah untuk menguburkan mayat kekasihnya.

Sekarang dia bukan Raja; dia hanyalah si Hayam Wuruk tanpa seorang pun yang berdatang sembah dan melaksanakan perintah-perintahnya. Tetapi dia sudah bertekad untuk menjadi petani. Dia ingin hidup-hidup berikutnya sebagai rakyat biasa yang siap membanting tulang.

“Baginda, apakah kami dapat membantu? Kami akan buatkan lubang untuk menguburkan mayat istri Baginda. Kawan-kawan kami ada didalam hutan yang siap membantu menyelesaikan pekerjaan ini.” Kata seseorang yang tiba-tiba datang kehadapan Prabu dengan cara mengejutkan.

“Hai siapakah engkau? Engkau mengejutkan aku!”

“Hamba adalah Ki Wanara, prajurit Pajajaran yang kalah perang. Baginda adalah Raja Majapahit yang juga kalah perang. Akan tetapi Baginda adalah anggota Keluarga Kerajaan Pajajaran; jadi Baginda adalah junjungan kami juga.”

“Oh begitu, terimakasih Ki Wanara. Jadi rupanya engkau mengikuti aku, betulkah begitu.”

“Betul Baginda.”

Ki Wanara dan kawan-kawannya segera menyelesaikan pekerjaan itu. Dalam waktu pendek, lubang untuk mengebumikan jasad sudah siap.

“Baginda Prabu, kami turut berduka cita sedalam-dalamnya atas musibah ini. Dia adalah Putri Dyah Pitaloka Citraresmi, Putri Kerajaan Pajajaran yang datang ke Singosari dengan tekad ingin membantu suaminya berperang melawan pemberontakan Patih Gajah. Semoga dia menjalani reinkarnasi dimasa akan datang dan dapat bertemu kembali dengan Baginda.”

“Termakasih Ki Wanara; kata-katamu sangat menyejukan hatiku.”

“Sekarang jenazah akan kami kebumikan. Aku akan membuka masker yang menutupi wajahnya. Baginda, pandanglah wajahnya untuk terakhir kalinya.”

“Ki Wanara! Dia adalah Dayang Galuh Lembayung, bukan istriku; jadi dimana istriku berada?”

“Benarkah begitu? Aku tidak tau dimana Putri Dyah berada.”

Prabu Hayam Wuruk sekarang mempunyai harapan, “Oh Dewa, engkau kabulkan permintaanku. Terimakasih Dewa.”

“Ki Wanara, coba ceritakan, bagaimana jalannya pertempuran di desa Bubat. Aku perlu tau itu agar aku dapat mencari dimana istriku sekarang berada.”
“Sewaktu kami sampai di Bubat dimalam hari, pasukan yang dipimpin oleh Ujang Lumut meneruskan perjalanan ke Istana Trowulan. Oleh karena telah diterima khabar bahwa Prabu sedang dikepung oleh pasukan Gajah di Istana Trowulan. Maka Ujang Lumut mendapat tugas untuk langsung bertempur guna membebaskan Prabu.”

“Kemungkinan istriku bersama dengan pasukan Ujang Lumut. Kalau begitu kita pergi ke Istana Trowulan. Mungkin istriku ada disana. Hayo kita pergi sekarang!”

“Tetapi kita harus mengubur janazah Galuh Lembayung dulu.”

“Baiklah, aku kan menunggu mu.”

Mereka kemudian berangkat ke Trowulan; mereka memakai jalan setapak didalam hutan, agar tidak menjumpai pasukan Patih Gajah.

Perasaan Prabu sangat berbahagia dan penuh harap akan dapat berjumpa kembali dengan kekasihnya dalam keadaan selamat. Dia mempercepat langkahnya, membuat Ki Wanara dan kawan-kawannya menjadi kewalahan mengikuti Prabu.

Istana Trowulan sudah terlihat; akan tetapi tidak ada orang dimuka Istana. Prabu sudah membayangkan bahwa Istana itu sudah dikuasai oleh pasukan Pajajaran, tetapi ternyata tidak.

“Ki Wanara, kita sudah melihat Istana, tetapi tidak ada pasukan Sunda Pajajaran disitu. Sebaiknya kita istirahat ditepi hutan ini, sambil mengawasi, kalau-kalau ada pergerakan pasukan.”

Tidak lama kemudian, terdengar suara merdu seorang wanita sedang membaca puisi,

Raja kalah sesungguhnya menang
Patih menang sesungguhnya tidak senang
Ku suka engkau hidup tenang
Di tanah Sunda Parahyangan
Bersama istrimu tersayang

Pulang dengan langkah pasti
Bubat harus di jauh-i
Menuju Parahyangan nan damai
Tak ada prahara saling tikam
Tapi mahligai kebahagiaan

Pulanglah
Bersama istrimu, wanita biasa
Ku kan layani engkau bagai Raja
Walau sekarang bukan Raja
Ku harap kau bahagia
Meski bersahaja

Oh Dewa, kami serahkan kekuasaan
Mereka yang bercita-cita
Persatuan Nusantara
Pajajaran tak turut serta
Maju terus, kami turut bahagia
Demi cucu buyut yang perlu senjata

“Hai dengar, itu adalah suara junjungan ku, Putri Dyah. Ya pasti dia yang suka dengan puisi. Kedengarannya dari salah satu gua batu karang disebelah sana.”

“Engkau betul, itu suara istriku; hayo kita hampiri dia.”

Mereka berlari-lari menuju gua yang diperkirakan sumber suara.

Prabu masuk kedalam lebih dahulu. Tampak seorang wanita dalam seragam prajurit Pajajaran. Dia menghampiri, berlutut dimuka Prabu dan berkata, “Pulanglah suamiku tercinta; tidak ada yang diharapkan di tanah penuh kekerasan. Engkau kan bahagia di tanah Sunda Parahyangan. Kami menjemputmu dengan harga mahal. Sudah banyak nyawa melayang, harta terbuang dan air mata berderai; semua demi engkau yang kusayang. Seluruh rakyat Pajajaran menanti kan mu di Pakuan; pulang lah.”

Prabu Hayam Wuruk meneteskan air mata, memeluk istrinya erat-erat dan berkata, “Tentu aku akan pulang ke tanah airku, Parahyangan; Majapahit sudah kuserahkan pada Patih. Engkau sudah berhasil memecat Patih dari diriku, walaupun tidak dari Kerajaan Majapahit. Engkau kan berhasil membawa lari Raja Majapahit terpisah dari Patihnya dan dari Kerajaannya, nanti .”

Dimuka gua sudah berkumpul para prajurit Pajajaran yang dikomando-i oleh Ujang Lumut. Tampaknya para prajurit Pajajaran masih segar, seolah tidak tersentuh dengan suatu pertempuran pun.

“Saudara-saudara, marilah kita pulang kembali ke Sunda Parahyangan. Kerja kita sudah selesai di Singosari. Walaupun kita kalah didalam pertempuran, tetapi kita berhasil membawa lari Raja-nya. Maka jadilah Majapahit tanpa Raja, hanya ada Patih nya dengan cita-cita persatuan Nusantara. Mari pasukan jalan ke barat hingga sampai kota Pakuan.” Putri Dyah Pitaloka memberi komando.

“Tuan Putri, kita tidak bisa membawa pasukan sebanyak ini dalam masa perang yang belum selesai; kemungkinan besar kita akan menghadapi pasukan Gajah dalam suatu pertempuran kembali.”
Kata Ujang Lumut.

“Kita sudah kalah bukan? Apa mau-nya si Gajah? Apakah mereka belum puas melihat banyak darah Pajajaran yang sudah tertumpah di Bubat?”

“Betul kata istriku; akan tetapi belum ada pernyataan dari Patih Gajah atau dari kita akan penghentian perang.
Aku sarankan untuk membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah dan aku akan menghadapi mereka bila mereka tampil. Aku akan mengalahkan mereka dengan diplomasi.” Kata Prabu.

“Terimakasih kanda Prabu. Hayo jalan! Aku sudah tidak sabar untuk kembali ke Parahyangan.” Kata Putri Dyah.

“Aku sarankan untuk mendekati Bubat dalam perjalanan kita.” Kata Ujang Lumut

“Untuk apa mendekati tempat yang mengerikan itu.”

“Kalau-kalau ada teman kita yang hanya terluka tetapi belum mati dan dapat kita tolong.”

“Engkau betul Ujang.”

Pasukan bergerrak maju; sementara Prabu membawa bendera putih di belakang barisan.

(Bersambung)

No comments: