Monday, August 24, 2009

Hikayat Tumenggung Wiranegara (Bagian 2)


Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 4

Perusahaan Meneer Van Moore mengalami kemunduran disebabkan keberuntungan sedang berpihak pada Kerajaan Banten yang berada disebelah barat. Bukan hanya Van Moore saja yang mengalami kemunduran, akan tetapi juga seluruh perdagangan VOC, ikut mengalami kemunduran. Pelabuhan Sunda Kelapa di Batavia sepi dari kapal-kapal dagang. Sebaliknya pelabuhan Banten menjadi lebih ramai. Banyak pembeli dan penjual rempah-rempah dan bahan komoditi pangan datang dan pergi dari pelabuhan Banten. Lebih menjengkelkan VOC adalah orang-orang Inggris dan Portugis dan juga Cina dan Arab ikut berdagang langsung dengan orang-orang Banten. Terlebih lagi orang-orang Bugis Makasar membawa rempah-rempah, cengkeh, pala dan merica, langsung ke pelabuhan Banten dari Maluku; mereka enggan singgah di pelabuhan Sunda Kelapa.

Oleh sebab itu, VOC sudah siap dengan rencananya untuk menyerang Kerajaan Banten. Prinsip VOC adalah bahwa semua mata dagang yang penting dan menguntungkan harus di monopoli oleh VOC. Bila ada yang mau ikut bersaing, harus diperangi hingga bertekuk lutut dan kemudian harus membayar pajak; bila memungkinkan rakyatnya yang memberontak ditangkap dan dijadikan budak. Seperti itulah yang telah dialami oleh Untung, tokoh kita.

Meneer Van Moore lebih banyak berada dirumah dari pada berada di kantornya setelah perdagangannya mundur. Sudah barang tentu hal ini sangat mengganggu kebebasan Noni Suzzane. Akan halnya Untung, hal ini dapat menjadi alasan baginya untuk sedikit menjauh dari Noni. Noni Suzzane dapat mengerti alasan itu, tetapi bukan berarti hubungan cinta mereka harus diputus.

Matius Makara selalu memperhatikan dan mengawasi kedua insan yang sedang dimabuk asmara; dia merasa senang karena Untung sudah kelihatan sedikit dingin terhadap Suzzane. Dan Suzzane memperlihatkan muka asam kepada Untung. Sementara itu, Meneer Van Moore belum mencium adanya drama asmara dirumahnya, jadi dia tetap tenang saja.

“Ingatlah akan nasihatku Untung! Sekarang induk singa sudah pulang kesarangnya. Oleh sebab itu, engkau harus benar-benar menjauh dari anaknya; jika tidak, masalah besar akan datang mengancammu.” Matius kembali mengingatkan Untung.

Semua kegiatan dirumah Meneer berjalan seperti biasa, demikian juga kegiatan kelas pelajaran bahasa Belanda. Untung mencoba melupakan Noni Suzzane dengan cara belajar lebih giat dan mengurus kebun dan halaman rumah. Akan tetapi Suzzane menjadi gelisah sewaktu mendapatkan kekasihnya menjadi dingin.

Rumah Meneer Van Moore letaknya ditepi hutan lebat. Jarang orang yang berumah disekitarnya; masyarakat Belanda mengatakan bahwa hutan itu banyak dihuni oleh hantu-hantu. Dimuka rumah ada pos jaga serdadu VOC untuk menjaga warganya dari para perampok. Orang Belanda suka mengejek pos itu sebagai rumah penjaga monyet, maka daerah itu disebut ‘Jaga Monyet’

Untung mendapat kamar yang lepas dari bangunan utama, dekat hutan yang berhantu. Memang seringkali terdengar suara-suara yang tidak jelas dari dalam hutan yang agaknya suara hantu. Akan tetapi Untung adalah seorang yang tabah dan tidak takut akan hantu-hantu.

Waktu terus berjalan, hari berganti hari dan minggu berganti minggu; Suzzane lebih merasa sudah di jauhi oleh Untung. Sekarang dia tidak dapat terlalu bebas untuk bercakap-cakap dengan Untung, karena dia merasa ayahnya selalu mengawasi. Apakah betul ayahnya sudah tau akan drama percintaan antara dia dengan bekas budaknya? Suzzane tidak tau.

Pada suatu malam yang gelap dan sunyi, Untung mendengar suara tangis seorang wanita dibawah jendela kamarnya. Inilah bunyi hantu yang sering dibicarakan orang. Untung menutup telinganya rapat-rapat agar tidak lagi diganggu hantu-hantu itu. Tetapi suara tangis itu merupakan suatu kenyataan; memang betul ada seorang wanita yang sedang menangis ter-isak-isak. Akhirnya Untung bangun dari tempat tidurnya dan mendekati jendela, sumber bunyi itu. Dia melihat benar ada seorang wanita dibawah jendela kamarnya yang menghadap hutan.

“Hai, siapakah engkau wahai wanita malam? Mengapa engkau menangis?”

“Oh kekasihku, betapa aku merindukanmu. Izinkan aku masuk kekamarmu melalui jendela ini. Aku adalah Suzzane, kekasihmu.”

Untung membuka jendela, menggapai tangan Suzzane, dinaikan keatas jendela dan dicium. Tidak ada orang ketiga diantara mereka berdua. Keduanya berpelukan, melepas rindu dengan bebas dan sepuas-puasnya. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya desah sebagai bahasa yang dapat mengungkap rasa saling mengasihi.

Setelah mereka merasa puas, Suzzane keluar kembali dari jendela tadi, kembali kekamarnya.

Untung merenung seorang diri, memikirkan tekat kekasihnya, “Aku harus mengawini wanita itu, apapun yang akan terjadi; jika tidak, kutuk Dewa Batara akan jatuh menimpaku. Oh Dewa Batara, ampunilah segala dosaku. Aku harus membuat suatu upacara yang benar-benar sebagai upacara perkawinan; dan itu tidak mungkin akan dilakukan di Gereja dan juga tidak mungkin di Puri Hindu. Oh Tuhan berilah aku petunjukmu.”

Dia ingat akan temannya Lukman. Lukman adalah seorang Muslim yang taat beribadah; sehari-hari tidak lupa sembahyang lima waktu. Meneer dan Mevrouw Van Moore tidak berkeberatan dengan tata cara agama yang dianut oleh pembantunya si Lukman; bahkan mereka mendukung untuk orang rumahnya menjadi orang yang baik-baik.

Seringkali Lukman pergi mengaji ke seorang guru agama diluar rumah yang berjarak lima kilometer dan harus masuk menembus hutan dibelakang rumah untuk mencapai rumah guru itu.

Pada suatu saat yang tepat, Untung bercakap-cakap dengan Lukman, “Lukman, aku ingin mengetahui Agama Islam lebih jauh; untuk itu bolehkah aku ikut denganmu kerumah guru agama tempat kamu mengaji?”

“Tidak ada masalah dengan itu, asal tugas kewajibanmu sudah diselesaikan dirumah ini.”

“Sudah barang tentu aku selesaikan dulu tugasku.”

Sesungguhnya Untung berencana untuk menikahi Suzzane dimuka penghulu secara agama Islam. Maka dengan demikian dia dan kekasihnya akan menjadi pasangan yang syah di mata masyarakat, oleh sebab itulah dia akan meminta bantuan Lukman.

Haji Mat Toha adalah pemuka agama yang terkenal di Batavia selatan. Ayah dari Haji Mat Toha adalah prajurit Mataram dari Raja Sultan Agung yang pernah menyerang Batavia melawan VOC, dizamannya Gubernur Jendral Jan Pieterzuncun.

Banyak anak-anak muda yang sengaja datang kerumahnya untuk belajar agama; diantara muridnya adalah Lukman.

“Assalammualaikum Pak Haji!” Dua orang muda memberi salam kepada Pak Haji.

“Walaikumsalam, silahkan masuk”. Jawab Haji Mat Toha.

“Pak Uztad (Uztad= guru agama), kali ini aku membawa temanku, Untung, untuk belajar agama bersamaku.” Kata Lukman.

Pak Haji memperhatikan pemuda Untung dihadapannya, “Pernahkah engkau belajar mengaji sebelum ini?”

“Tidak pernah, bahkan aku tidak atau belum menjadi seorang muslim seperti kawanku ini.”

“Maukah engkau menjadi muslim?”

“Ya, aku mau” Kata Untung yang langsung memeluk Pak Haji.

“Engkau tidak perlu memeluk nya, tetapi cukup mencium tangannya saja” Kata Lukman

Untung membaca dua kalimat Syahadat dipimpin oleh Haji Mat Toha. Dan sejak saat itu mereka datang untuk belajar agama Islam, seminggu dua kali. Meneer Van Moore dan keluarganya tidak keberatan dengan aktifitas yang baru dari Untung.

Hari berganti hari dan minggu berganti minggu. Pak Uztad kedatangan murid-muridnya yang setia, akan tetapi sekali ini Lukman dan Untung membawa murid baru seorang wanita Belanda, sesuatu yang tidak biasa. Dia adalah Suzzane yang sudah memakai kerudung yang menutupi rambut dan dadanya.

“Pak Ustad yang aku hormati, bolehlah kiranya aku membawa kekasihku untuk ikut dalam pengajian ini?”

“Apa? Kekasih? Dia kekasihmu? Apakah engkau sudah gila; tidak ada orang pribumi yang berani kawin dengan noni Belanda seperti yang ada dimukaku ini. Ini sangat berbahaya, berbahaya bagimu sendiri dan juga bagi noni ini. Sebaiknya engkau lepaskan noni ini sebelum terlambat dan carilah jodohmu dari kalangan kita sendiri.” Kata Haji Mat Toha mengungkapkan ketidak setujuannya.

Tidak disangka, Suzzane ikut menengahi pembicaraan, dalam bahasa Indonesia yang lancar, “Wahai Pak Uztad yang kami hormati, semua akibat yang akan terjadi, akan aku tanggung bersama kekasihku. Akulah yang meminta agar kami dapat disyahkan sebagai suami dan istri olehmu didalam agama Islam yang damai. Kiranya Pak Uztad tidak berkeberatan menolong kami untuk memimpin upacara perkawinan itu sekarang juga.”

Kali ini Haji Mat Toha lebih terperanjat lagi, akan kenekatan kedua pasang anak muda. Terlebih-lebih wanita Belanda itu yang sudah mengungkapkan keinginannya didalam bahasa Indonesia yang lancar dan jelas.

“Bukankah tunanganmu tadi yang mengatakan bahwa engkau hanya ingin belajar mengaji saja, bukan ingin kawin seperti yang engkau katakan?”

Untung menengahi, “Dia belum menjadi muslimah, maka tahap pertama adalah membaca Syahadat lebih dulu, baru sesudah itu melaksanakan upacara perkawinan; begitulah rencana kami Pak Uztad.”

“Kalian betul-betul sudah nekat. Baiklah, aku tidak keberatan memenuhi permintaanmu, marilah ku islamkan engkau noni....noni siapa namamu?”

“Namaku Suzzane, Pak Uztad.”

Maka dilakukan upacara pembacaan dua kalimat Syahadat seperti yang pernah dilakukan pada Untung. Kemudian Untung mengeluarkan benda benda yang akan diserahkan kepada calon istrinya sebagai barang seserahan. Sesudah itu dilakukan upacara perkawinan Izab Kabul dimuka penghulu, Haji Mat Toha.

Maka selesailah sudah upacara tersebut yang menjadikan kedua sejoli itu resmi sebagai suami dan istri yang syah dimuka Tuhan. Tetapi belum syah dimuka keluarga Suzzane.

Noni beranjak mendekati Untung untuk mencium, tetapi dicegah oleh Lukman, “Jangan Non, yang seperti itu bukan adat kita, tetapi engkau dapat mencium tangannya saja.”

Keduanya beserta Lukman pada akhirnya meminta diri untuk pulang. Suzzane selalu memandang mata dan muka suaminya dengan mesra dan penuh suka cita, demikian juga Untung.

Haji Mat Toha memanggil Lukman, menggapai tangannya dan dibawa untuk bercakap secara rahasia. Akan tetapi dia meminta izin lebih dulu kepada Untung dan Istrinya, “Aku perlu berbicara dengan Lukman sebentar. Engkau boleh pergi lebih dulu atau menunggu temanmu.”

“Lukman, aku perlu memberikan saran kepada engkau demi keselamatanmu sendiri.”

“Katakanlah Pak Uztad.”

“Janganlah engkau pulang mengikuti mereka, karena mereka didalam bahaya; aku yakin akan terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap mereka. Aku merasa bahwa mereka akan dianiaya oleh keluarga Suzzane.”

“Aku tidak terlibat dengan masalah mereka; aku hanya mengantarkan mereka saja.”

“Engkau sesungguhnya terlibat dengan urusan mereka, engkau telah membantu Untung. Tindakanmu itu tidak salah, akan tetapi engkau dalam bahaya. Oleh sebab itu, tinggallah engkau dirumahku untuk satu, dua hari.”

“Baiklah aku tetap disini, terimakasih.”

Setelah selesai memberi saran, keduanya pergi menemui pengantin yang sedang menanti.

Kemudian mereka pulang, tanpa Lukman mendampingi.


Bab 5

Sehari setelah upacara Izab Kabul dirumah Haji Mat Toha, Untung bekerja seperti biasa dirumah Meneer. Akan tetapi, malang tidak dapat ditolak, tiba-tiba sepuluh serdadu kompeni datang menangkap Untung dengan ganas. Tangannya diikat dan kakinya dirantai.

“Mengapa aku ditangkap? Hai, apa salahku?” Teriak Untung.

Seorang Londo gemuk dengan kumis melintang dan tangan dipinggang memandang Untung dengan pandangan marah. Dia sungguh marah besar, tetapi dia tidak dapat mengungkapkan dengan kata-kata, karena dia tidak menguasai bahasa Indonesia. Dia hanya memberi tanda dengan tangannya, yang berarti bawa lah dia ke penjara. Dia adalah Meneer Van Moore.

Untung memohon kepada Meneer Van Moore dalam bahasa Belanda, “Pappy, jangan engkau sakiti istriku yang aku cintai; aku sungguh mencintainya sepenuh jiwaku.”

Tidak ada persidangan yang adil bagi Untung, seorang bekas budak yang tidak tau diuntung, nekat dan tidak memperdulikan banyak nasihat. Untung langsung dimasukan kedalam penjara yang paling ganas, bercampur dengan para perampok, pembunuh, begal dan juga pemberontak. Penghuni penjara itu ganas dan selalu mau mencoba ketangguhan penghuni baru.

Untung didekati seorang nara-pidana, “Hai monyet busuk, engkau harus memijit ototku sekarang!”

“Supaya apa?”

“Berani engkau melawan aku?” Dia mengirim tinjunya langsung kemuka Untung. Untung jatuh terjengkang, hidungnya berdarah. Dengan sigap Untung bangun kembali dan langsung menyerang balik dengan tendangan yang jitu kearah perut lawannya; dia jatuh terduduk. Kembali Untung menyerang secepat kilat dengan tendangan ke kepala musuhnya. Kali ini musuhnya tidak bangun lagi, mungkin dia jatuh pingsan. Untung mengambil sepotong besi dari sakunya yang dapat digunakan sebagai pisau. Jika tidak, lawannya kemungkinan akan membalas dengan benda itu, menikam Untung.

Semua penghuni penjara menyaksikan perkelahian itu.

“Siapa lagi yang akan mencoba kesaktianku?” Kata Untung sambil memegang potongan besi itu.

“Aku sekarang menjadi lawanmu wahai sobat.” Seorang dengan tubuh tambun dan muka jelek keluar dari gerombolan para nara pidana.

“Kelihatannya engkau lebih sopan dibanding dengan kawanmu itu. Siapakah namamu wahai kawan?”

“Namaku adalah si Gendut Raja Begal. Aku memang Raja disini dan engkau akan kujadikan Patihku.”

“Itu jika aku dapat dikalahkan olehmu. Akan tetapi jika aku yang menang maka aku menjadi Raja dan engkau Patih. Baiklah, apa engkau setuju dengan syaratku.?”

“Baik, aku setuju.”

Si Gendut bersiap, dengan memasang kuda-kuda dan tangan disiapkan untuk meninju.

“Tunggu dulu kawan, apakah engkau akan memakai senjata? Jika ya, maka aku akan memakai senjata besi ini; dan aku yakin diantara kita akan ada yang tewas.”

“Tidak, aku tidak memakai senjata.”

Semua nara pidana itu bersorak-sorak memberi semangat, “Hantam kepalanya Gendut! Gendut engkau tetap menjadi Raja kami disini, jangan takut.”

Pertarungan dimulai; Untung berlari-lari kecil mengelilingi si Gendut. Si Gendut terpaksa harus merubah posisi kuda-kudanya dengan susah, karena badannya yang berat. Untung berlari lebih cepat berputar mengelilingi dan tiba-tiba Untung menendang paha si Gendut yang membuat si Gendut sedikit berjongkok, tidak stabil. Tinju Untung melayang dari samping kiri dengan cepat, tepat mengenai pelipisnya. Si Gendut jatuh berdentam ke lantai. Sebelum dia sempat bangun berdiri, kaki Untung sudah menginjak perutnya. Gendut memuntahkan isi perutnya; perutnya terasa mual dan nyeri.

“Aku menyerah wahai anak muda. Siapakah namamu?”

“Alhamdullilah! Aku yang menang, bukankah begitu Gendut? Namaku singkat saja, Untung.”

“Hai kawan-kawan, Untung adalah pimpinan kita yang baru, aku menjadi pembantu dekatnya. Tetapi jika diantara kamu ada yang mau mencoba kesaktian si Untung dalam pertarungan yang adil, aku tidak keberatan.” Kata si Gendut Raja Begal.

Semua diam membisu; nampaknya mereka kecewa akan halnya si Gendut yang dapat dikalahkan oleh orang baru. Bagaimanapun mereka pernah dikalahkan oleh si Gendut; dan sekarang si Gendut saja kalah, jadi apalah arti mereka untuk dapat melawan si Untung.

Pada akhirnya terdengar seseorang bertepuk tangan dan kemudian diikuti oleh yang lain.

Untung kemudian mengambil kesempatan untuk berpidato dimuka para nara pidana guna memperkenalkan diri; dengan penuh kesopanan, “Kawan-kawanku senasib dan juga seperjuangan, aku datang kesini, dimasukan kedalam bui, tanpa di adili oleh kompeni. Aku dianggap bersalah, walaupun aku sebenarnya tidak bersalah. Jadi yang bersalah adalah orang yang memasukan aku ke bui ini, yaitu Kompeni. Betulkan kawan?

Beberapa orang berteriak, “Betul, aku senasib dengan mu Untung. Aku juga tidak bersalah, tetapi di bui sejak 3 tahun yang lalu.”

Suasana di bui itu menjadi riuh, karena semangat perjuangan kawan-kawan senasib dengan Untung terbangkitkan. Mereka mengungkapkan kekesalannya dengan memukul-mukul apa yang ada dipenjara.

Ada juga yang mengungkapkan kekesalannya lebih terperinci, “Kita orang Pribumi tidak pernah diadili. Hukum hanya berlaku bagi orang kulit putih saja. Kita ini adalah orang-orang yang teraniaya. Mereka menyebut kita ‘Inlander’ yang artinya warganegara kelas dua; nasib kita lebih jelek daripada budak.”

Seorang opsir penjara datang tergopoh-gopoh; datang untuk memeriksa ada keributan apa. Kedatangannya membuat semua napi itu diam, seperti anak sekolah yang patuh kepada guru.

Sementara itu Untung mendekati pintu terali besi dan mengikuti si opsir. Opsir itu membawa bedil ditangan dan juga banyak kunci-kunci disakunya. Tentulah itu kunci pintu-pintu penjara yang menjadi tanggung jawabnya.

Untung bercakap, menegur sang opsir londo itu didalam bahasa Belanda dengan penuh kesopanan dan si opsir londo itu sedikit tersanjung; tetapi si londo merasa heran akan halnya napi yang pandai berbahasa Belanda; yang baru pertama kali dia temui.

“Meneer, aku dukun peramal nasib. Nasib peruntunganmu dapat kubaca dengan melihat guratan-guratan di telapak tanganmu; maukah engkau ku ramal.?” Kata Untung kepada opsir londo itu. Si londo itu menganggukan kepalanya sambil tersenyum dan kemudian memberikan tangannya melalui jeruji besi. Tangannya kemudian dipegang oleh Untung.

Kemudian Untung membaca mentera-mentera dalam bahasa Bali yang memang benar itu adalah mentera keselamatan yang pernah diajarkan oleh Pendeta Hindu Bali. Akhir dari mentera itu menyimpang walaupun kelihatannya seperti sambungan mentera, “tusuklah perutnya dengan besi yang ada disakuku, setelah aku tarik tangannya kuat-kuat.”

Kawan napi disebelahnya menyadari sewaktu dilirik oleh Untung, bahwa itu instruksi dari Raja kepada rakyatnya untuk menusuk perut sang opsir dengan besi kecil seperti pisau yang ada disaku Untung. Dia mengangguk, tanda mengerti.

“Nasibmu pada hari ini sungguh tidak baik; oleh sebab itu engkau harus mengganti pekerjaan mu, menjadi seorang petani atau pedagang saja,”

Untung menarik tangan sang opsir kuat-kuat dan kemudian kawannya menusuk perutnya berkali-kali pada beberapa tempat diperut dan dadanya; darah memancar dari tubuhnya disertai suara lenguh orang yang sedang sekarat meregang nyawa; dan si londo itu mati terkapar dilantai.

Dengan tenang, Untung menganbil sekumpulan kunci-kunci dari sakunya. Kemudian dia mencocokan nomor kamar selnya dengan nomor kunci yang tertera. Dia membuka pintu sel penjara.

“Kalian tidak boleh bersuara; berbuatlah sewajarnya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Kalian akan keluar dari sini untuk menjadi orang bebas, akan tetapi kita tetap bersatu. Oleh sebab itu jangan kalian berpencar dan mencari keselamatan sendiri-sendiri. Jika kita harus mati ditangan kompeni, marilah kita mati bersama-sama dengan memberikan perlawanan. Itulah mati dengan penuh kehormatan. Ingatlah janji kalian dan juga engkau Gendut; Aku adalah Raja dan Gendut adalah Patih.”

Tiba-tiba seorang opsir londo lainnya keluar dari kamar kantornya dan langsung menembak dengan bedilnya kearah rombongan napi yang mau melarikan diri. Seseorang mengaduh kesakitan; dia adalah si Kemis yang tertembak di pahanya. Si londo mencoba mengisi senapannya dengan serbuk mesiu dan pelor, tetapi itu memakan waktu karena serombongan napi sudah datang menyerbu, membekuk opsir itu. Kemudian dia dibunuh.

Para napi itu masuk kedalam kantor opsir, merampas beberapa pucuk senjata bedil, pisau dan pedang. Masih belum puas, mereka juga mengambil barang-barang yang tidak berguna seperti lambang VOC, gambar Gubernur Jendral dan juga ada beberapa mas dan permata.

“Hai!, Engkau tidak perlu membawa gambar dan lambang itu. Itu barang-barang haram buat kita. Hayo cepat kita lari kekandang kuda guna merampas kuda mereka.” Kata Untung, sambil merobek-merobek gambar dan lambang itu.

Untung dan kawan-kawannya dapat memperoleh kuda, walaupun ada kuda yang harus membawa dua orang penumpang, mereka dapat melarikan diri kealam bebas.

Untung bertanya pada si Gendut, “Kemana kita akan lari Gendut?”

“Kearah timur, tepatnya ke desa Mataraman.”

“Ya baik, aku menurut nasihat mu sebagai Patihku. Berapa orang pengikutku, Gendut?”

“Hampir seratus orang dan semuanya bertekat untuk menjadi prajuritmu yang tangguh, percayalah padaku.”

Sementara itu Kapten Van Ruys, komandan jaga di penjara Kota melaporkan masalah larinya para napi dari penjara kepada atasannya. Segera diperintahkan untuk mengejar dan menangkap kembali para napi itu untuk dihukum mati.

Setelah berkuda selama dua jam, Untung beserta pengikutnya sampai ke desa Mataraman. Desa itu tidak ditempati oleh Belanda, bahkan orang-orang Belanda sangat takut untuk bepergian kearah desa itu, karena banyak begal (rampok penodong). Diantara para begal itu adalah si Gendut yang pada akhirnya tertangkap oleh kompeni. Oleh sebab itulah kita dapat mengerti, Gendut memberi nasihat untuk lari ke arah desa Mataraman, asal tempatnya beroperasi.

Sesungguhnya masyarakat Mataraman adalah para prajurit Kerajaan Mataram yang tidak mau pulang kembali ke Kota Gede (Jogyakarta). Mereka bertekat untuk tetap berperang melawan VOC walaupun kenyataannya sudah dikalahkan oleh VOC. Mereka beranak pinak disitu dan tetap bersiap-siap menghadapi orang-orang Belanda, seolah pertempuran belum selesai. Dan diatara mereka adalah si Gendut, anak dari tamtama Kerajaan Mataram, Ki Suro Agul Agul. Dan juga Haji
Mat Toha, anak dari Ki Besuki Wiroyudo. Ayah mereka sudah tua, tetapi mereka sebagai anak-anaknya mempunyai semangat untuk bertempur melawan penjajah.

Si Gendut tampak berseri-seri setelah sampai di kampungnya. Keluarganya menyambut pahlawannya dengan perasaan bangga. Tidak disangka diantara para penyambut itu juga hadir Haji Mat Toha beserta Lukman.

Untung turun dari kudanya dan mendatangi sang Uztad dengan takzim, memegang dan mencium tangannya. “Pak Uztad mengapa engkau sampai disini?”

“Inilah kampung halamanku, aku dilahirkan disini. Ketahuilah bahwa sehari setelah engkau pergi dari rumahku, rumahku dibakar kompeni dan semua perabot rumah tangga ku dihancurkan hingga luluh lantak. Kami anak beranak beserta Lukman masih dapat menyelamatkan diri, karena ada mata-mata ku yang memberitahukan aku sebelum mereka datang. Innalilahi wa inallilahi rojiun.”

“Aku dan semua penghuni Dunia ini akan dikembalikan kepada sang Pencipta, Allah Subhana Wata Ala. Tetapi, siapa yang membakar rumahmu itu?”

“Itulah mertua mu sendiri yang engkau cintai dan engkau banggakan.”

“Janganlah engkau berkata seperti itu Pak Haji, aku menjadi malu. Akan tetapi, adakah engkau mendengar khabar tentang istriku yang aku cintai, Suzzane?”

Lukman tampil dan memberi keterangan, “Wahai Untung, aku mendapat keterangan dari salah seorang pegawai Meneer, bahwa dia telah dipulangkan ke Holland dalam keadaan hamil.”

Untung terdiam, termenung penuh kesedihan dan terlihat matanya merah sedikit meneteskan air mata. Dia berdoa didalam hati, “Ya Allah Ya Robbi, dia adalah machlukMu walaupun dia lahir dari keluarga Belanda. Aku tidak bersalah untuk memperistri dia yang sudah menjadi Muslimah sejalan dengan khaidah Islam. Apakah aku berdosa Ya Allah?; mengapa engkau turunkan azab ini Ya Allah?; juga azab kepada orang-orang yang turut terlibat dengan urusanku.? Ya Allah Ya Robbi, turunkanlah keadilan di Dunia dan juga di Achirat, Selamatkanlah istri dan anakku.”

Tiba-tiba seseorang mata-mata berlari-lari mendapatkan si Gendut, “Kompeni akan datang menyerang kita; mereka akan sampai disini satu jam mendatang.”

“Seberapa banyak kekuatan mereka?”

“Kurang lebih dua ratus orang dengan senjata lengkap; dan dua meriam yang ditarik kuda.”
Untung bersikap tenang mendengar laporan itu, “Marilah kita lihat keadaan medan tempur kita!”

Seseorang berlari mendapatkan Untung, menyerahkan teropong, alat untuk melihat beda-benda dikejauhan, “Gunakan benda ini Tuanku, aku mengambilnya dari kantor penjara VOC.”

Untung perlu memberi semangat kepada prajuritnya, “Hai kawan-kawan, apakah engkau mau menjadi prajurit-prajuritku? Ingatlah janjimu bahwa aku adalah Raja, Gendut adalah patih dan engkau semua adalah prajuritku. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada menjadi budak kompeni. Lebih baik mati ditembak kompeni dari pada hidup diinjak-injak kompeni. Jika engkau setuju dengan aku, marilah kita sambut musuh kita.”

Tidak disangka oleh Untung, seribu orang lebih dengan senjata panah, tombak dan pedang tiba-tiba keluar dari rumah-rumah di sekitar Mataraman.

“Hai! Siapa mereka, Gendut?”

“Bukankah engkau sudah menjadi Raja, sementara itu aku adalah Patihmu? Mereka adalah rakyat dan angkatan perangmu. Hai kawan-kawan sambutlah Untung, komandan tempur kita untuk melawan VOC.”

“Oh jadi mereka adalah anak buahmu, wahai Patih Gendut?”

“Benar paduka, mereka akan meneruskan perjuangan ayah mereka yang belum selesai.”

Untung berdoa didalam hati, “Ya Allah ya Tuhanku, begitu cepat engkau mengabulkan permintaanku, sewaktu aku memohon kepadaMu di depan Matius Makara, berikan aku kekuasaan dan angkatan perang. Akan tetapi, aku harus menunaikan kewajiban ku juga yang sudah terucap yaitu membunuh londo-londo kompeni itu.”

“Hai semua pasukan,diam semua dan bersembunyi dibalik semak. Tidak ada yang bercakap atau tertawa; buatlah seolah desa Mataraman ini desa sunyi tanpa penduduk.”

“Wahai Patih, dimana aku akan menempatkan pasukanku? Agar mereka dapat memanah kompeni, sementara musuh tidak mengira akan diserang ditempat itu.”

“Ku pinjam teropongmu.” Patih Gendut meneropong. “Nah disana Paduka, kita akan berada diatas bukit, siap memanah; sementara musuh akan melalui jalan dibawah bukit itu.” Patih Gendut menunjuk.

“Terimakasih Patih! Pasukan bergerak. Jangan menggunakan kuda. Kita akan berlari kepuncak bukit yang dekat itu.”

Pasukan Untung benar-benar patuh dan disiplin. Mereka berlari-lari kearah bukit dengan penuh semangat.


Bersambung

No comments: