Wednesday, September 24, 2008

Cinta Terlarang (Bagian 4)

Pembunuhan Raja

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi



Bab 1

Singo Lodra, Jalak Ireng dan enam serdadu Majapahit berkuda, memasuki Kota Pakuan. Mereka mendapat tugas dari Kerajaan untuk menjemput Raja dan Keluarganya untuk dapat kembali ke Singosari.

Anak Negeri melihat kedatangan musuh dengan penuh kecurigaan, “Seharusnya yang menjemput Putri Dyah adalah orang sipil, bukan militer. Kita malah menginginkan keluarga Raja Majapahit yang seharusnya menjemput menantu mereka.”

“Nampaknya memang perdamaian antara kedua Negara belum tercapai atau bisa kita sebut perdamaian semu; atau perang yang tertunda.”

Dan masih banyak celoteh masyarakat Sunda di kota Pakuan.

Keluarga Kerajaan Pajajaran beserta para Menteri, Perwira Militer, staf Istana dan Pimpinan masyarakat sedang menunggu utusan Majapahit yang akan menjemput Raja Majapahit dan Keluarganya.

Sementara itu, Banyu Urip dan anak buahnya bersembunyi di lorong-lorong Istana atau di balik pintu Istana, memperhatikan Singo Lodra dan kawan-kawannya. Banyu takut dikenali oleh Singo, karena dia bersalah telah melalaikan tugas menjaga Raja.

“Lihat si Singo; dia hanya membawa enam prajurit untuk menjemput Raja kita. Seharusnya dia membawa lebih dari lima ratus prajurit; itulah protokoler yang benar, yang harus dijalankan didalam acara penjemputan Raja. Kalau begini gelagatnya, semakin kuat dugaan kita bahwa dia memang akan membunuh Raja kita. Bukankah begitu kawan?”

“Ya benar komandan, kan terjadi suatu pemberontakan di Negeri kita.”

“Ya berontak boleh saja asal ada alasannya yang jelas; apa karena Raja kawin dengan wanita Sunda kemudian Patih boleh marah dan mau berontak. Kalau begitu, kelakuan Patih adalah kekanak-kanakan.” Kata Banyu Urip.

“Akupun mau mengikat janji perkawinan dengan wanita Sunda. Apa boleh komandan?”

“Boleh saja, silahkan. Tetapi untuk Raja kita, kelihatannya tidak semudah engkau.”

Singo Lodra memasuki pintu Istana. Dia tidak dalam posisi jongkok seperti yang pernah dilakukan oleh Jalak Ireng, tetapi berjalan tegap, diikuti kawan-kawannya.

Sesampainya dimuka Singgasana Raja Lingga Buana, dia duduk bersila dilantai, diikuti kawan-kawannya.

“Kami berdatang sembah dimuka Paduka Yang Mulia Maharaja Lingga Buana. Kami adalah Penyewu Singo Lodra dan kawan-kawan yang atas nama Kerajaan Majapahit, kami hendak menjemput Raja Kami yang baru saja menikah dengan Putri Paduka, Putri Dyah Pitaloka.
Juga kami menghaturkan selamat berbahagia kepada Keluarga Kerajaan dan kepada Raja Kami.”

“Untuk menjemput seorang Raja yang Agung seperti Rajamu, seharusnya Patih sendiri yang turun tangan, bukan engkau, Singo. Pangkatmu didalam kemiliteran adalah Penyewu; jadi masih kurang tepat.
Mana Patihmu wahai Singo?” Maharaja Lingga Buana menanyakan.

“Dia sedang bertugas di luar Negeri.”

“Apa kerja beliau di luar Negeri?”

“Bertempur menundukan Kerajaan Minangkabau.”

“Alangkah bangganya diri mu, dengan tanpa ragu memberi tahukan kerja Patihmu, bertempur di Negeri orang.
Seharusnya engkau merasa canggung pada kata-kata mu. Apakah engkau sendiri bangga didalam banyak pertempuran dan bangga menganiaya musuh-musuh mu?”

“Baginda Maharaja Lingga Buana yang kami hormati, kami adalah anggota militer yang patuh kepada tugas Negara kami. Kami mempunyai cita-cita luhur mempersatukan seluruh Nusantara dibawah kendali Kerajaan Majapahit.
Sebenarnya, aku tidak pantas mengutarakan cita-cita yang mulia ini kepada Baginda, tetapi Raja kami lebih pantas.

Baginda Prabu Hayam Wuruk, kami mohon Baginda dapat kiranya menerangkan kepada mertua anda akan halnya persatuan Nusantara sebagai cita-cita Negara kita; dan juga kepada semua yang hadir disini. Baginda, silahkan.”

Prabu Hayam Wuruk terpanggil untuk menengahi dialog yang terputus. Dia berdiri dari kursinya dan meminta izin kepada Maharaja; kemudian memulai ulasannya.

“Aku pernah menerangkan hal ini sepintas lalu kepada istriku tercinta. Akan tetapi aku belum menerangkannya kepada anak Negeri Kerajaan Pajajaran dan terlebih kepada ayah mertuaku.
Terimakasih Singo atas kesempatan yang engkau berikan.

Bahwa gurunya Gajah Mada meramalkan bahwa, Kerajaan Majapahit akan runtuh dan bahkan seluruh Nusantara akan di jajah oleh bangsa asing yang datang dari barat.

Mereka datang dengan perahu-perahu besar; pertama kalinya mereka berdagang akan tetapi lama-kelamaan mereka menguasai Pemerintahan Kerajaan; dan pada akhirnnya Kerajaan Majapahit dapat diruntuhkan. Kemudian Kerajaan Majapahit akan dijajah selama tiga ratus lima puluh tahun lamanya.

Gurunya Gajah selanjutnya memberikan saran kepada muridnya, cita-citakanlah persatuan Nusantara, karena dengan persatuan itu, anak cucu buyut mu akan dapat mengusir penjajah. Persatuan itu sebagai senjata dalam mengusir penjajah. Tanpa persatuan seluruh Nusantara, cucu-mu tidak akan sanggup mengusir penjajah.

Gajah terpanggil demi anak dan cucu buyut didalam mengusir penjajah. Maka dia meyakinkan semua jajaran militernya dan juga termasuk Raja, aku sendiri untuk menyatukan tekad didalam cita-cita persatuan Nusantara; dia bersumpah untuk memperkuat cita-cita tersebut dengan mengangkat sumpah, Sumpah Palapa.”

Raja Lingga Buana memotong pidato menantunya, “Apakah sudah dipikirkan oleh si Gajah dan kalian semua, betapa besar biaya yang harus disediakan, betapa banyak-nya janda-janda yang akan ditinggal mati oleh suaminya, betapa banyak-nya Istana-Istana yang hangus rata dengan tanah dan betapa banyak-nya Raja-Raja yang lari atau bahkan mati dibunuh olehmu. Ini sungguh sesuatu keinginan yang mengerikan.”

“Yang Mulia Maharaja, dikarenakan kami percaya bahwa ramalan Resi, Gurunya Gajah Mada itu benar adanya, maka demi anak cucu buyut kita, kami rela berkorban harta benda dan nyawa. Persatuan Nusantara kami percaya sebagai senjata untuk mengusir kaum penjajah. Akan tetapi, aku sudah menyatakan bahwa Kerajaan Pajajaran adalah suatu kekecualian, dia menjadi Kerajaan Sahabat dari Kerajaan Majapahit.”

“Wahai semua orang Majapahit, Kerajaan Pajajaran tidak akan ikut didalam persatuan Nusantara-mu. Dengarkan lah aku, Kerajaan Pajajaran adalah Kerajaan yang bebas, tidak terikat oleh Kerajaan Majapahit.” Maharaja Lingga Buana memberikan pernyataannya.

Gemuruh suara para hadirin memekakkan telinga menyambut pernyataan Rajanya, “HIDUP RAJA! HIDUP RAJA!! Hiduplah PAJAJARAN, Hiduplah TANAH PARAHYANGAN”

Prabu Hayam Wuruk duduk kembali.

Akan tetapi, Singo Lodra berdiri dan menghadap hadirin, “Sudara saudara anak Negeri Kerajaan Pajajaran, kami sangat setuju dengan pendapat Baginda Maharaja Lingga Buana, bahwa Kerajaan Pajajaran adalah Kerajaan yang bebas; tidak ada ikatannya dengan Kerajaan Majapahit. Kedua Kerajaan berdiri sama tinggi.”

Kembali tepuk tangan dan sorak sorai menggema didalam ruangan, “HIDUP SINGO! HIDUP SINGO!”

Maharaja Lingga Buana meneruskan dialognya dengan Singo, “Bila engkau akan membawa Rajamu beserta keluarganya?”

“Lebih cepat lebih bagus, akan tetapi terserah Baginda Prabu yang akan mengaturnya.”

Kemudian Singo dan kawan-kawan undur diri.

Hadirin merasa puas atas pernyataan Raja Lingga Buana, Prabu Hayam Wuruk dan ditambah keterangan dari Singo Lodra.
Kelihatannya semua masalah di Negeri Pajajaran dapat terselesaikan dengan damai.



Bab 2

Maharaja Lingga Buana memanggil Menteri dan jajaran militernya untuk mengadakan rapat tertutup, sangat rahasia dan terbatas. Hal ini sehubungan dengan laporan Banyu Urip yang mengatakan bahwa ada komplotan yang akan membunuh Raja Hayam Wuruk dan Keluarganya.

Maharaja Lingga Buana memasuki ruangan, melihat hadirin satu persatu dan menutup pintu rapat-rapat.

“Terimakasih atas kehadiran kalian. Aku ingin mengingatkan kepada kalian bahwa Negeri kita sekarang ini sedang dibanjiri oleh mata-mata dari Majapahit. Aku harap dia tidak turut hadir didalam ruangan ini. Adakah orang yang engkau tidak mengenal didalam ruangan ini?”

“Baginda, kami semua saling kenal; tidak ada orang asing diruangan ini.”

“Baiklah. Aku minta kepada Banyu Urip untuk mengutarakan penemuannya akan halnya komplotan yang bermaksud tidak baik terhadap Raja Majapahit dan keluarganya. Silahkan Banyu.”

“Aku telah berhasil menangkap satu orang Majapahit yang mengaku mendapat tugas dari Patih Gajah Mada untuk membunuh Raja Prabu Hayam Wuruk. Pembunuhan direncanakan akan dilakukan di hutan pada saat Raja dan keluarganya kembali ke Singosari.

Kita sekarang akan menyusun strategi guna mengatasi aksi makar ini. Aku dan Ujang Lumut akan mengawal Raja secara rahasia, dari dalam hutan. Sementara itu Putri Dyah tidak akan ikut serta bersama Raja, beliau harus tetap tinggal disini. Kereta yang seharusnya diisi oleh Putri, akan kita biarkan kosong.

Adakah hal lain yang perlu ditambahkan?”

“Sudah cukup baik. Yang penting adalah jangan menimbulkan kecurigaan pada mereka bahwa kita telah mengetahui rencana mereka. Untuk itu aku perintahkan kepada Panglima untuk turut mengantar Raja Majapahit hingga tapal batas dengan membawa seribu prajurit.
Perlihatkan wajah kalian selalu gembira, seolah-olah kalian tidak sedang dalam keadaan cemas karena sudah mengetahui rencana mereka.”


Bab 3

Pada akhirnya hari perpisahan antara Putri dan ayahnya pun datang juga. Semua staf Istana merasa kehilangan Putri. Sementara Prabu banyak tersenyum bahagia karena berhasil memboyong seorang gadis Sunda yang cantik ke Singosari.

Di depan pintu gerbang Istana, anak Negeri sudah ramai menantikan rombongan yang akan diberangkatkan. Panglima Maung Jaya sibuk mengatur barisan prajuritnya yang berjumlah seribu orang.

Pasukan yang dipimpin oleh Ujang Lumut dan Banyu Urip sudah lebih dahulu berangkat dengan berjalan kaki di tengah malam, secara diam-diam melalui hutan.

Prabu Hayam Wuruk melambai-lambaikan tangannya kepada anak Negeri Pajajaran sambil menebar senyum. Dia sekarang menjadi manusia terkenal di tanah Parahyangan, karena perannya

Dia adalah pemersatu dua Kerajaan; dia adalah penyelamat Kerajaan dari amukan Majapahit. Dan masih banyak gelar-gelar yang memuji perannya.

Prabu berkuda dibelakang kereta kencana yang memuat istrinya tercinta. Kudanya membawa senjata lengkap, pedang, tombak, panah dan gendewa-nya, keris dan bahkan kampak, seolah-olah dia pergi berperang.

Semua orang ingin melihat Putri Dyah didalam kereta, terutama kaum wanita. Tetapi mereka kecewa dikarenakan adanya tirai yang menutup rapat jendela kereta, sehingga tidak terlihat penunpang kereta.

“Putri sekarang menjadi sombong. Kita tidak bisa melihat dia, bukankah itu berarti dia sombong dan tidak mau mengenal kita lagi.” Seorang wanita memberi komentar.

“Ya itulah manusia, mentang-mentang mau menjadi Permaisuri Raja di Majapahit, dia tidak memandang kita lagi. Sesungguhnya dahulu dia adalah sepermainan dengan ku, sewaktu aku kecil. Sekarang, aku sangat kecewa dengan dia.” Yang lain menimpali.

Maharaja Lingga Buana hanya melambai-lambaikan tangannya saja dan menebar senyum. Dengan senyum yang menghias pada wajah Baginda, maka rakyat mengartikan Negara dalam keadaan aman. Masalah serangan Majapahit sudah dapat diatasi.

Rombongan terus bergerak secara perlahan-lahan, meninggalkan Istana Pakuan. Rombongan sebenarnya hanyalah berjumlah beberapa orang saja, tetapi terlihat banyak dikarenakan serdadu Pajajaran yang berjumlah seribu orang membuat rombongan tampak besar.

Paling muka adalah Penyewu Singo Lodra diikuti enam prajurit dan terakhir adalah Jalak Ireng. Kemudian kereta kencana dan sang Prabu. Dibelakang Prabu berbaris seribu prajurit yang dipimpin oleh Panglima Maung Jaya.

Pada tapal batas Negeri, Panglima Maung Jaya amit mundur.

“Terimakasih paman, sampaikan salam ku kepada ayah mertuaku.”

Setelah Panglima beserta prajuritnya pulang, maka rombongan terlihat sedikit, sungguh menyedihkan bagi Raja Prabu Hayam Wuruk. Hal ini yang sudah ditenggarai oleh Banyu bahwa sudah terjadi salah prosedur protokoler. Seharusnya Singo membawa lebih dari lima ratus prajurit didalam acara penjemputan seorang Raja.

Jalak Ireng semakin tertinggal oleh rombongan, mungkin kudanya lelah atau sakit.

Pada suatu tempat berhutan lebat, Singo memperlambat kudanya, sehingga rombongan berjalan perlahan. Sementara Jalak Ireng semakin jauh tertinggal, tetapi sungguh aneh, tidak seorang pun memberi komentar akan kelakuan si Jalak Ireng.

Jalak Ireng akhirnya berhenti dan mengistirahatkan kudanya yang lelah. Setelah dianggap tidak terlihat lagi oleh rombongan, Jalak memutar kudanya dan di pacu berlawanan arah.

Dia berkuda kesuatu tempat. Ternyata disitu sudah menunggu teman-temannya yang dipimpin oleh Jaran Kuru.

“Bagaimana, sudah siap? Apakah anggotamu hadir semua?” Tanya Jalak Ireng.

“Kami sudah siap. Tetapi salah satu anggota kami tertinggal di Pakuan; katanya dia kawin dengan gadis Sunda. Tetapi biarlah kami sudah cukup kuat.”

“Kawin dengan gadis Sunda atau tertangkap oleh tentara Pajajaran. Aku harap dia bukan tertangkap.” Kata Jalak memastikan.

Jaran Kuru terkejut akan halnya salah satu anggotanya yang menghilang. “Aku juga mengharap begitu, tetapi pekerjaan kita sudah hampir selesai, mari kita teruskan.”

Tanpa memikirkan anggota nya yang menghilang, Jaran Kuru memacu kudanya kearah rombongan Raja. Semua anggotanya memakai masker penutup muka, agar menyerupai perampok. Mereka berjumlah dua puluh dua orang termasuk Jaran Kuru, yang merupakan agen rahasia Gajah Mada. Seharusnya jumlah mereka dua puluh tiga orang.

Mereka sampai kepada rombongan Raja, langsung menyerang Raja Hayam Wuruk.

Prabu Hayam Wuruk sudah terbiasa menghadapi medan tempur; dia sudah tau dan waspada karena pemberitahuan dari Banyu.

Prabu bersenjata tombak. Salah seorang perampok menyerang dengan pedang tetapi gagal karena secepatnya ditombak oleh Prabu; dia langsung mati.
Yang lain datang memanah, tetapi Prabu berhasil menghindar anak panah.
Prabu dengan cepat bergerak maju balas menyerang dengan pedangnya. Si penyerang dengan mudah dapat dibunuh. Yang lain menjadi ragu-ragu untuk menyerang.

Kereta kencana dihentikan, sais nya melarikan diri masuk kedalam hutan. Kuda-kudanya di lepas oleh perampok, kemudian kereta dijungkir balikan.
Karena tidak seorang pun penumpang kereta yang mau keluar, maka kereta kencana dibakar.
Tetapi mereka kecewa, karena setelah dinanti-nati, ternyata kereta memang tidak berpenumpang.

Prabu Hayam Wuruk kewalahan menghadapi banyak lawan. Dia melihat kearah Singo Lodra dengan maksud meminta bantuannya.
Tampak Singo sedang bercakap-cakap dengan para perampok. Alangkah kecewanya Prabu, “Dia sungguh berchianat kepadaku. Kalau begitu aku sekarang sendirian menghadapi banyak musuh.”

Tampak Singo agak kikuk melihat Rajanya memperhatikan dia. Tiba-tiba dia melemparkan tombaknya kearah junjungannya. Untunglah, jarak yang agak jauh membuat tombak berjalan lambat waktu hampir sampai kesasaran.

Orabu dapat menangkap tombak yang sedang terbang diudara. Ketangkasan Prabu membuat gentar para Perampok.

Tiba-tiba, dari dalam hutan ada serangan balik terhadap perampok dengan menghujani anak panah. Satu persatu para perampok itu tewas tertembus anak panah. Yang lain langsung melarikan diri, tetapi dapat dikejar dan dubunuh.

Mereka adalah Ujang Lumut, Banyu Urip dan pasukannya.

“Baginda, apakah terluka?” Tanya Banyu Urip.

“Tidak. Terimakasih atas pertolongan mu Banyu.”

Tak lama kemudian, Banyu dan Ujang Lumut menggiring Singo Lodra yang dalam keadaan tangan terikat dibawa kehadapan Prabu, “Hayo mengaku! Siapa dibalik makar pembunuhan Raja!”

Singo Lodra tutup mulut. Maka Banyu memukul kepalanya, “Hayo cepat mengaku!”

Singo tetap tutup mulut. Dia kelihatan menjadi pucat dan banyak keringat dari dahinya dan badannya. Lama kelamaan dia menjadi lemah, pingsan dan akhirnya mati.

“Baginda, dia sudah menelan bubuk arsen, untuk menutup kerahasiaan. Itu memang sudah menjadi kewajiban setiap perwira militer untuk tetap memegang kerahasiaan.

Oh penyewu Singo Lodra, Kerajaan tetap menghargai engkau sebagai perwira militer yang sangat patuh dan patut ditiru; tetapi sayang engkau mempunyai cacat yaitu engkau patuh hanya kepada Patih Gajah Mada, seharusnya kepada Raja Majapahit.

“Banyu Urip dan Ujang Lumut dan juga semua prajurit Majapahit dan Pajajaran. Dengan terpaksa aku menyatakan bahwa sekarang ini telah terjadi pemberontakan melawan kekuasaanku. Pemimpin kaum pemberontak adalah Patih Gajah Mada sendiri; aku menyesalkan dia karena dia adalah orang kepercayaanku.

Tentu kalian bertanya-tanya, apa penyebabnya? Maka aku tidak ragu lagi untuk mengatakan, karena aku telah mengawini Putri Dyah Pitaloka.”

“Baginda tidak bersalah mengawini Putri kami.” Kata Ujang Lumut.

“Betul Ujang, semua orang boleh kawin dan harus kawin dengan kekasihnya. Aku juga merasa tidak bersalah, karena aku sungguh mencintai dia dan aku sudah mendapat izin dari ayahnya. Apakah aku juga harus meminta izin kepada setiap orang di masyrakat-ku? Jadi apa gunanya gelar Raja yang kusandang; gelar Raja seharusnya memberikan kebebasan kepadaku untuk melakukan hal-hal yang pantas.”

“Baginda, aku Banyu Urip dan seluruh anak buahku tidak keberatan atas perkawinan Baginda; kami berpihak kepada Baginda dan akan melawan Patih Gajah Mada.
Baginda, aku yakin hanya satu orang yang tidak setuju atas perkawinan Baginda yaitu Patih saja.”

“Baiklah Banyu, mari kita lanjutkan perjalanan kita ke Singosari; aku akan menguasai Istana Trowulan lebih dahulu.
Engkau Ujang, aku ucapkan banyak terimakasih atas pertolonganmu. Sampaikan salamku kepada ayah mertuaku dan katakan bahwa aku dalam keadaan selamat berkat engkau dan Banyu.
Engkau boleh menyampaikan pernyataan ku kepada beliau bahwa telah terjadi pemberontakan oleh Patih Gajah.”

“Gusti Prabu, seharusnya hamba ikut ke Singosari untuk bertempur melawan pemberontak, akan tetapi hamba belum mendapat izin dari Maharaja. Keselamatan Paduka adalah tanggung jawabku, karena Paduka adalah anggota Keluarga Kerajaan.”

“Sebaiknya engkau pulang ke Pakuan, kabar akan keselamatanku perlu disampaikan kepada istriku tercinta.”

“Baginda, sebaiknya kita istirahat dulu disini. Kita perlu mengadakan perundingan akan halnya rencana kita di Istana Trowulan.” Kata Banyu Urip.

“Engkau benar Banyu. Mari kita lihat siapa-siapa agen rahasia Patih Gajah yang sudah mati.” Mereka memeriksa tigapuluh mayat-mayat yang sudah mati.
Salah satu mayat yang walaupun terluka parah tetapi belum mati. Dia berpura-pura mati; dia bernama Tunggul.

“Lihat, ini si Jalak Ireng; dia sudah mati tertembus panah. Oh Jalak, apakah engkau lupa bahwa nyawamu pernah kuselamatkan dari ancaman Panglima Maung Jaya. Engkau benar-benar manusia yang tidak pandai membalas budi.” Kata Prabu.

Setelah puas memeriksa, mereka bercakap-cakap kembali untuk membahas strategi menghadapi pemberontak.

“Baginda, tidaklah cukup hanya menguasai Istana Trowulan, tetapi yang lebih penting lagi adalah menguasai jajaran angkatan perang kita. Jadi, hendaknya Baginda berbicara dihadapan para perwira militer untuk mengumumkan adanya pemberontakan yang dipimpin oleh Patih. Pengalaman Baginda pada hari ini harus diceritakan kepada mereka dan juga temuanku akan adanya mata-mata yang bermaksud membunuh Baginda.

Kita mengharapkan mereka dapat menilai siapa yang hitam dan siapa yang putih.”

“Engkau benar Banyu. Kita harus sampai di Istana Trowulan sebelum pasukan Gajah datang dari luar Negeri. Aku dan pasukanku akan bersiap-siap menghadapi pasukan Patih yang baru datang. Marilah kita siap tempur untuk menghadapi perang saudara yang kita sama-sama membencinya.
Oh Dewa, apakah ini akhir dari Kerajaan Majapahit? Sesungguhnya aku tidak mengharapkan perselisihan dengan Patihku; hanya karena aku mengawini seorang Putri dari Negeri Sunda.”

Ujang Lumut meminta diri kepada Prabu, “Baginda, aku dan seluruh jajaran militer Pajajaran siap tempur menghadapi para pemberontak. Jika Maharaja memberi izin kepada Panglima Maung Jaya, kami akan segera berangkat ke Singosari, percayalah! Ingatlah Prabu adalah anggota Keluarga Kerajaan yang harus kami bela.”

“Selamat jalan Ujang, salamku kepada ayah mertuaku dan katakan kepada istriku, aku dalam keadaan selamat, salam sayangku pada istriku.”

Prabu, Banyu Urip dan juga beserta empat puluh prajurit Majaphit meneruskan perjalanannya.

(Bersambung)

No comments: