Monday, September 29, 2008

Antara Cinta dan Benci (Bagian 3)

Serangan Wulansari

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

Akuwu Wengker memimpin rapat darurat perang, “Saudara-saudara, kita berkumpul untuk mendapatkan taktik yang jitu dalam menghadapi pertempuran ini. Sebelum itu, aku ingin bertanya kepada Patih Kebo Ireng, apakah anda bersedia berperang membela Negari mu, bersama kami?”

“Siap! Dan engkau adalah komandan kami.”

“Dan juga kepada Putri Sekarpandanwangi, apakah engkau juga siap tempur? Dimana Putri kita? Kenapa tidak kelihatan?”

Semua orang menengok ke kanan dan kekiri mencari sang Putri, ternyata dia sudah meninggalkan ruang Balairung.

“Dia sudah pergi Tuan! Tadi aku melihat dia pergi memakai kuda ke luarkota.”

“Baiklah, tanpa dia kekuatan kita cukup untuk menghadapi musuh; percayalah kita akan menang.
Aku akan bertanya kepada serdadu yang terluka, musuh yang akan datang kesini akan memakai jalan apa?
Agar kita dapat ganggu perjalanannya.”

Prajurit Medang yang terluka mengatakan, “Kebetulan aku mendengar percakapan diatara dua orang musuh. Dia mengatakan bahwa, limaratus kafaleri berkuda dibawah pimpinan Kebo Anabrang akan memakai jalan tradisional menyebrangi sungai Conde; sementara tujuh ratus pasukan kafaleri berkuda lainnya dibawah pimpinan Boyo Pitu akan melalui Lembah Ular di gunung Ratu Sewu.”

“Mengapa dia mau memakai lembah sempit itu?” Tanya seseorang.

“Aku tidak tau maunya apa. Akan tetapi dengan melalui jalan itu, maka jarak yang akan ditempuh dapat dipersingkat. Kemungkinan Boyo Pitu ingin membuat kejutan dengan tiba-tiba sudah berada dimuka Istana ku.
Ku perintahkan agar jembatan sungai Conde diruntuhkan, untuk menghambat pergerakan Kebo Anabrang dan pasukannya

Akan tetapi dengan sudah diketahui rencana Boyo, maka aku memilih sasaran pada pasukan Boyo Pitu. Kita akan tunggu mereka dibibir lembah dan begitu mereka melewati kita, kita serang dari atas lembah. Kita perkirakann mereka tidak akan leluasa untuk melarikan diri, karena lembah itu sempit.”

“Komandan, bagaimana dengan pasukan Kebo Anabrang? Apakah akan kita serang juga.”

“Mereka akan kita bakar bersama dengan Istanaku.”

“Jangan Tuan! Istana itu mahal harganya.” Kata seorang prajurit.

“Bahkan nyawaku akan kukorbankan demi Kerajaan; jadi apalah arti sebuah Istana.

Baik kawan-kawan, mari kita mulai bekerja secepatnya karena musuh akan sampai ditempat ini dalam waktu tiga hari.”

Beberapa prajurit memanjat pohon disekitar Istana dengan perlengkapan panah ber api. Istana dipenuhi dengan jerami kering dan belerang yang mudah terbakar. Didalam Istana tersebar emas dan permata yang seolah-olah tercecer; seakan yang empunya terburu-buru membawanya sehingga emas itu tumpah.

Bila Kebo Anabrang dan serdadunya akan mengambil permata itu, pasukan diatas pohon akan menghujani Istana dengan panah berapi. Api akan membakar belerang dan jerami; diharapkan Kebo Anabrang dan pasukannya akan menghirup asap belerang dan mati tercekik.

Pasukan lainnya pergi kebibir lembah dengan perlengkapan batu-batu besar yang siap diterjunkan kedalam lembah sempit. Panah dan tombak juga dipersiapkan.

“Aku minta jangan menimbulkan suara sedikitpun, agar musuh tidak curiga; Sepatu kuda harus dibungkus kain agar tidak terdengar derap kaki kuda. Jangan bercakap-cakap, bila perlu bercakap hanya dibolehkan berbisik seperlunya.” Kata Komandan Akuwu Wengker.

Para pengungsi dari Medang disembunyikan didalam guha dengan persediaan makanannya.


Bab 2

Sementara itu, Putri Sekarpandanwangi melarikan kudanya kearah Ibukota Medang; dia tidak percaya bahwa Istananya terbakar.

Sewaktu datang prajurit yang terluka, perhatian semua orang tertuju hanya pada prajurit-prajurit yang terluka itu. Kesempatan ini digunakan oleh Putri untuk melarikan diri. Dia berhasil mencuri seekor kuda yang lengkap dengan peralatan tempur.

Dia maju terus hingga ke pinggir kota Medang. Bau asap dan bangkai tercium olehnya; memang betul banyak bangkai kuda dan mayat manusia tersebar disekitarnya. Burung si ruak-ruak bangkai berebut daging kuda dan mayat manusia. Juga anjing-anjing ikut memperebutkan daging; mereka berpesta diatas penderitaan Anak Negeri Medang. Rumah-rumah penduduk habis terbakar; asap membumbung tinggi membuat mata Putri pedih. Alangkah kejamnya tentara Wulansari; tidak hanya mayat tentara Medang yang ditemukan oleh Putri, tetapi juga ada mayat anak-anak, perempuan dan orang tua. Apa maksud mu untuk membunuh manusia yang tidak berdosa.

Dia maju terus hingga mencapai Istana yang tengah terbakar. Dia merasa sedih, pilu, sakit hati dan kecewa bercampur aduk di benaknya. Peperangan ini adalah perang brutal, tanpa aturan. Bagaimana Istana nya yang dibanggakan sekarang sudah hangus terbakar.

Dia menjerit kaget sewaktu melihat ibunya yang sudah menjadi mayat. Tidak jauh dari situ, terlihat juga mayat ibunda Akuwu Wengker. Betapa sedihnya Putri melihat semua itu.

Tidak ada seorangpun berada disitu yang mau membantu Putri untuk membuatkan lubang pengubur kedua mayat. Maka Putri terpaksa bekerja sendiri menguburkannya.

“Oh Dewa, apakah betul semua ini perbuatan Sora Mahisa? Apakah betul dia seorang serdadu Wulansari? Aku sesungguhnya tidak percaya keterangan Jaran Edan. Dia hanyalah seorang pemuda desa Kedungsongo yang mencintai diriku.
Oh Dewa, aku lebih suka dia sebagai pemuda desa daripada seorang prajurit Wulansari.” Pikir Putri Sekar.

Putri Sekarpandanwangi pulang kembali menuju Jati Wengker. Dia akan berjuang melawan musuh bersama adik tiri-nya. Satu-satunya daerah yang belum jatuh ketangan musuh adalah Jati Wengker.

Sekarang dia berada didaerah musuh dan dapat ditangkap musuh dengan mudah. Dia mengeluarkan saputangannya untuk menutupi wajah. Dia tidak mau berjalan di jalan raya, tetapi masuk hutan di jalan setapak.

Badannya sekarang menjadi lelah; dia perlu beristirahat. Untunglah ditengah hutan ada sebuah Candi Hindu tua yang sudah tidak dipakai lagi. Diduga Candi ini ditinggalkan karena ada peperangan; sama dengan perang yang sekarang terjadi.

Dia melihat patung Dewa Siwa didalam Candi itu.
Dia bersimpuh dimuka patung itu dan menyembah.

“Oh Dewa aku tidak sengaja datang ketempatmu, seolah engkau telah memanggilku ketempatmu ini. Aku mengakui bahwa aku telah melalaikan dirimu selama ini. Itulah sebabnya Engkau marah kepadaku dan kepada seluruh rakyat Medang. Oh Dewa ampuni aku dan seluruh Anak Negeri; tarik lah kembali hukuman Mu kepada ku dan rakyat ku.”
Dia menoreh tembok Candi dengan pedangnya sebagai tulisan,

Wahai Raja tamak
Engkau datang menganiaya
Merusak, bakar dan hancurkan.
Untuk apa?
Sudah puaskah dirimu?
Alam Jagad Raya mengutuk mu

Tak berharga arti nyawa
Walau itu Raja
Kau bunuh semua
Untuk Apa?
Ku harap itu cukup sudah
Alam Jagad Raya mengutuk mu

Oh Dewa sudahi hukuman ini
Cukupkan sudah amarah-Mu
Kami kan berdatang sembah kepada Mu
Ampuni Anak Negeri ini
Ampuni juga pemimpin dan Raja nya
Sejahterakan mereka; jauhi malapetaka.

Putri Sekarpandanwangi tertidur disamping patung Siwa.
Dia tertidur lelap.
Keadaannya mudah untuk dibunuh oleh musuh; jika begitu maka keadaannya akan sama seperti ayahnya yang mati sewaktu tidur.

Tak lama kemudian, seseorang memasuki gedung Candi. Dia adalah seorang prajurit Wulansari bersenjata lengkap.

Dia melihat Putri yang sedang tidur; akan tetapi dia tidak hendak membunuh musuhnya. Dia bahkan ikut beristirahat disamping Putri.

Sewaktu Putri terbangun dari tidurnya, alangkah terkejutnya dia.
Putri meraih pedangnya dan bersiap melawan.

“Jangan melawanku wahai Putri Sekarpandanwangi; engkau sedang ditunggu oleh Pangeran Sora Mahisa di tepi hutan ini. Aku ditugaskan oleh beliau untuk menjemputmu.”

Putri tetap melawan; menusukan pedangnya kearah perut musuh.
Prajurit mengelak dan mundur dan akhirnya dia lari dari Candi dan memacu kudanya.

Secepatnya Putri juga menaiki kudanya. Agar kudanya dapat berlari lebih cepat maka dia memakai jalan raya.

Ternyata jalan raya sudah di tutup oleh dua puluh serdadu Wulansari; mereka menjaga dan menangkap setiap pengguna jalan.

Putri Sekar memutar kudanya, kembali ke arah Ibukota Medang.
Beberapa langkah saat dia maju, dia merasakan leher belakannya tertusuk sesuatu. Secara otomatis dia meraih ketempat yang sakit; ternyata sebilah anak panah kecil tertancap dilehernya. Dia mengenal itu adalah anak panah sumpit Dayak.

Sekarang dia merasakan lemah pada tangan dan tungkainya. Kemudian dia merasakan lemah di sekujur tubuhnya dan akhirnya lunglai diatas kudanya.

Beberapa prajurit Wulansari keluar dari semak-semak, menghampiri dan membawa Putri ke pos jaga nomer duapuluh enam. Putri diturunkan dari kudanya dan dibaringkan ditanah.

Nampaknya mereka tidak mengenal Putri sebagai anak Raja; Putri dibiarkan saja menunggu kematian-nya.

Sumpit Dayak mengandung racun yang akan melumpuhkan syaraf. Kematian akan datang bila sudah mengenai syaraf otot-otot pernafasan, sehingga korban tidak dapat lagi bernafas.

Bahkan mereka duduk santai sambil minum-minum tuak. Mereka bercerita tentang pertempuran melawan Akuwu Wengker.
Mereka memakai dialek orang utara, akan tetapi masih dapat dimengerti oleh Putri Sekar

“Boyo Pitu sebetulnya dapat memenangkan pertempuran dengan mudah jika tidak ada yang membocorkan strateginya yaitu menggunakan Lembah Ular.”

“Kau betul, dalam waktu satu hari dia sudah akan sampai dimuka Istana Wengker, langsung meringkus Akuwu dan pasukannya.”

“Sayang dia kalah kali ini, serdadunya banyak yang mati di lembah sempit itu. Kebanyakan tertimpa batu-batu gunung yang digulirkan dari atas oleh pasukan Akuwu.”

“Kebo Anabrang mati karena kehabisan nafas, setelah menghirup asap belerang. Begitu juga pasukannya. Mereka terlalu bernafsu untuk menjarah Istana Wengker yang mewah.”

“Sudah. Sudah jangan bercakap hal yang telah berlalu. Kalian ini berpikir mundur, mengenang kekalahan kita. Mari kita kembali ke markas dan menghimpun kekuatan guna menuntut balas.”

Putri Sekar dapat mendengarkan percakapan mereka walaupun badannya terasa lemah. Dia bersyukur bahwa Akuwu Wengker dapat memenangkan pertempuran. Adik tirinya yang tadinya disangka penghianat, pembunuh Raja, ternyata adalah pahlawan yang dapat dibanggakan.

Mereka datang memeriksa keadaan Putri sepintas, mengambil kudanya dan mengambil semua senjata-senjatanya. Mereka pergi meninggalkan Putri sendirian di pos nomer dua puluh enam.
Mereka yakin serdadu wanita Medang itu akan menemui ajalnya dalam waktu dekat.


Bab 3

Akuwu Wengker tidak mau melanjutkan pertempuran. Dia betul, karena dengan kekuatan prajurit yang hanya tiga ratus personil, dia tidak akan mampu menghadapi musuh yang jauh lebih kuat.

Jadi Akuwu dan pasukannya bersembunyi didalam hutan, menunggu kesempatan musuh yang sedang lengah, menyerang dan bersembunyi kembali.

Ki Manjangan ditugaskan sebagai mata-mata. Tugasnya mengamati akan pergerakan tentara musuh; dan juga sebagai pembawa berita. Ki Manjangan tau sedetailnya peta hutan, sehingga dia terpilih sebagai pembawa berita.

Sementara itu Markas Besar tentara Wulansari terletak di Kedungsongo, tempat Sora Mahisa dulu pernah menetap selama berada di Kerajaan Medang. Komandan militer Wulansari dipegang oleh Pangeran Sora Mahisa, yang sebenarnya adalah kekasih Putri Sekarpandanwangi.

Dia adalah Pangeran dari Kerajaan Wulansari, anak dari Raja Girindrawardana. Alangkah indahnya strategi yang dipakai oleh Sora Mahisa yang berpura-pura jatuh cinta pada Putri, pada hal maksud utamanya adalah membunuh ayah kekasihnya; indah tetapi busuk.

Ki Marachandra ikut membantu mendirikan kemah-kemah musuh; jadi anak Negeri tau bahwa dia adalah penghianat bangsa.

Pangeran Sora Mahisa mendapat kesulitan dalam pertempuran menghadapi musuh yang tersembunyi dan tidak pernah tampil berhadap-hadapan.
Pengiriman bahan makanan mereka selalu dirampok oleh Akuwu.

Sementara itu, Ki Manjangan dan kawan-kawannya sedang dalam perjalanan dihutan guna mengamati pergerakan tentara musuh. Secara kebetulan dia melewati pos nomer dua puluh enam yang sudah ditinggalkan.

“Hai lihat itu junjungan kita, Putri Sekarpandanwangi.”

“Putri, apakah engkau baik-baik?”

Putri tidak sanggup bercakap-cakap disebabkan pernafasanya sudah mulai terganggu. Dia hanya memperlihatkan anak panah Sumpit Dayak kepada Ki Manjangan.

“Oh ini adalah senjata kawan kita dari Dayak Kalimantan; kebetulan aku mempunyai obat penawarnya dari temanku orang Kalimantan. Jangan takut Tuan Putri; aku akan membuatkan obat penawarnya.”

Secepatnya Ki Manjangan membuat segelas obat penawar. Dan langsung diminumkan kepada Putri Sekar. Obat sudah diminum semua. Semua orang menunggu dengan cemas akan hasil kerja obat.

Tak lama kemudian Putri sudah dapat bernafas lebih bebas, tampak mukanya sudah kelihatan merah, cerah.
Tetapi dia belum sanggup menggerakan tangan dan kakinya.

“Kenapa Tuan Putri ada disini?”

“Aku melihat Istana ku yang dibakar oleh Wulansari.” Kata Putri dengan kata tersendat-sendat.

“Aku harus membawamu secepatnya ke markas kita ditengah hutan. Aku menduga sebentar lagi musuh akan menemuimu dan membawamu ke pada Pangeran Sora Mahisa; karena dia adalah kekasihmu.”

“Dia seorang Pangeran? Aku lebih suka dia seorang pemuda dusun dari Kedungsongo, anak Ki Marachandra.”

“Bahkan dia adalah komandan tertinggi pasukan musuh.”

“Sekarang dia bukan lagi kekasihku, tetapi musuh ku. Aku benci dia

Ki Manjangan, aku merasa lebih kuat. Aku akan coba berdiri.”

Putri mengepalkan tinjunya dan menggerakan kakinya, kemudian mencoba untuk berdiri. Dia berhasil walau dengan susah payah dan limbung, hampir jatuh.

“Hayo Ki Manjangan, kita berangkat sekarang! Akupun takut akan dijemput oleh Sora.

Ki Manjangan. adalah sesuatu yang aneh bahwa kekasihku tiba-tiba menjadi musuhku; bagaimana menurut pendapatmu?”

“Memang aneh sekali, tetapi aku tidak tau sebabnya!”

Putri di baringkan diatas punggung kuda. Mereka berangkat segera dengan perasaan takut akan berjumpa dengan musuh.

Markas tersembunyi Akuwu Wengker jauh ditengah hutan. Diperlukan waktu dua sampai tiga hari untuk sampai di tempat itu. Mereka harus melalui sarang buaya, ular pyton dan masih banyak lagi rintangan.

Putri menjadi lebih baik; sekarang dia dapat duduk diatas punggung kuda. Semua orang ikut berbahagia, junjungannya dapat selamat.

“Katakan kepada Akuwu bahwa aku akan menjadi prajuritnya, guna memperkuat pasukannya.”

“Wow! Tuan Putri adalah pimpinan kami; Akuwu Wengker adalah pejuang. Janganlah merendahkan diri Tuan Putri.”

Pada akhirnya mereka sampai di markas. Ki Manjangan mengeluarkan suling dan memainkan lagu yang mendayu-dayu terkesan sangat sedih. Tak lama kemudian pintu gerbang dibuka. Rupanya bunyi suling itu ialah kode sandi untuk membuka pintu gerbang.

Akuwu Wengker menyambut kedatangan Ki Manjangan untuk mendapatkan berita medan tempur. Tidak disangka Ki Manjangan juga membawa tamu istimewa.

Kedua kakak beradik itu saling peluk dan berderai air mata mereka. Nampaknya sudah tidak ada rasa dendam dikarenakan kesalah pahaman diantara mereka didalam perang saudara.

“Selamat datang kakak ku tercinta, engkau tetap cantik dan cemerlang walau dalam masa perang seperti ini.”

“Terimakasih, adikku. Engkau juga seorang pahlawan yang hebat. Dapat memenangkan pertempuran.”

“Hai dari mana engkau mendapat berita?”

“Aku ditangkap oleh musuh dan musuh itu bercerita akan halnya kekalahan mereka. Aku mendengarkan dan berpura-pura pingsan.”

“Mari masuk kedalam. Engkau perlu makan dan istirahat.”

Putri Sekar makan nasi dengan dendeng rusa dengan lahap, kemudian tidur di tenda. Kelihatannnya dia sudah sembuh dari pengaruh racun sumpit Dayak.

Pada suatu kesempatan, Ki Manjangan membawa berita yang penting, “Tuan, anak Negeri berkumpul, membentuk barisan dan pergi; dengan tujuan pulau Bali. Mereka menjadi pengungsi dibawah pimpinan Brahma Narendra Gupta; seorang petapa yang kharismatik. Barisan semakin panjang dikarenakan bertambah jumlah orang-orang yang ikut serta dari dusun dan kota yang terbakar. Mereka kebanyakan adalah orang tua, wanita dan anak-anak.

Salah satu alasan mereka adalah persediaan makanan mereka sudah habis, jadi bahaya kelaparan mengancam mereka.”

“Ini berita penting yang harus kita bicarakan dan pelajari bersama; perintahkan kepada seluruh kawan-kawan kita untuk berkumpul. Jangan lupa untuk mengundang Putri Sekar, dia harus berpidato untuk membangkitkan semangat juang.”

Pada senja hari, hutan semakin gelap, burung kelelawar mulai keluar dan bunyi binatang hutan terdengar memanggil anaknya; pasukan Akuwu Wengker datang berkumpul di lapangan rumput dibawah pohon beringin. Mereka membakar kayu untuk membuat api unggun.

Tak lama kemudian, Akuwu Wengker datang ikut berkumpul diantara mereka. Dia memulai pidatonya, “Saudara, saudara; aku tau bahwa kalian sudah mulai bosan hidup didalam hutan gelap ini. Jadi kita akan keluar dari hutan ini.”

“Kita akan bertempur kembali Akuwu?” Tanya Jaran Edan.

“Ya jika perlu; tetapi sebaiknya kita hindari pertempuran berhadap-hadapan. Ada berita yang harus saudara ketahui bahwa sekarang ini rakyat Medang sedang berkumpul dan berbaris menuju pulau Bali sebagai pengungsi; dibawah pimpinan Brahma Narendra Gupta. Mereka adalah bagian dari kita juga, jadi sebaiknya kita mengawal mereka dari serbuan pasukan Wulansari. Jika mereka menyerang barisan pengungsi, maka terpaksa kita harus menghadapi mereka.

Setiap peperangan selalu akan membawa petaka; salah satunya adalah bahaya kelaparan. Anak Negeri sudah kehabisan bahan makanan dan itulah salah satu alasan mereka menjadi pengingsi.

Jadi, tugas kita adalah mengawal mereka. Sembunyikan senjayta mu dibalik bajumu dan berbaur sebagai pengungsi. Jangan memakai seragam militer.

Pada kesempatan ini, Putri Sekarpandanwangi telah berada ditengah-tengah kita guna memberi semangat bertempur melawan musuh. Putri silahkan untuk berpidato.”

Putri bangkit dari duduknya dan menuju podium, “Saudara-saudara seperjuangan; Kerajaan sangat menghargai perjuangan saudara. Aku sengaja datang ketempat ini untuk memperkuat semangat juang saudara-saudara.

Apakah engkau mau menjadi budak seorang Raja yang tamak?
Aku tau jawabanya pasti tidak. Bila kita menyerah kalah, maka kita akan menjadi budak mereka. Lihatlah reaksi rakyat kita, mereka dengan penuh semangat pergi meninggalkan Negerinya bukan hanya karena ada bahaya kelaparan, akan tetapi karena harga dirinya harus dipertahankan; mereka tidak mau menjadi budak seorang Raja yang tamak.

BETUL PUTRI! HIDUP PUTRI SEKAR! HIDUP PUTRI SEKAR! Semua prajurit Wengker berteriak gegap gempita, membuat binatang hutan lari menjauhi.

Putri menyambung pidatonya, “Aku heran apa maunya si Raja tamak itu. Dia membakar, merusak dan membunuh manusia tak berdosa seolah-olah membunuh semut. Semua dibunuh, termasuk adalah Raja kita yang dibunuh sewaktu beliau sedang tidur.
Dia akan mendapatkan sebuah Negeri yang kosong tidak berpenghuni dikarenakan semua anak Negeri ini sudah akan pergi ke pulau Bali sebagai pengungsi. Dengan demikian, tak seorang pun akan membayar pajak; dan tak seorangpun yang dapat diperas seperti budak.

Maka aku berkesimpulan bahwa perang yang dilancarkan oleh Raja tamak itu, adalah perang yang tidak ada gunanya, tidak ada untungnya.

Aku juga heran dan tidak habis pikir, mengapa Sora Mahisa, kekasihku sendiri mau membunuh ayahku.”

Putri menangis sedih ditengah-tengah pidatonya. Akuwu Wengker menghampirinya, menggandengnya dan turun dari podium.

Lima hari kemudian, semua laskar Wengker keluar dari hutan guna bergabung dengan para pengungsi dengan tugas pengawalan.

(Bersambung)

No comments: