Wednesday, September 24, 2008

Cinta Terlarang (Bagian 5)

Pemberontakan

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi



Bab 1

Perjalanan Prabu dan kawan-kawannya tidak menghadapi masalah. Akhirnya mereka sampai di Istana Trowulan, Singosari. Keadaan Istana tenang saja, tidak ada permasalahan selama Prabu meninggalkan Istana. Prajurit jaga Istana bahkan sedang tidur di gardu jaganya. “Hai bangun, bangun; jangan tidur selagi kamu dalam tugas.” Kata Prabu.

Prajurit jaga siap. Dia mengenal Raja yang membangunkan, “Siap Baginda; mengapa Baginda datang tanpa pemberitahuan dan hanya dikawal oleh sedikit Prajurit. Ini suatu hal yang tidak seperti biasanya. Mengapa?”

“Panjang ceritanya, nanti akan aku ceritakan. Sekarang engkau kumpulkan semua prajurit Majapahit dan semua Penyewu dan Penyatus agar berkumpul di Balairung Istana. Ada pengumuman sangat penting yang harus aku sampaikan segera.

Prabu dan kawan-kawan nya memasuki Istana. Dia duduk di Singgasananya. Semua staf Istana terkejut melihat junjungannya tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Mereka saling bertanya, mengapa?.

Ibunda Raja, Tribuanatunggadewi datang menemui Putranya. Prabu sembah sujud kepada beliau, “Ibu ada khabar menggembirakan ibu, aku sudah menikah dengan Putri Dyah Pitaloka, sesuai dengan keinginan Ibu; tetapi aku memang mencintai dia. Dia seorang Putri yang cantik.

“Mana orangnya, aku ingin menemui dia.”

“Ibu demi keselamatannya, terpaksa aku tinggalkan dia di Pakuan.

Ibu tercinta, aku harus menyampaikan berita yang kedua yang kurang enak didengar, telah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Patih Gajah Mada. Alasan-nya dia melakukan pemberontakan ialah karena aku kawin dengan Putri itu. Justru karena aku kawin dengannya, maka nampaknya Gajah tidak menyetujui bahkan beliau sangat marah dengan aku; maka dia mencoba membunuhku, tetapi gagal.
Ibu, terpaksa kita harus menghadapi perang saudara. Oleh sebab itu aku minta ibu untuk meninggalkan Istana ini selama ada peperangan melawan para pemberontak.”

“Hanya dikarenakan engkau kawin dengan Putri Dyah Pitaloka, maka telah terjadi pemberontakan yang berujung akan pecahnya perang saudara? Sungguh sukar dimengerti. Kalau begitu, perkawinanmu adalah perkawinan yang mahal harganya. Ibumu pasti akan membela engkau; terlebih karena perkawinan itu adalah buah pikirku sendiri.”

Prabu sekarang agak santai, dia minum air dingin untuk memuaskan hausnya; dan dia menunggu untuk segera mengumumkan keadaan situasi gawat di Negerinya.

Para perwira militer dan prajurit sudah turun ke Balairung dan juga pegawai sipil Istana ikut berkumpul.
“Siapa penguasa militer di Ibu Kota?”

“Aku Baginda, namaku Joko Singo.”

“Bagus Joko, aku harap engkau dapat mengerti kesulitan-kesulitan ku yang sedang ku hadapi sekarang ini.”

“Aku siap membantu Baginda.”

“Saudara-saudara sekalian. Sengaja aku memanggil saudara untuk mendengarkan berita yang kurang enak didengar. Bahwa telah terjadi makar, percobaan pembunuhan terhadap diriku; sewaktu aku dan keluargaku dalam perjalanan ke sini. Akan tetapi Para Dewa masih melindungi diriku hingga aku dapat selamat sampai disini.

Siapakah dalang pembunuhan itu, maka dengan sangat menyesal aku harus mengatakan bahwa dia adalah Patih Gajah Mada sendiri. Aku dapat mengerti betapa engkau terkejut dan seolah-olah tidak percaya; dikarenakan pribadi Gajah Mada seharusnya tidak akan mungkin berbuat seperti itu. Kita semua tau bahwa dia adalah pahlawan kita yang akan membela Kerajaan Majapahit.
Tentunya saudara bertanya alasannya, mengapa?
Dikarenakan aku sudah menikahi seorang Putri dari Kerajaan Pajajaran yang bernama Putri Dyah Pitaloka.

Aku ingin mendengar pendapat kalian, apakah aku boleh menikah? Apakah aku boleh memilih jodohku sendiri?”

“Tentu Baginda boleh menikah dan dapat memilih jodoh yang dicintai.”

“Terimakasih; tetapi ternyata tidak bagi Patih. Dia tidak setuju perkawinan-ku dengan Putri Dyah Pitaloka.”

“Selamat berbahagia Baginda, semoga Para Dewa tetap melindungi Baginda dan keluarga. Kiranya hamba boleh melihat Permaisuri?” Kata Joko.

“Sayang, istiku terpaksa kutinggal di Pakuan, karena aku diberitahu oleh agen rahasiaku, ada komplotan yang akan membunuh aku dan istriku. Salah seorang dari komplotan itu berhasil ditangkap dan sudah mengaku bahwa dia adalah agen rahasia Patih Gajah Mada yang bertugas membunuh aku dan keluargaku.”

“Baginda, kami disini tidak dapat menerima keadaan yang sangat menyedihkan ini. Jika sekiranya dapat dicari jalan keluarnya. Alangkah indahnya ke-bijakan Baginda bila dapat berinisiatif untuk dapat rukun kembali dengan Patih.”

“Apakah aku harus memaafkan orang yang jelas-jelas berkeinginan agar aku mati dengan cara dibunuh. Coba engkau pikirkan sekali lagi; bagaimana dirimu sekiranya engkau menjadi aku.”

“Bukankah perkaranya hanya masalah jodoh; itu adalah masalah kecil. Jadi kita dapat duduk bersama dan merundingkan kembali.”

“Aku juga mempunyai pikiran yang sama dengan engkau Joko. Akan tetapi buah pikir Patih berbeda, dia langsung bertindak dengan mengirim agen-agen rahasianya untuk membunuhku. Aku sangat berterimakasih kepada Banyu Urip yang telah membongkar komplotan pembunuh itu.”

“Kita harus bagaimana Baginda? Apakah perseteruan ini akan berlanjut sehingga akan menimbulkan masalah besar?”

“Betul katamu, kita akan menghadapi Patih Gajah dengan pasukannya yang akan datang dari luar Negeri. Tentu dia akan langsung menyerang kita. Oleh sebab itu engkau semua kukumpulkan diruang ini untuk menyatukan dan merapatkan barisan dalam menghadapi serangan dari pasukan Patih.”

“Jadi kita akan menghadapi perang saudara?”

“Benar katamu Joko. Dia tidak dapat berpura-pura tidak tau akan halnya percobaan pembunuhan terhadapku yang sudah terbongkar; sudah pasti dia tau dan sudah pasti dia juga bersiap-siap untuk berperang, karena sudah kepalang basah.”

“Oh Dewa, begitukah yang engkau kehendaki. Perang saudara adalah hal yang menyakitkan. Oh Dewa hentikanlah sebelum terjadi karena aku tidak bisa membunuh teman dan kerabat ku sendiri.” Joko Singo mengeluh.

“Kita hanya mempunyai waktu singkat beberapa hari lagi sebelum kapal-kapal armada mereka berdatangan di pelabuhan Tuban. Maka aku perintahkan kepadamu Joko Singo untuk menjadi komandan tempur pasukan yang kuberi nama PASUKAN RAJA.
Nah tugasmu mulai hari ini adalah membentuk segera Pasukan Raja. Markasnya adalah di Istana Trowulan ini. Anggotanya adalah para prajurit yang berada disini. Bela lah Rajamu, karena aku yakin bahwa aku yang benar dan Patih bersalah.”

“Baik Baginda, perintah Baginda akan kami laksanakan.”

“Berapa banyak prajuritmu Joko?”

“Dua ribu personil Baginda.”

“Cukup baik, nah laksanakan!”




Bab 2

Patih Gajah Mada sudah berhasil menaklukan Negeri-Negeri di Sumatra. Ekspedisi yang sukses membawa kepercayaan pasukannya terhadap kepemimpinannya. Gajah akan bertambah kekuasaannya dikarenakan Prabu Hayam Wuruk sebagai Raja akan digantikan olehnya, jika misi pembunuhan Prabu Hayam Wuruk dapat sukses terlaksana. Dia hanya tinggal mewartakan kepada rakyat Majapahit bahwa Prabu telah tewas pada peristiwa perampokan ditengah hutan.

Sekretaris datang melapor, “Patih, ada surat dari agen rahasia.”

Patih membaca surat itu dan kemudian tangannya gemetar, mukanya pucat, peluhmya meluncur deras.

Bunyi surat itu adalah,

Kami tidak berhasil membunuh Merak jantan dikarenakan Merak jantan mendapat pengawalan secara rahasia dari dalam hutan yang kita tidak mengetahui sebelumnya. Merak betina ternyata tidak turut serta. Kami mendapat perlawanan balik dari mereka dan bahkan kami semua tewas, termasuk Singo Lodra, Jaran Kuru, Jalak Ireng dan duapuluh tujuh kawan-kawan lainnya. Hanya aku yang selamat dengan cara berpura-pura mati.
Misi rahasia kita sudah terbongkar; sekarang Merak jantan sudah mengetahui aksi pembunuhan yang gagal ini didalangi oleh engkau, Patih. Hal ini akan menuju perang saudara. Aku yakin perang ini tidak akan dapat dihindari lagi.
Tertanda Tunggul, agen rahasia.

Patih kecewa berat dan bahkan menyesal akan tindakannya yang dinilai olehnya sendiri kurang perhitungan. Dia duduk termenung diatas kapalnya yang akan berlabuh di Tuban. Pada akhirnya dia memerintahkan untuk mengadakan rapat darurat tertutup, para agen rahasianya.

“Saudara-saudara, kita telah menerima surat pemberitahuan dari salah seorang agen kita bahwa pembunuhan Merak jantan menemui kegagalan. Masalah yang sekarang kita hadapi adalah, Merak jantan sudah tau bahwa komplotan pembunuh itu adalah agen rahasia kita.
Jadi, kita harus bersiap-siap menghadapi perang saudara. Kita kan dapati rumah kita di Singosari ditutup dan kita akan dihadapkan pada tombak dan panah.
Apakah ada komentar dari saudara-saudara?” Patih Gajah memulai rapatnya.

“Kita seharusnya menyetujui saja kehendak Merak Jantan, toh dia memang junjungan kita juga. Jika kita tidak dapat menguasai Pajajaran, tidak mengapa, karena kita masih sukses ditempat lain.” Seorang anggota rapat mengemukakan pendapatnya.

“Jadi apa saranmu wahai Kebo Meneng?” Tanya Gajah.

“Aku tidak mempunyai saran; aku hanya menyesalkan rencana kita yang keterlaluan.”

“Bila kita menyetujui perkawinan itu dan kemudian menyatukan dua Kerajaan didalam kekuasaan satu Raja, Prabu Hayam Wuruk, maka dimasa depan, kita tidak akan mendapatkan lagi “warna” Majapahit di Kerajaan ini.
Aku maksudkan begini, Putra Mahkota yang akan lahir adalah cucu dari Raja Maharaja Lingga Buana. Kemungkinan sekali dia, putra Mahkota akan mengganti bendera Nasional kita; kemungkinan juga dia akan memindahkan pusat pemerintahan ke kota Pakuan dan dia akan mengganti Kerajaan kita menjadi Kerajaan Pajajaran.
Dan terakhir, dia akan menghentikan perjuangan kita menuju cita-cita persatuan seluruh Nusantara; dan kemudian pupus lah sudah Sumpah Palapa-ku.

Oleh sebab itu, tidak seorangpun di Majapahit ini yang akan dapat menghalangi perjuangan kita menuju persatuan Nusantara, sekalipun dia seorang Raja.
Bila orang itu memaksakan kehendaknya, maka terpaksa harus kita hadapi dan kita tumpas.”

Semua orang diruang rapat itu gemetar mendengar Patih mengancam.

“Apa yang dapat kita lakukan Patih?”

“Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Ibarat benang yang kusut; orang yang bertugas mengurai kan benang itu menjadi tidak sabar dan kemudian dia menarik kedua ujungnya; maka jadilah benang itu semakin kusut dan tidak dapat diurai lagi. Maka tindakan kita adalah memotong dan membuang bagian yang kusut itu dan menyambung kembali bagian yang diopotong.”

“Jadi, apakah kita akan bertempur didalam perang saudara.?

“Benar katamu, apa boleh buat, kita akan berperang dengan kawan-kawan sendiri, yaitu mereka yang memihak Merak jantan”.

Ruang rapat menjadi hening sesaat, semua orang memikirkan hal yang akan menyakitkan hati. Betapa hal mengerikan itu akan membuat luka dihati, karena harus membunuh teman sendiri dan bahkan famili nya sendiri.

Pada akhirnya Patih meminta penasihat militernya berbicara, “Jaran Weling, coba engkau uraikan, bagaimana jadinya jalan pertempuran kita nanti. Kita akan melawan Prabu Hayam Wuruk yang sedang bertahan di Istana Trowulan didalam perang saudara.”

Jaran Weling adalah salah satu serdadu Mongol Raja Khu Blai Khan yang tertinggal di Jawa; kemudian dia diterima sebagai penasehat didalam jajaran militer Majapahit.

“Aku tidak mempunyai pengalaman dalam perang saudara; dapat kusarankan agar jangan gampang-gampang membunuh, tetapi kalau bisa diancam saja.
Istana Trowulan akan kita kepung dari semua penjuru, jangan biarkan ada pintu-pintu yang terbuka dan tidak kita ketahui. Semua pintu-pintu itu akan kita jaga oleh pasukan berpanah; setiap musuh yang coba melarikan diri dapat dibunuh dengan panah. Setelah satu atau dua hari dalam pengepungan, kita harapkan mereka keluar dengan bendera putih ditangan, terjadilah perdamaian; itulah yang kita harapkan benar. Apabila mereka tidak mau keluar, dikarenakan bahan makanan mereka cukup, maka kita hujani Istana dengan bola-bola api memakai katapult, kemudian kita harapkan mereka menyerah.
Kemungkinan yang paling jelek adalah mereka keluar serentak dan terjadi lah pertempuran terbuka; akan tetapi kita tidak mengharapkan akan banyak korban yang jatuh.
Demikian kira-kira jalan pertempuran.”

“Apakah ada yang ingin memberikan komentar.”

Semua orang diam, tidak ada yang memberikan komentar.

“Strategi Jaran Weling dapat kita terima; aku mengira itu adalah terbaik.”

“Patih, sebelum kita memikirkan akan perang saudara; apakah sebaiknya kita lebih dahulu memikirkan perdamaian dengan Merak jantan. Yang kumaksud adalah sebaiknya engkau membuat surat yang ditujukan kepada Merak Jantan yang isinya seruan untuk damai. Isinya terserah Patih; aku sarankan, Patih dapat melaporkan akan kesuksesan misi militer kita di luar Negeri.”

“Akan kulaksanakan saran engkau.”



Bab 3

Sementara itu di Istana Pakuan, Ujang Lumut telah datang dan melaporkan peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Raja Majapahit di hutan, kepada Maharaja Lingga Buana. Semua sudah diceritakan, tidak ada yang tertinggal.

Putri Dyah Pitaloka masih berada dikamar Kaputren bersama Galuh Lembayung. Seseorang memberitahukan akan kedatangan Ujang Lumut kepada Putri Dyah.

Kedua gadis itu pergi menemui Maharaja yang sedang menerima laporan. Keduanya terpaksa berlari-lari kecil karena tidak mau tertinggal akan berita penting tentang kekasihnya.

Kedua dara itu kelihatannya serba sama, sama tinggi dan sama penampilan. Mereka seperti kakak ber adik atau bahkan kembar.

Keduanya datang tetapi Ujang Lumut sudah selesai dengan laporannya. Maka terpaksa Ujang Lumut mengulang lagi laporannya; utamanya akan hal Prabu Hayam Wuruk yang selamat, tidak mendapat cidera.

“Sekarang, Prabu pergi kemana? Mengapa dia tidak pulang saja ke Pakuan?”
Tanya Maharaja.

“Prabu Hayam Wuruk mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan Kerajaannya, oleh sebab itu dia pergi meneruskan perjalanannya. Disana dia akan berperang melawan pemberontak yang dipimpin oleh Patihnya sendiri.”

“Ayah, aku harus pergi ke Singosari dan ikut berperang melawan Patih, bersama suamiku.” Kata Putri Dyah.

“Dyah, engkau adalah wanita yang lemah, sebaiknya engkau tinggal di Pakuan saja; tanah Parahyangan yang damai.”

“Apa? Tanah Parahyangan yang damai? Baru saja Singo Lodra dan seribu prajurit Majapahit angkat kaki. Itukah damai? Tidak ayah, Pajajaran masih terancam oleh Majapahit. Ini adalah perdamaian semu. Aku yakin Patih sendiri yang akan memimpin prajuritnya, kembali kesini dan menggilas Pajajaran, hingga kita bertekuk lutut.”

“Jadi, apa mau-mu?”

“Ayah, kirim angkatan perang kita dengan kekuatan maksimal ke Singosari, sebelum mereka datang ke Pakuan. Kita akan berperang di Negerinya, jangan disini.
Jangan basahi Pakuan dengan darah orang-orang Majapahit. Aku jijik!”
Putri berkata ber api-api.

Maharaja Lingga Buana terdiam; beliau berpikir keras bagaimana mengatasi keadaan politik yang runyam seperti ini. Mengapa Patih Gajah bersikeras akan menundukan Pajajaran.

Pada akhirnya Maharaja berkata, “Baiklah aku akan rundingkan pada para tetua masyarakat, para Menteriku dan seluruh jajaran militerku, besok pagi. Jika benar dugaanmu seperti itu, memang ini adalah keadaan darurat yang kedua.”

Putri kembali lagi ke kamar kaputren. Disitu dia termenung, “Apakah aku terlampau kasar dengan kata-kataku yang sudah kuucapkan dimuka ayahku tercinta. Oh Dewa, seolah tadi bukan aku yang berbicara, tetapi engkau wahai Dewa. Aku tau engkau selalu menagih janji akan halnya memecat Patih Gajah. Aku sekarang kembali menjadi wanita lemah yang tidak mempunyai daya untuk bunuh membunuh dalam peperangan. Oh Dewa lindungi aku detik demi detik didalam waktu pertempuran yang akan datang.”

Galuh Lembayung datang tanpa mengetuk pintu lebih dahulu, “Hai, tadi aku dengar engkau berbicara sendiri; dengan siapa engkau berbicara?”

“Aku berbicara dengan Dewa, aku mohon perlindungan selama pertempuran nanti di Singosari; dan aku yakin Para Dewa mendengarkan permohonanku.

Galuh, ada permintanku kepadamu, bolehkah?”

“Aku adalah ajudanmu, Putri, jadi sudah pasti permintaanmu akan ku laksanakan.”

“Baiklah! Engkau akan memakai pakaian kebesaran seorang Putri Kerajaan sewaktu kita akan berada di medan tempur. Engkau akan berpura-pura menjadi aku.”

“Dengan segala senang hati aku akan laksanakan.”

Satu minggu kemudian, Ujang Lumut datang ke Kaputren untuk memberitahukan hasil rapat Negara kepada Putri. Katanya, “Wahai Putri, kita jadi mengirimkan angkatan perang Pajajaran ke Singosari. Pada akhirnya semua pihak sependapat, jangan basahi bumi Pasundan Parahyangan dengan darah orang-orang Majapahit.”

“Oh itu kan kata-kata ku yang kuucapkan kepada ayahku.”

“Kalimat itu dipinjam oleh ayahmu dan diucapkan kembali didalam rapat. Jadi atas nama ayahmu aku mengucapkan terimakasih.”

“Tetapi ayahku kan tidak menambahkan dengan kata-kata, aku jijik.”

“Tentu tidak, itu kata-kata yang kekanak-kanakan darimu Putri. Akan tetapi kembali ayahmu mengutip peringatanmu bahwa perdamaian yang sekarang ini adalah perdamaian semu, Patih Gajah sendiri diperkirakan akan memimpin banyak prajuritnya datang kembali ke Pakuan, guna melaksanakan penyerangan.
Alasan itu dapat diterima oleh forum, sehingga semua sependapat, sebelum mereka menyerang kita sebaiknya kita dulu yang datang menyerang mereka disana.”

“Aku senang Ujang. Mari kita berlatih baris berbaris, memanah, mengendalikan kuda dan masih banyak lagi latihan kemiliteran.”

“Ya benar, waktu kita pendek; jadi sekarang kita harus berlatih. Dan engkau juga Galuh, hayo kita berlatih.”

Mereka berlatih bersama teman-teman sukarelawan dari penduduk sipil. Putri berlatih dengan penuh semangat, sehingga menjadi suri tauladan bagi yang lain.

Putri selalu ingat kepada suaminya yang diperkirakan sedang terjepit oleh pasukan Gajah Mada yang sudah menjadi kampiun disemua medan tempur; dia merasa terenyuh, kasihan. “Kalau dia mau mengikuti nasihatku untuk menanggalkan gelar Raja dan menjerahkan kekuasaan kepada Gajah, tentu tidak seperti ini jadinya.” Pikir Putri.

Satu bulan kemudian, angkatan perang Pajajaran diberangkatkan kemedan tempur, dibawah pimpinan Panglima Maung Jaya.

Salah satu anggota militer adalah Putri Dyah Pitaloka; dia memakai seragam tentara dan berada diantara kawan laki-laki. Jadi tidak ada orang yang mengira bahwa dia adalah Putri Kerajaan. Dia berada dalam Group kafaleri di bawah komandan Ujang Lumut.

Rakyat berjejal-jejal di alun-alun untuk ikut melepas kepergian tentaranya, pejuang untuk kejayaan Kerajaan Pajajaran. Para wanita yang ditinggal oleh suaminya menangis tetapi ada juga yang riang gembira.

Tidak seorang pun dari agen rahasia Pajajaran yang menyampaikan kabar situasi di Singosari, utamanya di Istana Trowulan. Hal ini disebabkan jarak Pakuan dan Singosari terlampau jauh.
Jadi, Panglima Maung Jaya sesungguhnya buta situasi. Kemungkinan bila mereka sudah sampai dekat kota Singosari, baru akan didapatkan berita situasi peperangan.



Bab 4

Istana Trowulan sudah menjadi basis pertahanan Raja dalam menghadapi para pemberontak dibawah pimpinan Patih Gajah Mada.

“Baginda, armada Patih Gajah sudah sampai di pelabuhan Tuban.” Prajurit Pasukan Raja melapor langsung kepada Prabu.

“Apakah mereka akan langsung menyerang kita?”

“Kelihatannya tidak, karena mereka mendirikan kemah-kemah disekitar kota Tuban. Mereka mendirikan markas di Tuban. Mereka kelihatannya sudah maklum bahwa mereka sudah diketahui sebagai dalang pembunuhan Raja; oleh sebab itulah Patih tidak langsung datang ke Istana.”

“Seharusnya Patih datang ke Istana dan langsung menghadap aku sebagai Raja guna melaporkan hasil kerjanya di luar Negeri. Tetapi tidak, karena mereka merasa bersalah. Baguslah, kita tunggu, bagaimana tindakan mereka selanjutnya.”

Beberapa hari kemudian, serombongan orang Majapahit datang ingin bergabung dengan Pasukan Raja. Mereka berkumpul dibawah balkon Istana dan berteriak-teriak, “Baginda, kami ingin membantu Pasukan Raja. Bukalah pintu Gerbang; kami ingin masuk segera.”

Prabu Hayam Wuruk tidak langsung percaya kepada mereka, “Ini pasti tipu daya Patih yang mengirim serdadunya dengan pura-pura mau bergabung; begitu pintu dibuka, maka pasukan induk akan datang untuk menyerang.” Pikir Prabu.

“Hai! Siapakah engkau sesungguhnya.”

“Aku Penyewu Boyo Moro dengan pasukanku berjumlah lebih dari lima ratus orang. Kami lari dari markas kami. Kami sudah maklum akan ada perang saudara dan kami memutuskan untuk membela Raja.”

“Bagus Moro! Pernahkah engkau mengenal aku?”

“Kita pernah bertemu sewaktu pertempuran di Klungkung, Bali. Engkau yang merawat luka pada kaki-ku, apakah Baginda masih ingat?”

“Oh sekarang aku ingat engkau Moro.”

“Dan kemudian sewaktu aku bertugas di Pajajaran, dikota Pakuan. Aku lah yang berkemah di alun-alun dimuka Istana Pakuan. Pada waktu itu, engkau akan menikahi Putri Pajajaran; karena hal itu maka pertempuran tidak terjadi dan membuat kami gembira.”

“Hai pengawal, buka pintu gerbang untuk Penyewu Boyo Moro.”

Sejak itu kekuatan Pasukan Raja bertambah dengan ikut bergabungnya resimen Boyo Moro. Prabu senang dengan peristiwa itu; timbul kepercayaan pada dirinya.

Sementara itu, Patih Gajah Mada tidak dapat mencegah anak buahnya ikut bergabung ke Istana. Jumlahnya terlalu besar untuk dapat dicegah; kemungkinan akan dapat menimbulkan keributan dan ketidak disiplinan. Oleh sebab itu dia bersikap diam dan membiarkan. Bahkan dia menantang siapa lagi yang mau bergabung dengan musuh, silahkan.

Akan tetapi Patih perlu berbicara kepada seluruh jajarannya akan halnya perang saudara yang sudah didepan mata; para prajurit harus diingatkan guna merapatkan barisan dan mempertahankan tekad, mempertahankan cita-cita persatuan Nusantara.”

Maka pada suatu apel pagi, patih Gajah memberikan pidatonya, “Saudara-saudara para prajurit Majapahit yang setia kepada Negara dan cita-cita persatuan Nusantara. Aku mengingatkan kembali kepada saudara-saudara akan cita-cita kita memepersatukan Nusantara. Cita-cita itu tidak akan goyah sedikitpun sekalipun Raja kita berkeinginan lain. Dia berkeinginan untuk membuat Kerajaan musuh berdiri sama tinggi dengan Kerajaan kita. Maka hari ini aku menyatakan bahwa Raja sudah kupecat, karena dia tidak sejalan lagi dengan kita. Ingat lah tidak seorang pun yang boleh menentang cita-cita persatuan Nusantara, sekalipun dia seorang Raja.

Rencana kita dalam menghadapi musuh yang dipimpin Merak Jantan di Istana Trowulan adalah pengepungan Istana; jangan biarkan serdadu musuh yang keluar dari pintu-pintu Istana; kalau dia keluar, langsung dibunuh.”

Semua prajurit Majapahit yang ikut apel, tetap setia kepada Komandan tempur paling tinggi, Patih Gajah Mada. Mereka hanya menyesalkan akan nasib mereka yang harus menghadapi perang saudara.

Patih Gajah kembali ke kantornya di Markas Besar Tuban. Dia ingat akan pesan staf-nya untuk membuat surat seruan damai dengan Merak Jantan. Dia harus memenuhi permintaan tersebut. Maka surat itu dibuat dan akan diantar oleh seorang Penyatus ke Istana Trowulan. Ini adalah upaya terakhir untuk menarik kembali Raja kepada cita-cita persatuan Nusantara sesuai Sumpah Palapa.

(Bersambung)

No comments: