Wednesday, June 9, 2010

Antara cinta dan benci part 2

SATURDAY, SEPTEMBER 27, 2008

Antara Cinta dan Benci (Bagian 2)

Perang Saudara



Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi





Bab 1



Akuwu Wengker sedang bekerja di kantornya ketika berita kematian ayahnya datang. Berita itu mengatakan bahwa Raja telah wafat karena dibunuh oleh seseorang.

Berita selanjutnya sangatlah mengejutkan, yang berbunyi, sipembunuh diduga adalah seorang prajurit Wengker, atas pesanan dari Akuwu Wengker.



Akuwu berpikir, “Bagaimana mungkin seorang anak dapat membunuh ayahnya; Jika pun ada anak seperti itu, pastilah dia orang gila. Seperti halnya Raja Anusapati yang telah membunuh Ken Arok, ayahnya sendiri.”



Seorang pengawalnya datang melapor, “Tuan, serombongan serdadu berkuda dari Medang datang menuju kemari; Kelihatannya mereka akan menyerang kita.”



“Siapkan pasukan kita dan kuda ku si gagak lodra! Panggil Patih Gajah Gendut untuk segera menyiapkan pertempuran. Aku akan tampil dimuka pasukanku dalam sekejap.”



Gajah Gendut datang berlari-lari, “Tuan apa masalah-nya, sehingga mereka tiba-tiba bisa datang menyerang kita; Apa persoalan kita dengan mereka?

“Aku mengira, hal ini ada hubungannya dengan masalah pembunuhan Raja kita; Mereka menuduh bahwa aku telah membunuh ayahku sendiri.

Ketahui lah bahwa aku tidak berpenyakit gila sehingga dapat membunuh ayah sendiri.”



“Jika begitu adanya, maka aku akan mengibarkan bendera putih dan aku akan menanyakan maksud kedatangan mereka.”



“Baiklah aku setuju; laksanakan!” Kata Akuwu Wengker.

Patih Gajah Gendut memacu kudanya lebih cepat, sehingga dia berada dimuka barisan kavaleri, sambil membawa bendera putih.



Sementara itu, pasukan kafaleri berkuda dari Medang yang bermaksud menghukum Akuwu Wengker, berkekuatan enam ratus prajurit dibawah pimpinan Patih Kebo Ireng.

Putri Sekarpandanwangi juga turut serta; Dia berada ditengah barisan berkuda.



Kedua pasukan yang akan berperang maju, semakin dekat dan semakin dekat.

Patih Gajah Gendut berkuda sambil membawa bendera putih; Dia berada didepan barisannya, sambil mengibarkan bendera putih.



Sekarang jarak kedua pasukan sedemikian dekat sehingga sebilah panah dapat melukai musuhnya.



Patih Gajah Gendut berteriak, “Hai stop, jangan maju lagi! Kami datang dengan damai. Stop!”



Patih Kebo Ireng menjawab, “Hai pengecut! Bagaimana seorang prajurit masih berteriak damai pada hal engkau telah membunuh Raja kami seperti membunuh rusa.” Kata Patih Kebo Ireng.



Patih Kebo langsung memasang gendewa dan melepaskan anak panahnya. Anak panah melesat menuju ke sasarannya, leher Gajah Gendut. Karena tubuhnya yang tambun, Gajah Gendut kurang gesit untuk menghindari serangan anak panah, maka panah langsung menembus lehernya.

Gendut jatuh ke bumi dan tewas seketika.



Akuwu Wengker memberi komando kepada pasukannya hanya dengan memakai bahasa isyarat, kedua tangannya digerak-gerakan. Artinya pasukan dibagi dua; yang satu naik keatas bukit dan yang lain mundur dan kemuadian kembali di belakang barisan musuh.

Akuwu sangat mengenal medan, oleh sebab itu medan pertempuran akan dapat dikuasai.



Barisan panah Akuwu segera menghujani panah dari atas bukit; sementara itu pasukan lainnya menyerang dari arah belakang. Maka pasukan Medang terjepit dari dua arah. Pasukan Akuwu Wengker menjepit Medang laiknya seperti gunting.



Putri Sekarpandanwangi bertempur dengan penuh semangat; Dia sudah merobohkan sepuluh orang musuh dengan pedangnya. Dia ingin membalas dendam atas kematian ayahnya.



Dimana Patih Kebo Ireng. Dia telah terkena panah pada kakinya, sehingga kakinya tidak dapat digerakan. Kemudian dia bersembunyi dibawah semak-semak.



Akuwu mencari pimpinan musuh; kelihatan kepalanya ditolehkan ke kanan dan ke kiri. Pada akhirnya dia menemukan Patih yang sedang bersembunyi. Dengan mudah Patih Kebo Ireng dapat ditangkap. Akuwu menghunus pedangnya dan ditempelkan dileher Kebo, kemudian dia berteriak, “Hentikan pertempuran atau aku bunuh pimpinanmu!”



Pertempuran berhenti sesaat, tidak ada lagi terdengar suara gemerincing pedang, suara orang yang sekarat dan juga suara komandan.

Semua orang menunggu komando dari pihak Medang.



Pada akhirnya, Putri Sekarpandanwangi memberikan komandonya, “Baik kawan-kawan, letakan senjatamu dan angkat tanganmu. Kita menyerah kalah.”



Pasukan Akuwu segera merampas senjata musuh, mengikat tangannya dan membariskan untuk dibawa ke pemjara.

Sekarang tentara Medang menjadi tawanan tentara Akuwu Wengker.



Akuwu bertanya kepada Patih Kebo Ireng, “Apa alasanmu sehingga engkau melancarkan serangan kepada kami secara tiba-tiba?”



“Engkau dituduh telah membunuh Raja Ribut Sakti.”



“Apakah engkau mempunyai bukti-bukti akan tuduhanmu yang mengarah ke hal itu?”



Patih tidak dapat menjawab, dia tertunduk, “Ken Uno memang sungguh benar ! Seharusnya aku mengumpulkan dahulu bukti-bukti kesalahan Akuwu yang menjurus pada kematian Raja, sebelum aku menyerang Jati Wengker.” Pikirnya.



Karena Patih Kebo Ireng tidak mau menjawab pertanyaan Akuwu, maka salah seorang prajurit Medang berteriak, “Bukti itu adalah keris yang dipakai oleh si pembunuh yang berlekuk delapan. Itu adalah keris dari Jati Wengker.”



“Keris berlekuk delapan banyak didapatkan; Engkau boleh membelinya dipasar Medang. Jadi itu bukan bukti. Bagaimana engkau dapat membuat kesimpulan akan hal-nya seorang anak dapat membunuh ayahnya sendiri; Jika engkau berkesimpulan seperti itu, maka kalian adalah Monster yang menakutkan.”



“Jadi siapa pembunuh Raja?” Tanya orang tadi.



“Jika sekiranya engkau bertanya sebelum pertempuran ini terjadi, sudah barang tentu kita tidak akan saling membunuh seperti ini. Pertempuran ini adalah pertempuran yang tidak ada gunanya. Aku telah kehilangan Patihku yang terpercaya. Aku menyesalkan, mengapa sewaktu dia mencoba untuk mencegah perang ini, engkau malah membunuhnya.



Marilah kita bekerja-sama untuk menjawab pertanyaanmu. Aku akan memulai memeriksa kalian satu persatu, mungkin sekali si pembunuh Raja yang sesungguhnya berada diantara kalian.”



Pasukan Akuwu mengumpulkan mayat-mayat yang berserakan di medan tempur. Mayat itu dikuburkan disitu. Pekerjaannya dibantu oleh pasukan Kebo Ireng, seolah-olah tidak ada permusuhan diatara mereka. Mungkin juga dikarenakan mereka, pihak Medang telah menyadari akan kesalahannya.



Setelah itu para tawanan dibawa dan dimasukan kedalam penjara. Tidak ada maaf bagi Patih atau Putri, semua pasukan musuh Akuwu harus menjalani hukuman.



Patih Kebo Ireng tidak habis pikir, mengapa pasukan Akuwu lebih tangguh daripada pasukannya. Dia mengakui, Akuwu Wengker memang seorang pemimpin yang baik.



Sementara itu Istana Medang sedang dalam suasana kesedihan. Pimpinan militer pada saat itu ialah Penyewu Jaran Edan..

Jaran berpikir, mengapa malapetaka terjadi terus menerus di Negeri ini; pastilah ada yang tidak beres di Negeri ini





Bab 2



Ki Manjangan, adalah prajurit mata-mata yang mendapat tugas untuk mengawasi kem musuh di perbatasan utara.

Sekarang, dia telah menjadi petani penggarap sawah. Padi disawahnya sedang berbuah dan siap panen.



Pada suatu hari seseorang berkuda mendatangi sawahnya dan memuji hasil sawahnya, “Padi yang baik. Engkau petani yang rajin.”



“Terimakasih”



“Apakah engkau mau mendapat hasil lebih dari ini ?.”



“Apakah engkau sedang menawarkan suatu pekerjaan untuk ku?



“Tepat sekali. Yaitu pengurus kuda. Aku adalah pimpinan militer Wulansari pada sektor selatan; Kami membutuhkan seorang pegawai yang dapat mengurus kuda kami. Maukah engkau?”



“Jika gaji ku sesuai, maka aku bersedia.”



Mereka membicarakan uang gaji. Dan pada akhirnya didapat kesepakatan.

Maka jadilah prajurit mata-mata Medang tersebut menjadi pengurus kuda-kuda kavaleri Wulansari. Maka dengan demikian Ki Manjangan mendapat kesempatan untuk dapat memasuki Markas Besar militer musuhnya.



Ki Manjangan bekerja rajin untuk mendapatkan kepercayaan dari militer Wulansari. Dia mencatat data-data musuh : pimpinan mereka adalah Kebo Anabrang yang telah meminta dia untuk bekerja.

Sementara itu Boyo Pitu adalah pimpinan tertinggi pasukan. Kekuatan musuh sebanyak tujuh ratus prajurit kafaleri berkuda. Akan tetapi akan bertambah dengan pasukan yang didatangkan dari pusat sebanyak delapan ratus prajurit berkuda.

Mengapa mereka memusatkan pasukannya disini ?. Sudah dapat diduga, mereka kemungkinan akan menyerang Kerajaan Medang.



Setelah bekerja dua bulan timbul permasalahan yaitu semua kuda jatuh sakit. Gejalanya adalah kuda tidak mau aktif, tetapi lebih banyak diam dan tidur.



Boyo Pitu sangat marah kepada Ki Manjangan, “Bagaimana semua kuda dapat serentak menjadi sakit seperti ini ? Pastilah engkau telah memberikan makan yang salah pada kuda.

Mulai sekarang engkau kupecat.”



Ki Manjangan berpikir, “Ini kesempatan baik, untuk aku dapat melaporkan kepada Mas Alit Kereng.”



“Baik Tuan, akan tetapi aku merasa tidak bersalah. Semua kuda ini makan rumput, lain tidak.”



“Periksa baik-baik rumput apa yang telah engkau berikan; Aku menduga ada rumput yang mengandung racun.”



“Apakah Tuan jadi memecat aku?”



“Pada akhir bulan engkau boleh pergi.”



Ki Manjangan berpikir, “ Aku tidak dapat melaporkan hal penting ini kepada Mas Alit Kereng, karena ke-pulanganku jadi tertunda; Pada akhir bulan, aku baru dapat berhenti kerja.

Bila aku melarikan diri, mereka pasti akan menjadi curiga kepadaku.”



Tampak beberapa orang dan seorang akhli berkelliling memeriksa kuda-kuda yang sedang sakit. Ki Manjangan turut serta untuk lebih memperjelas per- masalahan ‘rumput racun’ yang dikatakan Boyo Pitu.



Seorang akhli mendapatkan temuannya, yaitu semacam rumput yang terikut didalam makanan kuda, “Nah ini tumbuhan yang terbawa sebagai makanan kuda. Tumbuhan ini disebut “daun turon” Mahluk apapun yang menelan daun ini akan tertidur nyenyak.”



Seorang perwira militer Wulansari bertanya, “Tuan, bagaimana efeknya terhadap manusia?”



“Aku katakan mahluk apapun, jadi manusia juga dapat terkena efek tidur.”



Kemudian orang tadi berbisik kepada temannya, “Kita akan pakai daun turon untuk menidurkan para pengawal Istana.”



“Betul, itu pemikiran yang jitu.”



Ki Manjangan mendengar pembicaraan kedua orang itu. Dia berpikir didalam hati, “Dia mau menidurkan pengawal Istana; Mungkin yang mereka maksudkan adalah pengawal Istana Medang.

Jika sekiranya aku dapat pergi dari sini, maka aku akan melaporkan hal penting ini kepada Mas Alit Kereng.”



Di akhir bulan, Ki Manjangan dapat bebas pergi dari Marka Besar musuh; dikarenakan di pecat oleh Boyo Pitu.



Ki Manjangan tidak mengetahui perkembangan terbaru di Istana Medang. Dia tidak tau bahwa Mas Alit Kereng sekarang sudah menjadi Akuwu Wengker.



Dan yang membuat dia terkejut ialah, Raja sudah wafat dibunuh oleh seseorang sewaktu sedang tidur. Seseorang telah menceritakan halnya kematian Raja yang dibunuh oleh seorang pembunuh.



Ki Manjangan sudah sampai di Istana Medang yang sedang berkabung. Dan dia langsung melaporkan dirinya kepada atasannya dikesatuan mata-mata.

Seharusnya dia melaporkan kepada Mas Alit Kereng sebagai atasannya.

Akan tetapi, Mas Ali Kereng ternyata sudah tidak ada disitu; Kedudukannya diganti oleh Kebo Langi.



Sayang sekali pertemuan dengan Kebo Langi tertunda dikarenakan ada rapat militer yang sifatnya darurat. Akan tetapi Kebo meminta Ki Manjangan untuk turut hadir didalam rapat.



Rapat dipimpin oleh Penyewu Jaran Edan.

Dia membuka rapat dengan memberi-tahukan berita yang menyedihkan, “Saudara-saudara sekalian, baru saja aku mendapat laporan bahwa pasukan kita menderita kekalahan. Bahkan semua pasukan kita menjadi tawanan Akuwu Wengker, termasuk Putri Sekarpandanwangi dan Patih Kebo Ireng.



Jika tidak ada hal lain yang akan dikemukakan, maka aku perintahkan untuk mengirim pasukan yang kedua untuk menbalas kekalahan ini.”



“Tuan, ada seorang bawahanku bernama Ki Manjangan yang baru saja pulang tugas dari memata-matai pasukan Wulansari diperbatasan utara. Kiranya dia akan melaporkan hasil pengamatannya. Silahkan Ki Manjangan.” Kata Kebolangi.



“Pertama, aku menyampaikan rasa duka atas wafatnya Raja kita. Aku menyalahkan semua kawan-kawan prajurit jaga Istana yang tertidur. Bagaimana mereka serentak bisa tertidur didalam tugas? Apakah sudah terjawab pertanyaan ini? Apakah engkau dapat menjawab pertanyaan ini?”



“Belum terjawab; hanya diperkirakan saja bahwa si pembunuh membacakan doa penidur.” Jawab seseorang pengikut rapat.



Ki Manjangan melanjutkan, “Kalau aku boleh menjawabnya, maka aku akan mengatakan bahwa mereka telah menelan daun ini.” Ki Manjangan memperlihatkan daun turon.

Jika seseorang menelan daun ini atau campurannya, maka dia akan merasa mengantuk dan langsung dapat tertidur nyenyak.



“Darimana engkau dapatkan daun itu?”



“Aku dapat memasuki kem musuh, dikarenakan aku menjadi pegawai pengurus kuda-kuda Pasukan Kavaleri Wulansari, musuh kita.

Aku dapatkan daun ini dari Markas Besar musuh.

Mereka mengenal daun ini sesudah mengalami kejadian agak aneh, yaitu semua kuda mereka didapatkan sakit serentak, dengan gejala tidur atau tidak dapat aktif.



Seorang akhli mengatakan bahwa kuda itu tidak sakit, tetapi hanya tertidur setelah menelan daun ini.



Aku sebagai pengurus kuda, tidak sengaja telah memberikan makan daun ini.

Daun ini diberi nama daun ‘turon’.



Tanpa aku sengaja, aku mendengarkan dua orang perwira militer musuh berdiskusi. Katanya, mereka akan menggunakan daun ini untuk menidurkan pengawal Istana.



Karena aku telah membuat kesalahan, maka aku dipecat sebagai pegawainya, selaku pemelihara kuda.

Didalam hati aku berterimakasih yang mana aku dapat melapor kepada atasanku di Medang.”



Jaran Edan memberi komentar, “Engkau datang terlambat Ki Majangan. Jika saja engkau dapat datang lebih dini, mungkin engkau dapat menyelamatkan Raja.”



“Walaupun aku dipecat, aku tidak segera dapat meninggalkan markas. Karena aku masih mempunyai sisa waktu kerja hingga akhir bulan. Jadi itulah sebabnya aku datang terlambat.”



Jaran Edan melanjutkan, “Jadi...., apakah si pembunuh Raja dapat membagi-bagikan daun ini kepada para prajurit jaga kita?

Jika begitu, alangkah beraninya dia.”



Ki Manjangan menjawab, “Aku tidak mengetahui cara dia memberikan daun ini kepada kawan-kawan jaga.



Akan tetapi hal ini dapat dimungkin-kan dengan cara bekerjasama dengan juru-masak dapur Istana. Daun turon akan mengakibatkan rasa mengantuk yang kuat hingga sebentar saja orang tertidur. Daun ini dapat dicampurkan pada minuman teh atau kopi.

Aku menduga si pembunuh telah mencampurkan minuman teh atau kopi dengan bubuk daun turon; Bekerja-sama denga koki dapur Istana.”



Jaran Edan memberi perintah, “Kebo Langi, selidiki siapa juru-masak yang dinas jaga pada malam naas pembunuhan Raja. Kita curiga dia terlibat dalam pembunuhan keji ini.!”



Kebo Langi segera melaksanakan tugasnya mendatangi dapur Istana. Dia menanyai ketua juru masak, Hayam Joyo. Hayam Joyo memberi keterangan bahwa tidak ada seorang asing pun terlihat pada malam pembunuhan Raja. Jika Sora Mahisa dapat dianggap sebagai orang asing, maka dialah yang ku lihat sedang berada didapur pada tengah malam itu.”



“Apakah yang engkau maksud Sora Mahisa, kekasih Putri Sekarpandanwangi? Kalau begitu dia patut dicurigai sebagai pembunuh Raja.

Apakah engkau melihat sewaktu dia membuatkan teh dan kopi bagi para prajurit jaga?”



“Ya, seperti biasanya dia membantu kami dalam pekerjaan ringan itu.” Jawab Hayam Joyo.



“Apakah engkau melihat dia telah menaburkan semacam serbuk kedalam setiap gelas atau mangkuk?” Tanya Kebo Langi



“Aku tidak melihat itu.”



“Hayam Joyo, engkau harus berbicara didalam rapat sekarang juga.”



Hayam Joyo ditemani Kebo Langi datang ketempat sidang yang sedang berlangsung. Dia memberikan keterangan dihadapan Jaran Edan dan Ki Manjangan.



Jaran Edan dan seluruh anggota rapat sependapat bahwa Sora Mahisa, kekasih Putri Sekar adalah orang yang patut dicurigai sebagai pembunuh Raja.



Jaran Edan masih menanyakan lagi, “Hayam Joyo, bila engkau terakhir melihat Sora Mahisa?”



“Sewaktu dia berada di dapur sedang mencuci tangannya dan bajunya, ditengah malam.”



Jaran Edan membuat kesimpulan, “Pastilah dia mencuci darah Raja yang ada di tangannya dan bajunya; Jadi Sora Mahisa adalah sang pembunuh Raja.”



Pada akhirnya, Penyewu Jaran Edan mengungkapkan pendapatnya, “Kita telah salah duga akan halnya Akuwu Wengker sebagai pembunuh Raja, untuk itu kita patut meminta maaf dan dengan demikian, pengiriman pasukan tambahan dibatalkan.



Sekarang kita harus bersiap-siap menghadapi serangan tentara Wulansari dari utara yang aku duga sebentar lagi akan terjadi.



Aku akan berangkat dengan beberapa pengawal dalam misi damai dengan Akuwu Wengker.”



Penyewu Jaran Edan beserta beberapa pengawalnya segera berangkat menuju Jati Wengker.



Sementara itu, Akuwu Wengker mencoba mendamaikan dua pasukan yang baru saja berperang; Perang saudara yang tidak ada gunanya.

Dia membebaskan pasukan Medang dan kemudian mereka diundang ke Balairung, untuk dapat berkumpul bersama-sama.

Disitu sudah menunggu pasukannya yang duduk santai.



“Apa maksud Akuwu dengan mengundang kita dan duduk bersebelahan dengan musuh kita; Bukankah perang ini belum selesai ?. Dia bermaksud membuat kita malu.” Demikian ungkapan kekesalan seorang prajurit Medang.



Akuwu Wengker berpidato, “Saudara-saudara setanah air; kita baru saja menyelesaikan pertempuran yang tidak ada gunanya.

Penyebab pertempuran adalah karena aku dituduh sebagai pembunuh ayahku sendiri.



Sekali lagi aku katakan bahwa aku bukanlah pembunuh ayahandaku sendiri. Bagaimana seorang anak seperti aku mau membunuh ayahnya sendiri. Jika engkau terus menganggap hal itu bisa terjadi, maka engkau sendiri adalah monster yang menakutkan.

Jadi percayalah bahwa aku bukan lah pembunuh dan memang tidak ada bukti-bukti kearah itu.



Sekarang sebaiknya kita lupakan masalah itu dan kita berdamai demi kejayaan Kerajaan Medang. Dengan berlalunya waktu, aku yakin si pembunuh akan keluar juga menampakan dirinya, percayalah.



Demi kejayaan Kerajaan Medang, marilah kita berjabat tangan. Lupakan masa silam dan kita memulai dengan yang baru.”



Pasukan dari kedua kubu yang tadinya berseteru, dapat berdamai dan bahkan ada yang berpelukan dikarenakan mereka bersaudara.



Sementara itu Patih Kebo Ireng dan Putri Sekarpandanwangi juga hadir. Mau tidak mau mereka juga ikut bersalaman dengan Akuwu Wengker.



Seorang prajurit pengawal di minaret (pos jaga di atas bangunan tinggi) melaporkan, “Tuan sepasukan berkuda dari Medang sedang menunju kesini, jumlahnya hanya enam orang berkuda.”



Tak lama kemudian pasukan tersebut sampai di Istana Jati Wengker; mereka adalah Penyewu Jaran Edan dan kawan-kawannya.



Akuwu Wengker berteriak ,”Hai prajurit Medang! Lepaskan senjatamu sebelum masuk kedalam Istanaku!”



Jaran Edan ikut berteriak, “Aku datang dengan maksud damai; bila itu yang engkau kehendaki, baiklah.”



“Damai? Akupun ingin damai dengan engkau.”



Kedua orang itu berpelukan, menandakan bahwa perang saudara memang tidak akan di lanjutkan kembali.



“Apakah engkau mempunyai data baru akan halnya si pembunuh?”



“Ya aku sudah mendapatkan bukti-bukti baru yang menunjukan seseorang sebagai si pembunuh; nanti aku akan ceritakan kepada semua orang. Sekarang aku ingin istirahat.” Jaran Edan dan kawan-kawan memang lelah setelah berkuda tanpa istirahat.



Akuwu berkata, “Terimakasih Jaran; engkau telah membebebaskan aku dari tuduhan mereka.”



Keadaan di Balairung sudah ramai; dipenuhi oleh dua kubu pasukan yang sudah berdamai. Dan juga dihadiri oleh pemimpin-pemimpin kedua kubu yang berseteru, tetapi juga sudah damai. Tak lama kemudian Jaran Edan dan pengawalnya memasuki ruangan.



Akuwu Wengker memberi kata sambutan, “Saudara-saudara, kita kedatangan Penyewu Jaran Edan dari Medang yang membawa berita penting akan halnya si pembunuh Raja. Marilah kita beri aplaus kepada Jaran Edan!.

Nah, Jaran, sekarang waktu untuk mu!,

Terangkan sejelas-jelasnya, siapa sebenarnya si pembunuh Raja kita.”



“Terimakasih Akuwu; pertama-tama aku memberi hormat kepada Putri Sekarpandanwangi, Patih Kebo Ireng dan semua kawan-kawan prajurit dari kesatuan Medang maupun kesatuan Jati Wengker.



Kemudian aku atas nama Kerajaan, meminta maaf kepada Akuwu Wengker, bahwa Akuwu bukan lah si-pembunuh ayahnya, akan tetapi seorang prajurit Wulansari. Seorang prajurit Wulansari telah memasukan daun turon kedalam setiap gelas penjaga Istana. Daun turon, yang aku pegang ini, adalah daun yang dapat membuat seseorang tertidur lelap. Itulah sebabnya semua penjaga Istana tertidur lelap pada malam pembunuhan Raja.



Engkau pasti bertanya bagaimana caranya seorang asing apalagi dia prajurit Wulansari, berani datang ke Istana Medang dan memasukan daun turon kedalam gelas-gelas. Itu bisa terjadi dikarenakan prajurit itu ialah Sora Mahisa. Dia mendapat kebebasan untuk dapat keluar dan masuk Istana Medang dikarenakan dia adalah kekasih Putri Sekarpandanwangi.”



Seseorang wanita ber-teriak, “Bohong! Engkau pembohong Jaran! Beraninya engkau menuduh kekasihku. Dia adalah pemuda desa dari Kedungsongo; Dia anak Ki Marachandra; Dia bukan seorang prajurit Wulansari.” Wanita yang ber-teriak itu adalah Putri Sekar.



Semua yang hadir gempar mendengar keterangan Jaran Edan. Semua orang saling berbisik dan mengungkapkan pendapatnya masing-masing. Balairung menjadi ribut seperti bunyi lebah. “Bagaimana Sora Mahisa bisa membunuh calon mertua-nya sendiri? Sesuatu yang ganjil.”



Tiba-tiba, serombongan serdadu Medang dengan baju seragam yang robek-robek dan penuh luka ditubuhnya masuk ke Balairung dan menghadap Akuwu Wengker. Darah mereka bahkan menetes di lantai Balairung.



Salah seorang dari prajurit-prajurit itu berkata, “Akuwu Wengker, engkau sekarang pemimpin kami. Tolonglah kami! Kami telah diserang oleh tentara Wulansari secara tiba-tiba.

Mereka adalah pasukan kafaleri musuh berkekuatan penuh yang datang dari utara. Mereka telah membunuh prajurit kita maupun penduduk sipil, merusak dan membakar setiap bangunan; juga Istana kita sudah habis dibakar.



Kami tidak mempunyai kesempatan untuk melawan, karena serangan datangnya secara tiba-tiba. Mereka bersifat bengis dengan membunuh semua orang yang ditemukan. Rakyat lari masuk hutan atau mengungsi ke Jati Wengker yang dianggap tempat yang aman.”



“Sekarang musuh ada dimana?” Tanya Akuwu.



“Mereka mendirikan markasnya di Kedungsongo. Target selanjutnya adalah Jati Wengker. Dalam tempo tiga hari dari sekarang, mereka akan sudah sampai disini.”



Akuwu mencoba menenangkan rakyatnya, “Tenang-tenang !; Saudara-saudara; Kerajaan Kita sedang mendapat musibah berupa serangan musuh yaitu Kerajaan Wulansari dari utara. Aku meminta kepada saudara untuk membela Kerajaan kita mati-matian. Aku pun rela berkorban nyawa demi Kerajaan Medang. Bagaimana dengan saudara? Apakah engkau mau berkorban seperti aku?”



“Kami siap berkorban, Akuwu.”



“Baiklah. Marilah kita mengatur strategi perang untuk menghadapai serangan ini”



(Bersambung)

No comments: