Monday, August 24, 2009

Hikayat Tumenggung Wiranegara (Bagian 3)


Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi

Tentara kompeni datang untuk menangkap para napi, dipimpin oleh Kapten Van Ruys. Mereka berbaris teratur, menabuh genderang dan memegang bendera. Mereka kelihatan angkuh, sombong tidak memandang sebelah mata; karena musuh yang akan dihadapi hanyalah sekelompok napi.

Akan tetapi londo-londo itu tidak tau kalau Untung sudah mendapatkan bala bantuan yang tidak disangka-sangka, seribu prajurit tangguh; dari masyarakat Mataraman, generasi kedua dari tentara Sultan Agung Mataram dibawah pimpinan Patih Gendut.; bahkan si Untung sendiripun terkejut dan terpesona akan adanya bantuan itu. Lebih mengherankan lagi, Untung didaulat untuk memimpin dan diangkat menjadi Raja.

Tiba-tiba barisan belakang tentara kompeni berteriak karena tertembus anak panah di punggungnya; dan kemudian disusul yang lainnya, satu persatu mati bergelimpangan. Pasukan Untung telah menghujani panah ke atas kepala mereka.

Londo itu membalas dengan menembak keatas bukit; tetapi Untung dan kawan-kawannya tidak tampak karena bersembunyi diantara semak-semak.

Semakin banyak korban yang jatuh bergelimpangan diantara serdadu kompeni yang tertembus panah. Pada akhirnya Van Ruys memberi komando untuk mundur dan lari meninggalkan medan tempur. Untung dan kawan-kawan turun dari bukit dengan senjata tombak dan pedang. Banyak diantara pihak kompeni yang tidak dapat lagi melarikan diri, sehingga harus menyerah atau melawan hingga mati.

Untung berhasil merebut dua buah meriam beserta amunisinya. Hal yang membanggakan seluruh kesatuan. Dan sebaliknya membuat malu pihak kompeni.

Pasukan kembali ke desa Mataraman dengan korban dua prajurit gugur tertembak kompeni dan beberapa orang yang luka.
Untung perlu berpidato menyambut kemenangan itu dan sekaligus berdiskusi mengatur siasat, “Saudara-saudara sekalian, kita telah berhasil mengusir kompeni seperti yang saudara sudah saksikan; dan lebih menggembirakan lagi adalah kita telah berhasil merebut dua buah meriam mereka. Untuk sesaat kita bisa bernafas lega dan berbangga diri.

Selanjutnya kita akan menghadapi musuh dalam jumlah yang lebih banyak lagi dan kita terpaksa harus bersembunyi. Bukan karena takut, akan tetapi menghindari jatuhnya korban yang sia-sia diantara kita.”

“Apakah kita perlu meninggalkan desa Mataraman ini, wahai Paduka Untung?” Tanya Patih Gendut.

“Aku rasa belum perlu wahai Paman Patih Gendut, tetapi nanti kita akan pikirkan kembali. Aku mendengar dari pasukan mata-mataku, banyak serdadu kompeni yang berangkat dengan kapal ke arah barat untuk memerangi Kerajaan Banten. Jadi kedudukan kita disini masih dalam keadaan aman, karena musuh sedang sibuk dengan seterunya di Banten.”

Si Gendut memberikan pandangannya, “Aku memperkirakan, mereka akan datang memerangi kita; itu hanyalah masalah waktu. Jadi jangan menyia-nyiakan waktu yang ada; marilah kita membuat perangkap, benteng atau parit, agar pergerakan pasukan musuh dapat dihambat dan syukur kalau bisa dapat kita pukul mundur.”

“Bagus sekali Gendut, aku kagum. Baik kawan-kawan, marilah kita bekerja untuk mempertahankan daerah kita.

Aku mempunyai usul untuk memakai moto perjuangan kita, ‘Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup jadi budak kompeni’ Semoga moto yang aku usulkan ini dapat diterima oleh kawan-kawan dan menambah semangat juang kita.”


Bab 6

Kerajaan Banten adalah Kerajaan yang menentang penjajahan Belanda dengan gigih. Raja Banten pada waktu itu adalah Sultan Ageng Tirtayasa, memerintah pada tahun 1631-1683; beliau bergelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Putra Mahkota yang sudah dipersiapkan untuk menggantikan beliau adalah Sultan Haji. Selain itu ada putra kedua bernama Pangeran Purbaya.

Sebelumnya VOC pernah memberikan usulan surat perjanjian monopoli perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan VOC, dimana mata dagang rempah-rempah hanya boleh diperdagangkan oleh VOC saja. Mata dagang lainnya seperti palawija, kain, beras dan bahan-bahan makanan lain boleh diperdagangkan secara bebas.

Walaupun perjanjian itu sudah ditandatangani oleh kedua belah pihak, Sultan sengaja melanggarnya, karena beliau merasakan perjanjian itu dirasakan tidak adil yang ternyata sangat merugikan perdagangan Banten.

Dengan pelanggaran perjanjian itu justru membuat perdagangan Banten menjadi lebih maju. Pelabuhan Banten semakin ramai dan rakyat Kerajaan Banten menjadi lebih makmur. Sebaliknya VOC terancam bangkrut.

Situasi didalam negeri menjadi kurang baik bahkan memanas dikarenakan Sultan Haji berseteru dengan ayahnya sendiri. Sultan Haji secara diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan Belanda. Ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa mengetahui adanya perjanjian rahasia tersebut; sehingga ayahnya terpaksa bertindak, mengalihkan status putra Mahkota kepada Pangeran Purbaya, adiknya.

Perseteruan itu semakin meruncing yang membuat Sultan Haji beserta pengikutnya lari ke desa Sorosowan; disana mereka bertahan dengan kekuatan senjata. Sementara itu Pangeran Purbaya berdiri dipihak ayahnya.

VOC melihat celah perseteruan antar keluarga ini sebagai suatu kesempatan untuk dapat memenangkan pertempuran. Sudah barang tentu VOC akan membantu Sultan Haji dan akan menumbangkan Sultan Tirtayasa yang tidak sejalan dengan politik VOC.

Sebelum VOC tiba untuk membantu, Sultan Tirtayasa dan pasukannya sudah menyerang desa Sorosowan lebih dahulu. Pada saat Sultan Haji sudah hampir dapat dikalahkan, datanglah dewa penolong, yaitu VOC.

Pasukan VOC datang berbondong-bondong dari Batavia memakai kapal dibawah komando Kapten Tack. Pertempuran di desa Sorosowan menjadi lebih seru dan dahsyat. Musuh Sultan sekarang adalah VOC yang nyata-nyata ada di depan hidungnya; hal ini sungguh tidak disangka-sangka oleh Sultan Ageng. Persenjataan VOC lebih baik daripada pasukan Banten; karena mereka memakai bedil dan meriam. Sesungguhnya pasukan Banten juga mempunyai meriam, tetapi tidak sebanyak yang dipunyai VOC.

Prajurit-prajurit Banten berperang dengan gagah berani dibantu oleh seluruh pemuda sukarelawan guna mempertahankan tanah airnya; dan juga dibantu oleh pelaut-pelaut Makasar. Medan tempur meluas keluar Sorosowan hingga mendekati Serang. Bumi tanah Banten dibasahi darah putra-putra Banten terbaik dan juga darah orang-orang londo yang mati. Akhirnya pasukan Sultan Tirtayasa terdesak, dan Sultan dapat ditangkap oleh Kapten Tack. Akan tetapi putra keduanya, Pangeran Purbaya berhasil melarikan diri beserta keluarga dan para pengikutnya ke Gunung Gede dan bersembunyi dihutan.

Sementara itu Sultan Haji dinobatkan sebagai Sultan Banten selanjutnya; dan sudah jelas dengan banyak persyaratan atau perjanjian yang sangat memberatkan rakyat Banten.

Secara umum, Belanda selalu menggunakan politik memecah-belah persatuan didalam Istana; utamanya pertikaian antara kakak dan adik dan juga ayah dari suatu Keluarga Kerajaan. VOC masuk menusuk kedalam Istana seolah sebagai dewa penolong; membantu salah satu pihak yang sejalan dan memerangi yang tidak sejalan.

Seperti halnya didalam menghadapi Kerajaan Banten. Mereka mengatakan kepada Dunia bahwa VOC tidak menyerang Banten. “Kami hanya ikut menengahi kekacauan Keluarga Kerajaan Banten; setelah mereka dapat berdamai sesamanya, kami membiarkan mereka bebas.”


Bab 7

Kapten Tack dan pasukannya belum dapat beristirahat di Batavia, sekalipun mereka sudah mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa dengan sukses; dikarenakan tugas selanjutnya adalah mengejar musuh yang lolos dan melarikan diri yaitu Pangeran Purbaya. Kali ini tugasnya cukup berat, karena harus menghadapi medan tempur berat diantara gunung, jurang dan hutan lebat di Jawa Barat. Kapten Tack sempat berputus-asa mencari musuhnya kesana dan kesini, tetapi sang Pangeran tidak juga pernah diketemukan. Banyak sudah serdadunya yang jatuh sakit karena lelah dan penyakit malaria. Mereka mengusulkan untuk membiarkan saja Pangeran Purbaya diam di hutan, asal tidak mengganggu.

Tetapi tugas tetap tugas, apalagi tugas militer untuk menangkap seorang Pangeran yang sangat berpengaruh. Maka Kapten Tack membuat perkemahan militer di hutan, ditepi sungai Cigundul, dengan harapan Pangeran bersedia keluar dari hutan dan menyerahkan diri.

Satu minggu sudah berlalu, sang Pangeran tidak juga mau datang. Habis sudah kesabaran Kapten Tack, hingga secara kebetulan dia menemukan sebuah botol bir yang sedang terapung-apung disungai Cigundul. Pastilah Pangeran Purbaya yang meminum bir ini; dia berada dihulu sungai. Botol diambil oleh serdadunya, kemudian diserahkan pada Kapten.

Sewaktu dibuka tutup botol, ternyata didalamnya ada surat berbahasa Belanda dari Pangeran Purbaya yang ditujukan kepada Kapten Tack. Bunyi surat itu mengabarkan bahwa Pangeran Purbaya bersedia menyerah dan berdamai, asalkan dijemput oleh seorang perwira militer Belanda yang orang Pribumi, bukan orang Belanda.

Siapa orangnya yang akan menjemput Pangeran sesuai syarat Pangeran? Tidak pernah ada seorang perwira militer Belanda yang Pribumi. Pribumi boleh saja menjadi prajurit kroco Belanda dan itupun jarang.

“Dia benar-benar cerdik dengan caranya berkirim surat kepadaku; jika sekiranya dia mengirim utusan sudah barang tentu akan aku paksa sang utusan menunjukan tempat persembunyiannya. Kemudian ku tangkap dia.” Kata Kapten Tack.

Kapten Tack berunding dengan stafnya, “Siapa yang akan menjadi utusan menjemput Pangeran? Berikan aku saran-saran mu!”

Salah seorang stafnya yang mempunyai akal berkata memberi saran, “Tuan, kita masih mempunyai musuh yang sungguh tangguh dan tidak terkalahkan. Aku berani memujinya karena Kapten Van Ruys baru saja dikalahkan olehnya. Dia adalah Untung, sang napi yang kabur dan sekarang menjadi buron. Untung yang dulu napi sekarang sudah menjadi komandan tempur yang membawahi banyak prajurit tangguh. Hal ini akan membuat kita susah.”

“Jadi, apa saranmu?” Tanya Kapten Tack.

“Jadikan dia orang kita; beri dia seragam tentara dan beri dia kepangkatan, Kapten, Kapten Untung. Seluruh prajuritnya juga diberi seragam tentara VOC. Aku yakin dia mau menerima tawaran kita. Maka dengan demikian kita dengan mudah menghilangkan musuh bahkan dengan mudah dapat menambah kekuatan militer kita. Dan yang terakhir, kita mempunyai utusan untuk menangkap Pangeran Purbaya.”

“Ya buah pikir yang brilian, bagus sekali aku setuju. Akan tetapi ada satu hal yang aku perlu tanyakan, mengapa engkau yakin bahwa dia akan mau?” Tanya Kapten Tack.

“Aku mengetahui riwayat hidupnya yang menikah secara diam-diam dengan seorang wanita Belanda. Jadi aku berkesimpulan bahwa dia sebenarnya berpihak kepada kita, bangsa Belanda; semoga aku tidak salah.”

“Baiklah kawan-kawan, jika tidak ada saran yang lain, maka saran ini yang akan kita pakai. Mari kita pulang kembali ke markas kita.”


Bab 8

Untung dan kawan-kawan nya sedang berdiskusi akan halnya tingkah VOC yang menjijikan di Kerajaan Banten. Mereka mendengarkan laporan para prajuritnya yang dikirim ke Banten sebagai mata-mata pada saat pertempuran terjadi. Hadir pada sidang itu adalah Patih Gendut, Ki Jakapasopati, Ki Samudro, Jakasambernyowo, Suromenggolo dan masih banyak perwira-perwira militer dibawah Untung dan juga puluhan para prajurit yang mendapat tempat disidang itu. Tidak ketinggalan hadir juga Haji Mat Toha dan Lukman.

Seorang prajurit mata-mata melaporkan, “Mereka memakai bedil locok yang harus dibersihkan larasnya, diisi mesiu, diisi pelor, dikokang, dibidik dan baru ditekan pemicunya. Hal itu cukup memakan waktu. Tampak beberapa serdadu kompeni yang gugup sehingga menambah waktu untuk bersiap kembali. Sementara pasukan Banten memakai panah yang dapat dilepaskan beruntun dengan cepat”.

Untung memberi komentar, “Benar, sekalipun pelor itu membuat musuh mati terkapar dengan luka yang hebat, tetapi masih banyak kelemahannya dibandingkan dengan panah dan tombak.”

Patih Gendut memberi komentar, “Tetapi kenyataannya pasukan Banten dapat dikalahkan; itu suatu kenyataan, mengapa begitu?”

Prajurit mata-mata menjawab, “Jawabannya mudah saja, karena baru saja mereka berkelahi sesamanya; Pasukan Sultan Haji sudah habis-habisan melawan pasukan Sultan Tirtayasa. Pada saat kedua belah pihak sudah menjadi lemah, tidak disangka-sangka datang serdadu VOC. Hal ini seperti sudah diatur oleh VOC; Begitu licik dan curangnya londo-londo itu..”

“Betul-betul orang Belanda itu menjijikan, aku benci sekali!” Kata Untung memberi komentar.

Suromenggolo ikut berkomentar“Aku juga membenci VOC; Keluargaku telah membenci orang-orang Belanda selama tiga turunan, sejak kakekku yang menjadi prajurit Mataram dari Raja Sultan Agung, hingga aku cucunya. Kami bertahan disini hingga beranak pinak karena kakekku tidak mau pulang, beliau menganggap pertempuran dengan VOC belum selesai. Beliau selalu berpesan kepada anak cucunya bahwa pertempuran dengan VOC belum selesai, harus dilanjutkan!”

Haji Mat Toha bertanya dan juga memberi komentar akan halnya permasalahan pribadi Untung, “Wahai Paduka Untung, pada kenyataannya engkau sudah kawin dengan noni Suzzane yang berkebangsaan Belanda. Aku tau bahwa ini adalah masalah pribadi, akan tetapi kiranya Paduka perlu menjelaskan agar tidak terjadi pembicaraan yang kurang baik atas kepemimpinan Paduka dimasyarakat. Sudah menjadi pembicaraan umum bahwa Paduka telah menikahi noni Suzzane; Hal itu bukan rahasia lagi.”

Untung terdiam sejenak. Dia sedang menghimpun kata-kata yang tepat sebagai alasan akan adanya hal-hal yang bertentangan didalam kehidupan pribadinya. Semua orang terdiam dan menunggu dan pada akhirnya Untung berbicara, “Sesungguhnya aku mencintai istriku, Suzzane dengan sepenuh hatiku. Sama halnya dengan engkau yang juga mencintai istrimu sendiri. Apakah aku bersalah? Katakanlah bila engkau mengatakan seperti itu!”

Semua orang terdiam. Kata-kata sang Pemimpin lembut dan penuh kharisma. Sekarang dia menantang siapa yang tidak setuju dengan perkawinannya.

Untung melanjutkan, “Aku ingin memberi tahukan kepadamu bahwa aku tidak bersalah, tetapi yang bersalah adalah mereka yang melarang aku. Apakah aku berdosa dan berzina dengan orang kafir? Tidak! Karena Suzzane sudah menjadi seorang Muslimah; dan perkawinanku syah dimuka kadi, yaitu Haji Mat Toha dan saksi saudaraku Lukman.

Akan tetapi Allah telah berkehendak lain, Dia memanggil aku untuk menjadi seorang pejuang menentang penjajahan orang-orang kafir di Tanah Airku; Tanah Aiirmu. Aku Sungguh merasakan panggilan itu.

Jika aku boleh mengandai-andai; Andaikata, pada saat perkawinanku, mertuaku datang kepadaku, memeluk ku, menyambutku dengan penuh kasih sayang dan mengakui aku sebagai menantunya; tentulah semuanya akan menjadi jauh berbeda. Mungkin aku sekarang sedang berada di tangsi tentara VOC sebagai serdadu VOC dan jelas aku berpihak kepada Belanda. Maka, aku sedang tidak berada bersamamu seperti sekarang ini.”

“Wuuuu! Wuuuu!!” Gemuruh rakyat si Untung mengungkapkan kekecewaannya.

“Ku katakan sekali lagi, apa bila aku boleh mengandai-andai. Syukur Alhamdullilah, kenyataannya tidak seperti itu, bukan? Secara umum aku mengambil kesimpulan, bahwa masing-masing dari kita ini adalah ibaratnya anak wayang dengan dalangnya Tuhan, Allah Subhana HuWataala.

Akan halnya Istriku yang kucintai, Suzzane telah ditakdirkan terlahir dari seorang Ibu Belanda; engkau dapat menanyakan kepada Tuhan, mengapa istrinya si Untung terlahir dari wanita Belanda; tetapi jangan tanyakan padaku, aku tidak tau karena aku tidak menguasai hal-hal yang bersifat Gaib; Allah lah yang menguasai segala-galanya.”

Suasana menjadi hening seketika. Mereka yang banyak mendekatkan diri kepada Tuhan, mengangguk-anggukan kepalanya, tanda mengerti dan sependapat.

Pada akhirnya si Gendut turut memberikan komentar, “Kita ini adalah anak wayang yang dapat digerakan kesana kesini oleh....oleh, ya itu tadi kekuatan Gaib. (Semua orang tertawa melihat kelakuan Patih Gendut yang kebingungan sendiri waktu berbicara tentang Gaib). Tunggu dulu, aku belum selesai memberikan komentarku; Jadi ada kemungkinan diantara kita akan ada orang yang berchianat atau berkemauan untuk berchianat. Sesudah dia berchianat lalu dia akan mengatakan kepada kita bahwa itu adalah kehendak Tuhan.”

Untung memotong, “Bukan, itu adalah kehendak setan. Setan ada didekat kita dan selalu membisikan sesuatu yang jahat ditelinga kita. Allah melalui Malaikatnya akan menjaga kita dari pengaruh setan. Percayalah, bahwa setiap diri kita telah dijaga oleh empat malaikat; dikanan, dikiri, didepan dan dibelakang kita; mereka menjaga kita selama duapuluh empat jam. Tetapi itu harus ada persyaratannya, yaitu kita harus sembahyang lima kali dalam sehari. Bila tidak, keempat Malaikat itu pelan-pelan meninggalkan kita dan digantikan oleh setan-setan.

Nah, jadi aku perintahkan kepada Haji Mat Toha untuk selalu mengimani sembahyang lima waktu seluruh prajuritku. Ini adalah perintahku; aku minta dengan hormat, jangan engkau melanggar perintahku yang ini.”

Haji Mat Toha, “Paduka Untung, sesungguhnya engkau adalah Mualaf, orang yang baru menjadi muslim, akan tetapi engkau lebih Islam daripada kita-kita yang sudah lama Islam. Aku bangga dan terharu dengan engkau, sebagai muridku, Alhamdullilah.

Wahai kawan-kawan seperjuangan, marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT agar kita tidak terperosok menjadi pengchianat bangsa dan menjual bangsa kepada orang Belanda, seperti yang diperkirakan akan terjadi oleh Patih Gendut tadi.”
“Terimakasih atas pujianmu kepadaku Pak Haji, Alhamdullilah. Baiklah sidang telah usai”


Bab 9

Pada suatu ketika, seorang prajurit jaga melapor kepada Paduka Untung, “Ada londo ingin bertemu Tuan; dia membawa surat dari Kapten Tack, dia juga membawa bendera putih tanda ingin berdamai. Apakah dia diperbolehkan masuk?”

“Silahkan masuk”

Tak lama kemudian seorang londo masuk, menghadap dan menyerahkan surat kepada Untung. Surat dibuka oleh Untung dan dibaca. Tulisannya berbahasa Belanda; bunyi surat tersebut adalah:

Untung yang kami hormati, Setelah kami memperhatikan riwayat hidupmu dan melihat kepandaianmu didalam mengorganisasi satuan militer, maka kami menawarkan kepadamu kedudukan sebagai Kapten didalam kalangan militer kami di ketentaraan VOC yang berkedudukan di Batavia. Seluruh kesatuanmu secara otomatis akan menjadi prajurit VOC

Kami menunggu khabar darimu sesegera mungkin.

Tertanda, Kapten Tack.


Surat diserahkan kepada Patih Gendut, tetapi Gendut tidak paham Bahasa Belanda, maka surat dibawa kepada bawahannya kesana kesini untuk dapat dimengerti.

Untung bertanya kepada kurir orang Belanda itu akan halnya maksud-maksud lain yang tersembunyi didalam surat itu. Tetapi si Londo tidak mau menjawab, menyebabkan Untung semakin curiga akan adanya perangkap Kapten Tack untuk menangkap dirinya.

Akhirnya Untung menyampaikan kepada si Londo bahwa surat Kapten Tack akan dipelajari lebih dahulu oleh stafnya. Datanglah seminggu lagi. Jika ingin cepat, datangkanlah Kapten Tack sendiri untuk menghadap dirinya.

Untung segera mengadakan rapat mendadak untuk mengantisipasi kemungkinan serangan VOC. Semua prajurit diminta untuk berjaga-jaga akan kemungkinan yang tidak baik.

Isi surat tidak diindahkan dan tidak dibicarakan, karena semua sependapat bahwa surat itu hanyalah suatu tipu muslihat untuk menangkap Untung.

Hari demi hari penuh dengan ketegangan di desa Mataraman; tetapi semua prajurit Untung sudah bertekat untuk tetap mempertahankan serangan hingga tetes darah penghabisan.

Hingga akhirnya datang sepuluh orang londo kompeni berkuda dengan diawali oleh orang yang membawa bendera putih. Dengan memakai teropongnya, Untung melihat bahwa yang dimuka adalah Kapten Tack sendiri; orang yang menjadi komandan tempur di Banten.

Tampak Kapten Tack ditahan oleh prajurit jaga, kemudian dikawal oleh dua puluh prajurit Untung untuk menghadap. Untung menyambut kedatangan Kapten Tack, dipersilahkan duduk dan bahkan di sajikan teh manis.

Kemudian Kapten Tack mengutarakan maksud kedatangannya untuk menjadikan Untung dan kesatuan militernya sebagai bagian dari militer VOC, seperti yang tertulis disuratnya.

“Apa alasan mu? Ketahuilah aku adalah bekas budak dan yang terakhir aku adalah bekas napi yang menjadi buronan. Apakah aku ini cukup berharga untuk VOC?” Tanya Untung.

“Aku hanya menduga bahwa hatimu sebenarnya bersama kami, orang Belanda, sekalipun engkau orang Bali.”

“Mengapa engkau menduga seperti itu?”

“Karena engkau pernah menikah dengan wanita Belanda.’

“Oh itu adalah masalah pribadiku. Ketahuilah bahwa aku masih menaruh sakit hati terhadap perlakuan serdadu mu yang memaksa aku bekerja dengan cemeti sebagai budak di Makasar. Jadi janganlah engkau menduga bahwa hatiku bersama orang Belanda, bahkan sebaliknya, aku dendam kepada orang Belanda.”

Merah padam muka Kapten Tack mendengar caci maki Untung yang blak-blak an, tanpa tedeng aling-aling. Suasana percakapan menjadi dingin dan terputus. Untuk sedikit mencairkan kebekuan itu, Untung bertindak menawarkan teh manis yang disajikan untuk bersama-sama diminum.

“Sebenarnya aku ingin meminjam mukamu untuk kutampilkan pada Pangeran Purbaya, agar sang Pangeran mau turun dari hutan dan menyerah.”

“Oh itu toh maksud mu sebenarnya; janganlah engkau berbicara berputar-putar yang membuat lawan bicaramu menjadi bingung. Sifatmu yang seperti itu bukanlah sifat seorang perwira militer, tetapi seorang penipu, Sesungguhnya kamu harus tau itu.”

Kapten Tack meraba sakunya dan memegang pistolnya. Dia merasa dihina; dia marah; tetapi marah yang harus ditahan sebisanya. Akhirnya dia berkata, “Sudah puaskah engkau menghina aku, hai napi Untung?. Jika lah aku tidak membawa tugas Kompeni untuk meminta bantuanmu, sudah kutembak kepalamu.”

“Benarkah begitu? Tidak kah engkau menyadari bahwa engkau sekarang sedang berada di sarang buaya; lihatlah tentaraku yang sudah siap tempur menunggu aba-aba dariku. Akupun menyadari bahwa aku memasukan singa jantan bekas komandan tempur di Banten, masuk kedalam rumahku, jadi aku juga sudah siap berkelahin denganmu.”

Nampaknya perundingan mengalami jalan buntu. Maka suasana hening membeku terjadi lagi untuk kedua kalinya. Muka yang merah padam dari Kapten Tack mulai berkurang, berkurang yang menandakan kemarahannya mulai turun

Untung berpikir, “Bila aku tolak permintaanya berarti perang segera meletus. Bila aku terima permintaanya, aku justru dapat membantu Pangeran Purbaya yang mana sekarang sedang merana bersama keluarganya hidup dihutan-hutan. Sesungguhnya dia adalah seorang Raja dari suatu Kerajaan Besar, Kerajaan Banten; dia adalah orang penting yang mewakili seluruh rakyat Nusantara.

Bila aku menjadi Kapten di VOC, maka aku dan pasukanku akan mempunyai kesempatan mempelajari cara-cara tentara VOC bertempur dan juga aku akan mendapatkan peralatan militer kepunyaan mereka.”

Pada akhirnya, Untung menjawab, “Baiklah, aku bersedia membantumu. Akan tetapi, jangan coba-coba berchianat atau menipu kami; nyawamu menjadi tanggungannya, ingatlah itu!”

“Percayalah padaku, aku tidak menipumu. Aku akan membawamu ke tangsi tentaraku yang kosong, memberikan baju dinas ketentaraan pada anak buah mu dan melatihmu secara kemiliteran. Semoga kerjasama kita terus berlanjut.”

“Prajuritku tidak sedikit wahai Kapten Tack, jumlah mereka lebih dari seribu orang. Dan aku meminta sebagai persyaratan dariku, persenjatai mereka dengan bedil, tidak hanya sekedar baju seragam seperti yang engkau katakan.”

“Baiklah! Untuk sementara pangkatmu adalah Letnan.”

Untung berpikir lagi, “Kerjasama ini tidak akan berlanjut, karena engkau hanya ingin meminjam mukaku untuk membawa Pangeran Purbaya kepadamu; itu saja tugasku. Setelah itu aku akan kembali menjadi si Untung yang dulu.”


Bersambung

No comments: