Saturday, September 27, 2008

Cinta Terlarang (Bagian 7)

Perjalanan Pulang

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi



Bab 1

Pasukan Pajajaran dengan jumlah personil hampir dua ribu personil, pulang kembali ke tanah Sunda Parahyangan dibawah Komandan Ujang Lumut. Sementara Prabu Hayam Wuruk ikut dalam barisan sambil membawa bendera putih.

Pasukan mendekati dusun Bubat yang mengenaskan; jika ada personil ditempat itu yang masih hidup dan memerlukan bantuan pengobatan dan tandu, maka dapat ditolong.

Semua orang sangat bersedih hati melihat bubat, teristimewa Putri Dyah Pitaloka yang mengingat pengorbanan ajudannya, Dayang Galuh Lembayung; dia telah tiada demi keselamatan Putri. Juga karena mayat dia, maka pertempuran dapat dihentikan, dan Prabu yang sudah terjepit dapat diselamatkan. Kematian Dayang Galuh Lembayung tidak lah sia-sia.

Putri dan semua personil juga merasa sedih akan kematian Panglima Maung Jaya.

Perkiraan Ujang memang betul adanya, didapatkan beberapa kawan prajurit Pajajaran yang masih hidup, dengan luka berat dan ringan; dan ada juga tanpa luka dikarenakan berpura-pura mati diantara tumpukan mayat.

Mereka sangat gembira mendapatkan pertolongan yang sangat diharapkan. Pasukan melanjutkan perjalanannya meninggalkan dusun Bubat.

Beberapa saat kemudian, datang menghampiri sebuah pasukan Majapahit. Mereka adalah pasukan Majapahit yang bertugas menjaga Bubat. Kelihatannya mereka tidak bermaksud untuk berkelahi lagi, tetapi damai.

Komandan musuh itu berkata, “Baginda Prabu Hayam Wuruk, marilah kami antar ke Istana Trowulan kembali. Baginda adalah tetap Raja kami yang kami hormati dan kami junjung tinggi. Marilah!”

“Maaf, aku sekarang bukan Raja, tetapi rakyat biasa; bahkan bukan lagi rakyat Majapahit, tetapi anak Negeri Pajajaran. Kekuasaanku telah diambil alih oleh Patih Gajah Mada.”

“Baginda sangat diperlukan di tanah Majapahit sebagai pemersatu; oleh sebab itu kami atas nama seluruh rakyat Majapahit memohon kepada Baginda untuk dapat kembali lagi kepada kami.”

“Tidak seluruh rakyat, tetapi paling sedikit kurang satu, yaitu Patih.
Pulanglah kembali kepada Patihmu dan katakan selamat bekerja, persatukan seluruh Nusantara.”

Pasukan Majapahit kembali lagi ke Singosari; sudah tentu mereka akan melaporkan kepada Patih.

Pasukan terus berjalan kearah barat, menembus hutan belantara dan jalan setapak. Mereka bersyukur walaupun kalah dalam pertempuran, tetapi dapat mengembalikan seorang anggota Keluarga Kerajaan dengan selamat, Prabu Hayam Wuruk.

Ketika mendekati perbatasan Negeri, serombongan pasukan berkuda mendekat tetapi mereka membawa bendera putih; ternyata mereka adalah pasukan mata-mata Majapahit dibawah komandan Banyu Urip.

“Wahai Jaran, kami ingin bergabung dengan mu; apakah engkau berkenan?” Kata Banyu Urip.

“Tentu saja boleh Banyu. Jasa mu tidak dapat dilupakan; karena engkau, aku dapat selamat dari pembunuhan yang dilancarkan oleh Patih. Tetapi apa tugas mu dari Patih? Apakah akan memata-matai kami orang Pajajaran?”

“Betul Jaran! Engkau sungguh cerdas. Aku adalah komandan pasukan mata-mata, jadi tugas ku adalah me-mata-matai engkau, tidak secara rahasia, tetapi terang-terangan, ha ha ha .”

“Hai Banyu engkau harus tau khabar yang mengejutkan dan menggembirakan; yaitu istriku selamat, tidak tewas. Karena yang kubawa adalah mayat Dayang Galuh Lembayung, bukan dia.”

“Sungguh mengejutkan; dimana dia sekarang?”

“Aku disini Banyu.” Seorang wanita didalam seragam prajurit Pajajaran datang mendekati Banyu.

Banyu memberi hormat, “Selamat Tuan Putri. Oh Dewa terimakasih atas pertolonganmu kepada Putri junjungan kami.”

“Jadi engkau mau bergabung dengan kami menjadi anak Negeri Pajajaran?”

“Ya aku mau jika diperkenankan, bolehkah?”

“Tentu saja boleh. Mari kita teruskan perjalanan kita yang hampir sampai di tanah air.”

Bab 2

Patih Gajah Mada perlu konsolidasi pasukannya yang tercabik-cabik; bagaikan seekor singa jantan yang sedang menjilat luka-luka ditubuhnya akibat perkelahian. Dia berdiri dimuka rapat pimpinan militer Kerajaan Majapahit.

“Saudara-saudara sekalian, baru saja kita melewati perang yang tidak kita harapkan. Marilah hal itu dapat kita lupakan bersama; tugas panjang sedang menanti kita. Ambil pelajaran buat kita akan hal-hal yang baik.

Aku mempunyai bukti-bukti bahwa tanah Parahyangan adalah tanah suci yang betul tidak boleh kita injak-injak semaunya. Mengapa Merak Jantan dapat berubah sifatnya setelah dia menginjakan kakinya di tanah itu. Tiba-tiba dia tidak setuju akan halnya Pajajaran ditaklukan dan bahkan menganjurkan damai dengan Negara itu.
Begitu juga dengan engkau Banyu Urip, sikapmu menjadi lunak terhadap Pajajaran.
Dan yang mengejutkan seluruh personil Penyewu Boyo Moro juga berubah sifatnya.
Semua orang-orang itu menjadi kehilangan daya juangnya untuk meneruskan cita-cita persatuan Nusantara.

Maka aku berkesimpulan, setiap prajurit Majapahit yang menginjakan kakinya di tanah Parahyangan, akan kehilangan daya juangnya; dia menjadi manusia lemah tanpa daya.

Aku perintahkan kepada seluruh jajaran militerku untuk tidak menginjakan kakinya di tanah Parahyangan. Dengan demikian kita tidak lagi menjadikan Kerajaan Pajajaran sebagai target kita; biarkan mereka untuk bebas dan tidak masuk didalam persatuan Nusantara.

“Patih, boleh aku potong uraianmu, aku melaporkan bahwa sepasukan musuh berjumlah kurang lebih dua ribu orang pulang kearah barat. Diantara barisan itu, terdapat Raja didalam barisan. Apakah kita meminta kembali Raja kita atau kita biarkan beliau berlalu bersama musuh.”

“Biarkan dia berlalu bersama musuh. Kita tidak memerlukan lagi kepemimpinannya, dikarenakan dia sudah menjadi orang yang lemah, tanpa daya juang untuk meneruskan cita-cita kita.

Walaupun begitu, kita tidak melupakan jasanya yang selalu ikut bertempur selama ini.
Dan engkau Boyo Moro, Banyu Urip dan seluruh jajaran prajuritmu, apakah engkau mau melanjutkan perjuangan atau engkau senasib dengan Raja yang dipecat. Apakah masih ada sisa-sisa daya juangmu, sekalipun engkau telah menginjakan kakimu di tanah Parahyangan”

“Kami akan tetap didalam barisan Patih.”

“Terimakasih atas sumbangsih mu didalam perjuangan ini. Kalian berdua adalah contoh perwira militer yang patuh dan setia kepada Raja, aku sangat menghargai perangaimu. Kalian berdua patut menjadi contoh.
Tetapi tidak untuk Merak Jantan, dia telah terang-terangan menghianati perjuangan kita.
Ingatlah, tidak seorangpun yang boleh menghianati perjuangan kita, sekalipun dia seorang Raja, dia akan berhadapan dengan aku dan akan aku selesaikan.” Patih menggerakan telunjuknya melintas dilehernya.

“Patih, Kerajaan Pajajaran bersama dengan Raja kita akan berkembang maju dimasa akan datang. Kemungkinan mereka akan menjadi ancaman terhadap kita, bukan sebaliknya. Jadi bagaimana sikap kita sekarang?” Banyu Urip angkat bicara.

Patih diam sebentar dan kemudian berkata, “Engkau kutugaskan menjadi mata-mata disana. Kembalilah ke Pakuan dan melaporkan kepada Merak Jantan dan Raja Maharaja bahwa engkau ingin menjadi penduduk Pajajaran. Apabila ada hal yang mencurigakan seperti pergerakan militer mereka, engkau harus cepat melaporkan kepadaku.”

“Baik Patih, aku akan laksanakan.” Maka Banyu Urip dan empat puluh anak buahnya menyusul rombongan Ujang Lumut dan Prabu Hayam Wuruk.


Bab 3

Pasukan Pajajaran yang kalah perang akhirnya sampai di pinggir kota Pakuan. Mereka sudah ditunggu oleh keluarga prajurit dan istri prajurit. Beberapa dari mereka sudah bertemu dengan keluarganya; beberapa yang lain belum. Ada yang menangis karena tidak dijumpai suaminya diantara barisan.

Ujang Lumut mendata prajurit-prajurit yang gugur di medan tempur termasuk diataranya yang sudah sama kita ketahui, Panglima Maung Jaya dan Dayang Galuh Lembayung.

Akhirnya para ibu yang kehilangan suaminya hanya duduk pasrah; merelakan kepergiannya demi Kerajaan.

Setelah selesai urusannya dengan keluarga prajurit, Ujang Lumut disertai oleh Putri Dyah Pitaloka dan juga Prabu Hayam Wuruk melaporkan hasil ekpedisi militer Pajajaran kepada Maharaja Lingga Buana.

Ujang Lumut menguraikan pengalamannya didepan Maharaja, “Malam itu kami teruskan perjalanan kami untuk sampai di Istana Trowulan, agar dapat langsung bertempur melawan Gajah dan serdadunya; dengan harapan dapat membebaskan Prabu Hayam Wuruk yang dikepung didalam Istana.
Setelah kami sampai di Istana, ternyata tidak seorang pun berada disitu; tidak ada prajurit Prabu dan juga tidak ada prajurit Gajah.
Istana keadaanya kosong; kami bertanya-tanya kemana mereka pergi?

Maka kami putuskan untuk kembali ke desa Bubat, guna bergabung dengan pasukan induk.

Sesampainya di Bubat kami lihat pasukan induk porak poranda diamuk oleh Pasukan Patih Gajah. Musuh datang ditengah malam, datang dengan diam-diam dan sangat mengejutkan; langsung menyerbu pasukan kita yang sedang tidur terlelap karena kelelahan. Banyak yang tidak dapat menghindari maut. Musuh benar-benar membantai pasukan kita yang sedang tidak berdaya.

Banyak korban diantara kawan-kawan kita, diantaranya adalah Panglima Maung Jaya. Beliau tewas tertusuk pedang; dan juga Dayang Galuh Lembayung.
Yang lain melarikan diri masuk kedalam hutan.

Tak lama kemudian datanglah pasukan Prabu yang langsung mengadakan serangan ketengah-tengah prajurit Gajah. Perang saudara sudah terjadi diantara mereka sendiri. Aku memberi aba-aba komando untuk menyerang, tetapi Putri Dyah mencegah, biarkan mereka berkelahi antar sesamanya; kita tidak tahu siapa lawan dan siapa kawan.”

“Ayah, jika Ayah berpendapat bahwa aku salah didalam memberikan saran kepada Ujang Lumut, hukumlah aku!”

“Tidak anakku, engkau benar. Selain itu, pasukan Panglima Maung Jaya sudah banyak yang menjadi korban.”

“Setelah bertempur beberapa lama, seseorang keluar dari kerumunan dan berteriak, “Hai Raja yang Agung, hentikan pertempuran ini atau aku cincang mayat istrimu menjadi seribu potong.” Disampingmya ada prajurit yang membawa sesosok mayat dengan pakaian kebesaran Putri Kerajaan lenkap dengan mahkota; akan tetapi memakai masker penutup matanya.

Ternyata Prabu mau menghentikan pertempuran, mengambil mayat istrinya yang ditaruh diatas kudanya dan berteriak, hentikan pertempuran. Kemudian Prabu pergi; semntara para pengikutnya hendak mengikutinya. Akan tetapi Patih Gajah mencegah mereka.

Putri Dyah Pitaloka ikut memberikan uraiannya kepada ayahnya, “Aku bertekad untuk langsung bertempur melawan Patih Gajah dan pasukannya; oleh sebab itu, tanpa istirahat di Bubat, aku langsung ikut laskar Ujang Lumut. Justru karena itu, aku selamat tidak ikut dibantai di Bubat.

Aku merasa sedih melihat pasukan induk di bantai selagi mereka tidur; itu adalah pertempuran yang curang. Bila kita ikut terjun untuk membantu pasukan induk, pasti lebih banyak lagi korban yang jatuh. Oleh sebab itu lah aku mencegah Ujang Lumut untuk memberi komando. Jadi kita hanya menjadi penonton didalam hutan.
Apakah tindakan ku benar ayah?”

“Engkau benar anakku, karena kita sudah kalah, mau apa lagi; dari pada semakin bertambah korban yang berjatuhan diatara kawan-kawan kita, lebih baik terima kalah.

Walaupun begitu aku menilai bahwa sesungguhnya kita lah pemenang didalam pertempuran ini. Coba engkau renungkan dengan melihat dari sudut pandangku. Kita berhasil membawa pergi Raja mereka. Kita berhasil mengadu domba antar mereka sendiri. Dan terakhir kita tetap sebagai Kerajaan berdaulat, kita tidak pernah dan tidak akan tunduk kepada Majapahit.”

“Akan tetapi Tuan, mereka pasti akan datang lagi dengan pasukan yang lebih besar dibawah komando langsung Patih Gajah Mada.” Kata Ujang Lumut.

“Tidak, tidak akan ada lagi pasukan Kerajaan Majapahit di bumi Parahyangan; Patih Gajah Mada yang mengatakan itu kepadaku pada rapat terakhir yang mana aku turut hadir. Tentu engkau bertanya, kenapa. Patih Gajah sudah mengambil kesimpulan bahwa setiap prajuritnya yang menginjak tanah Parahyangan akan kehilangan daya juangnya. Contoh yang jelas adalah Prabu Hayam Wuruk, Penyewu Boyo Moro dan aku.” Kata Banyu Urip.

“Benarkah begitu Banyu? Apakah engkau juga sudah kehilangan daya juang mu?”

“Benar Tuan. Aku yakin benar. Tidak ada yang berani menentang kata-kata Patih. Dia bilang, Kerajaan Pajajaran tidak lagi menjadi target, biarkan dia bebas.
Aku memang tidak lagi mempunyai daya juang, bahkan aku memohon kepada Maharaja sekiranya aku boleh menetap di Pajajaran dan menjadi warga Kerajaan Pajajaran.”

“Oh sudah barang tentu boleh. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di tanah Parahyangan. Engkau pasti mendapat pekerjaan yang sesuai disini.”

“Terimakasih Baginda.”

“Nah sekarang engkau, anak menantuku; bicaralah akan masa depanmu disini.”

“Ayahanda, sekarang aku sudah kehilangan Singgasanaku. Patih ku merampas kekuasaanku.”

“Apakah engkau menyesal dan ingin merampasnya kembali didalam pertempuran?”

“Tidak! Sedari mula istriku sudah meminta ku untuk melepaskan gelar Raja. Istriku meminta aku menjadi petani atau pedagang atau Pendeta Hindu di Parahyangan. Berikan kekuasaan itu kepada Patihmu yang memang menginginkan. Ternyata, memang seperti itu kejadiannya, walaupun aku sudah berusaha mempertahankan gelar Raja dariku.
Aku akan menuruti permintaan istriku dan melupakan politik didalam benakku. Aku bahagia mendengar khabar dari Banyu bahwa Patihku telah melupakan Pajajaran sebagai target. Oh Dewa yang Agung, terimakasih atas skenariomu terhadap Kerajaan Pajajaran.”

“Ayah, saat-saat aku merasa bahagia adalah saat aku bertemu dengan kanda Hayam Wuruk di dalam gua. Kanda sudah menyangka aku sudah mati, tetapi sebenarnya yang dibawa adalah mayat Galuh Lembayung.
Aku membaca puisi dengan suara keras agar kanda mendengar; aku tau kanda dan Ki Wanara sedang beristirahat tidak jauh dari gua tempatku berlindung. Kanda Hayam Wuruk berlari memasuki gua; kemudian aku menghampirinya dan berlutut dimuka kakinya dan memohon kepadanya agar mau pulang.

Aku katakan bahwa sudah banyak air mata jatuh berderai, nyawa yang dikorbankan, harta benda yang tak terhitung ditumpahkan, hanya untuk menjemputmu wahai kandaku. Pulanglah ke tanah Sunda Parahyangan.

Untunglah hati kanda tergerak dan beliau menangis menyesalkan semua yang sudah terjadi. Kami berpelukan penuh kebahagiaan.

Izinkan aku berdoa untuk mengatakan pada Para Dewa bahwa tugasku sudah selesai. Dan juga mengatakan terimakasihku.

Oh Para Dewa yang Agung
Tugas memecat Patih sudah selesai ku laksanakan
Jika masih tidak sesuai dengan permintaanmu
Itulah yang dapat kulakukan.

Terimakasih ku atas pertolonganmu
Atas kuasamu Engkau menjaga aku, hingga aku tetap jaya
Tanpa cidera hingga kembali ke Pakuan
Terimakasih ku Engkau tetap menyatukan keluargaku, suamiku

Aku mohon tidak ada lagi prahara di bumi Parahyangan
Aku minta rakyat Pajajaran hidup makmur
Aku mengharap Raja dan Keluarga Kerajaan dapat bahagia
Aku berdoa kepadamu, agar Kerajaan Pajajaran selalu jaya.


Penutup

Patih Gajah Mada tetap meneruskan cita-citanya tanpa lelah. Hampir seluruh Nusantara dapat dipersatukan, kecuali Kerajaan Pajajaran. Bendera merah putih dan Ganesha berkibar diseluruh penjuru Nusantara.

Rasa persatuan itu masih membekas pada cucu buyut Gajah. Rasa kebersamaan itu telah digunakan mereka untuk bersama-sama mengusir penjajah Belanda.

Sudah sepatutnya kita berterimakasih pada Guru-nya Gajah yang meramalkan akan runtuhnya Majapahit dan kemudian dijajah oleh bangsa lain selama tiga ratus lima puluh tahun lamanya.

Dan juga berterimakasih kepada Gajah yang berani mengemban cita-cita yang disarankan oleh sang Guru.
Cita-cita persatuan Nusantara telah diperkuat olehnya dengan bersumpah didalam SUMPAH PALAPA.

No comments: