Monday, August 31, 2009

Hikayat Tumenggung Wiranegara (Bagian 5)


Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi

Sultan Cirebon terkejut, kecewa dan marah besar kepada anaknya, anak tirinya. Anak itu bernama Suropati. Bagaimanapun peristiwa itu sudah terjadi dan mencoreng muka Raja. Lebih terkejut lagi setelah beliau mengetahui bahwa wanita cantik yang diributkan itu bukanlah pesinden biasa, tetapi Putri Gusik Kesuma, janda Pangeran Purbaya.


Maka diadakan sidang pembunuhan atas diri prajurit Untung dengan terdakwa Suropati. Yang pada akhirnya jatuh keputusan hakim yang memberikan hukuman berat kepada terdakwa, yaitu hukuman mati.

Raja datang sendiri kepada Untung untuk mengungkapkan rasa penyesalannya kepada Untung dan ucapan selamat jalan.

“Sesungguhnya aku merasa kehilangan anak tiriku yang sudah dihukum mati. Jika engkau tidak berkeberatan, maukah engkau menggantikan kedudukan anakku itu?. Atau setidak-tidaknya engkau mau memakai namanya, Suropati.”

“Jika aku harus tinggal di Istana sebagai anak mu, maka hal itu tidak mungkin Baginda; akan tetapi jika aku memakai nama anakmu, Suropati, aku tidak berkeberatan; nama itu dapat kupakai; maka namaku sekarang adalah Untung Suropati.”

“Terimakasih Untung Suropati; baiklah kuucapkan selamat jalan dan selamat berjuang.”
Untung dan kawan-kawan meneruskan perjalanannya menuju Kartasura, tepatnya menuju kerumah Putri Gusik Kesuma, untuk mengantarkan Putri kepada kedua orang tuanya.


Untung memperhitungkan bahwa Belanda tidak akan terlalu sewenang-wenang bertindak terhadap dirinya di Kerajaan Mataram; dia akan dapat berlindung pada Raja atau Pangeran yang berseteru dengan Belanda.


Bab 12

Raja yang sedang berkuasa di Mataram saat Untung tiba adalah Amangkurat II , memerintah tahun 1677- 1703; nama kecilnya Mas Rachmat.

Raja berhasil naik tachta setelah memadamkan pemberontakan Trunajaya dengan bantuan VOC. Tetapi VOC menagih janji akan halnya biaya perang kepada Raja, uang sebesar dua setengah juta gulden. Jadi Raja berhutang kepada VOC.

Patih Nerangkusuma yang anti Belanda mempengaruhi Raja untuk menolak tagihan tersebut. Patih tersebut adalah ayahanda Putri Gusik Kesuma.

Untung beserta pasukannya dan juga Putri Gusik Kesuma sampai sudah ketujuannya yaitu rumah Patih Nerangkusuma. Alangkah suka citanya keluarga Patih melihat anak perempuannya dapat kembali dalam keadaan selamat setelah melalui pertempuran hebat di Banten. Mereka bertangis-tangisan, melepas rindu, bercerita tentang pengalaman yang mengerikan selama pertempuran dan dikejar-kejar oleh VOC; dan yang terpenting adalah laporan Putri akan halnya sang pelindung, si Untung atau Untung Suropati.

Pada akhir kisahnya, Putri berkomentar akan halnya si Untung, “Jika lah aku tidak bertemu dengan dia, maka aku sudah dihukum mati bersama suamiku oleh Belanda.” Semua mata yang hadir diruang itu sekarang memperhatikan Untung Suropati yang menjadi pahlawan Nasional dan juga pahlawan untuk Putri Gusik Kesuma.

Ayahnya memandang Untung Suropati, “Wahai Kisanak, aku sekeluarga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepadamu yang mana engkau telah melindungi anakku. Dan aku mengharapkan engkau akan tetap melindunginya.”

“Benar Ayahanda, aku harus tetap melindunginya, karena sang Angkara Murka masih mengejar aku dan adik Putri hingga sampai ke tempat ini. Yang kumaksud adalah Kapten Tack masih tetap mengejar hamba hingga ketempat ini. Untuk itu kami perlu suatu tempat yang akan kugunakan sebagai markas besar pasukanku.”

Patih Nerangkusuma menyambung pembicaraannya, “Yang kumaksud dengan kata-kataku, engkau akan tetap melindungi Putri Gusti Kesuma, adalah engkau akan kuambil menantu, jika engkau berkenan.”

Serta merta Untung Suropati bersimpuh dihadapan Ayah mertuanya dan sungkem mencium lutut nya, “Alangkah suka citanya aku. Aku bersedia wahai Ayah mertuaku, Allhamdullilah Hirobbil Alamin.”

Putri Gusik Kesuma terlihat bahagia dengan muka yang menjadi merah; dia memang cantik, seorang wanita yang sungguh mempersonakan setiap orang.

“Akan tetapi, apa sesungguhnya statusmu dalam hidupmu sekarang ini? Apakah engkau seorang suami atau duda atau masih bujang?”

“Aku adalah duda, istriku telah meninggalkan aku untuk pergi ke Holland.”

“Apakah itu berarti sudah bercerai? Jika benar, apa alasan kalian bercerai?”

“Karena kami berlainan kebangsaan, aku orang Bali dan dia orang Belanda.”

Ruangan menjadi sunyi, karena keterangan Untung membuat semua yang ada disitu berpikir keras. Jarang ada orang Jawa, Bali atau Madura yang dapat mendekati seorang wanita Belanda; terlebih-lebih pada saat seperti sekarang ini dimana Belanda sedang sangat agresif mengembangkan kekuasaan. Boleh jadi si Untung adalah pengchianat Bangsa atau mata-mata Belanda.

Akhirnya Untung menyambung, “Memang sungguh mengherankan riwayat hidupku, tetapi percayalah padaku bahwa aku sungguh berpihak kepada Ibu Pertiwi Nusantara; aku justru musuh yang paling keras dari orang Belanda. Bahkan aku dan pasukanku berada di garis terdepan di medan-tempur melawan Belanda sekarang ini.”

“Dan aku sudah berikrar untuk menjadi prajurit wanita dibawah Untung Suropati, ayah.” Kata Putri Gusik Kesuma dengan kata-kata yang tegas dan mantap.

Untung Suropati menjadi terharu; bukan saja hartanya akan tetapi juga nyawanya telah dan akan diberikannya kepada Ibu Pertiwi Nusantara, “Wahai Adindaku yang kusayangi; sekarang engkau selamat di bawah dekapan ibumu; engkau tidak perlu lagi memegang tombak, pedang atau panah, tetapi aku dan pasukanku.”

“Baiklah, keadaan kita seperti yang sekarang ini memaksa kita untuk bertindak secara darurat; maka aku putuskan perhelatan pernikahan antara Untung Suropati dan Gusik Kesuma diadakan besok dengan pesta kecil saja; yang penting syah dimata masyarakat.” Kata Patih Nerangkusuma.

Maka diadakan pesta kecil yang dihadiri olek kerabat dekat dan staf militer Untung. Kedua sejoli yang sudah saling jatuh cinta itu disyahkan dalam Ijab Kabul dimuka seorang kadi dan banyak saksi. Tidak demikian sewaktu pernikahan Untung dengan Suzzane yang hanya disaksikan oleh satu saksi saja dan penuh rasa takut.

Patih Nerangkusuma membawa Untung Suropati kehadapan Raja, untuk “sowan” dan menghaturkan sembah. Tidak disangka, Raja juga berpihak kepada perjuangan Untung akan tetapi secara rahasia saja, karena takut tindakannya akan membuat VOC marah.

Untung Suropati manghaturkan sembah dan berkata, “Mohon maaf jika sekiranya kedatangan hamba di Istana Baginda tidak berkenan dan akan membuat susah Baginda.”

“Selamat datang wahai pahlawan Untung Suropati ku. Engkau sesungguhnya adalah pahlawan bagi Nusantara, bukan hanya bagi orang-orang Jawa saja. Percayalah aku bersimpati kepada perjuanganmu.

Memang benar kata-kata yang sudah engkau ucapkan, oleh sebab itu engkau akan kusembunyikan di desa Babirong. Kapten Francois Tack akan datang dalam waktu dekat untuk menangkap mu. Aku akan membantumu bila sudah terjadi pertempuran dengan dia.”

“Aku bukanlah seekor lalat pengganggu yang akan mudah ditangkap. Percayalah padaku Baginda, aku dan laskarku akan melawan dia sejadi-jadinya. Kami memohon doa darimu Baginda, semoga Allah meridoi kami dan perjuangan kami dalam menghadapi kaum kafir.”

Kemudian kedua orang itu undur diri dengan takzim penuh hormat.

Untung Suropati membangun markas besar militer di desa Babirong, semuanya bekerja keras untuk membangun suatu benteng pertahanan. Mempersiapkan peralatan tempur, seperti mengasah pedang dan keris, tombak dan memperbaiki gendewa panah. Beberapa prajurit juga mempersiapkan senapan locok, karena sudah terbiasa.


Bab 13

Untung Suropati beserta staf militernya dan Patih Gendut memimpin rapat militer yang penting. Mereka akan mendengar laporan prajurit mata-mata yang bekerja disekitar Istana.

“Aku mendengar dari seorang prajurit Istana bahwa musuh akan datang dalam waktu satu minggu kedepan dengan berkekuatan tujuh puluh lima serdadu berkuda, dibawah pimpinan Kapten Tack sendiri.”


“Jumlahnya mengherankan, hanya sedikit sekali.” Kata Patih Gendut.
“Janganlah engkau bersifat sombong, wahai Patih Gendut, ucapkan lah Alhamdullillah, karena dengan kehendak Allah kita akan dapat mengatasi mereka.”

“Ya Paduka, Alhamdullillah.” Kata Patih Gendut.

Jokopasopati mengungkapkan pendapatnya, “Mungkin sudah terjadi pembicaraan sebelumnya antara VOC dan Raja bahwa masalah pemberontak Untung Suropati adalah tanggung jawab Raja; jadi Kapten Tack akan menjemput Untung dalam keadaan tangannya sudah diborgol dan kakinya sudah diikat, demikian juga kita semua. Kemudian kita akan digiring berjalan kaki hingga sampai ke Batavia. Oleh sebab itu lah dia, Kapten Tack tidak perlu membawa serdadu terlalu banyak.”

“Digiring ke Batavia dalam keadaan hina dina.” Kata Suromenggolo, menambahkan.

Untung Suropati memberi komentar, “Walaupun Raja memberikan pujian kepadaku, aku menjadi curiga kepada Raja setelah mendengarkan pendapatmu. Akan tetapi apa alasanmu akan halnya engkau berkesimpulan seperti itu, wahai Pasopati?”.

“Raja berhutang dua juta limaratus ribu gulden kepada VOC, itu sudah aku dengar dari Patih Nerangkusuma. Sifat orang yang berhutang akan selalu menuruti setiap permintaan orang yang memberi hutang, itulah hukum yang tidak tertulis. Demikianlah Raja selalu meng-iyakan setiap permintaan VOC.”

“Sungguh benar pandanganmu Pasopati, aku kagum kepadamu.” Kata Untung Suropati.

“Jika demikian adanya, maka kita akan serang mereka sewaktu kapten Tack menjadi tamu Raja seketika.” Kata Patih Gendut.

“Aku setuju denganmu. Kapten Tack akan santai di depan Raja, karena mereka adalah kawannya juga. Dan kita akan serang mereka yang dalam keadaan tidak waspada.

Bahkan aku baru tau nama lengkap kapten Tack yang sebenarnya, Kapten Francois Tack yang memberi tau kan Raja. Ini menjadi bukti bahwa mereka memang berteman.

Jadi aku putuskan, medan tempur adalah di Istana. Aku memang benar-benar akan membuat susah Raja, seperti yang aku ucapkan dimuka Raja waktu aku sowan.

“Tidak Paduka! Paduka tidak membuat Raja menjadi susah dalam hal ini, bahkan dia berterimakasih kepadamu. Seolah-olah dia akan mengatakan kepada Kapten Tack, lihat engkau saja tidak sanggup menangkap Untung, apalagi aku. Dan bahkan sekarang Untung telah masuk ke Istanaku untuk membunuhmu.” Kata Patih Gendut.

Semua orang yang hadir tersenyum dan membenarkan. Semua sudah sependapat dan rapat ditutup dengan keputusan yang tepat.

Pasukan mata-mata terus memantau Istana, bila Kompeni sudah datang, pasukan Untung akan bergerak ke Istana. Untung berharap Kapten Tack sedang santai dan tidak waspada.

Pada suatu ketika, datang seorang muda membawa tombak ingin menghadap Untung Suropati di Markas besarnya; maksud kedatangannya adalah ingin diterima sebagai prajurit Untung. Sungguh aneh kedengarannya; dia datang mengantarkan nyawa nya dengan menjadi prajurit Untung.

“Wahai Kisanak siapa namamu?” Tanya Untung Suropati.

“Namaku adalah Pangeran Puger, aku adalah adik tiri Raja Amangkurat II. Maksud kedatanganku adalah membatu engkau didalam pertempuran yang akan terjadi. Ingatkah engkau akan janji Baginda bahwa beliau akan membantu perjuanganmu; itulah aku yang mendapat tugas dari Baginda untuk membantumu.”

Serta merta Untung berdatang sembah kepada Pangeran Puger, “Selamat datang wahai Pangeran di markas kami ini, Alhamdullillah.”

“Kepandaianku adalah melempar tombak, yang InsyaAllah akan mengenai sasarannya dengan tepat. Tombakku ini kunamakan Kiai Plered;tombak yang bertuah.”

“Adakah anak buahmu yang lain?”

“Tidak ada, hanya aku sendiri. Dan aku minta kepadamu untuk merahasiakan kehadiranku disini, jika tidak VOC akan menghukum kakakku, Raja Amangkurat II. Panggilah aku dengan nama sederhana, Joko.”

Hari yang dinanti dengan perasaan was-was datang juga. Pasukan mata-mata melaporkan kepada Untung akan kedatangan Kapten Francois Tack dengan pasukan berkudanya di Istana. Secara diam-diam Untung dengan dua ratus pasukannya mengepung Istana.

Sementara itu didalam Istana, Kapten Tack menagih janji akan tawanan Untung Suropati.

“Dimana engkau tempatkan para tawanan Untung dengan pasukannya yang sudah engkau tangkap?, agar aku dapat membawanya atau membunuhnya.” Tanya Kapten Tack kepada Raja.

“Di belakang Istana, mereka sudah kurantai sehingga tidak dapat bergerak.” Kata Raja.

“Oh, baik sekali. Hayo kawan-kawan kita temui sasaran kita.” Kata Kapten Tack.

Sementara itu Pangeran Puger memimpin penyerangan ke dalam Istana; memang Pangeran atau Joko telah diberi tugas oleh Untung untuk memimpin karena dia lebih tau akan seluk beluk keadaan Istana. Pasukan Untung memasuki pintu gerbang Istana di bagian belakang.

Kapten Tack terlihat keluar dari gedung utama bersama seluruh pengawalnya dan berjalan di halaman Istana menuju bagian belakang. Disana Kapten Tack menemui orang-orang penjara yang dirantai; mereka meratap meminta ampun kepada londo-londo itu untuk tidak dibunuh.

“Mana si Untung? Aku kenal betul mukanya. Ini rombongan apa? Mereka bukan target kita; Untung dan pasukannya tidak seperti ini. Kita telah ditipu oleh Raja.” Kata Kapten Tack.

Belum habis kata-kata si Kapten, sebatang tombak melesat dari balik pintu gerbang dan tepat menancap di dadanya. Kapten langsung tersungkur, jatuh kebumi dengan darah memancar dari luka didadanya dan dari mulutnya. Dia menemui ajalnya.

“Serang!” terdengar teriakan komando dari Untung, maka puluhan anak panah berterbangan ke arah targetnya. Para serdadu kompeni belum hilang rasa terkejutnya melihat pimpinannya mati seketika, sudah diserang kembali secara tiba-tiba. Mereka mati semua tanpa perlawanan. Tujuh puluh lima serdadu londo VOC mati bergelimpangan.

Yang melempar tombak untuk pertama kalinya adalah Pangeran Puger atau Joko dengan tombak Kiai Plered yang bertuah, andalannya.


Bab 14

Yang memburu menjadi diburu dan menemui kematian, itulah Kapten Francois Tack; mati mengenaskan bersama seluruh prajurit pengawalnya pada tahun 1686.

Maksudnya adalah mengadu domba antara Raja dengan Untung Suropati, dan kemudian dia dapat dengan mudah mengambil hasilnya.

Akan tetapi, nampaknya Raja sudah mengatur skenario dengan Pangeran Puger dan juga dengan rombongan orang-orang penjara yang dirantai kakinya yang ditempatkan dibelakang Istana.

Sementara, Kapten Tack memandang rendah Raja dan rakyatnya yang dianggap bodoh sehingga dapat didikte untuk menyerahkan Untung. Ternyata Kapten Tack salah besar. Raja tidak mau mengabulkan permintaan Kapten Tack kali ini, karena Raja masih mempunyai rasa kebangsaan yang tersisa di hati.

Kemenangan demi kemenangan diraih oleh Untung Suropati beserta pasukannya.

Waktu membawa perubahan dan Untung sekarang bukan Untung yang dulu karena dia mempunyai tanggung jawab terhadap Keluarga karena dia sudah mempunyai istri.

Untung Suropati mencita-citakan sesuatu kebahagiaan dan kesejahteraan yang langgeng demi membahagiakan keluarga, “Aku sudah mempunyai kekuasaan, aku sudah mempunyai angkatan perang dan laskar, aku sudah diangkat menjadi Raja, tetapi seorang Raja yang hanya diakui oleh para laskarku saja., Aku seharusnya mempunyai suatu daerah kekuasaan.” Untung berpikir.

Gagasannya akan derah kekusaan disampaikan kepada ayah mertuanya; kemudian keduanya berdiskusi akan halnya daerah kekuasaan bagi Untung Suropati. Turut hadir juga Putri Gusik Kesuma didalam forum diskusi itu. Pada akhirnya mereka menaruh harapan pada tokoh Raja yang dapat diminta pertolongannya untuk Untung akan mendapatkan daerah kekuasaan..

Patih Nerangkusuma menuturkan riwayat Kerajaan Mataram, “Untung, engkau harus tau situasi politik Kerajaan Mataram pada waktu lalu dan terlebih akan halnya Raja Amangkurat II yang sekarang ini, yang sebelumnya bernama Mas Rachmat. Raja yang memerintah sekarang ini sudah terikat dengan VOC, seolah beliau tidak mempunyai kekuasaan lagi, tetapi kekuasaannya sudah dipegang oleh VOC. Mengapa begitu? Dikarenakan dia telah berhutang kepada VOC; beliau dapat menduduki tachta atas bantuan VOC dalam mengalahkan Trunojoyo; kemudian VOC meminta upah jasa berupa uang sebesar dua setengah juta Gulden dan diikuti berbagai perjanjian yang sangat memberatkan.

Dimasa mudanya Mas Rachmat berseteru dengan ayahnya sendiri, Raja Amangkurat I, dikarenakan beliau tidak sejalan dengan politik ayahnya yang sangat otoriter dan sungguh kejam didalam memerintah rakyatnya. Amangkurat I telah melakukan pembunuhan politik secara rahasia atas lawan-lawan politiknya seperti misalnya Tumenggung Wiroguno dan masih banyak lagi. Adiknya yang bernama Mas Alit protes dan melaksanakan pemberontakan yang didukung kaum alim ulama. Kaum pemberontak dapat dipadamkan dan semua yang terlibat dibunuh beserta seluruh keluarganya. Sungguh seorang Raja yang sangat kejam; menurut achli sejarah,ada 5000 orang dibantai di alun-alun; suatu jumlah yang tidak masuk diakal.

Perseteruan itu lebih diperparah lagi dikarenakan Mas Rachmat memperebutkan wanita cantik, Rara Royi dengan ayahnya sendiri. Rara Royi dikawinkan dengan Mas Rachmat oleh Raden Pekik. Sedangkan Raden Pekik adalah ayah mertua dari Raja Amangkurat I. Alangkah marahnya Raja kepada ayah mertuanya sendiri. Maka Raden Pekik dibunuh oleh menantunya beserta seluruh keluarganya. Sedangkan Mas Rachmat masih dapat diampuni asalkan mau membunuh kekasihnya dengan tangannya sendiri.

Amangkurat I memecat Mas Rachmat sebagai Adipati Anom (calon pengganti Raja) dikarenakan perseteruan itu.

Pada akhirnya, Mas Rachmat melancarkan pemberontakan. Dia mendapat dukungan dari tokoh pemberontak yang bernama Trunojoyo.

Akan halnya Trunojoyo adalah tokoh yang dihadapkan pada Mas Rachmat oleh tokoh spiritual bernama Panembahan Rama, “Jika engkau mau memberontak terhadap ayahmu sendiri, maka aku usulkan pemberontakan ini dapat dipimpin oleh Trunojoyo, menantuku. Sementara engkau berdiri dibelakang saja.”

Tidak disangka, ternyata Trunojoyo mendapat dukungan luas dari masyarakat Kerajaan Mataram dan Madura dan bahkan orang Makasar yang berseteru dengan Amangkurat I. Hal ini menandakan rakyat memang tidak puas dengan pemerintahan Amangkurat I.
Hal ini justru membuat gentar hati Mas Rachmat, sehingga dia mundur dari kalangan para pemberontak, pada hal Mas Rachmat sendiri yang berinisiatif untuk memberontak sedang

Trunojoyo hanya membantu. Dia bagaikan menunggang harimau ganas. Oleh sebab itu dia berbaik kepada ayahnya; dia meminta ampun kepada ayahnya.
Trunojoyo melancarkan serangan ke Istana Plered tahun 1677 dengan pasukan rakyat yang berjumlah besar. Istana dijarah dan dibakar. Raja Amangkurat I lari mengungsi ke arah barat, tepatnya ke kota Tegal. Amangkurat I memerintahkan anaknya, Mas Rachmat untuk mempertahankan Istana Plered, akan tetapi dia justru ikut lari mengungsi.

Sementara itu adiknya dari lain ibu, Pangeran Puger atau Mas Darajat dicurigai oleh ayahnya ikut memberontak bersama Trunojoyo. Karena Pangeran Puger berasal dari wangsa Kejoran, sama dengan wangsa Panembahan Rama, ayah mertua Trunojoyo.

Tetapi Pangeran Puger justru melawan Trunojoyo, mempertahankan Istana Plered; untuk memperlihatkan kepada ayahnya bahwa tidak semua wangsa Kejoran adalah pemberontak. Akan tetapi kekuatan musuh terlalu besar, Pangeran Puger tentu saja kalah. Trunojoyo yang membawa pasukannya yang bagaikan air bah memasuki Istana. Pangeran Puger melarikan diri beserta pasukannya ke desa Kanjeran.

Ditempat itu dia membangun Istana yang baru, dinamakan Istana Kerajaan Purwakanda dan dia menobatkan dirinya sebagai Raja, Susuhunan Ingalaga.

Sementara itu, Trunojoyo setelah puas menjarah Istana Mataram, pulang kembali ke markasnya di Kediri. Maka Susuhunan Ingalaga dapat kembali ke Istana Plered.

Raja Amangkurat I wafat di pengungsian, di Tegal, maka namanya juga dikenal sebagai Sultan Tegalarum. Menurut Babad Tanah Jawi, Raja mati karena diracun oleh anaknya, Mas Rachmat. Walaupun begitu, Mas Rachmat ditetapkan sebagai pengganti Raja; mungkin Amangkurat I tidak tau akan penyebab kematian dirinya. Ayahnya berwasiat sebelum mangkat, agar Mas Rachmat meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan.

Setelah perjanjian ditanda tangani, maka VOC melancarkan serangan ke pemberontak dibawah Komandan Kapten Francois Tack, dan Trunojoyo berhasil ditangkap pada tahun 1679, diserahkan kepada Raja dan kemudian Raja membunuhnya dengan tangannya sendiri.

Trunojoyo yang pada mulanya mau membantu Mas Rachmat untuk memberontak, malah dibunuh oleh Mas Rachmat sendiri.

Begitulah sifat Mas Rachmat atau Amangkurat II; dia yang mudah dipengaruhi orang dan sekarang kekuasaannya diombang-ambingkan oleh VOC.” Demikian Nerangkusuma mengakhiri kisahnya.”

Untung memberi komentar, “Kalau begitu sifatnya, kita harus berhati-hati menghadapinya. Boleh jadi suatu ketika dia berbalik menjadi musuhku, bersama-sama dengan Belanda; Apakah mungkin ayah?”

“Mungkin saja’ untuk dapat kiranya dia mencari selamat lebih dulu dari ancaman Belanda.” Kata Nerangkusuma, ringan.

“Bagaimana pendapatmu,wahai Adinda Gusik Kesuma?” Tanya Untung.
Putri berkata,

“Ku ‘kan sampaikan didalam puisi,

Kebanyakan Raja-Raja Jawa penuh dengan intrik dan ambisi

Turun temurun seperti itu sudah tradisi

Wanita, harta dan kuasa sebagai landasan inspirasi

Dikuasai rasa curiga, sombong, rakus dan iri hati

Asalkan nafsu dapat dipenuhi

Kerjasama dengan musuh londo, tak perduli

Rakyat menangis, harta tergadai ‘tuk melunasi

Hutang Raja pada Kompeni

Apakah ‘ku harus bangga pada Raja?

Dia ‘tak ‘kan Raja tanpa hamba sahaya

Tapi dia ‘tlah lupa ‘kan asal mula

Dicampakan yang pernah mendukungnya

Oh Dewa, ‘ku rindu ‘kan titisan satria

Turunlah kebumi yang ‘tlah dirusak Raja

‘Gar dibenahi menjadi sama rata

‘Kan didengar setiap suara

Tak ‘kan ada lagi yang gila kuasa.

Menelantarkan rakyat jelata.”


Untung mengomentari, “Oh adindaku si pelantun puisi; semua yang telah terjadi didalam dunia politik kebanyakan Raja-Raja Jawa sudah engkau simpulkan didalam puisimu itu. Aku sendiri membenarkan, Innallilahi wa innalilahi rojiun.”

Patih Nerangkusuma berkata, “Benar sudah apa yang kalian katakan itu, sesungguhnya kita akan dikembalikan kepadaNya di Achirat nanti untuk diadili atas perbuatan kita di Dunia; tetapi kebanyakan manusia tidak menyadari.

Aku akan teruskan kisahku mengenai Pangeran Puger setelah dia menduduki kembali Istana Plered dan setelah memazulkan dirinya menjadi Susuhunan Ingalaga. Dengan demikian ada dua orang Raja di Mataram.

Sementara itu, Mas Rachmat yang sudah diangkat menjadi Amangkurat II pulang kembali ke Mataram; dia mendapatkan adiknya sudah menduduki Istana Plered dan menjadi Raja atas kemauannya sendiri. Dengan demikian, Amangkurat II atau Mas Rachmat adalah Raja tanpa daerah kekuasaan dan juga tanpa Istana.

Mas Rachmat membangun Istana lain di Kertasura; kemudian dia memanggil adiknya untuk berdamai dan menikmati kehidupan bersama-sama di Istana Kertasura. Adiknya menolak dan akan tetap menjadi Raja di Istana Plered. Kakaknya menjadi marah mendengar tantangan adiknya.

Maka terjadi perang suksesi atau perang memperebutkan Tachta. Lagi-lagi Mas Rachmat meminta bantuan Kompeni. Kompeni mengirim Kapten Jacob Couper untuk meredam pemberontakan Pangeran Puger. Kita sudah sama mengetahui bahwa Kapten ini sudah tewas sesudah itu di tangan Untung Suropati di desa Rajapalah, Jawa Barat.

Atas serangan Kompeni, Pangeran Puger menyerah kalah. Dia pergi “sowan” ke kakaknya di Kertasura untuk berdamai. Dia kembali menjadi Pangeran Puger, mencopot gelar Susuhunannya.

Akan tetapi Mas Rachmat harus membayar biaya perang lebih banyak, maka Amangkurat II, atas nama rakyatnya berhutang lagi pada Kompeni. Rakyat juga yang harus membayar melalui pajak-pajak yang semakin tinggi.

Jadi Untung, janganlah engkau harapkan Raja dapat menolongmu.

Bahkan, kehadiranmu di Kertasura ini telah membuat Raja menjadi susah dan sesungguhnya Raja tidak berkenan atas kehadiranmu disini.” Demikian Nerangkusuma mengakhiri kisahnya.

“Mengapa kehadiranku telah membuat Raja menjadi susah? Walaupun beliau telah memuji aku sebelumnya” Tanya Untung.

“Sekarang ini, kelihatannya Kompeni telah mencium adanya konspirasi atas terbunuhnya Kapten Tack berikut tujuh puluh empat prajuritnya. Kompeni telah menurunkan tim penyelidik untuk mengetahui penyebab sebenarnya kematian Kapten Tack itu. Dan sementara itu Amangkurat II menjadi gelisah, ketakutan.’

“Lalu aku harus bagaimana ayahanda? Aku harus mengambil sikap apa?” Tanya Untung.

“Engkau tenang saja dan pura-pura tidak tau masalah Raja. Kemudian, kita sama-sama mengharapkan Raja akan memanggilmu dan menyuruhmu pergi secepatnya dari Kertasura.”

“Lalu aku dan pasukanku harus pergi kemana?”

“Jangan tanya padaku, engkau tanyakan hal itu pada Raja.”


Bab 15

Sungguh benar dugaan Patih Nerangkusuma, karena Untung akhirnya dipanggil menghadap Raja. Raja masih memandang hormat dan bahkan sedikit takut akan kekuatan militer Untung Suropati yang berulangkali dapat mengalahkan pasukan Kompeni.

Sebelum tim penyelidik Kompeni datang, sebaiknya si Untung disuruh pergi saja, jika tidak maka akan memperkuat bukti bahwa memang benar Raja telah bekerjasama dengan Untung Suropati didalam pembunuhan Kapten Tack.

Untung berjongkok dan bergerak perlahan kehadapan singgasana Raja, mengatupkan kedua belah telapak tangannya, berdatang sembah, “Hamba datang menghaturkan sembah takzim kehadapan Paduka, Baginda Amangkurat. Adakah perintah untuk hamba? InsyaAllah akan hamba laksanakan.”

Baginda merasa senang dengan adat Istana yang selalu dipakai Untung Suropati, walaupun hidup “urakan” dihutan dan di medan tempur tetapi dia lebih Ningrat dari yang sudah Ningrat.

“Hai Untung! Sudah waktunya aku menyruhmu pergi dari persembunyianmu, karena Belanda sudah tau tempat persembunyianmu. Ini semua untuk menghindari korban yang sia-sia dari pasukanmu. Pergilah!”

“Aku dapat pergi kemana saja yang aku suka; akan tetapi adakah Baginda memerintahkan hamba ke tempat suatu tujuan yang pasti? Agar kedudukan Baginda lebih kuat di mata Kompeni?”

Amangkurat II termenung sebentar, memikirkan kemana sebaiknya si Untung ditempatkan beserta seribu lebih prajuritnya. “Kompeni telah mencurigai Bupati Pasuruan ikut aktif didalam pasukan pemberontak Trunojoyo. Tersirat tetapi tidak tersurat Kompeni memerintahkan aku untuk menata kembali Pasuruan. Akan tetapi aku kenal baik dengan Bupati disana, tetapi apa boleh buat daripada Kompeni menjadi marah kepadaku.”

Akhirnya Baginda bersabda, “Untung engkau dapat pergi ke Pasuruan untuk menggantikan Bupati yang memerintah disana, aku akan membuat surat resmi akan halnya pergantian tersebut. Jika dia tidak mau engkau gantikan, maka engkau dapat menggunakan jalan kekerasan yang akan aku restui.”

“Terimakasih Baginda, semoga Baginda mendapat Taufik dan Hidayah dari Allah SWT dan diberi panjang umur.”

Maka Untung Suropati beaserta pasukannya mendapatkan rezeki yang tidak disangka-sangka. Akan tetapi sesuatu rezeki seharusnya tidak perlu (boleh) mengorbankan orang lain. Ini adalah tindakan kekerasan mengusir Bupati lama yang bernama Anggajaya.

Pasukan Untung Suropati bergerak ke arah Pasuruan beserta seluruh peralatan perangnya; dengan diantar oleh Patih Nerangkusuma. Mereka berkemah di pinggir kota dan mengirim seorang utusan dengan membawa surat dari Raja kepada Bupati.

Bupati Anggajaya gentar hatinya melihat kemah-kemah yang begitu banyak mengelilingi kotanya dan juga sudah mendengar nama Untung Suropati yang terkenal. Terlebih-lebih dia sudah menerima titah Raja Amangkurat II untuk segera mengakhiri pemerintahannya.

Oleh sebab itu dengan berat hati dia angkat kaki dari Istananya, lari ke Surabaya untuk mengadukan kesedihannya kepada kerabat dekatnya, Bupati Surabaya, Adipati Jangrana.

Adipati Jangrana sudah lama kenal dekat dengan Untung Suropati sewaktu bersama-sama ikut membunuh Kapten Francois Tack di Kertasura. “Sudahlah adik ku Anggajaya, terimalah nasibmu ini, aku berdoa Tuhan Yang Maha Esa akan menggantikan dengan sesuatu yang lebih baik. Tindakanmu sudah benar dengan lari menghindari pertempuran yang akan membuat orang-orang Londo tertawa terbahak-bahak. Justru kehadiran Untung Suropati dengan pasukannya akan menahan laju ekspansi Kompeni didaearah kita.” Kata Adipati Jangrana kepada adiknya.

Untung Suropati memegang pemerintahan Bupati Pasuruan dan bergelar Tumenggung Wiranegara. Beliau sekarang mempunyai waktu bersama keluarga dan membesarkan anak-anaknya didalam kebahagiaan.

Anaknya yang besar diberi nama Raden Pengantin; yang kedua diberi nama Raden Suropati dan yang ketiga, Raden Suradilaga.

Akan tetapi, situasi politik di tanah Jawa bukan semakin tenang, malah menjadi-jadi dengan timbulnya berbagai perang antar pribumi dengan pribumi dan kompeni dengan pribumi. Hanya ada satu kali perang antar kompeni dengan kompeni, yaitu pemberontakan Kapten Joker di kalangan militer Belanda.

Waktu cepat berlalu yang pada akhirnya Amangkurat II wafat pada tahun 1703. Beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Mas Kencet dan bergelar Amangkurat III. Nama “Kencet” adalah nama ejekan yang diartikan adanya kelainan bawaan pada salah satu kakinya sehingga jalannya timpang.

Sifat-sifat Mas Kencet menyamai sifat-sifat kakeknya Amangkurat I. Rakyat mengetahui sifatnya sejak beliau masih seorang pemuda; dia suka bertindak sembarangan (ngawur), brutal, sadis dan sudah barang tentu bersifat otoriter. Dia sangat pencemburu kepada pemuda tampan yang menyaingi kehadirannya. Apalagi setelah ayahnya wafat dan dia sekarang menjadi Raja.

Sungguh benar si pelantun puisi, Putri Gusik Kesuma didalam puisinya.

Tak lama sesudah Amangkurat III memegang jabatan Raja, Pangeran Puger mengangkat senjata untuk memberontak terhadap kekuasaan Raja baru; terjadi tahun 1704.

Kembali Kompeni terpanggil untuk ikut campur didalam perang memperebutkan tachta tersebut, “Aku dipanggil untuk perang, aku datang dan aku pasti mau, karena ada upah yang dijanjikan. Hal seperti itu sudah menjadi pekerjaanku sebagai serdadu.” Demikian kata Komandan Kapten Goovert Knole. Dan kali ini Pangeran Puger yang meminta lebih dulu, jadi dia dilayani lebih dulu.

Jika sekiranya Amangkurat III meminta Goovert Knole memintanya lebih dulu dari Pangeran Puger, maka sejarah akan berubah, karena Amangkurat III yang akan menang.

Dengan mudah Amangkurat III dapat dikalahkan dan lari mengungsi ke Pasuruan. Dan Pangeran Puger dapat menduduki tachta di Kertasura dan bergelar Pakubuwana I

Mengapa Mas Kencet memilih Pasuruan sebagai tempat pelariannya? Dia berharap kebaikan ayahnya masih teringat oleh Untung Suropati, jadi mudah-mudahan dia dapat diterima untuk berjuang bersama melawan Belanda.

Perjanjian antara Pangeran Puger atau Pakubuwana I dengan Kompeni VOC meliputi perbaikan perjanjian yang sudah dibuat oleh Amanhkurat II. Adapun poin-poin yang tercatat adalah, Hutang Amangkurat II sebesar dua setengah juta Gulden dirubah menjadi empat setengah juta Gulden. Daerah-daerah di utara Pulau jawa seperti Kerawang, Cirebon hingga Semarang menjadi daerah kepemilikan VOC. Raja Pakubiwana I diharuskan menyetor beras sebanyak 10.000 Ton setiap tahunnya kepada VOC di Batavia.

Sementara itu Untung Suropati sekarang sudah jauh berbeda dengan Untung yang dulu. Dulu dia pengatur siasat pertempuran, dia pemanah yang handal, dia pelempar tombak yang jitu dan dia pandai menikam kan kerisnya ketubuh lawan.

Sekarang dia bertubuh gemuk, tua dan tidak gesit; bahkan dia harus ditandu yang dikarenakan kelumpuhan pada anggota gerak kaki. Anak-anaknya diharapkan oleh ayahnya untuk berjuang terus melawan Belanda, menggantikan dia. Jadi sekaranglah waktunya anak-anaknya diuji untuk melawan Belanda.

Komandan Goovert Knole bersama tentara Mataram Kertasura, Surabaya dan Madura melancarkan serangan ke Pasuruan. Pasukan Untung Suropati juga sudah tidak canggih seperti pasukan sepuluh tahun yang lalu; maka dengan mudah ditaklukan oleh Kompeni.

Untung tewas di benteng Bangil pada tanggal 17 Oktober 1706. Sesuai dengan pesan ayahnya, anak-anaknya menguburkan Untung di tempat yang tersembunyi, tanah kuburannyanya diratakan dan tidak diberi tanda apapun.

Anak-anaknya mundur secara teratur dan masih tetap mengusung tandu yang kosong.

Pada bulan Agustus 1707, Herman de Wilde menemukan makam Untung Suropati. Kemudian jenazahnya dibongkar dan dibakar. Dan abunya ditebarkan dilaut. Hal ini sebagai ungkapan kebencian VOC akan pahlawan Nasional tersebut yang telah banyak menimbulkan korban serdadu Kompeni.

Adapun Patih Gendut, putra-putra Untung Suropati dan juga para senior perwira pasukan Untung masih melakukan perlawanan dengan bergabung dengan pasukan pemberontak Arya Jayapuspita di Surabaya tahun 1717. Pemberontakan tersebut berlatar belakang balas dendam kepada Kompeni yang telah menghukum mati Adipati Jangrana, teman dekat Untung Suropati; dan pernah bertempur membantu Untung pada tahun 1706.

Setelah pemberontakan Jayapuspita dapat dipadamkan pada tahun 1718 dan kemudian mundur ke Mojokerto, maka bekas pengikut Untung (terdiri dari orang Bali dan orang Jawa) bergabung dengan para pemberontak Pangeran Blitar yang melawan Belanda dan Amangkurat IV.

Pada akhirnya putra-putra Untung Suropati dapat ditangkap dan dibuang ke Srilangka; demikian juga Amangkurat III.


Penutup

Tidak diberitakan akan halnya nasib Putri Gusik Kesuma, istri Untung Suropati atau istri Tumenggung Wiranegara. Sudah lah pasti Putri itu ikut membantu suami yang dicintai, bertempur melawan Belanda; sesuai dengan permintaannya. Sungguh keluarga Untung Suropati atau Tumenggung Wiranegara adalah keluarga patriot Bangsa dimana semua anggota keluarganya ikut bertempur melawan Londo.


TAMAT

No comments: