Thursday, July 31, 2008

Pendiri Kerajaan Majapahit (Bagian 2)

Raden Wijaya

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

“Marilah kita menghadap ayah dan ibu mu, untuk mengungkapkan rasa cinta kita berdua; mengungkapkan bahwa kita sudah menjadi sepasang kekasih.”

“Secepat itukah? Sabarlah kanda, nanti kita akan sampai disana, tetapi bukan sekarang.”

“Aku akan menuruti kata mu sayang; aku akan sabar menunggu.”

Sepasang merpati itu kembali ke ayahandanya. Sementara Dyah pergi bermanja manja kepada ibunya.

“Siapakah sebenarnya engkau Rakeyan?” Tanya Mahisa Cempaka.

“Aku adalah Pangeran Rakeyan Jayadharma dari Kerajaan Galuh di Jawa Barat.”

“Apa? Engkau seorang Pangeran? Seorang Pangeran datang kerumahku, wow mengejutkan.?”

“Ya betul, aku datang hanya sekedar ber tamasya ke Negeri mu Bapak Mahisa.”

“Jadi engkau bukan sekedar seorang pengembara, tetapi seorang Pangeran; maka aku wajib memberitahukan kedatangan mu kepada seluruh anak Negeri untuk menyambutmu.”

“Tidak usah Bapak, karena aku datang sendiri sebagai rakyat biasa. Aku tidak diundang oleh Raja Singosari.”

Mahisa Cempaka mengajak seluruh penghuni rumahnya untuk memberi penghormatan kepada sang Pangeran.

Dyah Lembu Tal berbisik kepada ibunya, “Ibu, dia meminta aku untuk menjadi istrinya”.

“Apa? Lalu bagaimana dengan kamu? Apakah engkau suka menjadi istrinya?”
Dyah tidak bisa menjawab pertanyaan ibunya; dia hanya tertunduk dengan muka merah.
Pada akhirnya dia menganggukan kepalanya, tanda setuju.

Ibu Dyah sangat gembira, “Aku akan mempunyai menantu. Ayahmu harus tau, aku akan memeritahukan.”

Ibu mendekati Ayah dan berbisik, “Dia telah meminta anak kita Dyah menjadi istrinya. Apakah engkau setuju?”

“Apa betul begitu? Kalau sungguh seperti itu, aku setuju. Tetapi, mengapa proses cinta ini sedemikian cepatnya, seolah-olah mereka sudah lama berkenalan.
Oh ya aku tau, dia akan membawa anak kita secepatnya karena dia akan pulang ke Negerinya di Jawa Barat.”

“Kita tunggu, lamaran dia.”

Dyah Lembu Tal mendekati Rakeyan dan membisikan, “Sekarang kanda dapat mengatakannya kepada ayahku.”

Alangkah senangnya Rakeyan. Dengan bernafsu dia mendekati calon mertuanya dan memohon, “Ayah, aku memohon kepadamu agar Putri ayah, Dyah Lembu Tal diperbolehkan menjadi istriku. Percayalah aku akan menjaga dia.”

“Baiklah, aku memberi izin kepadamu. Akan tetapi mengapa proses percintaan ini sedemikian cepat, seolah-olah kalian berdua sudah lama berkenalan?”

“Aku baru mengenal Dyah sejak di warung makan, ketika Kolo Gondo Mayit menawan putrimu. Itulah jalannya para Dewa memperkenalkan calon istriku. Sejak itu aku jatuh cinta kepada adik Dyah.”

“Tetapi aku tau alasan lainnya, pasti engkau akan pulang keNegerimu di Jawa Barat secepatnya. Betulkan begitu.?”

“Betul ayah.”

“Sebetulnya, aku tidak mau ditinggal oleh putriku ini. Apalagi untuk pergi ke tempat yang jauh sekali. Sekarang aku akan bertanya kepada putriku, apakah engkau mau dibawa pergi ketempat yang jauh oleh suamimu.”

“Sebetulnya aku tidak mau, akan tetapi seorang istri harus mau pergi bersama suaminya kemana saja, itulah hukum ber-suami.”

“Baiklah, jika engkau setuju, aku dan ibumu juga merestui kalian.
Rakeyan menginaplah dirumahku hingga sampai hari pernikahanmu.”

“Baiklah ayahanda-ku, aku adalah orang yang sangat berbahagia di hari ini.”

Semua orang dirumah Mahisa Cempaka sangat senang mendengar kabar akan rencana pernikahan putri Dyah Lembu Tal. Karena Dyah Lembu Tal adalah gadis cantik yang menjadi rebutan para pemuda di Singosari dan juga Kediri. Kecantikannya sangat dikenal oleh anak negeri. Dengan dia akan menikah, maka situasi akan menjadi tenang, tidak akan ada lagi perkelahian memperebutkan gadis cantik itu.


Bab 2

Keadaan Kerajaan Singosari adalah tenang dan aman; lebih dari itu perekonomian menunjukan kemajuan dikarenakan perdagangan dengan dunia Internasional menjadi lebih bergairah. Pelabuhan Tuban sebagai pintu Kerajaan, ramai dikunjungi kapal-kapal asing. Mereka membawa barang-barang dagangannya masing-masing dan kembali membawa hasil bumi dari Kerajaan Singosari.

Bahasa yang dipakai didalam menjalankan perdagangan itu ialah bahasa Melayu, bukan bahasa Jawa. Karena pedagang-pedagang itu kebanyakan datang dari semenanjung Malaka dan Sumatera.

Demikian pula tokoh kita, Rakeyan dia memakai bahasa Melayu untuk berkomunikasi dengan Dyah dan keluarganya.

Raja yang sedang berkuasa adalah Raja Ranggawuni bergelar Wisnu Wardhana. Dia adalah anak Raja Anusapati.
Anusapati menggantikan Raja pertama yang bernama Raja Ken Arok.
Raja Ken Arok adalah pendiri Kerajaan Singosari setelah menunbangkan Kerajaan sebelumnya, Kerajaan Kediri.

Jadi, Raja Ranggawuni adalah Raja ke 3 dari Kerajaan Singosari.

Raja Ranggawuni berhasil mengalahkan kaum pemberontak yang dipimpin oleh Panji Tohjaya. Raja dibantu oleh Mahisa Cempaka. Maka untuk jasanya, Mahisa Cempaka diangkat menjadi Perdana Menteri.

Jadi, pada saat itu mertua Rakeyan menjabat Perdana Menteri dari Kerajaan Singosari.
Oleh sebab itulah Rama bertugas menjaga keselamatan keluarga Mahisa yang dikatakan masih Keluarga Kerajaan.

Mahisa Cempaka adalah anak dari Mahisa Wongateleng; dia adalah cucu langsung dari Raja Ken Arok. Mahisa Wongateleng tidak mempunyai ambisi untuk menjadi Raja, dikarenakan situasi Kerajaan yang memprihatinkan.

Mahisa Wongateleng pernah memberi nasihat kepada anaknya, “Janganlah engkau terjun didalam dunia politik karena dunia politik itu kejam dan kotor.”

“Mengapa begitu ayah?” Tanya Mahisa Cempaka kepada ayahandanya.

“Engkau sudah mengetahui bahwa kakekmu itu (Raja Ken Arok) dibunuh oleh Anusapati (anak tiri dari Ken Arok). Anusapati telah dibunuh oleh Panji Tohjaya (anak Ken Arok dari selir), yang sebenarnya adalah pamanmu sendiri tetapi lain ibu. Tohjaya telah dibunuh oleh Raja Ranggawuni yang sekarang berkuasa.
Aku khawatir bahwa masih panjang lagi cerita saling bunuh ini akan terjadi dikemudian hari; oleh sebab itu jadilah engkau rakyat biasa saja; janganlah bercita-cita menjadi Raja atau Perdana Menteri. Aku lebih suka engkau menjadi pedagang.”

“Baiklah ayah, aku akan menjadi pedagang permata. Aku dan keluargaku akan tinggal dirumah sendiri, bukan di Istana.”

Demikian kisah sedih Keluarga Kerajaan Singosari yang saling bunuh. Sebetulnya akar permasalahannya adalah persaingan antara Keluarga Tunggul Ametung melawan Keluarga Ken Arok. Kedua nya mempunyai istri yang sama yaitu Ken Dedes. Akan tetapi Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung.
Keduanya mempunyai keturunan yang saling bunuh untuk memperebutkan kekuasaan.

Semua pembunuhan-pembunuhan itu menggunakan satu senjata yaitu sebilah keris butan Empu Gandring. Sesuai dengan kutukan Empu Gandring yang mati dibunuh oleh Ken Arok, “Keris ini akan membunuh tujuh keturunanmu wahai Ken Arok; semoga para Dewa ikut mengutuk kamu dan keluargamu.”

Raja Ranggawuni mendapatkan keris tersebut. Keris itu dibuang ditengah laut dengan upacara selamatan agar kutukan Empu Gandring reda.

Ken Dedes adalah wanita cantik di zamannya; dia adalah nenek buyut dari Dyah Lembu Tal. Jadi, tidak lah kita heran Dyah Lembu Tal cantik seperti neneknya.

Raja Ranggawuni berusaha keras agar tercipta ketenangan di Kerajaannya dengan cara mendekati keturunan Ken Arok; diantaranya adalah menjadikan Mahisa Cempaka sebagai Perdana Menteri. Dia sendiri adalah keturunan Tunggul Ametung.

Selain itu, ancaman yang lain adalah keturunan Raja Kertajaya, Raja terakhir Kediri yang ditumbangkan oleh Raja Ken Arok. Salah satunya adalah Jayakatwang (anak Raja Kertajaya); dia sangat berambisi untuk dapat menjadi Raja, “Kerajaan ini adalah milik ayahku; aku-lah yang berhak menjadi Raja.”

Untuk mengantisipasi masalah Jayakatwang, maka Raja Ranggawuni mengangkat dia sebagai anak menantu. Jayakatwang dikawinkan dengan Putri-nya dari selir, namanya Putri Turukbali. Maka amanlah Kerajaan untuk sementara.

Akan tetapi, beberapa tahun kemudian Jayakatwang kembali mengancam akan memberontak, karena Raja mengangkat anaknya menjadi Pangeran dan ditetapkan sebagai pengganti Raja setelah dia.


Bab 3

Akhirnya, datanglah hari yang penuh bahagia bagi Rakeyan Jayadharma bersama istrinya, Dyah Lembu Tal yang duduk bersanding dipelaminan untuk memasuki upacara perkawinan. Semua kerabat dekat dan para undangan Negara, termasuk Raja Ranggawuni dan anaknya Pangeran Kertanegara menyempatkan datang ke pesta yang meriah itu.

Dibalik itu, banyak pemuda-pemuda yang kecewa dan patah hati melihat sepasang pengantin itu; termasuk diantaranya adalah Rama.

Beberapa hari kemudian, kedua sejoli itu berpamitan untuk pulang ke Negaranya, Kerajaan Galuh di Jawa Barat. Banyak sekali anak Negeri yang menyesalkan kepergian Dyah Lembu Tal; seolah-olah bunga indah dihalaman yang dipetik oleh anak nakal.

Pelabuhan Tuban sudah dipenuhi oleh anak Negeri yang akan memberi ucapan selamat jalan kepada kedua sejoli yang akan berangkat.

Keduanya ditahan oleh kerumunan orang yang berteriak-teriak, “Berikan sambutan! Berikan pidatomu sebelum berangkat!”

“Baiklah saudara-saudara yang baik hati. Tidak ada ucapan yang pantas untuk kalian semua kecuali salam hangat, terimakasih dan rasa cinta kepada kalian semua dan seluruh Kerajaan Singosari. Kami akan sampai dipelabuhan Sunda di Jawa Barat kurang lebih dua hari. Terimakasih.” Demikian Rakeyan memberi sambutan singkat.

“Apakah engkau dan istrimu akan kembali?”

“Jika ada kesempatan, sudah barang tentu kami akan kembali.”

“Sekarang giliran Dyah Lembu Tal yang akan berpidato; kami persilahkan!”

Dyah tidak menyangka akan disuruh pidato. Untunglah dia sudah mempersiapkan secarik kertas yang berisi puisi.

“Aku bukan seorang politisi yang pandai berpidato. Bolehkah aku membacakan sebuah puisi yang sudah aku siapkan dari rumah?”

“Boleh, silahkan.”


Hari yang indah
Adalah hari perpisahan kami yang meriah
Burung camar berteriak-teriak
Ombak datang beriak-riak
Seolah mereka ingin mengatakan
Hai, jangan engkau pergi!

Aku tau engkau tidak rela aku pergi
Tetapi Dewa menentukan lain
Aku ingin engkau merestui
Agar nasibku lebih baik dari yang lain

Negeri Galuh adalah tujuanku
Rakyat Galuh yang makmur
Rajanya bijak, menata Negeri teratur
Tanahnya subur
Membuat hatiku terhibur
Duka dan hati yang pilu akan kukubur

Akan ku khabarkan Galuh
Negeri impian nan jauh
Seorang pemuda membuat hatiku luluh
Wahai pemuda, aku kan ikut dengan mu
Karena aku mencintai mu

Wahai anak Negeri
Jagalah kejayaan Singosari
Bela Raja, dia tidak sendiri
Patih dan Menteri menyertai
Kita bersatu membela Negeri.
Aku akan kembali

Diantara para pengunjung, adalah Rama yang patah hati. Dia berpikir, “Oh Mahisa, engkau sepertinya sedang tertipu oleh orang yang mengaku Pangeran. Engkau memang silau dengan gelar seseorang.”

Betapa sedih keluarga Mahisa Cempaka ditinggal oleh putrinya. Tetapi itu sudah ketentuan para Dewa yang Agung.
Rumahnya menjadi sepi, karena tidak ada lagi pemuda-pemuda yang datang untuk memuja sang primadona, Dyah Lembu Tal.


Bab 4

Kurang lebih 20 tahun kemudian, datanglah Dyah Lembu Tal kehadapan ayahnya yang sudah tua. Ketika itu sang ayah sedang santai berjemur diri di kursi malas dihalaman rumahnya, Dyah Lembu Tal datang bersama seorang pemuda, tetapi tidak disertai suaminya, Rakeyan. Ada seorang berpakaian militer ikut menyertainya; dia adalah Patih Danureja.

Dyah Lembu Tal datang berlari-lari menghampiri ayahnya. Nampak air mata-nya berlinang. Ayahnya dipeluk, berkata, “Ayah, aku pulang!”

Sepertinya ayahnya tidak mengenal dia. Pada akhirnya dia berkata, “Oh anakku, Dyah Lembu Tal. Apa khabarmu? Mana suamimu?”

“Rakeyan dibunuh orang, karena pembunuhan politik. Tetapi ayah aku punya penggantinya; ini dia anaku yang sudah besar; namanya Raden Wijaya.
Nak, ini kakekmu. Mahisa Cempaka. Beri salam kepada kakek.”

“Kakek, namaku Raden Wijaya, memberi hormat pada kakek. Ayahku tidak turut serta, tetapi sebelum ayah meninggal dunia dia sempat memberi salam kepadamu untuk disampaikan.”

“Betul, Raja kami, Raja Rakeyan Jayadharma memberi salam hormat kepadamu, Mahisa Cempaka.” Demikian kata Patih Danureja.

“Marilah kita masuk kedalam rumah untuk dapat bercakap-cakap secara santai. Engkau harus menemui ibumu Dyah.”

Dyah memeluk ibunya dan menangis sejadi-jadinya, “Ibu, suamikui dibunuh oleh agen rahasia Kerajaan Sunda.”

Ibu dan bapaknya terperanjat mendengar kabar duka yang luar biasa ini.

“Bagaimana bisa terjadi? Coba ceritakan kepada kita peristiwa pembunuhan itu.” Pinta ibunya.

“Koki dapur yang sebenarnya adalah agen rahasia Kerajaan Sunda menghidangkan masakan istimewa dua porsi. Aku tau yang kelihatan dikemas dengan baik diperuntukan untukku; sedang yang dikemas kurang baik diperuntukan untuk kakang Rakeyan. Karena itu, aku tukar; porsi untuk suamiku kumakan, sedang porsi untukku kuhidangkan untuk suamiku.

Suamiku sedang berburu di hutan, dan sebentar akan pulang. Maka aku makan lebih dulu pada porsi yang diperuntukan suamiku.

Sewaktu suamiku pulang, maka dia langsung makan hidangan yang sebenarnya disajikan untukku. Tidak lama kemudian perutnya sakit, kondisinya menurun dan dia jatuh sakit secara tiba-tiba. Menurut tabib Istana suamiku telah memakan racun yang berasal dari hidangan itu.

Aku langsung berteriak, “Tangkap koki dapur Istana!” Semua prajurit menyerbu kedapur, tetapi sang koki sudah melarikan diri dengan kuda kearah barat. Kami semua berkesimpulan, koki adalah agen rahasia Kerajaan Sunda.

Suamiku sangat kesakitan, tetapi masih dalam keadaan sadar.

“Siapakah yang bermaksud jahat terhadapmu?”

“Dia adalah agen rahasia dari Kerajaan Sunda. Karena aku mengingkari janji untuk mengawini Dewi Dara Buana, kerabat dekat Kerajaan Sunda.
Sebenarnya engkau yang akan dibunuh; oleh sebab itu, pergilah sekarang ke Singosari karena keselamatanmu terancam.
Patih Danureja, antarkan istriku dan anakku ke Negaranya, segera.
Sampaikan salamku kepada ayah mertuaku, Mahisa Cempaka.”

Nah, itulah yang terjadi di Kerajaan Galuh. Ini adalah musibah yang menimpa keluargaku ayah. Aku dan anakku akan tinggal dirumah ini.

Patih Danureja meminta izin untuk kembali ke Negerinya. Semua orang tau bahwa Kerajaan Galuh dalam keadaan waspada dan tenaga Patih diperlukan disana.
Sementara itu, Raja Rakeyan digantikan oleh adiknya.

Raden Wijaya memulai pengalamannya yang baru di Kerajaan Singosari. Dia memulai belajar bahasa Jawa, sementara bahasa Melayu sudah lebih dulu dikuasai. Tapi ada hal yang menjadi pertanyaan buat pemuda itu, apakah aku orang Sunda atau orang Jawa?

Pada kesempatan berkumpul dengan ibu, kakek dan neneknya, Raden Wijaya bertanya kepada Ibunya, “Ibu, apakah aku warganegara Singosari atau Galuh?”

“Engkau adalah warganegara Galuh, bahkan engkau adalah Pangeran yang seharusnya akan menggantikan ayahmu menjadi Raja di Kerajaan Galuh.
Jadi, apakah engkau akan pulang ke Galuh untuk menjadi Raja disana?”

“Tidak Ibu aku lebih senang disini, menemani Ibu, Kakek dan Nenek. Aku sekarang warganegara Singosari, tidak lagi Galuh. Alasan lainnya adalah Galuh sekarang keadaannya tidak menentu dan kacau.”

“Kakek bersyukur engkau telah memilih Singosari sebagai Negerimu, cucuku.”
“Siapakah Raja di Kerajaan Singosari?” Tanya Raden Wijaya kepada kakeknya.

“Raja Kertanegara. Nanti bila ada kesempatan engkau akan kubawa ke Istana dan engkau akan kuperkenalkan kepada Raja.”

Raden Wijaya terkejut. Dia diam untuk sementara sambil memandang muka kakeknya

“Apakah Kakek kenal dengan Raja?”

“Sebelum aku pensiun, aku adalah Perdana Menteri Kerajaan Singosari. Waktu itu Rajanya bernama Ranggawuni, ayah dari Kertanegara.”

“Kalau begitu Kakek masih kerabat dekat dengan Keluarga Kerajaan?”

“Kakek pernah membantu Raja Ranggawuni dalam memadamkan pemberontakan Toh Jaya. Untuk jasaku, maka Raja Ranggawuni mengangakat aku sebagai Perdana Menteri.
Tapi aku sendiri tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Raja, tetapi mereka menghargai aku; sehingga aku dianggap masih Keluarga Kerajaan.

Sebetulnya, kakek buyutmu adalah Raja Pertama di Kerajaan Singosari, namanya Raja Ken Arok. Dia kawin dengan Ken Dedes, melahirkan Mahisa Wongateleng yaitu Kakek Buyutmu. Sementara itu Ken Dedes juga pernah kawin dengan Tunggul Ametung yang melahirkan Anusapati; dia adalah kakek buyutnya Raja Kertanegara yang sekarang.”

“Kalau begitu, kita memang masih ada hubungan keluarga dengan Raja Kertanegara melalui Ken Dedes, satu Nenek Buyut.”

“Betul begitu, cucuku. Akan tetapi keturunan dari kedua keluarga itu, Ken Arok dengan Tunggul Ametung saling berebut kekuasaan, sehingga saling bunuh.
Oleh sebab itu Kakek Buyutmu, Mahisa Wongateleng berpesan kepadaku untuk tidak menghendaki kedudukan Raja.
Raja Ranggawuni berusaha sekeras, sedapat-mungkin untuk terciptanya perdamaian diantara kedua keluarga itu. Kelihatannya beliau sudah berhasil mendamaikan.”

“Sukurlah, nampaknya Kerajaan Singosari tenang dan damai dan juga makmur; hal ini berkat kerja keras Raja Ranggawuni dan Kertanegara.”

(Bersambung)

No comments: