Saturday, August 9, 2008

Pendiri Kerajaan Majapahit (Bagian 4)

Damai Sementara dengan Kaum Pemberontak

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

“Walaupun aku tinggal dipulau yang terpencil, tetapi aku mengikuti perkembangan Istana. Aku tau bahwa Raja telah memotong kuping sang utusan, Meng Qi.
Jadi dengan demikian, sekarang kita sedang menunggu serangan tentara Tar-tar.
Engkau diharapkan oleh masyarakat Singosari untuk menjadi seorang pahlawan untuk menghadapi tentara Tar-tar tersebut, karena engkau adalah penerus Kerajaan Singosari.”

“Caranya bagaimana Paman.?”

“Engkau adalah penerus Raja Singosari. Serdadumu yang ada di tanah jajahan siap membela kamu. Kerajaan Singosari tidak runtuh, tanah jajahannya beserta serdadumu tetap ada disana. Akan tetapi mereka tidak mendengar berita pemberontakan Jayakatwang, jadi engkau sendiri yang harus menghadapi Tar-tar.
Apakah engkau sendiri saja menghadapi tentara Tar-tar? Tidak! Ada Jayakatwang yang akan bersamamu memerangi Tar-tar.

Engkau harus membangun Kerajaan dari mula kembali. Untuk itu, engkau harus mempunyai sebidang tanah guna menjadi tempat tinggalmu dan serdadumu.
Mintalah tanah tersebut dari Jayakatwang.”

“Paman, dia adalah musuh kami nomer satu. Bagaimana aku harus meminta kepada dia. Dia pasti bernafsu untuk membunuhku.”

“Engkau sudah barang tentu tidak mempunyai keberanian, aku dapat mengerti.
Anak Jayakatwang, Jayamatkan adalah sahabatmu. Aku akan meminta bantuannya untuk mendekati ayahnya dengan menyuratinya.”

Aria Wiraraja membuat surat kepada Jayamatkan, “Jayamatkan, ini adalah surat dari aku, Aria Wiraraja. Dimana aku ingin meminta bantuanmu untuk mendekati ayahmu agar mau memberikan sebidang tanah untuk tempat tinggal sahabatmu, Raden Wijaya dan keluarganya. Ingatlah janjimu yang akan menolong sahabatmu itu.
Untuk memperkuat misimu, aku juga membuat surat langsung ditujukan ke ayahmu, perlihatkan suratku itu kepada ayahmu.”

“Semoga anaknya, Jayamatkan yang menjadi sahabatmu akan membantu misi kita.
Sesungguhnya engkau hanyalah seorang menantu yang kebetulan menantu seorang Raja. Jadi engkau tidak terlibat didalam masalah pemberontakan Jayakatwang.
Percayalah padaku, pandangan Jayakatwang kepadamu lebih bersahabat, jauh berbeda dari ayah mertuamu.”

Surat ini akan dibawa oleh kurir dan akan diserahkan kepada Jayamatkan. Seudah itu Jayamatkan yang akan menyerahkan kepada ayahandanya. Setelah itu baru kamu datang ke Istana Kediri.”

“Terimakasih Paman, hanya Para Dewa yang akan membalas semua kebaikan Paman.”

Kemudian Aria Wiraraja membuat surat kepada sekutunya, Jayakatwang; yang isinya permohonan sebidang tanah untuk tempat tinggal bagi Raden Wijaya, menantu bekas Raja, Raja Kertanegara.

Surat dibawa oleh seorang kurir dengan menggunakan kuda ke Istana Kediri. Dua hari kemudian, sang kurur kembali dan melaporkan bahwa tugas sudah dijalankan.

Setelah itu, Raden Wijaya pergi ke Kediri, berkuda, ditemani oleh dua orang prajurit. Setelah pamit dengan keempat istrinya, Raden berangkat.
Istri-istrinya sangat menghawatirkan keselamatan suaminya. Mereka dari hari kehari menjadi lebih mencintai suami mereka, karena kelihatan Raden Wijaya sangat serius didalam perjuangan.

Setelah sampai di Istana Kediri, menambatkan kudanya, dia memasuki Gerbang Istana. Dia sangat khawatir akan pembunuh tersembunyi. Tetapi Raden selalu ingat kata-kata sang Paman, “Jangan khawatir, engkau hanyalah seorang menantu yang kebetulan menantu seorang Raja. Jadi engkau tidak terlibat dalam pemberontakan.” Hal itu sangat menyejukan hatinya.

Dia ditahan oleh seorang pengawal Istana, ditanyakan siapa dan apa keperluannya. Kemudian pengawal melaporkan kedalam Istana.

Jayamatkan nampak didalam Istana; dia melihat kepada Raden dan mengangguk. Tampak dia mendekati ayahnya dan mengucapkan sesuatu.

Raden Wijaya berjalan mendekati Singgasana dan duduk bersimpuh dihadapan sang penakluk, Jayakatwang.

“Apa keperluanmu, wahai menantu Raja? Alangkah beraninya engkau datang kesini.”

“Aku adalah Raden Wijaya, menantu Raja yang menderita kemalangan. Rumahku habis dibakar orang, kemudian aku dan keluargaku dikejar-kejar. Sekarang aku datang seperti pengemis, memohon kepada seorang Raja yang agung seperti engkau akan sebidang tanah; untuk dapat aku tempati dan akan ku bangun rumah untuk aku tinggali.
Aku akan sangat berterimakasih apabila dipenuhi permintaanku.”

“Alangkah sopannya engkau kepadaku, aku suka itu! Aku tidak melihat engkau pada waktu aku menyerbu Istana Singosari, sedang berada dimanakah engkau?”

“Aku memang tidak ikut didalam pertempuran, aku hanyalah seorang menantu Raja.”

“Bagus sekali! Jadilah engkau rakyatku di Kerajaan Kediri. Aku adalah Raja Kediri yang syah. Kerajaan Singosari sudah tumbang digantikan Kerajaan Kediri.
Jadilah engkau rakyatku yang setia kepadaku.”

“Baik Baginda.”

Kemudian Raja Jayakatwang berbisik-bisik kepada seorang Menterinya; Raja mengangguk-angguk, tanda setuju.

“Raden Wijaya, engkau ku beri tanah Tarik. Tanah itu masih berupa hutan belantara.”

“Terimakasih Baginda. Hamba amit undur diri.”

Raden Wijaya melihat kepada Jayamatkan, pandangan mereka beradu.

“Hai, bukankah kalian saling bersahabat?” Tanya Jayakatwang.

“Benar ayah, aku senang ayah dapat membantu sahabatku yang kemalangan”

Raden Wijaya melangkah ke pintu Istana diikuti pandangan Jayamatkan.
Kemudian dia berhenti sebentar, menoleh kebelakang mencari sahabatnya dan mengangguk kearah Jayamatkan sebagai tanda terimakasih.

Raden Wijaya dengan dua pengawalnya langsung berkuda kearah pulau Madura.

Raden disambut oleh istri-istrinya dan semua pengikutnya dengan sukacita. Beberapa orang terheran-heran atas kepulangannya, karena banyak diantara mereka sudah mengira dia akan dibunuh oleh Jayakatwang.

“Nah Raden, sekarang marilah kita bekerja keras membangun pemukiman baru untuk mu dan para pengikutmu. Jika engkau kekurangan tenaga, rakyatku akan membantu.” Aria Wiraraja berucap.

Beberap hari kemudian Raden Wijaya dan rombongan pindah ke tanah hutan Tarik yang sudah ditetapkan. Mereka masih tinggal di tenda-tenda dan makan dari dapur umum.

Penduduk Madura yang mau membantu Raden Wijaya ikut serta ke tanah Tarik.

Mulai para pekerja membangun rumah-rumah, menebang hutan, membuat kebun-kebun dan sawah-sawah dan juga taman-taman.

Akhirnya tanah Tarik menjadi pemukiman. Tetapi Raden Wijaya masih tetap berpura-pura damai dengan Jayakatwang, si pemberontak. Hal ini penting agar suasana damai tetap terpelihara.

Salah seorang pekerja melaporkan buah pahit kepada Raden Wijaya, “Tuan, dihutan banyak ditumbuhi oleh buah Maja. Biasanya buah Maja rasanya manis sedikit masam, akan tetapi dihutan ini rasanya pahit. Saya mempunyai usul untuk menamakan daerah ini Majapahit.”

“Saya setuju sekali, mulai hari ini jangan panggil daerah ini Tarik, tetapi Majapahit.” Kata Raden Wijaya.


Bab 2

Hari-hari yang paling pahit menuju malapetaka akhirnya datang juga yaitu tentara Tar-tar mendarat di Pelabuhan Tuban. Semua penduduk Tuban telah pergi mengungsi. Semua orang takut melihat prajurit-prajurit bermata sipit dengan senjata lengkap. Apalagi mendengar khabar bahwa mereka bermaksud akan menggilas Kerajaan Singosari habis-habisan, karena marah.

Segera mereka mendirikan Camp dan Markas Militer didekat kota Tuban. Mereka merencanakan akan menyerang langsung ke Istana Singosari; akan tetapi Istana sudah hancur terbakar, tinggal puing-puingnya saja. Mereka mendapat informasi bahwa Raja yang akan dihukum sudah mati karena pemberontakan yang juga telah membakar Istana.

“Siapa yang akan dihukum? Negeri apa yang akan ditaklukan oleh Mongol?”
Demikian masalah tentara Tar-tar sesampainya di Tuban.

Tentara Mongol sudah banyak menderita akibat alam; di laut China Selatan mereka telah di serang oleh angin Taifun yang menyebabkan puluhan kapalnya tenggelam dan ratusan prajuritnya mati.

Kemudian timbul wabah penyakit Cholera yang juga membawa banyak korban para prajuritnya.

Kemudian mereka meminta izin untuk berlabuh di kota Champa, tetapi mereka ditolak, karena Champa takut akan Negeri Singosari; sebagai Negara sahabat tentu Singosari akan marah.

Akhirnya mereka sampai juga di Tuban dalam keadaan menderita dan tidak mempunyai semangat untuk bertempur.

Yeh Luchi adalah Admiral Mongol yang dikirim Raja Kublai Khan menghukum Raja Kertanegara dan memporak porandakan Negeri Singosari. Setelah perlengkapan selesai, dia memimpin rapat dengan topik mendengar berita apa yang sedang terjadi di Singosari.

Untuk keperluan itu dia mengundang seorang China Tuban sebagai penterjemah dan pelapor.

“Apa yang sudah terjadi di Singosari, sepeninggal utusan Meng Qi?”

“Telah terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Jayakatwang; pemberontak berhasil membunuh Raja Kertanegara.” Kata sang penterjemah

“Bagus! Jika begitu tugas kita lebih ringan. Siapakah yang berkuasa sekarang?”

“Jayakatwang, sang pemberontak yang telah mengangkat dirinya sebagai Raja Kediri di Istana Kediri.”

“Kalau begitu tugas kita disini hanyalah memaksa Jayakatwang membayar upeti tahunan kepada Raja Kublai Khan.”

“Akan tetapi, Raja Kertanegara mempunyai menantu yang bernama Raden Wijaya. Dia sekarang entah berada dimana. Sebetulnya dia lah Raja yang syah, bukan Jayakatwang.”

“Engkau sebagai rakyat Singosari memilih siapa?”

“Aku memilih Raden Wijaya.”

“Mengapa begitu?”

“Dia tidak ikut-ikutan didalam masalah politik, karena dia hanyalah rakyat biasa yang kebetulan menjadi menantu Raja. Sebaiknya Tuan juga menunjuk Raden Wijaya untuk di jadikan Raja disini. Aku jamin dia akan menuruti apa-apa kehendak Raja Kublai Khan”

“Aku ingin bertemu dengan Raden Wijaya, si menantu Raja. Panggilah dia menghadapku; bila dia tidak mau dan melawan, hukum mati.” Pinta Yeh Luchi.

Permintaan Yeh Luchi akhirnya sampai ke telinga Raden Wijaya di Majapahit. Raden Wijaya kembali ke Madura beserta keluarganya untuk meminta nasihat kepada Aria Wiraraja. “Paman, aku dipanggil oleh pimpinan tentara Tar-tar; ada kemungkinan aku akan dihukum mati, karena aku menantu Raja.”

“Janganlah berpikiran jelek seperti itu; belum tentu. Justru aku berpendapat dia menghargai engkau sebagai menantu Raja. Menurut pendapatku orang-orang Mongol itu sebenarnya hanya ingin mencari harta di Negeri kita, yaitu upeti. Dari semula aku perhatikan, harta atau upeti yang mereka sedang kejar-kejar.
Oleh sebab itu datanglah dengan membawa harta berupa emas dan perhiasan wanita yang bagus-bagus untuk dihadiahklan kepada mereka. Berpura-puralah kita takluk kepada mereka.”

Raden Wijaya membisikan sesuatu kepada isterinya, Tribuanaweswari, “Istriku, adakah engkau menyimpan harta seperti yang dikatakan Paman? Mungkin harta kepunyaan ayahmu yang tersimpan.”

“Ada, lima kotak emas dan liontin yang indah-indah. Kita harus ke Istana yang runtuh terbakar di Singosari.”

“Baik Paman, usul paman akan kulaksanakan. Sekarang aku dan keluargaku akan mengambil harta itu. Tolong mintakan kepada para Dewa akan keselamtanku.”

Raden Wijaya dengan diantar oleh para perwira Singosari yang setia datang ke Istana Singosari yang sudah runtuh terbakar.

Tribuanaweswari menunjuk kesuatu tempat sambil mecocokan dengan catatan ayahnya, “Ya disini tempat yang tepat untuk kita gali.”

Setelah digali beberapa meter, tampaklah lima kotak perhiasan-perhiasan itu. Semua orang bertepuk tangan karena gembira.
Dipilih satu kotak yang cukup baik untuk dihadiahkan kepada Yeh Luchi.

Istri-istri Raden Wijaya kembali bersedih hati karena suami mereka akan menghadap pembesar Mongol yang diperkirakan akan menghukum mati. Kali ini mereka bertangis-tangisan sesamanya. Raden memeluk satu persatu istrinya, “Istriku semuanya, mintakan kepada para Dewa agar aku diberi kekuatan dan keselamatan.”

Raden Wijaya disertai sepuluh perwira militer Singosari bersenjata lengkap datang ke Markas Besar tentara Tar-tar. Juga disertai empat pekerja yang menggotong sebuah kotak berisi emas dan barang perhiasan lainnya.

Sesampainya dimuka gerbang Markas, mereka ditahan. Tetapi sayang tidak satupun yang dapat berbahasa China, sehingga komunikasi tidak dapat dijalankan. Seorang prajurit China berlari memanggil penterjemah.

Sang penterjemah datang, bertanya, “Siapa kalian?”

“Aku Raden Wijaya. Aku datang untuk menghadap Yeh Luchi.”

Orang China itu menyembah dan berkata, “Sudah lama hamba mendengar nama Yang Mulia, tetapi baru kali ini aku bertemu. Memang Yeh Luchi menunggu kedatangan Tuan.”
“Mengapa dia menghormatiku?” Tanya Raden Wijaya kepada pengawalnya.

“Dia adalah penduduk Tuban yang memang fasih berbahasa China. Sudah sepantasnya dia menghormati Paduka, karena dia adalah hamba paduka juga.”

Mereka semua dipersilahkan masuk dan langsung menghadap sang Admiral. Yeh Luchi.

“Hai, Raden Wijaya! Engkau seharusnya dihukum mati, karena engkau juga termasuk keluarga Raja Kertanegara.”

“Bila aku dihukum mati, silahkan! Maka Raja yang akan berkuasa adalah Jayakatwang. Apakah engkau sudah bertemu dengan Raja Jayakatwang?
Aku jamin, dia tidak akan mengirim upeti setiap tahun kepada Raja Kublai Khan, dikarenakan sifatnya yang sangat kikir.”

“Apakah engkau tidak kikir?”

“Tentu saja tidak.” Raden Wijaya memberi isyarat dengan matanya, artinya kotak dibuka dihadapan Yeh Luchi.

Tampak isi kotak yang gemerlapan perak, kemilau emas, intan, zamrud, batu giok dan masih banyak lagi yang indah-indah. Mata Yeh Luchi berbinar-binar memandangnya.

“Kotak beserta isinya dipersembahkan untuk mu. Nanti apabila kamu dan tentaramu pulang kembali ke Tiongkok, kami akan memberi lagi satu kotak seperti ini dengan isi yang lebih banyak. Tetapi itu untuk Rajamu, Raja Kublai Khan yang agung.”

“Baiklah, aku terima upetimu.
Kemudian, suruh Jayakatwang datang kesini untuk memberikan upeti yang sama.”

“Jayakatwang adalah pemberontak; dia adalah musuhku. Oleh sebab itu dia harus ditaklukan bukan untuk menjadi temanmu.

Bahkan kedatanganmu sudah mereka ketahui, dan sekarang mereka sedang memasang strategi untuk melancarkan penyerangan atas mu dengan gaya yang mengejutkan.”

“Betulkah begitu?”

“Engkau lihat, tak seorangpun ada di kota Tuban; mereka mengungsi ketakutan. Dan banyak diatara mereka menjadi tentara Jayakatwang di Kediri.
Tentunya segala sesuatu tentang kesatuanmu sudah mereka ketahui.
Ingatlah mereka akan menyerangmu.”

“Aku minta kepadamu untuk membantu aku memerangi Jayakatwang.
Apakah engkau bersedia?”

“Dengan segala senang hati, aku akan melawan musuhku mati-matian.”

“Baik! Lebih cepat lebih baik, jadi besok lusa kita berangkat ke Kediri dan kita gempur Istana Kediri.”

“Aku memang bernafsu untuk membakar Istana-nya, untuk membalas dendam yang mana mereka telah membakar Istana Singosari.”

Raden Wijaya beserta rombongan pulang kembali ke tanah Majapahit dengan selamat. Istri-istrinya sukacita melihat kembali suaminya; dia telah selamat untuk kedua kalinya.

Aria Wiraraja ada diatara para penyambut, “Raden engkau betul-betul seorang diplomat ulung. Terus terang, aku sebenarnya sudah menyangka yang tidak-tidak terhadapmu, tetapi engkau berhasil keluar dari mulut harimau.”

“Paman! Tetapi aku mempunyai kewajiban untuk mereka, yaitu ikut menyerang tentara Jayakatwang di Kediri.”

“Wow, itu bahkan nilai plus untukmu. Bukankah itu berarti sekali tepuk dua lalat terpukul. Engkau bawa tentaramu, tetapi jangan banyak-banayk; hanya dua ratus kavaleri berkuda saja.
Sementara itu, aku mempersiapkan seribu tentara untuk menyerang mereka; pada waktu mereka kelelahan sepulang dari Kediri. Aku akan mempersiapkan grup pemanah didalam hutan untuk menyerang mereka secara tiba-tiba. Aku akan usir mereka, kembali ke Tiongkok..

“Paman. bagaimana sebaiknya strategi yang akan aku pakai pada pertempuran di Istana Kediri?”

“Engkau katakan kepada Yeh Luchi untuk menyembunyikan tentaranya di dalam hutan. Sementara itu, engkau bersama tentaramu datang dimuka Istana untuk menantang Jayakatwang berkelahi. Jayakatwang orangnya pemarah, apalagi melihat kamu yang sudah diberi tanah Tarik, tetapi menantang berkelahi. Bila mereka keluar dari Istana, segera engkau tinggal lari dan panggil keluar “anjing-anjing” mu yang ber ada didalam hutan; suruh mereka berkelahi. Sementara itu, engkau hanya sekedarnya membantu tentara Tar-tar Mongol.”

“Paman, aku kagum kepada Paman; bukan main bagusnya strategi pertempuran Paman.”

“Pada waktu mereka kelelahan, baru aku keluar untuk memberi pukulan terakhir.
Mari kita memeohon kepada para Dewa untuk selalu berpihak kepada perjuangan kiat.”

Raden Wijaya beserta pasukannya menunggu pasukan Tar-tar. Akhirnya, Yeh Luchi datang dengan tentaranya yang diperkirakan jumlahnya tigaribu orang.
Kedua komandan tempur beserta penterjemah berunding akan halnya strategi pertempuran yang akan dipakai. Yeh Luchi setuju dengan taktik pertempuran yang diprkarsai Aria Wiraraja.

Untuk itu semua serdadu harus diam. Tidak ada yel-yel apalagi genderang perang.
Mereka waspada akan tentara Kediri yang menjadi spionase di tengah jalan.
Pada suatu tempat mendekati Istana Kediri, tentara Tar-tar memisahkan diri, masuk kedalam hutan.

Raden Wijaya beserta tentaranya yang jumlahnya sedikit menuju muka Istana. Sesampainya dimuka Istana, Raden berteriak-teriak, “Hai Jayakatwang, aku datang untuk membalas dendan kematian ayah mertuaku. Keluarlah engkau untuk berkelahi dengan ku. Aku jamin, tentara ku tidak memabntu ku.”

Dari atas balkon Istana, seorang laki-laki berteriak, “Hai anak tidak tahu diuntung, bukankah engkau akan menjadi warga kota Kediri dan loyal terhadapku; mengapa engkau berbalik. Betul-betul engkau bodoh! Tidak kah engkau ingat Tanah Tarik yang aku berikan kepadamu?”

“Jangan sebut-sebut kebaikan mu Jayakatwang; dosamu tidak dapat menutupi kesalahanmu yang telah membakar Istana dan membunuh Raja Kertanegara.
Sudah, hayo keluar pengecut.!”

Terbakar kemarahan Jayakatwang; apalagi dia melihat tentara Raden Wijaya hanya sedikit. Segera dia memberi komando, “Serang, bunuh Raden Wijaya!”

Maka tentara Kediri keluar dari pintu gerbang Istana, dipimpin langsung olah Rajanya. Mereka segera mengejar Raden Wijaya. Akan tetapi Raden Wijaya sudah waspada, dia lari beserta tentaranya menuju hutan yang penuh dengan tentara Tar-tar.

Alangkah terkejutnya Jaya katwang, segera dia berteriak memberi komando, “Mundur, mundur!”

Tentara Kediri menjadi bingung, terlebih mereka yang ada dibarisan belakang, “Ada apa dimuka barisan?”

Akan tetapi, mereka sudah terlambat untuk dapat mundur kembali; mereka harus bertempur melawan Tar-tar.

Sementara Raden Wijaya membantu Tar-tar di barisan belakang.

Pada akhirnya Jayakatwang dapat menggerakan tentaranya untuk mundur dan masuk kedalam Istana kembali. Yeh Luchi enggan untuk mengejar tentara musuh. Dia percaya didalam Istana tua itu pasti banyak jebakan dan perangkap yang mematikan.
Tentara Tar-tar menunggu musuh diluar Istana. Mereka sabar menunggu.

Raden Wijaya mendekati Yeh Luchi, “Yeh Luchi kawanku, sebaiknya kita bakar saja Istana ini.”

“Aku setuju! Bakar, hayo bakar!” Yeh Luchi memberi komando

Istana mulai terbakar perlahan-lahan. Istana tua itu dibuat dari kayu, jadi mudah terbakar. Akan tetapi, tidak ada suara orang yang merintih kepanasan. Kelihatannya tentara Jayakatwang tenang saja didalam Istana yang sedang terbakar.

(Bersambung)

2 comments:

Free Mobile Application said...

Selama ini kita memang sudah melupakan sejarah nenek moyang kita. Ternyata setelah membaca artikel mengenai pendiri Majapahit yang dokter reedit ini, kita jadi sadar banyak makna dan nasihat yang sebenarnya bermanfaat bagi kehidupan bangsa Indonesia saat ini yang miskin akan pemimpin yang bijak karena tidak berkaca pada kebesaran pemimpin pada zaman nenek moyang kita. Luar biasa, mudah-mudahan akan banyak orang yang membaca artikel ini. Terima kasih.

Hendrikkus
PT.Eisai Indonesia (PARIET)
Mobile : 0511-7369912

Satoto Kusasi said...

Terimakasih atas komentar Bapak, Aku memang terlambat memberi jawaban untuk mu.

Memang karangan ini bertujuan untuk membangkitkan semangat rasa Nasionalis bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Aku hanya berpesan berbanggalah menjadi warga negara Indonesia; Bela lah Indonesia didalam pergaulan Internasional.

Berperan lah untuk kemakmuran Indonesia.

Salam untuk keluarga dan teman-teman anda

Satoto Kusasi