Thursday, April 3, 2014

Hikayat JOKO TINGKIR, Raja Kerajaan Pajang


Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi

7 Juli 2013



Prolog

Pada abad ke XV, tersebut lah Kerajaan Demak di Jawa Tengah yang behasil melebarkan daerah kekuasaannya hingga dapat menguasai hampir seluruh Jawa Timur, dan juga berpengaruh di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Raja yang berkuasa pada saat itu adalah Raja Trenggono. Dia berkuasa mutlak dengan ‘tangan besi’. Sehingga rakyat takut kepada Raja nya, karena hukum di Negeri itu tidak berlaku.

Pusat Kerajaan berada di Kota Demak, Jawa Tengah.

Raja Pangeran Sabrang Lor, Raja kedua Kerajaan Demak, aktif memerangi penjajah Bangsa Portugis di Malaka; Raja itu berhasil mengusir penjajah Portugis dari Malaka.

Bangsa Portugis adalah bangsa Eropah pertama yang datang ke Nusantara, guna membeli cengkeh dari Maluku, sebagai penghasil cengkeh Dunia saat itu.

Kerajaan Demak menjalankan politik luar negeri nya sesuai dengan cita-cita para Sunan Walisanga, untuk menyebarkan Agama Islam ke seluruh Nusantara. Walisanga adalah sembilan Uztad orang suci, yang pertama-tama menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa.

Dongeng (cerita) ini diceritakan oleh nenek ku kepada cucu-cucu nya, sewaktu mereka mau berangkat tidur.

Inilah cerita yang diambil dari ‘Babad Tanah Jawi’ ( kumpulan dongeng rakyat Jawa ). Meng-kisahkan seorang anak desa; Yang berhasil meniti karier nya di Kerajaan Demak, dan pada akhirnya dia berhasil menjadi Raja di Pajang; Sungguh mengagumkan.

Nenek memulai cerita nya dengan bernyanyi,

Tersebut lah kisah akan seorang pemuda

Gagah berani melawan nasib

Dia, Raja pada akhir cerita

Tidak lupa mengangkat harkat kawan senasib


Dia lah si Joko Tingkir

Anak muda asal Desa Butuh

Yatim-piatu dalam asuhan janda Tingkir

Lahir di Penging tanah rawa kumuh


Joko Tingkir seorang petarung Kungfu*)

Dia adalah murid Ki Ageng Sela

Guru Kungfu yang ternama dan disegani

Dengan kepandaiannya, Joko berhasil menjadi prajurit Raja

*) Kungfu = silat bela diri


Putri Raja, bernama Ratu Mas Cempaka

Jatuh cinta pada si pemuda desa

Tetapi Joko bukan lah ‘kelas’ nya Putri

Karena Joko bukan keluarga Raja, hanya anak desa


Raja tidak sudi, akan anak desa jadi menantu nya

Jika si Joko berani mencintai Putri Raja, maka Raja akan marah

Maka Joko harus dihukum mati

Dia harus tau diri


Demikian nenek mu bercerita

Tentang ‘babat tanah Jawi’ Cerita rakyat Jawa.

Boleh engkau anggap berita

Juga boleh sekedar melepas penat pada sendi-sendi





Bab 1


Seorang pemuda desa sedang membersihkan taman Mesjid Demak. Dia sibuk mencabuti rumput dan semak-semak liar yang tumbuh di taman mesjid.

Hari itu adalah hari Jum’at, saat mendekati lohor, maka sembahyang Jum’at akan dimulai. Raja Trenggono beserta Menteri-Menteri, Perwira militer dan juga rakyat nya akan bersembahyang Jum’at di Mesjid Demak.

Dikarenakan dia terkonsentrasi pada pekerjaannya, maka sang pemuda terkejut, ketika rombongan Raja sudah tiba mendekati diri nya. Raja beserta rombongan akan memakai jalan tempat Joko sedang bekerja.

Sewaktu dia menoleh kebelakang, ternyata juga sudah ada rombongan lainnya, yang akan menjemput Raja.

Maka sebab itu, dia terjepit diantara dua rombongan. Dia merasa malu, karena pakaiannya yang kotor, robek dan juga berbau; Maka dia harus cepat menyingkir.

Ternyata, ada kolam ikan di kiri dan kanan jalan; Jadi, tidak ada tempat untuk dirinya lari, menghindari rombongan Raja, selain harus melompati kolam tersebut.

Memang benar, agar Raja tidak terganggu perjalanannya, maka kolam ikan itu harus dilompati. Dia percaya akan kemampuannya untuk dapat melompati kolam ikan itu dengan memakai jurus ‘meringankan tubuh’. Dia akan dapat melompat lebih tinggi dan lebih njauh dari pada orang biasa.

Kepandaiannya didapat dari Guru nya, Ki Ageng Sela, ilmu meringankan tubuh; Oleh sebab itu lah, dia percaya akan dapat melompat jauh, jauh sekali.

Raja terkejut sewaktu dimuka nya ada seorang pemuda yang tiba-tiba meloncat, bagai sedang terbang melewati kolam ikan. Raja berdecak kagum, melihat kehebatan sang pemuda. Raja berpikir, “ Dia mempunyai kesaktian dalam bertarung; Dia dapat ku pakai untuk menjadi prajurit ku; Prajuritku yang paling handal untuk bertarung.”

Raja bertanya kepada ajudannya, “ Siapakah orang itu ? “

“ Ya Paduka, dia petugas kebersihan, yang bertugas membersihkan Mesjid dan taman Mesjid.”

“ Hadapkan dia kepada aku ! Dia seorang yang handal untuk menjadi prajurit ku ! “

“ Baik Paduka ! “




Bab 2


Kota Demak adalah IbuKota Kerajaan Demak. Tempat orang mencari pekerjaan dan menuntut Ilmu Agama Islam. Disitulah Raja Trenggono bertachta dengan penuh kekuasaan; Kekuasaannya dilaksanakan dengan cara ‘tangan besi’; Sehingga rakyat nya takut dan menderita; Rakyat tidak mendapatkan keadilan di bidang hukum.

Joko Tingkir datang ke Kota Demak untuk mencari pekerjaan dan sesuap nasi; Dia tinggal dirumah Kiayi Gandamustaka, penjaga Mesjid Demak . Kiayi Gandamustaka berpangkat Lurah Ganjur didalam Administrasi kepegawaian Kerajaan Demak.

Ibu angkat Joko, mengirim Joko ke Kota Demak untuk mencari pekerjaan. Maka Joko dititipkan kepada kakaknya, Kiyai Gandamustaka.

Ibu angkat nya adalah Nyai Ageng Tingkir, janda Ki Ageng Tingkir; Itu lah sebab nya masyarakat mengenal pemuda itu dengan panggilan ‘Joko Tingkir’; Artinya, anak muda dari keluarga Tingkir. Nama sesungguhnya adalah Mas Karebet.

Lurah Ganjur, Gandamustaka senang dengan kedatangan Joko Tingkir, karena anak itu sopan, santun dan juga rajin. Dia tidak menduga anak itu juga mempunyai kemampuan bertarung karena sesungguhnya dia adalah murid Ki Ageng Sela, guru silat yang sudah terkenal.

Gandamustaka kedatangan tamu dirumahnya; Dia adalah seorang prajurit pengawal Raja, yang memberitahukan bahwa Joko Tingkir diminta untuk menghadap Raja Trenggono.

“ Ada apa ? Ada peristiwa apa ? Apa salah anak ku ? “ Tanya Gandamustaka yang sangat terkejut, karena dia menduga Joko Tingkir telah berbuat salah kepada Raja.

“ Jangan panik ! Dia tidak berbuat salah, sesungguhnya Raja terkesan akan kepandaian silat bela diri dari Joko Tingkir. Raja telah melihat Joko, yang seolah-olah sedang terbang, sewaktu Joko melompati kolam ikan.”

“ Oh begitu ! Dia hanya seorang pekerja ; Sepanjang yang aku tau, dia tidak pandai ber silat apa lagi berkelahi. ”

“ Tetapi, itu lah penilaian Raja Trenggono, sewaktu beliau melihat Joko melompati kolam ikan yang cukup lebar. Beliau berkesimpulan, bahwa Joko Tingkir seorang petarung yang harus di manfaatkan keachliannya dalam suatu pertempuran.

Pendek kata nya, Joko akan diberi pekerjaan oleh Raja.”

“ Oh begitu ceritanya....Baiklah, akan ku beritahukan kepadanya.”

Joko Tingkir baru pulang sore hari dari Mesjid Demak, dalam menyelesaikan pekerjaannya, membersihkan Mesjid.

Paman Gandamustaka menyambut Joko, “ Hai Joko ! Engkau dipanggil ke Istana untuk menghadap Raja. Menurut penuturan prajurit yang memberi khabar, engkau akan diberi pekerjaan oleh Raja.”

Joko Tingkir terdiam, karena dia teringat akan pesan ibu angkatnya, Nyai Ageng Tingkir yang berpesan, agar tidak mendekati Istana Demak. Lebih dari itu harus berhati-hati pada Raja Demak. Sesungguhnya, Raja lah yang telah membunuh ayah Joko. Raja sesungguhnya adalah orang yang paling jahat; Maka, Joko harus ber hati-hati.”

Joko tidak mengetahui peristiwa pembunuhan ayah nya, karena ketika itu dia masih kecil.

Akan tetapi dia juga teringat akan pesan Guru nya, Ki Ageng Sela; Katanya, “ Pergilah engkau ke Demak, untuk mencari pekerjaan. Mendekatlah ke Istana untuk engkau dapat memamerkan kepandaian mu; Aku berharap, engkau dapat dipakai sebagai prajurit oleh Raja.”

Joko Tingkir berpikir didalam hati, “Kedua orang tua itu memberi nasehat yang baik, maka aku harus memilih, apakah aku harus menghindar dari Raja Trenggono atau justru mendekat, untuk mendapat pekerjaan menjadi prajuritnya.”

Akhirnya dia mengambil keputusan, untuk kiranya dapat mencari ‘sesuap nasi’ dari Raja,

“ Baik lah Paman, aku akan datang ke Istana.”

“ Akan tetapi,....berhati-hatilah ! “

“ Apa maksud Paman ? “

“ Engkau harus menjaga diri, menjaga ucapan mu...... dan lain sebagainya; Karena yang akan engkau hadapi adalah seorang Raja.”

“ Sudah tentu Paman ! Aku harus menghadap Raja, tentu lah aku harus bersikap sopan, seolah-olah aku sedang di adili karena telah melakukan suatu kesalahan.”

“ Engkau tidak pernah melakukan kesalahan; Betulkan kata ku ?.”

“ Aku telah melakukan kesalahan Paman. Karena tanpa disengaja, aku telah menghalang-halangi perjalanan Raja. Aku asyik membersihkan jalan Raja, sehingga aku tidak menyadari Raja beserta rombongan sudah datang mendekati diri ku. Terpaksa aku harus melompati kolam ikan. Itulah kesalahan ku, yang sudah berani memamerkan kepandaian ku dalam ilmu silat bela-diri, dimuka Raja.”

“ Itu bukan kesalahan. Bukan kah Raja kagum dengan kepandaian mu ? “

“ Aku tidak tau, apakah dia kagum atau bahkan marah kepadaku?

Aku mengharap Raja kagum kepadaku; Tetapi bukan marah kepada ku.”

“ Aku pun kagum setelah mendengarkan cerita mu. Rasa kagum ku, sama dengan Raja.”

Keesokan harinya, Joko Tingkir datang ke Istana Demak. Dia sudah siap mental, apa bila Raja menganggap salah perbuatannya.

Prajurit pengawal Istana membawa dirinya ke muka Singgasana Raja. Dan kemudian berkata kepada Raja, “ Yang Mulia, inilah pemuda yang Paduka temukan di Mesjid sedang membersihkan Mesjid. Kami datang karena permintaan Paduka.”

Raja bersabda, “ Ya benar, aku yang meminta dia untuk menghadap aku. Hai, siapakah nama mu, wahai pemuda ? “

“ Nama hamba, Joko Tingkir, Putra angkat Nyi Ageng Tingkir, di Desa Butuh, Rawa Pengging.”

Raja terdiam, berpikir didalam hati, “ Rawa Pengging ?..... Daerah yang pernah mau melepaskan diri dari kekuasaan Demak, dengan tidak mau membayar pajak; Dan penguasa daerah itu sudah kubinasakan. Nama penguasa ditempat itu......? Aku lupa.!”

Raja kembali bersabda, “ Selamat datang wahai Joko ! Aku berharap engkau dapat menjadi prajurit ku, karena aku yakin engkau piawai dalam hal tarung-raga; Aku telah melihat sendiri, engkau dapat melompati kolam yang cukup lebar.

Maukah engkau mengabdi pada ku ? Raja mu ? Raja Trenggono.? Aku berharap engkau dapat mengangkat pamor Demak, sehingga menjadi Kerajaan besar dan Jaya di masa akan datang“

“ Hamba mau ! Terimakasih yang mulia.”

“ Pangkat mu adalah Wiratamtama, mengepalai prajurit-prajurit yang ada di Demak.

Engkau tidak perlu lagi menjalani tes militer, karena aku yakin pilihan ku sudah tepat, akan dirimu yang dapat menjadi prajuritku. Siapakah guru silat mu ? “

“ Ki Ageng Sela “

“ Aku sudah mendengar nama besar nya. Sudah pasti murid nya pun akan sepandai guru nya. Terimakasih wahai Joko.”

Raja Trenggono akan memperluas kekuasaan teritorial Kerajaan Demak, hingga seluruh daerah Jawa Timur akan dapat ditundukan dibawah panji-panji Kerajaan Demak. Maka dia mempersiapkan kekuatan militer nya dengan menambah jumlah prajurit, untuk ekspansi.

Panglima militer Kerajaan Demak adalah Sunan Kudus, berkedudukan di Kudus

Dengan demikian, maka atasan Joko Tingkir adalah Sunan Kudus. Dengan alasan itu, maka Joko Tingkir berguru Ilmu Agama kepada Sunan Kudus. Bersama dia juga ada murid Sunan Kudus yang lain; Yang bernama Ario Penangsang.

Joko Tingkir dan Ario Penagsang dapat berteman secara akrab, didalam kelas Agama Islam di Kota Kudus.

Dalam hal Ilmu Agama, Joko Tingkir juga pernah ber guru kepada Sunan Kali Jaga.




Bab 3

Sultan Trenggono adalah Raja yang ke-tiga di Kerajaan Demak, memerintah tahun 1505-1518.

Raja Pertama adalah Raden Patah.

Raja ke dua adalah Pangeran Sabrang Lor atau Raden Surya atau Sultan Surya Alam. Raja ini aktif memerangi Portugis di Malaka. Maka nama nya terkenal dengan nama ‘Pangeran Sabrang Lor’.

Sepeninggal Pangeran Sabrang Lor, Tachta Kerajaan diperebutkan oleh dua adik Raja, yaitu Trenggono dan Pangeran Kikin. Sesungguhnya Putra Mahkota adalah Pangeran Kikin. Dia lah yang lebih ber hak menjadi Raja, karena dia sebagai kakak Trenggono. Sedangkan Trenggono adalah adik yang paling kecil, yang sesungguhnya tidak ber hak akan Tachta Kerajaan.

Akan tetapi, Pangeran Trenggono ber ambisi untuk merebut Tachta dari kakak nya; Maka dia memerintahkan anak nya yang tertua, Prawoto (Pangeran Mukmin), untuk membunuh Pangeran Kikin.

Pangeran Kikin dibunuh seusai Shalat Shubuh di tepi Sungai Sore; Dia dibunuh oleh pembantu-pembantu Prawoto. Pembunuhan ini sesungguhnya dirahasiakan, akan tetapi semua rakyat dapat mengetahui juga pada akhirnya, siapa sesungguhnya dalang pembunuhan itu? Yang tidak lain adalah Trenggono, adik Pangeran Kikin sendiri.

Rakyat mengenang calon Raja ini( Pangeran Kikin) dengan memberi gelar kepada Pangeran Kikin, ‘Pangeran Sekar Seda ing Lepen ‘, atau ‘ Pangeran seperti bunga yang gugur ke Sungai.’

Dikarenakan rakyat sudah mengetahui bahwa Beliau telah mati dibunuh ditepi Sungai Sore. Gelar yang diberikan , juga sebagai tanda bahwa seluruh rakyat sudah mengetahui, siapa pembunuh Pangeran Kikin yang sebenarnya.

Pangeran Kikin atau Pangeran Sekar Seda ing Lepen, mempunyai seorang Putra, yaitu Ario Penangsang; Kelak, Ario Penangsang akan membalas kematian ayah nya. Sebagaimana kita ketahui, Ario Penangsang adalah teman satu kelas dengan Joko Tingkir didalam menuntut Ilmu Agama Islam.

Raja Trenggono mempunyai tiga orang anak, yang masing-masing adalah, Pangeran Mukmin atau Prawoto, Ratu Kalinyamat dan Ratu Mas Cempaka.

Pangeran Mukmin ditetapkan sebagai Putra Machkota, pengganti Raja, kelak.

Maka sejak itu, Joko Tingkir si anak desa, telah aktif di kedinasan militer Kerajaan Demak. Dia tidak lupa bersyukur kehadapan Allah SWT atas karunia Nya. Kini dia sudah memasuki masa enam bulan, bekerja ditempat itu.

Banyak kawan-kawan Joko seangkatan didalam militer yang ingin menyingkirkan Joko Tingkir, karena cemburu. Dapat dimengerti, karena Joko bernasib baik, sehingga dipercaya oleh Raja untuk dapat menduduki kepangkatan di bidang militer yang cukup tinggi. Tidak ada yang berani melawan keputusan Raja akan kedudukan Joko Tingkir; Sungguh Joko Tingkir beruntung.

Pangkatnya didalam militer yang cukup tinggi, membuat banyak anak-anak gadis yang merindukan dirinya untuk dapat berjodoh dengan dia. Ditambah lagi penampilannya juga tidak seperti anak desa, tetapi cukup ganteng.

Para dayang-dayang Istana, ribut mempercakapkan si Joko Tingkir; Hingga akhirnya berita tentang si Joko sampai ketelinga Putri Ratu Mas Cempaka; Putri Raja yang ke tiga.

Akhirnya Putri ikut mempertanyakan hal tersebut, “ Hai, siapa yang engkau bicarakan ? Apakah dia pemain sandiwara yang sedang naik daun? Atau.... siapa ? “

“ Bukan yang Mulia, tetapi prajurit baru yang bertugas di Istana Demak. Dia sungguh memikat hati kami, sehingga banyak dari kalangan kami yang merindukan nya.”

Putri mengejar lagi, “ Di pos mana dia biasa bertugas ? Aku akan melihat tampangnya. ! “

“ Yang Mulia, dia bukan prajurit biasa, tetapi pangkatnya Wiratamtama, jadi dia ber-kantor didekat Istana. Jika Yang Mulia ingin melihatnya, kami dapat mengatur, agar dia tidak tau bahwa dia sedang diperhatikan oleh Yang Mulia.”

“ Baik, aturlah ! Aku ingin melihat tampangnya.”

Maka semua diatur oleh para dayang-dayang Istana, agar si Joko tidak tau bahwa dia sedang diperhatikan. Dan yang paling penting adalah agar Raja tidak tau, bahwa Putrinya sedang memperhatikan laki-laki, anak desa. Jika Raja tau bahwa Putri nya bermesraan dengan anak desa, maka Raja akan marah besar.

Ratu Mas Cempaka pada akhirnya dapat melihat tampang si Joko; Benar yang dikatakan oleh para dayang, Putri juga sependapat, bahwa dia ganteng dan memikat.

Apakah Putri Ratu Mas Cempaka juga tertarik dengan tampang anak desa seperti Joko ?

Didalam hati, Ratu Mas Cempaka harus mengatakan, “ Tidak, itu bukan kelas ku! “ Tetapi, didalam hati kecilnya, dia berkata sebaliknya. Sesungguhnya dia jatuh cinta pada Joko.

Didalam gedung Kaputren, Ratu dikerumuni oleh dayang-dayang nya, karena mereka ingin mengetahui bagaimana kah respon sang Putri.

Mereka bertanya, “ Bagaimana yang Mulia ? Bagaimana ? Berilah komentar kepada kami, akan dia ! “

“ Dia cukup lumayan ganteng.” Katanya singkat.

“ Jadi, apakah dengan demikian, Yang Mulia tidak tertariik kepada nya ? ”

Yang ditanya diam saja; Entah, apa yang ada didalam pikiran Putri Ratu Mas Cempaka.

Kembali dayang yang tidak tau sopan santun ini mendesak, “ Jika Putri tidak terkesan dengan pemuda desa ini, maka izin kan aku yang akan menjadi kekasihnya. Aku akan kejar dia sampai aku mendapatkan dia; Bolehkah wahai Putri? “

Yang ditanya diam saja.

Ruangan menjadi sunyi, karena semua orang menunggu jawaban Putri. Putri memang mempunyai hak untuk tidak menjawab, apalagi dia adalah Putri Raja.

Akhirnya Putri Ratu Mas Cempaka berkata sambil marah, “ Mengapa kalian mendesak aku ? Apakah aku suka kepada dia, atau aku tidak suka kepada dia, semua itu bukan urusan mu! Mengertikah kalian ? “

“ Ya yang Mulia, kami semua mengerti! Kami undur diri yang Mulia.”

Semua dayang-dayang itu mengundurkan diri dengan rasa takut; Benar-benar takut kepada Putri Raja.

Sesungguhnya, Putri Ratu Mas Cempaka sedang bimbang akan hal nya si Joko, pemuda desa yang sekarang bertugas didalam Istana. Bimbang untuk mendekati sang Pemuda itu, karena sudah pasti ayah nya akan melarang, karena bukan ‘kelas’ nya.

Tidaklah mungkin dia berjodoh dengan seorang pemuda dari desa.

Akan tetapi, harus diakui didalam hati kecilnya, bahwa hati nya telah di curi oleh sang pemuda desa itu. Walaupun dia baru melihat nya satu kali saja, akan tetapi, dia merasa rindu, untuk melihat kembali sang Pemuda desa itu; Bahkan tidurnya pun terganggu akan bayang-bayang si Joko.

Joko Tingkir mendapat tempat kerja bersebelahan dengan Istana. Dimaksudkan agar Raja dapat langsung memberi perintah kepada dia, prajuritnya; Utama nya dalam hal pertempuran dengan Kerajaan Majapahit yang sewaktu-waktu akan pecah.

Pandangan mata Joko dapat mencapai ruang dalam Istana dan juga ruang depan gedung Kaputren.

Dan sebaliknya, pandangan Putri Ratu Mas Cempaka juga dapat menjangkau ruang kerja Joko Tingkir.

Joko merasa heran, karena akhir-akhir ini banyak dayang-dayang yang berjalan pulang pergi; Dari dapur Istana, ke gedung kaputren dan kemudian kembali lagi, melewati tempat kerjanya. Seolah-olah ada kenduri didalam gedung Kaputren, sehingga banyak makanan diangkut dari dapur ke Kaputren.

Rupa nya, diantara para dayang itu, ada Putri Ratu Mas Cempaka; Dia ikut bersama para dayang , guna mencuri pandang pada Joko Tingkir. Sementara Joko Tingkir tidak tau, bahwa dirinya sedang diperhatikan.

Hari-hari berlalu tanpa kesan bagi si Joko. Dia selalu menjaga penampilan dan wibawa seorang prajurit. Joko selalu ingat pesan pamannya, Kiyai Gandamustaka, yang mengingatkan untuk selalu harus berhati-hati didalam berbicara dan mengambil sikap.

Putri Mas Cempaka pada akhirnya mau membuka kartunya dihadapan dayang nya yang dipercaya, “ Sesungguhnya aku jatuh cinta kepada Joko Tingkir. Bagaimana kah caranya untuk aku dapat memulai cinta ini, wahai kawan ku, Dayang Sembidri.? “

Dayang Sembidri menjawab, “ Aku tidak pantas memberi nasehat pada mu Putri ? Apa lagi didalam masalah pribadi seperti ini. Aku tidak berani berbuat kurang ajar seperti kawan ku; Masih ingat kah engkau akan kawan ku yang ingin menjadi kekasih si Joko, wahai Putri ? “

“ Ya, dia memang kurang ajar dengan cara mendesak aku untuk mengakui bahwa aku tertarik pada si Joko. Sedang engkau berbeda dengan dia, wahai Dayang Sembidri.

Bukan kah engkau sudah menikah ? Jadi engkau mempunyai pengalaman didalam bercinta dengan seorang laki-laki, bukan kah begitu ? “

“ Ya memang benar, aku mempunyai pengalaman. Tetapi, tentu pengalaman ku tidak akan dapat di pakai pada diri mu wahai Putri, karena aku berbeda dengan mu; Karena engkau adalah seorang Putri Raja.”

“ Katakan lah satu nasehat kepada ku wahai sahabat ku Dayang Sembidri, untuk aku dapat mendekati si Joko ! “

Yang ditanya diam saja, karena sedang berpikir.

Pada akhirnya Dayang Sembidri berkata, “ Nah ini hanya suatu cara diantara banyak cara, guna memulai ‘Sandiwara Cinta mu ini ‘.”

“ Bagaimana cara nya ? Hayo katakan kepada ku ! “

“ Seorang laki-laki, biasanya akan memulai rasa cintanya, berawal dari mulutnya melalui rasa makanan yang kita berikan.

Kita akan mengirim makanan kepada nya; Biar aku yang akan mengirim makanan itu. Jika dia bertanya, siapa yang mengirim makanan itu, maka aku katakan itu dikirim dari seseorang.”

“ Lalu bagaimana ? “

“ Besok kita kirim lagi kueh-kueh untuk menahan lapar.”

“ Terus ? “

“ Pada akhirnya dia akan bertanya setengah memaksa kepada ku, siapa yang mengirim makanan ini ?. Maka disitulah akan kuhubungkan ‘ jembatan’ yang hampir rampung itu; Akan kukatakan nama mu. Aku sekarang meminta izin kepada mu, bolehkah aku menyebut nama mu ? “

“ Tentu saja boleh, agar jembatan itu rampung dan kuat jadi nya.”

“ Aku mengambil perumpamaan hubungan cinta mu dengan Joko sebagai sebuah jembatan yang melalui air deras di bawah jembatan. Kewajibanmu bersama si Joko untuk memelihara jembatan itu.”

Putri terdiam karena sedang ber angan-angan; Akhirnya kembali bertanya, “ Kemudian ? “

“ Kemudian, engkau lah Putri, yang akan memelihara hubungan mu dengan si Joko. Mudah-mudahan di Rachmati oleh Allah SWT.”

Putri Ratu Mas Cempaka terdiam cukup lama.

Dayang Sembidri bertanya, “ Wahai Putri, mengapa engkau diam saja ? Jika saran ku tidak dapat diterima,.... tidak mengapa; Aku akan pikirkan saran yang lain.”

“ Saran mu bagus, bahkan sempurna. Bukankah cinta dimulai dari lidah dan perut seorang laki-laki. Aku mengenal seorang koki Istana yang pandai membuat bermacam-macam makanan kecil untuk si Joko; Aku yakin si Joko akan suka.”

“ Jadi, mengapa engkau diam saja ? “

“ Ada persoalan besar yang akan kuhadapi akan hal nya hubungan ku dengan si Joko.”

“ Hubungan mu belum terlaksana; Tetapi engkau sudah memikirkan kedepan, seolah cinta mu sudah dapat diterima oleh si Joko. Ingatlah wahai Putri, belum tentu si Joko anak desa itu mau dengan mu, karena dia akan merasa rendah diri didalam menghadapi mu sebagai anak Raja, wahai Putri.”

“ Ha ha ha , engkau benar wahai Dayang Sembidri; Aku ini terlalu yakin bahwa dia akan mau dengan aku.”

“ Tapi engkau benar, wahai Putri. Marilah kita berandai-andai, seolah sudah terlaksana akan halnya sepasang merpati yang akan melanjutkan kejenjang perkawinan.

Lalu...ada masalah apa lagi ? “

“ Ayah ku akan melarang hubungan ku dengan si Joko.

Jika jembatan itu sebagai perumpamaan mu, maka air deras dibawah jembatan itu akan meruntuhkan jembatan yang baru saja selesai dibuat. Ternyata bukan hanya sekedar air deras, tetapi air bah dari hulu yang akan memporak porandakan seluruh kampung dengan adanya banjir besar.”

“ Wow... itu bukan perumpamaan dari ku, tetapi dari mu.

Seperti apa garang nya ayah mu itu, wahai Putri ? “

“ Sudah menjadi nasib ku, terlahir sebagai Putri seorang Raja. Berbahagialah engkau, wahai Dayang Sembidri; Maka engkau tak pernah merasakan kerasnya tindakan seorang ayah, karena dia bukan Raja.

Ayah ku mempunyai banyak aturan, yang mengatur semua langkah-langkah didalam hidupku, walaupun itu adalah permasalahan pribadi. Begini tidak boleh, begitu pun tidak boleh; Jadi yang boleh, yang nyata-nyata aku tidak suka.”

“ Semua orang mengatakan bahwa anak Raja akan hidup berbahagia, karena harta dan ke istimewaan yang di miliki. Tetapi hari ini, aku mendengar langsung keluhan seorang Putri Raja yang mengatakan sebalik nya, yaitu engkau wahai Putri.”

“ Wahai dayang Sembidri, bantulah aku untuk melawan ayah ku ! Sudah saat nya aku harus menyatakan ke-tidak setujuan ku pada ayah ku.”

“ Aku siap membantu mu, wahai Putri ! Utama nya didalam masalah perjodohan mu. !




Bab 4


Hari demi hari dilalui oleh Joko Tingkir dikantornya, yang selalu tersedia kueh-kueh di meja kerja nya; Dia beranggapan bahwa kueh itu adalah salah satu fasilitas kerja, agar dia lebih giat bekerja. Dia hanya berpikir bahwa mungkin Raja sayang kepada bawahannya.

Tidak pernah terpikirkan oleh nya, akan ada nya seorang wanita yang mencintai dia.

Bukankah Raja Trenggono akan menyerang Kerajaan Majapahit ? Oleh sebab itu, Raja sedang mempersiapkan angkatan perangnya, termasuk mempersiapkan dirinya.

Sesungguhnya, kueh itu adalah pemberian Putri Ratu Mas Cempaka, yang dikirim secara rahasia oleh dayang-dayang nya; Karena Putri jatuh cinta kepada pemuda desa, si Joko Tingkir.

Tetapi Putri kecewa, karena Joko Tingkir tidak memberikan reaksi apa pun; Seperti dimisalkan dia mau bertanya kepada orang-orang disekelilingnya, siapa yang memberi kueh lezat ini ?

Hingga pada suatu hari, kueh-kueh yang dikirim itu disertai dengan sepucuk surat; Sepucuk surat dari Putri Ratu Mas Cempaka, ditujukan kepada Joko Tingkir.

Wahai Joko Tingkir yang aku sayangi,

Sesungguhnya, aku lah yang sengaja mengirim sekedar makanan penahan rasa laparmu. Dikarenakan aku sayang kepadamu.

Datanglah nanti, ditengah malam, di ruang perpustakaan Istana; Aku akan ada disana dengan penuh harap kepadamu.

Akan tetapi, jika engkau tidak mau datang untuk menemui aku, maka aku pun akan mengerti, bahwa aku memang tidak pantas untuk menjadi pasangan mu.

Semoga Tuhan merestui.

Putri Cempaka.
Alangkah terkejutnya Joko Tingkir, setelah membaca surat itu, “ Jadi,...selama ini aku telah diperhatikan dan juga telah di nilai oleh seorang Putri Raja.” Joko berpikir didalam hati.

Sekarang dia terduduk, lemah-lunglai disertai dengan degup jantungnya yang menjadi cepat. Dia tidak yakin akan dapat menjadi pasangan seorang Putri Raja, karena statusnya didalam masyarakat sebagai pemuda desa, tidak berdarah biru. Bahkan dia berpikir akan bahaya yang sedang mengancam keselamatannya, karena amarah sang Raja kepadanya.

Dia berpikir, “ Lalu aku harus bagaimana ? Apa tindakan ku selanjutnya ? Kemana langkah ku akan kutujukan ?”

Dia menjadi bingung mendapatkan anugrah Tuhan yang terlalu besar untuk di bawa-bawa, yang telah datang secara tiba-tiba dan tidak diduga.

Joko dapat melepaskan pandangannya ke arah jendela-jendela Istana dari ruang kantornya.

Sekarang pandangan nya ditujukan kedalam ruang Balairung Istana, terus mengarah pintu Kaputren; Tidak ada Putri disana, hanya ada dayang-dayang yang kelihatan nya sedang menahan tawa.

Mungkinkah dayang-dayang itu sedang menilai kelakuannya yang kelihatan menjadi lucu, bagaikan seekor monyet yang mendapat buah kelapa ?

Joko menilai, memang seperti itu, sungguh dia sedang ditertawakan oleh mereka.

Joko berpikir didalam hati, “ Kurang ajar engkau, wahai para dayang ! Akan kuperlihatkan sifat jantan ku kepada mu ! Engkau akan kagum kepada ku, siapa aku sesungguhnya! “

Dia masuk kedalam kantornya, jendela dan pintu kantor ditutup rapat-rapat.

Kemudian dia memanggil orang-orang kepercayaannya, untuk mengadakan rapat kilat. Joko menilai surat Putri sebagai suatu ancaman yang membahayakan karier nya, bahkan nyawanya. Bila Raja mengetahui hubungan asmara antara dia dengan Putri, maka putus lah sudah kariernya dan bahkan nyawanya pun akan melayang. Dia sudah meyakini akan hal nya sifat Raja yang kejam. Sudah banyak orang yang telah menjadi korban Raja, dihukum mati tanpa di adili.

Tiga orang kepercayaannya berpangkat perwira, adalah Ki Ageng Lowo, Ki Mas Alit dan Ki Manderoso. Ke tiganya sangat setia kepada Joko, karena sama-sama tidak suka akan sikap Raja yang terlalu kejam dan tidak pernah tersenyum kepada pembantu nya.

“ Aku sengaja memanggil kalian untuk dapat memberikan masukan akan permasalahan ku. Berikan lah jalan keluar bagiku didalam menyelesaikan nya.

Hari ini aku telah menerima surat dari Putri Ratu Mas Cempaka. Dia telah mengungkapkan rasa sayangnya kepadaku.

Aku tidak dapat menerima cinta seorang anak Raja, bahkan aku menjadi curiga akan adanya suatu perangkap untuk menjatuhkan kepangkatanku, dan sekali gus untuk menghilangkan nyawaku.

Bacalah sendiri surat Putri ini, kemudian kita akan bahas bersama-sama; Tetapi berjanjilah untuk merahasiakan nya.! “

“ Baiklah ! “

Setelah ketiga orang itu membacanya, maka Ki Ageng Lowo memberi komentar; Kata nya,

“ Aku tidak yakin Putri telah jatuh cinta kepadamu; Jadi surat ini adalah palsu ! Aku memperkirakan ada orang yang sengaja membuat surat ini, kemudian diselipkan dibawah piring kueh-kueh itu. Aku kira, orang ini ingin merebut kedudukan mu di kedinasan militer.

Ingatlah wahai Joko, kedudukan mu di dalam militer Demak, membuat banyak orang cemburu. Pasti ada yang sudah memasang ‘jerat’ khusus untuk mu.!

Joko termenung sebentar dan kemudian bertanya, “ Jika perkiraan mu itu menjadi kenyataan, apa kira-kira rencana dia selanjutnya ? “

“ Sudah tentu dia ingin menjatuhkan karier-mu dengan meminjam kuasa Raja; Bahkan ingin membunuhmu, jika mungkin. Ketahuilah oleh mu, Jika Raja dapat mengetahui ada nya hubungan asmara antara engkau dengan Putrinya, maka nyawa mu sukar diselamatkan.”

Mas Alit ikut memberi saran, “ Ya benar seperti itu. Jika memang benar bahwa Putri mencintai mu, maka hendaknya engkau bersifat pasif saja; Jangan lah engkau mau datang ke ruang perpustakaan itu Joko ! Anggaplah bahwa surat itu palsu adanya, jadi jangan diperdulikan.”

Joko Tingkir terdiam cukup lama. Pada akhirnya dia berkata, “ Aku takut dia menjadi marah kepadaku, kemudian dia mempengaruhi ayah nya untuk mencelakakan aku. Jadi aku tetap dalam bahaya.”

Semua terdiam tertunduk, karena semua merasa takut akan kekuasaan Raja Trenggono. Joko teringat nasihat ibu tiri nya, “ Jangan lah engkau dekat dekat dengan Istana, karena Raja akan mencelakakan engkau wahai Joko ! Ingatlah, ayah mu telah mati dibunuh oleh Raja; Sungguh Raja adalah orang yang jahat.”

Ki Ageng Lowo berkata kembali, “ Maju salah, mundur pun salah; Itulah nasib kita ! Jadi aku saran kan kepada mu wahai Joko, pergilah engkau ke perpustakaan dan katakan kepada Putri, bahwa engkau tidak pantas dan juga tidak berani untuk menjadi pasangan seorang Putri Raja. Katakan juga bahwa Raja akan marah besar dan akan menjatuhkan hukuman mati. Setelah engkau uraikan rasa takut mu, Kita mengharap, Putri dapat mengerti.”

Mas Alit membenarkan, “ Ya aku setuju seperti itu. Jika situasi menjadi sangat berbahaya, kita akan melarikan diri, lepas dari kekuasaan Raja.”

Kembali ruangan menjadi tenang, tetapi mencemaskan.

Akhirnya Ki Ageng Manderoso memberikan saran terachir, “ Aku rasa saran kita yang terakhir ini adalah yang terbaik. Pada kesempatan ini aku ingin bertanya dari hati kehati, apakah engkau mencintai dia, wahai Joko ? “

Yang ditanya terdiam; Pada akhirnya berkata, “ Aku belum pernah dekat dengan Putri, jadi bagaimana mungkin aku dapat mencintai dia ? Aku hanya akan mengatakan, bahwa dia adalah seorang wanita yang cantik; Cantik bukan karena dia anak Raja, tetapi memang cantik yang sebenarnya.”

“ Jadi, apakah engkau menyesalkan saran kami ? Atau engkau tidak setuju dengan saran kami ? “

“ Tidak, aku tidak menolak saran kalian. Aku akan memilih wanita kampung yang akan menjadi pasangan hidup ku nanti; Sungguh, aku tidak mengharapkan dia.

Jika aku memisalkan dia sebagai bunga cantik didalam hutan, maka bunga itu didampingi oleh seekor ular kobra yang sangat berbisa. Jika tangan ku mendekati ular itu, untuk memetik bunga, maka ular itu akan mematuk tangan ku, dan aku akan mati.”

Ki Ageng Manderoso berkata kembali, “ Aku setuju dengan perumpamaan Putri yang seperti bunga itu. Marilah kita jaga kekompakan kita untuk menghadapi Raja ! “

Hingga pada malam berikutnya Joko mengendap-endap mendekati ruang perpustakaan untuk mendapatkan Putri yang sedang menunggu diruang itu. Sementara itu ketiga pengawal setia nya, sudah memeriksa keadaan sekeliling ruang perpustakaan; Tempat itu dinyatakan aman.

Sewaktu Joko masuk kedalam ruangan, tiba-tiba tubuhnya disergap dan dipeluk oleh Putri dengan perasaan penuh birahi. Joko Tingkir terkejut.

“ Hai ! Hai ! Hai ! Tunggu dulu, aku sungguh tidak mengenal engkau ! Siapa engkau dan akan berbuat apa kepadaku ? “

“ Apakah engkau tidak mengenal aku ? Aku adalah Putri Ratu Mas Cempaka.”

“ Ya, aku hanya mendengar nama mu, tetapi aku tidak pernah dekat dengan mu, wahai Putri; Jadi mengapa engkau memeluk aku ? “

“ Memang sudah ku duga, bahwa engkau akan menolak untuk menjadi kekasih ku; Akan tetapi aku memaksa mu !. Aku bisa, dan aku boleh memaksa mu ! Karena aku Putri Raja.”

“ Oh.... begitu ? Karena engkau seorang Putri Raja ? “

“ Benar kata mu !

Dan sungguh benar kata ku, bahwa aku mencintai mu ! “


“ Aku menyesal tidak memakai kesempatan yang telah diberikan oleh mu, kepadaku; Untuk tidak perlu datang ketempat ini. Sungguh, engkau bagaikan gonggo (laba-laba) si Janda-hitam yang akan kawin dan kemudian akan membunuh si pejantan, setelah selesai kawin.”

“ Ha, ha, ha, .... sungguh engkau pandai memberikan perumpamaan akan diriku; Sungguh tepat, aku seperti gonggo. Jika engkau menghindar dari ku sekali pun, engkau akan tetap ku kejar.! Mengerti kah engkau ? “

Joko Tingkir terdiam dengan nafas nya memburu karena merasa takut; Takut pada wanita yang ada dihadapan nya; Karena dibelakang dia ada ayahnya, yang mudah memberi hukuman mati kepada siapa pun.

Setelah rasa takutnya hilang, Joko berkata, “ Engkau akan tetap mengejar aku, untuk apa ? Untuk engkau dapat mencintai aku, atau untuk membunuh aku ? Wahai gonggo si Janda-hitam ? “

“ Sayang ! Aku bukan gonggo yang sebenarnya, tetapi.... berikan lah kesempatan kepada ku untuk aku dapat menjadi kekasih mu. Percayalah, aku akan menjaga keselamatan mu, dari ancaman ayah ku; Percayalah kepada ku ! Aku sudah mempelajari akan keberatan mu untuk menjadi kekasih ku, karena engkau memang terancam; Ancaman dari Raja kepada mu, karena Raja, sudah pasti tidak akan menyetujui engkau sebagai menantu nya. “

“ Tepat ! Sungguh tepat analisa mu; Mungkin aku bukan laki-laki yang pertama dari mu; Barangkali kekasih mu yang dulu-dulu, semua nya sudah menjadi bangkai, karena telah di bunuh oleh ayah mu, betulkah.? “

Putri Ratu Mas Cempaka terdiam. Tampak mukanya menjadi pucat. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Joko, bahwa banyak laki-laki yang sudah menjadi bangkai; Kemudian Joko akan menyusul; Joko juga akan menjadi bangkai.

Setelah lama terdiam, akhirnya Putri kembali berbicara, “ Aku masih percaya, bahwa ayahku merindukan seorang menantu dan seorang cucu. Oleh sebab itu, aku memohon kepada mu,

Joko, ......... jadilah engkau kekasih ku ! “

“ Berilah aku kesempatan untuk berpikir, apakah aku mau atau tidak mau ! Berikanlah aku kebebasan untuk dapat mengatakan ya atau tidak; Jangan lah engkau marah dan memaksa aku! “

“ Sesungguhnya aku akan marah kepada mu, karena mendengar kata-kata mu itu tadi; Tetapi aku menahan emosi ku, dan aku tetap mengharap kan engkau, wahai kekasih ku, Joko.

Jadi...... Berapa lama aku harus menunggu mu ? ”

Yang ditanya terdiam, karena Joko berpikir akan kata-kata terachir Putri, yang berarti dia kembali mengancam. Dengan demikian, anak dan ayah, sama saja sifat kejam nya.

Joko Tingkir berpikir, “ Jika aku menolak cinta nya, maka aku dalam bahaya. Jika aku menerima cintanya, maka aku juga dalam bahaya. Aku bagaikan lalat yang sudah terjerat didalam sarang laba-laba; Bagaimana pun aku memberontak, ikatan benang laba-laba itu menjadi semakin kuat.”

Joko Tingkir menjadi berputus asa.

Akhirnya Joko berkata, “ Terasa indah kata-kata mu wahai Putri; Yang mana engkau telah berjanji kepadaku, akan membela aku dari amarah ayah mu, benarkah engkau akan melindungi aku dan membela aku ? Setelah aku menjadi kekasih mu ? “

“ Sungguh benar janjiku itu, wahai kekasihku ! Jadilah engkau kekasih ku, maka kita akan menjadi sekutu untuk melawan kekuasaan ayah ku.”

“ Apa katamu ? Menjadi sekutu untuk melawan ayah mu..... ? ”

“ Ya itu sudah,...... engkau dan aku akan menjadi sepasang kekasih; Bila ayah ku, kemudian tidak menyetujui, maka kita akan menghadapi kemarahan beliau; Dan aku akan rela mengorbankan nyawa ku, didalam perjuangan kita.”

“ Aku berharap engkau tidak perlu mengorbankan nyawa mu. Kita tidak akan mengobarkan suatu pemberontakan melawan Kerajaan Demak, bukan ? ”

Putri Ratu Mas Cempaka terdiam sebentar; Dan akhirnya berkata,

“ Tidak ! Ini akan menjadi suatu pemberontakan melawan kekuasaan ayah ku sendiri. Sudah kukatakan, bahwa aku akan rela berkorban nyawa. Apakah nyawa ku tidak cukup berharga ? Sekali lagi kukatakan bahwa aku rela mengorbankan nyawa ku.

Bukankah itu suatu pemberontakan? ”

Joko Tingkir menjadi bingung dan terdiam, dia berpikir, “ Bagaimana kah hubungan ayah dan anak di Kerajaan Demak ini ? Begitu genting kah, sehingga Putri mau memberontak ? Serasa tidak masuk diakal.

Jika memang benar banyak laki-laki yang datang untuk melamar Putri, tetapi pada kenyataannya mereka telah dibunuh secara diam-diam oleh Raja, maka wajar saja jika Putri sangat marah kepada ayah nya sendiri. Kemudian berencana mau mengobarkan suatu pemberontakan.”

Kembali Joko ingin ketegasan akan rencana Putri untuk memberontak, “ Apakah betul engkau berkeinginan untuk melawan ayah mu didalam suatu pemberontakan ? “

Putri menjawab tegas, “ Ya benar, jika engkau mau membantu diriku. Oleh sebab itu, katakan lah, bahwa engkau mau menjadi kekasihku ! Maka kita akan bersekutu untuk menghadapi ayah ku.”

“ Mengapa engkau membenci ayah mu ? Sehingga akan melancarkan suatu pemberontakan ? “

Putri terdiam cukup lama, karena sedang menganalisa tindakan-tindakan ayah nya yang dirasakan tidak adil terhadap dirinya. Ayah nya telah merampas kebebasan dirinya, termasuk masalah pribadinya. Dan banyak laki-laki bekas kekasihnya yang telah menghilang, tidak diketahui lagi khabar nya.

Akan tetapi, ayahnya juga sayang kepadanya. Semua kebutuhan materi nya, telah dipenuhi oleh ayah nya. Tetapi bukan itu yang dikehendaki oleh Putri.

Kembali Joko berkata, “ Baiklah ! Aku akan membelamu dalam menghadapi ayahmu.! Akan ku-korbankan karier ku didalam bidang militer, karena seorang wanita,...yaitu engkau adanya.

Kemudian, apa rencanamu selanjutnya ? “

“ Kita akan sampai di Mahligai Perkawinan, dengan atau tanpa restu dari ayah ku. Sudah pasti ayahku akan melarang engkau untuk mendekati aku; Apa lagi untuk menjadi kekasih Putrinya. Oleh sebab itu, bawalah aku lari, keluar dari Istana ini ! “

“ Baik ! Aku setuju dengan rencanamu.”

“ Bila engkau bertindak ? “

“ Tidak bisa secepat itu, karena harus dipikirkan strategi kita, menuju pertempuran yang sesungguhnya. Bukankah ini suatu pemberontakan militer, seperti yang engkau katakan?

Rencana besar ku adalah menumbangkan kekuasaan ayah mu, dan aku akan merebut Tachta Kerajaan Demak dari tangan ayah mu.”

Putri terdiam. Putri berpikir, “ Aku tidak ingin si Joko mendapatkan nasib seperti kekasih ku yang sebelum nya, hilang tidak tau rimbanya.”

Putri akhirnya berkata, “ Apa pun yang akan engkau kerjakan, wahai Joko, maka aku akan setuju kepada mu, karena kita telah bersekutu; Aku adalah kekasihmu.”

Akan hal nya Joko Tingkir, dia memang dalam bahaya, sekalipun sudah bersekutu dengan Putri. Terlebih lagi, apa bila dia tidak bersekutu; Maka dia akan berhadapan dengan dua musuh, Putri dan Raja.

Joko memperkirakan bahwa pasukan mata-mata Raja sudah melaporkan kepada Raja akan situasi di Istana nya; Bahwa seorang perwira militernya telah bermain api-asmara dengan Putri nya.

Joko mohon pamit kepada Putri untuk pulang kembali dan mengatur strateginya dalam pemberontakan melawan Raja, sesuai kehendak Putri.

Agar supaya Raja Trenggono tidak menaruh curiga, Joko Tingkir datang ketempat kerja nya keesokan harinya. Situasi disitu sedikit mencurigakan, akan hal nya Raja seolah sudah mengetahui ada nya pertemuan rahasia di ruang perpustakaan.

Tampak seorang wanita datang secara diam-diam, menyelinap masuk kedalam ruang kantornya; Dia kelihatan gugup, dan menaruh secari kertas diatas meja tulis Joko. Joko melihat wanita itu dari kejauhan; Dia berpura-pura tidak tau. Setelah wanita itu pergi, joko mengambil kertas itu dan segera membaca nya.

Wahai Joko ! Engkau dalam bahaya, karena Raja akan menangkap mu dan menjatuhkan hukuman mati

Segera engkau lari dari Istana dan Kota Demak, ketempat yang jauh. Selamatkan nyawa mu !

Aku, dayang Sembidri.


Ki Ageng Maderoso berlari-lari melaporkan kepada Joko Tingkir, “ Kuda untuk mu sudah kusiapkan dibelakang rumah mu; Kita segera akan melarikan diri menuju hutan.”

“ Bagaimana situasi Istana, apakah Raja sudah mengetahui duduk permasalahan Putri nya? “ Tanya Joko pada Ki Ageng Manderoso.

“ Raja sudah mendengar laporan dayang-dayang di Kaputren; Kemudian Raja menjadi marah besar kepadamu. Raja mengatakan akan hal nya engkau Joko, sebagai anak yang tidak tau di untung; Sudah diberi ati, mau paha.”

“ Jadi, apa rencana Raja ? “

“ Beliau akan memberi hukuman pada mu; Mungkin hukuman mati. Kita hanya mempunyai waktu yang singkat untuk melepaskan jerat ini; Jadi bersiap-siap lah engkau.”

“ Kalau begitu situasinya, maka kita akan melarikan diri. Akan tetapi dimana Putri ? Bagaimana situasi Putri.? “

“ Ha, ha, ha .....Sudah kuduga bahwa engkau sedang berbohong kepada kami bertiga, Ternyata engkau sudah jatuh cinta; Ini lah bukti nya ! Engkau ternyata masih memikirkan dia.”

“ Betul ! Lebih tepat, kalau kukatakan, bahwa aku dan dia telah bersekutu untuk menghadapi Raja, ayah nya didalam suatu pemberontakan militer.”

“ Oh begitu kah adanya ? Bahwa engkau dan dia telah bersekutu, untuk melancarkan pemberontakan ?

Menurut kabar yang aku terima, Putri telah ditahan di suatu kamar oleh Raja, sepulangnya dari ruang Perpustakaan. Dan kemudian, engkau akan menyusul, wahai Joko ! “

“ Apakah Putri juga akan dibunuh oleh ayahnya sendiri ?”

“ Aku tidak tau; Tapi yang jelas hubungan kalian sudah di-putus, seketika; Dan tidak mungkin engkau melancarkan suatu pemberontakan.

Hayo kita lari ! Tidak ada lagi waktu untuk bercakap-cakap.”

Ke empat sekawan melarikan diri, menjauhi Istana Kerajaan Demak.

Kuda-kuda itu dipacu untuk berlari dipagi hari yang masih gelap. Beberapa orang petani yang akan memulai pekerjaan mereka, melihat keempat kuda yang berlari kencang dengan perasaan heran.

Satu jam kemudian, pasukan Demak sebanyak seratus orang berkuda, mengejar Joko Tingkir dan kawan-kawan nya. Mereka mendapat tugas dari Raja untuk menangkap Joko, mati atau hidup.

Itulah kekuasaan Raja yang tidak terbatas. Hanya dikarenakan Putrinya mencintai seorang pemuda desa, maka pemuda itu harus dihukum mati.

Tetapi Joko beserta teman-temannya sudah memasuki hutan, sehingga sukar untuk diketemukan. Kuda-kuda mereka tidak dapat masuk kedalam hutan lebat dengan pohon-pohon nya yang rapat, maka kuda itu ditinggalkan dipinggir hutan.

Pimpinan prajurit Demak yang mengejar Joko, bernama Dadungdauk; Dia sekarang mempunyai kesempatan untuk merebut kedudukan Joko sebagai Perwiratantama. Dengan mandat dari Raja untuk menangkap hidup atau mati si Joko.

“ Lihat ! Itu kuda mereka yang ditinggalkan. Hayo kita kejar !”

Dadungdauk mendekati kuda itu; Badan kuda masih hangat dan masih berkeringat, jadi kuda ini baru saja ditinggalkan oleh yang empunya.

Dadungdauk berteriak sekuat-kuatnya kearah hutan, “ Hai Joko Tingkir ! Engkau sudah dikepung, jadi menyerahlah ! Raja akan memberi ampun kepada mu, percayalah ! “

Tampak bayangan berkelebat dimuka pasukan Demak, suatu gerakan yang cepat dari seorang akhli bela diri; Pasti lah dia si Joko, beserta ketiga pengawalnya.

Dadungdauk memasuki hutan, diiringi oleh pasukannya. Tiba-tiba kepalanya dipukul oleh seseorang, sehingga terasa pusing. Menyusul kepalan yang lain menumbuk perutnya, hingga si Dadungdauk muntah-muntah. Dadungdauk tidak sanggup membalas, karena seluruh badannya terasa lemas; Seluruh otot ditubuhnya tidak dapat lagi bekerja maksimal.

Itu adalah jurus ‘meminjam tenaga memukul angin’. Joko tidak menyentuh kepala Dadungdauk, karena kepalannya hanya memukul angin di muka nya; Tetapi dengan tenaga yang dipinjam dari lawannya. Maka pukulannya menjadi seratus kali lebih kuat dari pukulan normal nya. Sebaliknya, lawan nya menjadi lemas tidak bertenaga, karena tenaganya dihisap oleh tangan kepalan si Joko.

Dadungdauk terduduk sambil memegang kepalanya yang sakit; Dia menyerah didepan si penyerang yang ternyata adalah Joko Tingkir. Daungdaduk memang harus menyerah sebelum melawan.

Kawan-kawan nya, sibuk menghadapi prajurit Demak yang lain. Keris mereka sudah banyak melukai prajurit Demak; Bahkan sudah ada tiga orang prajurit Demak yang mati terbunuh.

Akhirnya pasukan itu mundur, sambil membawa mayat ke tiga temannya.

Joko Tingkir berkata kepada Dadungdauk, “ Hai Dadung ! Engkau tidak perlu menangkap aku untuk kemudian merebut kedudukan ku didalam kedinasan militer Demak; Sekarang ini aku secara resmi menyerahkan kepangkatan ku kepada mu,.... maka terimalah dengan damai.”

Dadungdauk mengerang-ngerang kesakitan; Dia belum mampu menjawab kata-kata Joko Tingkir.

Pada akhirnya Dadungdauk berkata, “ Terimakasih Joko, aku terima pemberian mu. Sebelum engkau pergi, katakan kepadaku, apalagi yang akan engkau serahkan kepada ku ? “

“ Tidak ada lagi !

Salam hormat ku kepada Raja Trenggono; Dari seorang pemuda Desa Butuh, bernama Joko Tingkir.”

“ Joko sudah seharusnya engkau menyerahkan ilmu bela diri mu kepadaku, bolehkah ? “

“ Tidak boleh !

Kuperlukan Ilmu bela-diri ku, untuk aku dapat mencari pekerjaan sebagai seorang prajurit, prajurit di Kerajaan manapun. Sekarang, aku akan mencari pekerjaan di Kerajaan Majapahit.”

“ Oh Joko ! Sungguh engkau seorang pengchianat.”

“ Aku pengchianat kata mu ?

Bagaimana Raja ? Dia yang akan membunuh aku ? Bukankah dia lebih berchianat daripada aku ? Bagaimana mungkin, seorang prajuritnya yang setia seperti aku, telah dijatuhi hukuman mati, tanpa diadili lebih dahulu!

Nah Dadungdauk ! Pulanglah engkau dan katakan bahwa Joko Tingkir sudah berlari jauh, tidak diketemukan.”

“ Baik lah, selamat jalan wahai Joko.”

Joko Tingkir beserta teman-temannya meneruskan perjalanannya didalam hutan. Mereka pergi untuk menghindari Raja, tetapi tanpa tujuan yang pasti.

Ki Ageng Maderoso memberi usul, “ Marilah kita pulang ke rumah Ki Ageng Sela ! “

Joko menjawab, “ Aku setuju dengan mu wahai Ki Ageng Manderoso. Kita akan berlatih silat dan memperdalam ‘Ilmu meminjam tenaga, memukul angin ’ seperti yang sudah kupakai pada musuh ku, si Dadungdauk.

Begitu kah maksudmu wahai Maderoso ? “

“ Benar Joko ! Aku berminat untuk mempelajari jurus ‘meminjam tenaga memukul angin’.”

Tiba-tiba terdengar suara petir yang bergelegar mengejutkan; Tidak ada hujan dan tidak ada angin,.... suara apakah itu ?

Ternyata itu adalah bunyi cemeti yang di pecutkan keudara oleh seseorang. Daun dan ranting pohon berguguran ke bumi, burung-burung beterbangan ke udara, karena takut dengan suara cemeti itu.

Terdengar suara penyeru dari orang itu, “ Ha, ha, ha, ha, ....... Ilmu ku lebih hebat dari ilmu Ki Ageng Sela. Marilah datang kerumah ku saja, akan ku ajarkan engkau ilmu silat dari perguruan ‘Banyu Biru ‘. Aku guru silat nomor satu, sedang Ki Ageng Sela adalah nomer dua. Hayo ! .... Berguru lah kepada ku saja ! “

Joko Tingkir terkejut dan sekali gus merasa senang, mendengar penawaran yang simpatik dari seorang yang ber ilmu. Joko sudah lama mendengarl nama besar Ki Banyu Biru, tetapi belum pernah bertemu muka. Sekarang dia berhadapan langsung dengan dia. Ini lah rezeki buat Joko dan teman-temannya; Tiba-tiba datang orang yang menawarkan ilmu silat, maka Joko mendapat kesempatan untuk menimba ilmu dari perguruan ‘Banyu Biru’.

Sesungguhnya, Ki Banyu Biru bernama asli Ki Kebo kanigoro, adalah kakak tertua ayah nya sendiri. Jadi Ki Banyu Biru masih keluarga dekat dengan Joko Tingkir.

Sudah barang tentu, Joko Tingkir menaruh hormat pada orang ini. Joko menghampiri nya dan mencium lutut Ki Banyu Biru, “ Aku, Joko Tingkir ingin menjadi murid mu, wahai Ki Banyu Biru, boleh kah ?”

“ Bangunlah wahai Joko. Namaku sebenarnya adalah Ki Kebo Kanigoro. Aku adalah kakak dari ayah mu, Ki Kebo Kenanga; Jadi engkau adalah keponakan ku.”

Joko terkejut bercampur haru dan senang sekali; Seolah-olah almarhum ayahnya di Surga telah merencanakan pertemuan Joko dengan ‘Pak-De’ nya. Tidak ada orang yang memberi tahukan Joko, akan hal nya Ki Kebo Kanigoro sebagai ‘Pak-De’

Joko berkata, “ Alangkah indahnya aku dapat bertemu dengan engkau wahai Ki Kebo Kanigoro ? Bolehkah aku memanggil engkau dengan sebutan Pak-De ? ”

“ Dengan segala senang hati, wahai keponakan ku, Joko !”

“ Wahai Ki Banyu Biru, terimakasih atas penawaran mu; Sudah barang tentu kami semua mau menjadi murid mu. Bolehkah kami menjadi murid mu ? Apa syarat-syarat nya untuk menjadi murid mu ? “

“ Syarat-syarat ku adalah kalian harus setia kepada Negara, harus membela Negara; Bahkan kalian harus ikut berperang melawan musuh Negara untuk membela Negara dan Raja mu !”

Joko terdiam dan berpikir didalam hati, “ Apa ? Membela Raja ? Tidak mau dan tidak sudi !”

Semua terdiam, tercengang mendengar persyaratan yang kelihatan aneh; Kalau Raja nya bengis akan membunuh si Joko, apakah juga mereka harus setia kepada Raja itu ?.

Karena lama Joko terdiasm, maka Ki Banyu Biru kembali bertanya, “ Apakah engkau setuju dengan persyaratan dari ku?”

Joko menjawab, “ Aku setuju, jika yang engkau maksudkan dengan Negara adalah Kerajaan Majapahit, bukan Kerajaan Demak.”

“ Memang benar, Negara kalian adalah Kerajaan Majapahit, bukan Demak.”

Joko tecengang mendengar nya.

Joko bertanya, “ Mengapa begitu pandangan politik mu, wahai Ki Banyu Biru ? Mengapa engkau memusuhi Kerajaan Demak.? “

“ Aku sudah melihat kalian bertempur melawan prajurit-prajurit Demak dan menang. Aku merasa gembira dan berterimakasih pada kalian. Aku bangga dan kagum akan engkau wahai Joko, setelah aku melihat engkau telah mengalahkan si Dadungdauk. Itulah sebab nya, aku menawarkan kalian untuk menjadi murid ku.”

Joko mengulang kembali pertanyaannya, “ Mengapa engkau membenci Kerajaan Demak ? “

“ Karena Raja nya, ......... Raja Trenggono yang telah membunuh calon Raja yang syah, Pangeran Kikin. Dia sungguh jahat dan keterlaluan, berani membunuh kakak kandungnya sendiri, hanya karena dirinya ingin menjadi Raja di Demak.”

“ Oh begitu adanya ?

Kami baru tau bahwa Raja Trenggono telah tega membunuh kakak kandungnya sendiri; Sungguh, aku baru mengetahui akan berita ini.”

“ Ya begitu adanya, ini bukan cerita, tetapi memang kejadian yang sesungguhnya. Dan aku minta kepada kalian untuk menyebarkan berita ini kepada seluruh rakyat Demak; Agar mereka menyadari bahwa Raja mereka adalah orang jahat yang harus disingkirkan.

Apakah kalian setuju dengan pandangan politik ku ini ? “

Joko menjawab, “ Ya, aku setuju dengan pandangan politik mu, wahai Ki Banyu Biru; Bahkan ayah kandungku, juga telah mati dibunuh oleh Raja itu.”

“ Ya aku sudah mendengar khabar berita tentang adikku, Ki Kebo Kenanga yang telah mati dibunuh oleh Raja Trenggono. Hal itu dikarenakan daerah Penging belum membayar pajak. Tetapi itu bukan alasan Raja untuk boleh menghukum mati seseorang; Sungguh jahat Raja itu. Ki Kebo Kenanga bukan musuh, .... bahkan dia telah berhasil memakmurkan Penging.

Ki Ageng Manderoso menambahkan, “ Dan sekarang, anaknya, si Joko sedang diburu oleh Raja, akan dibunuh juga; Hanya dikarenakan permasalahan yang sederhana saja.”

Ki Banyu Biru bertanya, “ Masalah apa itu ? Sehingga Raja jahat itu mau membunuh mu, wahai Joko ?”

Joko menjawab, “ Disebabkan Putri Raja telah jatuh cintai kepada aku. Sedangkan aku menghindar kan diri dari Putri. Karena aku memang tidak pantas menjadi pasangan seorang Putri Raja. Aku hanya lah anak desa, bukan keturunan Ningrat.”

“ Kalau begitu masalahnya, maka seharusnya Raja bukan marah kepada mu, tetapi kepada Putri nya sendiri. Putri Raja yang harus dihukum mati, bukan engkau, .... Joko !”

“ Benar, seharusnya seperti itu ! Bahkan aku takut, Raja marah kepada kedua nya. Dan aku takut, jangan-jangan..... Putri itu memang sudah mati sekarang ini, di tangan si jahat.”

Ki Banyu Biru terdiam dengan rahangnya bergemelutuk, tanda dia marah, marah sesungguhnya. Akhirnya dia kembali bertanya,

“ Jadi kalian setuju dengan persyaratan ku ? Jika ya, maka mari kita jalan ke rumahku. Aku sudah tidak sabar untuk menurunkan ilmu beladiri Kanuragan kepada kalian.

Aku merasa senang bertemu dengan orang-orang yang senasib dengan diri ku.”

“ Senasib dengan diri mu ? Wahai Ki Banyu Biru ! Apakah Raja pernah mencelakakan engkau ? “

“ Aku adalah pengikut setia calon Raja Demak, Pangeran Kikin. Aku marah kepada sipembunuh junjungan ku. Sekalipun pembunuhan itu sangat dirahasiakan, tetapi akhirnya terbongkar juga, siapa sesungguhnya dalang pembunuhan itu; Yaitu Pangeran Trenggono dan anak nya, Prawoto.

Sudah lah, ...... terlalu panjang untuk mengupas kesalahan-kesalahan dan kejahatan Raja yang kejam; Mari kita jalan ! “

Rombongan Ki Banyu Biru berangkat menembus hutan lebat, meninggalkan jauh Istana Demak. Maka Joko Tingkir beserta kawan-kawan nya sampai ditempat yang aman. Tidak mungkin Raja Trenggono mengirim pasukan nya untuk menangkap Joko.

Kemudian mereka berlatih ilmu silat di rumah Ki Banyu Biru.

Banyak anak murid Ki Ageng Banyu Biru, yang menjadi sahabat baru Joko, diantara mereka adalah Ki Wuragil, Mas Manca dan Mas Wila.

Banyak ilmu yang aneh, yang baru didapatkan oleh Joko dari Ki Banyu Biru. Diantara nya adalah, ‘Sinar mata menundukan sukma ’ Yaitu ilmu yang ber-upaya menundukan lawan dengan mempengaruhi jiwanya, melalui pandangan mata.

Berdasarkan teori yang menyatakan, bahwa mata seorang manusia dapat mengeluarkan gelombang sinar yang dapat menembus mata musuh lawannya; Selanjutnya, sinar mata menembus masuk kedalam otak musuh nya.

Denagn demikian, otak musuh nya dapat dipengaruhi, bahkan keinginannya dapat dipatahkan; Dan selanjutnya, musuh dapat menyerah dengan mudah.

Pada tahap pemula, yang menjadi lawan adalah binatang; Mulai dari anjing, kuda, buaya, dan pada akhirnya harimau; Dan tahap terakhir adalah manusia.

Sebagai contoh, seekor harimau dihadapkan pada Ki Banyu Biru, maka harimau itu menundukan kepalanya setelah Ki Ageng Banyu Biru memandang langsung menembus matanya. Kemudian harimau itu melangkah pergi.

Ki Banyu Biru hanya memandang tajam ke arah mata si harimau. Mungkin si harimau itu tau bahwa lawannya, bukan lah mangsa sembarangan, jadi lebih baik pergi, tinggalkan.

Joko sebagai pemula, sudah sampai pada tahap menundukan buaya. Joko harus masuk kedalam kolam yang dihuni oleh tiga ekor buaya besar. Joko tidak diperbolehkan membawa senjata, hanya pandangan mata nya saja, yang akan menundukan buaya itu.

Joko Tingkir dengan penuh kepercayaan menghadapi buaya diatas batu yang sedang berjemur. Dia mendekati buaya itu. Dia melangkah perlahan, dengan posisi badan yang tegap, dan pandangan matanya tertuju kepada mata buaya yang kebetulan sedang terbuka. Buaya itu melihat musuhnya yang datang mendekat; Tidak pernah ada manusia yang berani mendekati buaya, maka buaya itu menjadi heran. Sehingga dia tidak bergerak atau lupa untuk bereaksi melawan.

Joko semakin dekat, semakin dekat .... dan pada akhirnya sedemikian dekatnya yang seharusnya buaya itu menerkam Joko; Akan tetapi buaya itu menutup matanya dan bergerak menghindari joko, masuk kedalam kolam.

Ki Wuragil dan adik-adiknya bertepuk tangan, “ Hore Hidup Joko ! “

Ki Banyu Biru memberikan penilaian nya kepada Joko Tingkir, dengan predikat baik; Berarti dia lulus, bahkan tidak perlu lagi dites menghadapi harimau, tetapi ..... manusia.

Tes selanjutnya dan terakhir adalah menghadapi manusia jahat dan lagi sadis; Dia adalah raja rampok, pemeras, penipu dan juga pemerkosa wanita. Dia bernama Kolo Santet, bermarkas ditepi hutan dan suka beroperasi di jalan raya dan pasar-pasar.

Dengan penuh percaya diri, Joko Tingkir berjalan menuju markas si sadis, Kolo Santet. Sementara Ki Banyu Biru bersama murid-muridnya mengiringi dari kejauhan. Untuk tes yang terakhir ini, sasaran yang digunakan hendaknya belum pernah berhubungan perkara dengan murid nya yang akan dites. Maka dari itu, dipilih Kolo Santet yang tidak dikenal oleh Joko.

Kolo Santet murka besar, sewaktu anak buah nya memberi laporan bahwa ada seorang yang bernama Joko Tingkir menantang berkelahi. Kolo Santet disegani oleh musuh-musuh nya; Oleh sebab itu, tidak ada orang yang berani menantang berkelahi, kecuali si Joko.

Maka disetujui oleh mereka, akan tempat pertarungan yang akan diadakan disutu tempat.

Joko tidak boleh memperlihatkan kelemahan nya dihadapan si Kolo; Maka, pandangan matanya menatap kedepan, kedua lengan tangannya berada di muka dada nya, berjalan perlahan dan tegap-mantap. Dia tidak dibekali senjata, hanya doa-doa agama yang di ajarkan oleh Ki Banyu Biru yang selalu di baca ber ulang-ulang.

Ternyata Kolo Santet sudah menunggu dengan perasaan marah, karena anak buah nya telah memberitahukan bahwa akan ada orang yang menantang berkelahi, bernama Joko Tingkir. Anak buah nya mendapatkan informasi dari seorang murid Banyu Biru, yang dipesan langsung dari Ki Banyu Biru.

Kolo Santet berteriak, “ Hai Joko Tingkir, berhenti engkau disitu !”

Joko tidak menyahut teguran si Kolo, bahkan dia masih melangkah terus, perlahan menuju Kolo dengan tatapan matanya kearah mata kolo.

Kembali Kolo berteriak, “ Hai... kukatakan berkenti disitu ! Jangan engkau maju lagi ! “

“ Bukankah engkau akan mempergunakan keris mu untuk engkau tusukan ke dadaku ? “

Sekarang, Kolo Santet terdiam, karena dia heran akan keberanian Joko Tingkir dalam menghadapi maut. Kemudian pandangan mata Kolo Santet diarahkan ke tanah; Dia menghindar pandangan mata Joko Tingkir. Dirasakan oleh Kolo, akan pandangan mata Joko Tingkir yang terlalu ‘tajam’ menusuk kedalam mata nya.

Suatu tanda kemenangan buat Joko. Atau barangkali, Kolo sudah mengetahui rahasia Joko akan kekuatan yang ada pada matanya, maka dia menghindar pandangan mata Joko.

Kolo meraba keris yang ada dipinggang nya, mencabutnya dan siap ditusukan kedada musuh nya. Akan tetapi terasa aneh pada diri nya, karena otot-otot ditangannya terasa lemah tidak bertenaga.

Joko Tingkir membentak, “ Lihat lah kepada ku ! Agar keris mu tidak salah sasaran.! Lihatlah istri mu yang engkau cintai ! Dia ada disampingku, jadi jangan engkau salah sasaran yang akan dapat menusuk istrimu.”

Sesungguhnya istri Kolo tidak berada disamping Joko; Joko hanya mengelabui.

Benar, Kolo kembali menatap pandangannya ke arah Joko, untuk memastikan bahwa istri nya tidak ada disamping Joko.

Kembali pandangan mata Joko Tingkir menatap tajam ke arah mata Kolo, yang tanpa sengaja menengadahkan kepala nya kembali.

Kali ini, keris nya jatuh ketanah; Karena Kolo tidak kuat memegang keris itu yang terasa berat.

Dia bersimpuh dikaki Joko Tingkir, “ Ampun wahai Pangeran Joko Tingkir, engkau adalah Raja ku”

“ Aku bukan Raja mu; Aku mengampuni mu, tetapi dengan persyaratan-persyaratan. Jika engkau tidak sanggup dengan persyaratan ku, maka pertarungan ini akan kita lanjutkan hingga ada yang mati diatara kita ! “

‘ Tidak Joko, aku tidak berani; Katakan lah, aku harus bagaimana ? “

“ Hentikan kegiatan-kegiatanmu dalam merampok, menipu, memperkosa dan memeras orang-orang baik ! Jika orang-orang ku, kembali melaporkan kegiatan mu lagi, maka engkau akan ku bunuh; Mengertikah engkau ? “

“ Ya, aku mengerti ! “

Anak buah Kolo Santet terkejut melihat peristiwa yang terjadi dihadapannya; Meraka tidak terima penghinaan seperti ini; Maka mereka menyerbu ke arah Joko Tingkir.

Kembali Joko Tingkir memakai jurus andalannya, ‘meminjam tenaga, memukul angin’

Joko memukul angin kekanan, ke kiri, kedepan dan kebelakang; Akibatnya, anak buah Kolo jatuh berdentam ketanah dan mengerang-ngerang kesakitan. Sementara yang lain, lari ketakutan.

Joko Tingkir dinyatakan lulus dalam ilmu ‘ sinar mata, menundukan sukma’ . Ketiga sahabat Joko yang lain (Perwira militer Demak yang ikut menemani Joko ) memberi selamat kepada Joko; Sesungguhnya Joko belum lulus pada ilmu-ilmu Ki Banyu Biru yang lain, maka Joko masih harus tinggal di perguruan Banyu Biru, guna meneruskan tuntutan ilmu silat, selama tiga tahun kedepan.

Nama Joko Tingkir menjadi lebih terkenal, setelah dia berhasil menundukan seorang begal, Kolo Santet. Masyarakat berterimakasih kepada Joko Tingkir dan perguruan silat Banyu Biru.

Khabar akan kehebatan Joko Tingkir sampai ketelinga Raja Trenggono; Didalam hati kecilnya, Raja menyesal telah ‘membuang’ seorang prajuritnya yang hebat dalam ilmu bela-diri. Akan tetapi, Raja masih memperlihatkan kemarahannya di muka staf militernya; Raja berkata, “ Jangan engkau mencontoh kelakuan yang tidak baik Joko Tingkir. Ingatlah, hukuman mati masih berlaku bagi Joko. Siapa dari kalian yang berhasil membawa Joko, mati atau pun hidup, akan ku beri hadiah berupa satu kilo gram emas.”

Sikap Raja kepada Putrinya, juga sama seperti sikap dia kepada Joko. Putrinya dikurung didalam sebuah kamar, seperti hal nya seorang pesakitan.

Raja berkata, “ Calon suami mu hendaknya seorang Raja, bukan anak desa seperti si Joko “





Bab 5


Nenek ku menceritaka dari awal, akan asal-usul si Joko. Siapa Joko Tingkir itu sebenarnya ?

Joko Tingkir atau nama sebenarnya Mas Karebet, terlahir dari pasangan ayah Ki Kebo Kenanga, dan Ibu Nyi Ageng Penging.

Sesungguhnya Ki Kebo Kenanga adalah cucu dari Raja Brawijaya V, di Kerajaan Majapahit. Dia terpaksa melarikan diri dari Istana Trowulan, dikarenakan terjadi pemberontakan.

Istana Trowulan dibakar oleh kaum pemberontak yang dipimpin oleh Girindrawardhana. Dikarenakan Istana Trowulan sudah hangus terbakar, maka kaum pemberontak dibawah pimpinan Girindrawardhana berpindah ke Kota Daha. Kota Daha sebagai ibu-kota yang baru.

Sementara itu Keluarga Kerajaan melarikan diri menjadi pengungsi ke Pulau Bali. ( lihat cerita Antara Cinta dan Benci ). Dan sebagian yang lain mengungsi ke arah Kota Demak dan bergabung dengan Raja Trenggono, guna melawan Girindrawardhana. Dengan demikian, tidak ada pertentangan agama, Islam dan Hindu; Para pengungsi itu, masih beragama Hindu. Bahkan mereka dapat bersatu untuk melawan kaum pemberontak.

Ki Kebo Kenanga melarikan diri lebih jauh lagi, hingga sampai di Rawa Penging ( daerah rawa dekat Kota Semarang ). Disitu dia mendirikan perkampungan dan menikahi wanita setempat, Nyi Ageng Penging.

Daerah rawa Penging lama kelamaan menjadi ramai dan makmur, karena dipimpin oleh Ki Kebo Kenanga, cucu seorang Raja dari Majapahit. Karena kepandaian dirinya didalam hal memakmurkan rakyat, maka pertanian, peternakan dan juga perdagangan maju pesat.

Rakyat lebih mengenal Ki Kebo Kenanga dengan sebutan Ki Ageng Penging.

Sementara itu, jauh di timur, di Kerajaan Demak, Raja Trenggono menilai Pengging sebagai daerah yang tidak pernah membayar pajak. Jadi Penging harus ditaklukan dan pemimpin nya harus dibunuh. Raja mempersiapkan strategi nya, guna pada saat yang tepat akan membunuh Ki Ageng Penging yang dianggap sebagai pemberontak.

Sesungguhnya, Ki Kebo Kenanga bukan lah orang yang mau memberontak, yang kemudian harus dibunuh; Dia hanya terlupa untuk membayar pajak. Tidak seharusnya dia untuk diperangi dan dihukum mati.

Pada suatu ketika, Ki Ageng Penging mengundang Ki Dalang, yang juga sahabat nya yang bernama Ki Ageng Tingkir untuk menggelar pertunjukan ‘Wayang Beber’, Karena Desa Butuh mempunyai hajatan dan syukuran. Pertunjukan wayang Beber itu, ramai dikunjungi rakyat.

Dan pada saat pertunjukan itu lah, lahir bayi anak Ki Ageng Penging.

Oleh sebab itu, bayi nya di beri nama Mas Karebet. ( Karebet dari kata beber )

Tetapi sayang, karena beberapa minggu kemudian, Ki Dalang Ageng Tingkir meninggal Dunia, karena sakit. Dia sakit, sejak pertunjukan wayang beber nya.

Beberapa tahun kemudian, datanglah utusan Raja Trenggono, disertai pasukan Demak.

Utusan itu dipimpin oleh Sunan Kudus yang membawa lebih dari seratus prajurit Demak, dengan maksud menundukan daerah Penging. Sunan Kudus juga sebagai Panglima perang dari Kerajaan Demak, selain pimpinan Spiritual Agama Islam.

Desa Butuh bukan lah suatu daerah yang akan memberontak; Akan tetapi hanya terlupa membayar pajak; Jadi sesungguhnya tidak perlu pemimpinnya di perangi, apa lagi akan dibunuh.

Sunan Kudus memberi salam Islam, “ Ass Warohmatulohi Wabarakatuh. Wahai Ki Ageng Penging yang kami hormati ! Kami datang atas nama Raja Trenggono, untuk menagih hutang berupa uang pajak dari mu.”

Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Penging menjawab, “ Ampun beribu ampun, wahai utusan Raja,; Sesungguhnya kami belum siap untuk dapat membayar hutang itu, tetapi kami memang sudah tau bahwa Penging berada dibawah kekuasaan Demak, dengan Raja Trenggono sebagai penguasa nya.

Sebagaimana Kanjeng Ratu mengetahui, bahwa kami ini sesungguhnya hidup melarat, tanpa Raja Trenggono mengetahui keadaan kami. Akan tetapi beberapa bulan ini, kami berhasil dalam upaya kami memerangi kemelaratan. Alhamdullilah, kami dapat makan nasi dan lauk pauk dua kali dalam sehari; Yang sebelumnya hanya satu kali saja.

Kami tau bahwa Kanjeng Ratu, tidak mau tau permasalahan kami, karena kewajiban dia hanyalah mengutip pajak dari seluruh rakyat. Beliau menganggap semua rakyat nya berbahagia dan kaya raya; Pada hal sesungguhnya tidak begitu.

Diantara nya adalah kami disini yang hidup diatas rawa-rawa penyebar penyakit malaria.

Oleh sebabitu lah, kami memohon kepada Kanjeng Sunan Kudus untuk......”

“ Untuk aku dapat mem-bunuh mu.... “ Sunan Kudus meneruskan kata-kata Ki Ageng Penging dengan menusukan keris nya ke perut dan dada pemimpin Penging.

Maka matilah Ki Ageng Penging seketika itu juga; Dengan disertai jeritan istrinya; Dan juga penyerbuan dan perlawanan dari para petani Penging terhadap Sunan.

Terdengar suara lirih dari Ki Ageng Penging,

“ Innalillahi wa ina Illahi Roji’un; Allah hu akbar ! “ Dan kemudian dia terkulai layu, mati.

Beserta Ki Ageng Penging, turut mati juga lebih dari lima puluh petani-petani pengikut Ki Ageng Penging; Mereka dibantai oleh para prajurit Demak yang memang sudah menjadi pekerjaannya untuk membunuh.

Nyai Ageng Penging juga ikut meninggal Dunia, satu bulan kemudian; Dikarenakan kesedihan yang mendalam atas pembunuhan suami nya.

Maka, si kecil Mas Karebet tidak ada lagi yang mengurus. Dia harus hidup sendiri, tidur sendiri, mencari makan sendiri dan bermain sendiri; Sungguh dia yatim-piatu. Para petani sebagai pengikut Ki Kebo Kenanga, sudah melarikan diri. Oleh sebab itu si kecil Mas Karebet sungguh tidak ada yang mengurus, ditengah hutan rawa Penging. Sungguh dia sangat menyedihkan keadaannya.

Untunglah Nyai Ageng Tingkir, janda yang menjadi sahabat Nyai Ageng Penging, datang menengok keadaan rumah Ki Ageng Penging. Dia mendapatkan si kecil yang sedang bermain sendiri.

Nyai Ageng Tingkir sudah mendapat khabar sebelumnya, bahwa Ki Ageng Penging mati dibunuh oleh utusan Raja. Dia baru tau bahwa istrinya pun sudah mati, satu bulan kemudian. Jadi siapa yang akan mengurus si Karebet.

Itulah sebab nya dia datang untuk mencari khabar. Dia berteriak dimuka rumah nya, “ Assalam Mualaikum ! “

Tidak ada yang menyahut, hanya terdengar suara langkah kecil dimuka pintu. Maka pintu didorong agar terbuka. Ternyata ada anak laki-laki kecil dengan muka penuh senyum kepada Nyai. Dia mengacungkan kedua tangannya, untuk minta di gendong.

Seolah-olah dia berkata, “ Hai Janda yang budiman, jadikanlah aku anak angkat mu, karena aku sudah tidak mempunyai orang tua lagi ! Hayo lah janda yang baik hati ! Gendonglah aku yang lemah ini ! “


Menetes air mata Nyai Ageng Tingkir melihat keadaan Mas Karebet; Akan tetapi, Mas Karebet tersenyum gembira melihat Nyai yang baik hati. Mas Karebet datang menghampiri dan meminta untuk di gendong. Seolah dia berkata, “ Ambilah aku sebagai anak pungut mu wahai Janda yang baik hati ! “

Dia belum sanggup untuk berbicara, karena yang akan mengajarkan bicara, sudah mati.

Nyai Ageng Tingkir berkata kepada Mas Karebet, “ Engkau menjadi anak ku, anak pungut ku. Aku akan memeliharamu hingga menjadi seorang pemuda yang gagah berani, juga sehat sejahtera. Ku ramalkan engkau akan menjadi seorang pemimipin masyarakat.”

Jika sekiranya Nyai Ageng Tingkir datang kerumah sahabatnya terlambat, maka Mas Karebet sudah akan kedapatan mati karena kelaparan. Untunglah Tuhan masih melindungi anak itu.

Sejak saat itu, Mas Karebet menjadi anak pungut Nyai Ageng Tingkir. Masyarakat memanggil Mas Karebet dengan sebutan ‘Joko Tingkir’; Artinya anak muda keluarga Tingkir.

Nyai Ageng Tingkir benar-benar ikhlas memelihara Mas Karebet. Bahkan dia mendatangi guru Agama Islam untuk mendidik Mas Karebet, agar dia menjadi anak yang soleh.

Ternyata guru itu adalah Sunan Kali Jaga. Guru agama Islam pada saat itu sangat jarang ada; Masyarakat kebanyakan masih memeluk agama Hindu. Oleh sebab itu lah Sunan Kali Jaga didatangi oleh Ibu tiri Joko Tingkir, agar menjadi guru dari anaknya, si Joko Tingkir.

Sunan Kali Jaga bercita-cita untuk menyebarkan agama Islam di daerah sekitar Demak, termasuk Desa Butuh di rawa Penging.

Joko Tingkir tumbuh menjadi seorang pemuda cakap, sehat dan bersemangat.

Timbul niatan pada diri Nyai Ageng Tingkir untuk mencarikan guru kanuragan (silat) agar anak nya dapat menjaga diri dari serangan perampok. Guru silat itu adalah Ki Ageng Sela.

Ki Ageng Sela bersemangat untuk mendidik Joko, dikarenakan didalam diri Joko Tingkir tergambar suatu kebahagiaan, dalam pandangan Ki Ageng Sela.

Ki Ageng Sela melihat pemuda Joko Tingkir dengan tatapan mata nya, dan berkata, “ Wahai Joko ! Sesungguhnya aku meramalkan engkau akan menjadi Raja, kelak.”

“ Raja? “

“ Itulah ramalan ku akan diri mu.“

“ Terimakasih guru ! “

“ Engkau kuterima sebagai murid ku, dengan satu persyaratan.”

“ Apa syarat nya wahai guru ku ? “

“ Ambilah ke tiga anak-anak ku, untuk kelak engkau angkat sebagai pembantu dekat mu, sebagai orang kepercayaan Raja; Nanti, apa bila engkau sudah menjadi Raja. Mereka adalah Ki Ageng Pemanahan, Ki Panjawi dan Ki Jurumartani.”

“ Baik guru ! Jika aku benar-benar telah menjadi Raja, maka aku akan memberi pekerjaan kepada anak-anak mu, sebagai pejabat tinggi didalam Kerajaanku. Jika memungkinkan,.... bahkan akan kuangkat sebagai Putra Mahkota yang akan menggantikan aku sebagai Raja.”

“ Terimakasih wahai Joko Tingkir.”

“ Jadi, apa nama Kerajaan ku ? “

“ Mana aku tau ! Itu kan hanya ramalan ku; Tetapi percaya lah ! “


Selain ketiga anak laki-laki nya, Ki Ageng Sela juga mempunyai anak perempuan yang sebaya dengan Joko Tingkir. Dia bernama Sutakenanga; Joko suka dan cinta kepada anak gadis guru nya.

Kedua muda-mudi itu bergaul melampui batas didalam kesehariannya, sehingga anak perempuan Ki Ageng Sela hamil, karena Joko.

Joko Tingkir telah menghamili Sutakenanga, yang kelak akan melahirkan seorang anak laki-laki, bernama Sutawijaya.

Pada waktu Joko Tingkir pergi merantau, dia tidak mengetahui bahwa kekasih gelapnya itu tengah mengandung ( hamil).

Ki Ageng Sela pasrah dengan keadaan anak gadisnya. Dia tidak berani marah kepada Joko Tingkir. Ki Ageng Pemanahan, kakak Sutakenanga, memelihara bayi tanpa ayah itu dengan sukarela; Dia menganggap Sutawijaya sebagai anak nya sendiri.

Dengan berbekal kepandaian ‘Kanuragan’ (silat), Joko Tingkir kemudian mengembara hingga sampai ke Kota Demak, untuk mencari pekerjaan. Ki Ageng Sela memang menginginkan, agar joko dapat menjadi seorang prajurit Kerajaan Demak.

Ki Ageng Sela berkata, “ Perlihatkan ilmu silat mu dihadapan Raja, semoga Raja berkenan untuk mengangkat engkau sebagai prajutit nya.

Dengan berbekal jurus Kanuragan, ‘ meminjam tenaga memukul angin’, Joko Tingkir mempunyai keberanian.




Bab 6


Kembali pada cerita awal, maka Joko Tingkir kembali berguru kepada guru silatnya yang kedua, Ki Ageng Banyu Biru, selama beberapa tahun.

Joko Tingkir beserta kawan-kawan nya dapat menyelesaikan seluruh pelajarannya di perguruan Banyu Biru. Maka Joko Tingkir dan kawan-kawan seperguruannya dapat pergi merantau; Mereka kembali ke Demak.

Ki Kebo Kanigoro atau Ki ageng Banyu Biru memberikan wejangan kepada Joko, sebelum Joko pergi berkelana kembali.

“ Wahai murid-murid ku yang pandai ! Ingatlah tugas mu untuk membalas sakit hati ku kepada Raja Trenggono, bukankah itu adalah persyaratan ku yang sudah ku ungkapkan pada kalian ? “

“ Benar wahai Guru; Kami akan menghadap Raja Demak; Dan kami akan meminta keadilan. Keadilan harus ditegakkan di Kerajaan Demak; Raja tidak boleh bertindak semena-mena kepada rakyatnya sendiri.”

“ Ya benar, keadilan harus ditegakan oleh Raja. Raja tidak boleh semaunya memberi hukuman mati kepada rakyat nya sendiri. Aku sudah cukup puas bila hal itu dapat engkau laksanakan, wahai Joko. “

“ Apakah aku juga harus membunuh Raja, wahai Guru ? “

“ Sulit bagi mu untuk melaksanakan hal itu, sekalipun engkau sudah mempunyai Ilmu Kanuragan dari aku.”

“ Jadi ? “

“ Tidak perlu membunuh Raja, cukup lah Raja menyadari akan keadilan, sehingga tidak sembarangan menjatuhkan hukuman kepada rakyatnya.”

“ Baik lah wahai Guru; Kami tidak lupa meminta doa dari mu, untuk dipanjatkan kepada Gusti Allah, agar kami selamat didalam menjalan kan tugas dari mu.”

Maka ke empat pemuda itu, Joko, Ki Wuragil, Mas Manca dan Mas Wila berangkat menuju Demak, untuk keadilan. Sementara itu, ketiga Perwira militer Demak yang ikut menemani Joko dalam pelariannya dari Istana, masih ditahan oleh Ki Banyu Biru; Dikarenakan ilmu kanuragan mereka belum memadai untuk pergi berkelana. Ki Banyu Biru menggantikan mereka dengan murid-muridnya, yaitu Ki Wuragil, Mas Manca dan Mas Wila.

Mereka harus memakai jalan air Sungai Srengenge untuk dapat menembus hutan lebat, menuju Demak.

Mereka berhasil membuat perahu untuk dapat berlayar disungai; Tetapi disayangkan, sungai itu penuh dengan buaya.

Ki Wuragil memberi saran, “ Joko pergunakan Ilmu ‘ Sinar Mata, menundukan Sukma’ “

“ Saran mu bagus, akan tetapi begitu banyak buaya disini; Ilmu itu hanya dapat digunakan untuk satu buaya.’

Semua terdiam, karena sedang berpikir; Tidak mungkin perahu berlayar diantara banyak buaya, yang mana buaya-buaya itu dapat mengjungkir-balikan perahu.

Kembali Ki Wuragil memberi saran, “ Pilih lah pemimpin para buaya; Kemudian engkau dapat menggunakan ilmu itu untuk menaklukan nya.”

Mas Wila melihat salah satu buaya yang paling besar, sedang berjemur diatas batu,“ Itu disana pemimpin mereka ! Buaya yang paling besar.”

Perahu mendekati buaya yang paling besar. Joko menggunakan ilmu nya, ‘sinar mata menundukan sukma’, untuk mempengaruhi kemauan buaya itu; Dan Joko berhasil. Kelihatan buaya itu menjadi jinak dan bersahabat.

Buaya itu dapat diperintah untuk mendorong perahu; Sungguh mengherankan!

Sinar mata dari Joko, masih tertinggal didalam otak pemimpin buaya; Sinar itu keluar dari mata nya dan masuk kedalam otak buaya-buaya yang lain. Sehingga semua buaya-buaya itu mau bekerja sama untuk mendorong perahu Joko Tingkir.

Seolah-olah, pimpina buaya itu memanggilkawan-kawan nya untuk membantu mendorong perahu Joko, hingga sampai ke hilir sungai, mendekati Kota Demak.


Mereka masih berada diluar kota Demak, tepat nya di Bukit Prawoto; Pemandangan ditempat itu sangat indah. Disebelah utara masih ada hutan yang tidak terlalu lebat, tetapi banyak binatang buas, seperti harimau, buaya dan juga kerbau liar. Disebelah selatan, ada Sungai Srengenge dan bukit-bukit menghijau. Semua masih alami, belum ada yang menempati daerah itu.

Akan tetapi, terdengar suara ramai manusia, bahkan ada suara musik dengan gendang dan nyanyian. Agaknya ada orang yang sedang ber-pesta di tempat ini, sungguh aneh ! siapakah mereka itu ?

Joko beserta kawan-kawannya menyelinap dibalik semak-semak untuk mencari tau; Ternyata memang benar ada seorang Raja yang sedang bertamasya ditempat itu; Dia adalah Raja Trenggono beserta staf Istana dan Para Menteri nya.

Raja beserta rakyat nya sedang bergembira-ria; Mereka bernyanyi, makan makanan enak dan bersenang-senang bersama keluarganya. Tampak para wanita dan anak-anak turut serta bergembira.

Mungkin Raja sedang merayakan kemenangannya didalam pertempuran.

Joko Tingkir merasa sakit hati melihat tingkah Raja Trenggono; Dia lah orang yang akan membunuh diri nya, dengan menjatuhkan hukuman mati. Lebih dari itu, dia lah orang yang sudah menyengsarakan orang banyak, termasuk anak gadisnya sendiri.

Lebih dari itu, dia lah orangnya yang telah membunuh ayah kandung Joko.

Joko berpikir didalam hati, “ Dia Raja kejam, yang sangat mudah menjatuhkan hukuman mati kepada rakyat nya, termasuk aku. Apakah engkau mengira nyawa manusia itu seperti nyawa seekor semut ? Sekalipun mereka adalah rakyat mu sendiri ?

Ketahuilah oleh mu, bahwa tanpa dukungan rakyat yang mau membela mu, engkau bukan lah seorang Raja, engkau hanya lah orang biasa ! “

Ki Wuragil memberi saran, “ Joko, mari kita buat keributan ditengah-tengah pesta mereka ! Kita harus memberikan pelajaran kepada nya, .... hayo Joko ! “

“ Bagaimana cara nya ? “ Tanya Joko.

Semua kawan-kawan nya terdiam; Mereka sedang berpikir, bagaimana caranya membuat keributan ?

Akhirnya Joko Tingkir mengemukakan usul nya, “ Kita cari kerbau liar di hutan, kemudian kita giring dia ke tengah-tengah pesta mereka; Kita akan suruh si kerbau untuk mengamuk! “

Mas Manca berkata, “ Ya, .... kalau dia mau mengamuk !; Kalau dia diam saja, seperti kerbau jinak, bagaimana jadinya ? Maka, kerja kerbau yang seperti itu tidak akan sesuai dengan harapan kita .”

Mas Wila memberi komentar, “ Jangan takut ! Kita akan masukan merica dan garam kedalam telinga nya, pasti dia akan mengamuk, karena kesakitan. “

Joko membenarkan, “ Ya benar katamu ! Hayo kita pergi ke hutan disana untuk mencari kerbau yang dimaksud.”

Ada seekor kerbau jantan yang besar dan kuat, berada diantara sekawanan kerbau; Pastilah dia pimpinan atau Raja kerbau. Melihat manusia mendekati, mereka begerak melarikan diri, kecuali si Raja kerbau.

Dengan gerakan cepat Joko menangkap si Jantan, Raja Kerbau itu; Kerbau jantan itu tidak dapat bergerak setelah sinar mata Joko menembus matanya; Itulah ilmu baru yang dipelajari dari Ki Banyu Biru.

Kerbau itu di bawa secara diam-diam, mendekati pesta Raja. Kemudian telinga kerbau dimasuki garam dan bubuk merica. Kerbau melenguh keras sekali, tanda dia merasa sakit. Kemudian pantat kerbau disepak oleh Joko; Kerbau dilepas menuju kerumunan orang yang sedang berpesta.

Kerbau jantan itu berlari kencang menuju tengah-tengah pesta. Semua orang yang ada dihadapannya dilanggar; Banyak korban berjatuhan, akibat ulah si kerbau; Ada yang cedera berdarah-darah dan ada juga yang patah tulang, bahkan mati seketika.

Raja dibawa oleh tentara nya, ketempat yang lebih aman. Raja memerintahkan untuk segera membunuh kerbau itu.

Segera sepuluh prajurit menghadang kerbau yang mengamuk. Akan tetapi, para serdadu itu tidak berhasil mengatasi keadaan. Satu persatu prajurit-prajurit itu jatuh ke tanah, tidak berdaya karena ditanduk dan ditabrak oleh kerbau.

Didatangkan lagi bantuan lima orang prajurit tambahan; Tetapi juga gagal, tak bisa melawan kerbau itu.

Panggung tempat atraksi para penari, dilanggar oleh kerbau, hingga jungkir balik. Menyusul singgasana Raja juga bernasib sama. Kemudian menyusul rumah-rumah peristirahatan para pembesar ( semacam vila ) semua dirusak.

Anak-anak dan kaum wanita menjerit-jerit dan menangis. Raja bersembunyi dibawah pohon dan kerimbunan pohon. Semua orang mengikuti Raja, bersembunyi dibawah semak-semak. Tetapi kerbau itu seolah sudah tau, kemana arah lari nya sang Raja beserta manusia-manusia itu. Kerbau datang dan mencari korban yang belum cedera; Kemudian dia kembali mengamuk.

Raja marah besar kepada para prajuritnya, “ Hanya seekor kerbau saja, engkau tidak sanggup untuk membunuhnya ! Aku kecewa akan keachlian tarung raga kalian ! Jadi,.... Bagaimana caranya kalian akan menghadapi si Joko ? Apalagi menangkap si Joko ? “

Joko Tingkir terkejut mendengar nama nya disebut-sebut oleh Raja; Dia tersinggung, yang mana dia disamakan dengan seekor kerbau dungu.

Joko berpikir, “ Kurang ajar engkau wahai Trenggono, akan aku beri pelajaran kepada mu, sekarang ini; Bagaimana cara engkau harus menghargai rakyat mu sendiri ! ”

Tiba-tiba Joko melompat jauh dari tempat persembunyiannya, dan mendarat tepat dimuka Raja. Joko berdiri tegak, bertolak pinggang, dengan rasa congkak.

Joko tidak mau lagi memperlihatkan rasa hormat kepada Raja; Kemudian berkata kepada Raja, “ Apakah Baginda memohon bantuan ku ? “

Raja terkejut, akan buronan nya yang dicari-cari, tiba-tiba berdiri di muka nya; Dia adalah buronan dengan hukuman mati, terpidana yang paling istimewa! Raja sekarang lupa akan kerbau yang mengamuk.“

Segera Raja berteriak, “ Tangkap si Joko ! ! ! “

Lima belas prajurit Demak maju mau menangkap Joko. Prajurit-prajurit itu juga sudah melupakan masalah kerbau; Sekarang perhatian mereka tercurah hanya kepada Joko.

Joko memakai jurus andalan nya, ‘meminjam tenaga, memukul angin’ Satu persatu para prajurit itu berjongkok, mengerang-ngerang kesakitan, sambil memegang kepalanya. Tidak satu pun yang sanggup menghadapi si Joko. Joko Tingkir hanya memukul angin sebanyak lima kali menuju kearah kepala lawan.

Melihat situasi yang gawat, Raja lari menjauh.

Tetapi, kerbau gila itu mengejar orang yang sedang berlari. Kebetulan kerbau melihat warna merah dari pakaian yang dikenakan oleh Raja; Itulah warna yang disukai oleh kerbau itu. Raja ber lari secepat-cepatnya untuk menyelamatkan nyawanya. Dia sudah melihat bagaimana akibat ulah kerbau yang mengamuk. Para korban yang jatuh, dalam keadaan mati ditanduk, patah tulang dan juga pingsan karena tertanduk pada kepala nya.

Akhirnya kerbau sudah sampai di belakang Raja dan mulai menggeser-geser tanduk nya ke-pantat Raja.

Akhirnya Raja berteriak, “ Joko, tolong aku Joko ! “

Dia seharusnya merasa malu meminta bantuan Joko, akan tetapi demi nyawa nya, .... apa boleh buat ? Dia mau mengesampingkan rasa malunya untuk sementara ?

Dengan cepat Joko menangkap leher kerbau, dan pandangan matanya menembus mata kerbau yang masih merah karena marah. Kemudian, kerbau itu menjadi tenang dan lemah juga menjadi jinak.

“ Bunuh dia Joko ! “ Terdengar perintah Raja Trenggono.

“ Bukan kerbau ini yang harus dibunuh, tetapi ........! “

Raja terdiam mendengar kata-kata Joko.

Mendengar kalimat terakhir dari Joko, seketika itu, lemas lah tubuh Raja; Karena dia tau bahwa yang harus dibunuh adalah diri nya. Itulah pasti sambungan dari kalimat si Joko yang terputus. Tetapi dia seorang Raja yang harus memelihara wibawa seorang Raja.

Setelah hilang rasa takutnya, Raja datang menghapiri sang penolong, Joko. Kemudian dia berkata dengan mencoba menampilkan wibawa nya,

“ Sudah ku bilang kerbau itu harus dibunuh ! Mengertikah engkau ! “ Kata Raja.

Joko berkata, “ Yang harus dibunuh adalah engkau wahai Trenggono ! Sebagai pembalasan kematian Pangeran Kikin, atau Pangeran Sekar Seda ing Lepen; Jadi, bersiap-siap lah engkau untuk mati.

Dan juga sebagai pembalasan kematian ayah ku sendiri, Ki Ageng Penging atau Ki Kebo Kenanga, yang mati karena hukuman mati dari mu.

Nah,..... sekarang sampaikan lah pesan-pesan terakhir mu segera, karena waktu nya sangat mendesak untuk engkau segera mati.”

Joko Tingkir memasang kuda-kuda dan mulai menggerakan tangannya, untuk segera melepaskan pukulannya kearah kepala Raja. Tiba-tiba beberapa prajurit datang menghalang-halangi Joko, dimuka Raja. Diantara nya adalah Dadungdauk.

Joko berteriak, “ Minggir ! Atau engkau juga ikut mati ! “

“ Ya, biarlah kami mati, asal Raja kami selamat.”

Tiba-tiba seorang wanita berlari-lari menuju dirinya dan berteriak-teriak, “ Jangan engkau bunuh ayah ku ! Jangan engkau bunuh ayah ku ! Ampunilah dia ! “

Wanita itu datang menghampiri, dan duduk bersimpuh dihadapan Joko; Dia adalah Putri Ratu Mas Cempaka, Putri Raja Trenggono.

Joko Tingkir marah kepada Putri, “ Engkau datang untuk menghalangi tugas kita didalam persekutuan; Bukan kah ayah mu harus ku bunuh mati ? Bukan kah itu yang engkau kehendaki, wahai Putri Raja ? “

Putri terdiam, karena memang benar apa yang dikatakan oleh si Joko, kekasihnya.

Sementara itu, Joko teringat akan kerbau yang dirasakan sudah menyelesaikan tugas nya. Kerbau itu harus disingkirkan; Karena jika kerbau itu dibiarkan, dia akan mengamuk lagi dan kemudian percakapannya dengan Raja bisa terputus.

Joko melambaikan tangannya kearah temannya,Wuragil; Ki Wuragil datang menghampiri.

Joko berkata pada Ki Wuragil, “ Bawalah kawan kita ini (maksudnya kerbau) kembali kepada keluarga nya dan ucapkan terimakasih atas bantuannya.”

Kemudian Joko menyerahkan kerbau gila itu kepada Ki Wuragil.

Ki Wuragil berkata, “ Baik Tuan ! “ Dia sengaja memanggil Joko dengansebutan ‘Tuan’.

Ki Wuragil berkata kearah Raja, “ Wahai Raja jahat ! Engkau sudah melihat, bagaimana Joko Tingkir telah berlaku sopan terhadap seekor kerbau. Dia menyuruh aku untuk mengantarkan kerbau ini kepada keluarganya yang sedang cemas menunggu dipinggir hutan.

Kami rakyat Demak mengharapkan seperti itu lah, seharusnya sikap seorang Raja kepada rakyatnya. Tidak boleh terlalu mudah untuk menjatuhkan hukuman mati kepada rakyatnya.”

Raja tertunduk, mata-nya melihat kearah bumi, karena dia marah kepada Joko; Akan tetapi dia juga takut. Dia benar-benar takut melihat kesaktian si Joko Tingkir.

Kembali Putri memohon kepada Joko Tingkir, “ Wahai Joko kekasihku ! Aku mohon kasihanilah ayah ku ! “

Joko Tingkir berkata, “ Bagaimana nasib persekutuan kita ? Apakah masih kita lanjutkan rencana kita berdua, untuk mengobarkan pemberontakan melawan kekuasaan ayahmu, Raja Trenggono ? Aku sekarang sudah siap untuk segera menyelesaikan tugas ku. Akan ku bunuh Raja jahat yang ada dimuka ku ini beserta ke lima serdadunya.”

“ Aku dan engkau, tidak lagi bersekutu untuk menumbangkan kekuasaan Raja. Akan tetapi aku mengharapkan engkau untuk mendampingi aku, sebagai istri mu.”

“ Apa ? Engkau bubarkan persekutuan kita untuk memberontak terhadap Kerajaan Demak ? Apakah dengan demikian engkau telah berchianat didalam persekutuan kita ? “

“ Ya benar kata-kata mu, wahai Joko kekasihku !

Aku telah mengchianati mu, karena aku masih mempunyai rasa sayang pada keluarga ku. Aku sebagai anak masih menyayangi ayah ku sendiri. Lupakanlah persekutuan kita ! “

“ Tidak bisa ! Pemberontakan terhadap Negara tidak bisa dibuat main-main ! Hendaknya engkau mengerti ! Sebagai seorang Ratu, calon Raja, kata-kata mu harus dapat dipegang ! “

Putri Ratu Mas Cempaka terdiam beberapa saat, Kemudian berkata, “ Jika begitu, maka aku harus mati ditangan mu; Bunuhlah diri ku wahai Joko, kekasihku ! Aku yang telah berchianat kepada mu, maka hukumlah aku, .... bunuh lah aku ! Tetapi jangan ayahku !

Pada saat-saat terachir dari hidup ku, izin kan lah aku untuk mengatakan, aku sangat mencintai mu. Aku mencintai mu !”

Joko Tingkir terdiam mendengar Putri berkata seperti itu. Sungguh Putri Ratu Mas Cempaka sangat mencintai diri nya. Itulah kesimpulan Joko, akan hal nya Putri.

Akhirnya Joko berteriak yang ditujukan kepada Raja, “ Hai Raja busuk ! Dengar kan kata-kata Putri mu ! Dia sangat mencintai aku, tetapi bukan aku yang mengejar-ngejar dia.

Jadi, katakan bahwa keputusan mu untuk menghukum mati diri ku adalah kesalahan mu yang paling nyata dan paling besar, sekali gus ke-bodohan yang ada pada diri mu. Ingatlah ! Bahwa engkau seorang Raja !

Seorang Raja tidak boleh bertindak bodoh !.

Akan tetapi, nyata nya engkau adalah seorang Raja yang bodoh, .... bodoh sekali !

Hayo katakan, akui lah bahwa engkau bodoh, memang benar bodoh !

Jika engkau tidak mau mengakui, maka aku akan membunuh mu; Kemudian aku juga akan membunuh Putri mu, sesuai dengan permintaan nya.”

Joko Tingkir dalam posisi menang, menghadapi Raja beserta seluruh pengikut-pengikutnya.

Bahkan Raja dalam bahaya, nyawanya bisa melayang ditangan Joko; Karena si Joko sudah melampui batas dengan caranya; Dia sungguh sudah nekad, untuk berani melawan Raja.

Raja tertunduk marah dan juga malu, sekali gus bingung, untuk menjawab; Apa yang harus dia ucapkan? Dia merasa sebagai seorang yang jelek dihadapan rakyatnya sendiri.

Raja berpikir didalam hati, “ Aku tidak membawa pasukan ku; Jika kubawa pasukanku sebanyak seribu orang saja, maka si Joko ini sudah kutangkap hidup atau mati. Ada baiknya aku berpura-pura kalah; Tetapi nanti akan kubalas penghinaan ini yang sudah menyakitkan hati ku. Awas pembalasanku wahai Joko ! ”

Akhirnya Putri Ratu Mas Cempaka berkata, yang ditujukan kepada ayah nya, “ Ayah ku yang kucintai. Dengarkan calon menantu mu ! Sesungguhnya dia sedang meminta aku untuk menjadi istri nya.

Tetapi dengan cara yang luar biasa, .... karena engkau ! ; Engkau adalah Raja, yang juga mempunyai cara luar biasa, didalam memilih menantu.

Ingatkah engkau ? Sudah banyak pemuda-pemuda yang telah hilang, tidak tau khabar nya lagi, setelah menjadi kekasih ku; Engkau kemanakan mereka ? Apakah telah engkau bunuh mereka semua ? ”

Tidak pernah Putri Ratu Mas Cempaka berkata seperti ini dihadapan ayah nya. Sungguh mengherankan bagi Raja dan juga bagi si Putri sendiri, mengapa dia seberani seperti sekarang ini ?

Raja terdiam; Karena dia sangat terkejut akan sikap Putri nya yang baru sekali ini, berani melawan diri nya. Raja berpikir didalam hati, bukankah seorang Raja harus bersikap keras dan kejam untuk dapat menguasai rakyatnya?

Karena Raja diam saja, maka Joko Tingkir beraksi kembali. Dia menghunus keris nya dan menarik Putri kedalam pelukannya, kemudian menempelkan keris nya dileher Putri. Putri tidak melawan, dia pasrah untuk mati ditangan kekasih nya. Bukankah dia memang pantas mati, karena sudah meng-chianati persekutuan nya dengan Joko ?

“ Hai Raja busuk, jika engkau memaksa aku untuk membunuh Putri mu, maka sekarang lah waktu nya. Karena engkau akan melihat betapa kejamnya, sesungguhnya diriku ini.

Jadi, jangan lah engkau mengira, bahwa hanya engkau saja yang boleh kejam, sementara rakyat mu tidak boleh. Kematian Putri mu ini untuk membayar nyawa ayah ku. Sedangkan Kematian mu akan membayar kematian Pangeran Kikin, Pangeran Sekar Seda ing Lepen. “

Kelihatan nya Joko Tingkir tidak main-main untuk membunuh seorang gadis cantik; Disebabkan belum ada rasa cinta pada dirinya kepada Putri Ratu Mas Cempaka. Jadi mungkin sekali dia akan tega untuk membunuh Putri.

Akhirnya Raja Trenggono berkata, “ Jadi apa mau mu ? “

“ Lihatlah keris ku yang sudah menggores kulit putih di leher Putri mu. Kalian anak dan ayah harus mati ditanganku, jika engkau tidak mau menjawab pertanyaan ku.”

“ Engkau bertanya apa ? “

“ Keputusan mu untuk menghukum aku adalah keputusan bodoh dan memalukan sebagai seorang Raja ! Oleh sebab itu akui lah bahwa engkau memang seorang Raja yang bodoh.“

Suatu penghinaan yang lain dari si Joko. Raja tidak mau mengatakan bahwa dirinya adalah Raja bodoh; Apalagi harus mengatakan nya dihadapan rakyat nya. Oleh sebab itu, dia diam saja.

“ Akan kuhitung sampai hitungan kesepuluh, jika engkau tetap diam. Maka engkau akan kubunuh; Dimulai dari Putrimu.”

Joko Tingkir mulai menghitung dengan suara yang keras, mulai dari satu, selanjutnya dua,.. tiga,... empat,.... lima, enam......

“ Stop ! Baiklah aku dengan resmi mencabut hukuman mu, maka mulai sekarang engkau menjadi orang bebas.”

“ Tujuh,..... delapan.....”

“ Hai, ..... bukankah sudah kukatakan ! “

“ Sembilan...”

“ Baiklah aku mengaku, bahwa aku adalah Raja yang bodoh ! “

“ Wahai Raja bodoh ! Mengapa engkau baru sekarang merasa bodoh ? Hayo katakan apa alasan mu ? “

Raja diam sejenak; Jika diam terlalu lama, maka nyawa nya tidak dapat dipertahankan. Maka Raja menjawab, dengan jawaban yang sesuai dengan kehendak yang bertanya.

“ Karena aku telah melarang Putri ku bercinta dengan seorang pemuda desa; Dan kemudian aku telah memberi hukuman berat kepada pemuda itu; Dikarenakan dia bersalah, berani bercinta kepada Putri Raja, walau dia seorang pemuda desa. “ Kata-kata Raja jelas dan dibenarkan oleh seluruh hadirin yang ada disitu.

“ Saudara-saudara seluruh rakyat Demak, dengarkan pengakuan Raja mu, bahwa dia adalah Raja bodoh lagi kejam. Hanya karena aku dari desa, maka aku harus mendapat hukuman mati; Sekalipun aku tidak pernah mengganggu Putri nya.

Aneh bukan ?

Wahai Raja bodoh ! Sesungguhnya rakyat mu sudah tidak mempercayai lagi kepemimpinan mu. Akan tetapi, rakyat mu masih mau mema’afkan kesalahan mu, jika engkau mau bersikap adil dan santun terhadap rakyat mu, didalam masa-masa men-datang.

Wahai Raja busuk ! Sekarang, aku atas nama rakyat Demak, bertanya kepada mu, maukah engkau bersikap adil terhadap rakyat mu sendiri ? “

Raja terdiam. Sudah mencapai puncak kemarahan Raja kepada si Joko dengan penghinaan-penghinaan nya. Bagaimana dia merasa di adili ditengah-tengah lapangan terbuka, dimuka rakyat yang sebenarnya mau bertamasya. Hilang sudah wibawa seorang Raja.

Joko kembali memaksa, “ Hayo katakan ! Jika engkau bersikap diam, maka itu memberi arti bahwa engkau sesungguhnya ingin dijatuhkan dari Singgasana mu, ... secara tidak hormat ! “

Akhirnya Raja berkata, “ Ya, aku mau “

Kata-kata nya hanya singkat saja.

Joko kembali memaksa, “ Sekarang engkau harus meminta maaf kepada keluarga korban akan kekejaman mu; Yaitu mereka yang telah menemui ajal karena engkau, termasuk aku yang sudah kehilangan ayah ku. ! Kemudian kepada Keluarga Pangeran Kikin; Kepada keluarga para kekasih Putri Ratu Mas Cempaka. Dan masih banyak lagi korban-korban kekejamanmu yang tidak pernah di adili seperti sekarang ini. “

Tiba-tiba, Dadungdauk bergerak, menyerang Joko dengan pedangnya. Joko diserang dengan cara yang curang, sewaktu Joko sedang lengah. Pedang mengenai perut Joko, dan menimbulkan luka sobek, tetapi tidak terlalu dalam.

Luka diperut Joko mengeluarkan darah.

Joko menyerang balik dengan jurus andalannya. Karena marah, maka Joko memukul Dadungdauk berkali-kali; Hingga Dadungdauk menemui ajalnya seketika.

Kawan-kawan nya bersiap-siap untuk menghadapi kembali serangan dari Joko. Sungguh benar, Joko menyerang keempat kawan nya yang masih ada didepan Raja. Seketika itu juga mereka terduduk, mengerang-ngerang kesakitan, sambil memegang kepalanya.

“ Hai Raja busuk ! Sekarang giliranmu untuk menemui malaikat maut ! “

Raja terkejut, tetapi tidak ada tempat untuk melarikan diri. Raja terkejut dengan muka yang pucat pasi. Sekarang Raja menyerah kalah, jika perlu dia mau menyembah si Joko, demi nyawa nya.

Joko berkata kepada Raja, “ Engkau suruh si Dadungdauk untuk menyerang aku, benarkah?”

“ Tidak ! Tidak ! itu inisiatif dirinya sendiri, bukan aku! Aku meminta ampun kepada mu! Sekarang, ambilah Putri ku untuk kau jadikan istrimu; Aku sebagai ayahnya merelakan engkau untuk menjadi menantu ku.! “

Putri Ratu Mas Cempaka tampil, mendekati Joko, untuk membalut luka diperutnya Joko. Selendangnya yang berharga mahal, dibebatkan melingkari perut Joko, agar darah tidak lagi keluar.

Joko Tingkir melihat perilaku Putri yang memberi isyarat akan ke-sungguhan dia untuk mencintai kekasih hatinya, yaitu si Joko Tingkir.

Luluh hati si Joko dalam menghadapi cinta Putri kepada nya.

Apalagi ketika Joko telah mendengar sendiri pernyataan Raja akan kekalahannya, menyerah kalah dengan meminta ampun kepada Joko dan juga menyerahkan Putrinya untuk diperistri.

Pelan-pelan Joko mengangkat lengan Putri yang sudah selesai dengan pekerjaannya; Joko memeluk Putri dengan mesra dan membisikan kata-kata cinta. Putri sangat berbahagia, seolah dia sedang terbang ke angkasa bersama kekasih hati nya.

Kembali Joko Tingkir membentak Raja,

“ Hai Raja busuk ! Aku dan Putrimu akan berunding empat mata ! “

Kemudian Joko Tingkir membawa Putri dengan cara melompat jauh, memakai ilmu meringankan tubuh. Mereka menuju hutan yang penuh dengan binatang buas yang tidak akan ada manusia disitu. Mereka berdua bagaikan sedang terbang.

Sesampainya ditempat itu, Joko Tingkir berkata kepada Putri Ratu Mas Cempaka,

“ Wahai Putri ku yang cantik ? Sesungguhnya aku pun mencintai mu, kemudian kita dapat melanjutkan hubungan kita hingga menjadi sepasang kekasih didalam sebuah rumah-tangga.

Akan tetapi ayah mu akan tetap sebagai musuh kita bersama. Permusuhan ku kepada ayah mu menjadi semakin dalam, karena dia sudah ku hina didepan rakyatnya sendiri.

Aku sudah mendengar kata-kata mu yang ditujukan kepada ayahmu; Aku setuju dan itu menandakan bahwa persekutuan kita masih tetap utuh, tidak berubah.”

“ Jadi apa rencanamu, wahai Joko kekasihku ? “

“ Percayalah kepada ku, bahwa aku akan tetap mencintai mu, hingga ayah mu meninggal Dunia, kemudian kita baru dapat menikah. Jadi bersabarlah akan kedatangan ku kelak, setelah ayah mu meninggal Dunia.”

“ Jadi selama aku menunggu, engkau sedang berada dimana ? ‘

“ Aku dalam perantauan dan memperdalam ilmu kanuragan; Aku akan berguru kembali kepada perguruan Banyu Biru dan juga Ki Ageng Sela.”

“ Joko, aku kecewa mendengar keterangan mu. Bukankah ayah ku sudah meminta ampun kepada mu; Dia sudah menyerah kalah kepada mu. Jadi menurut pendapat ku, engkau tidak perlu lagi takut kepada ayahku, yang akan menjadi ayah mertua mu.”

“ Memang begitu seharusnya; Akan tetapi aku sudah melewati batas dalam menghina seorang Raja; Hal itu aku sadari dan aku harus juga menyadari bahwa Raja akan membalas lebih hebat lagi kepada ku. Dia didukung oleh sebagian besar rakyat Demak; Dia mempunyai pasukan di Kota Demak yang akan dikerahkan untuk menangkap aku seorang. Jadi mengertilah engkau akan diriku, yang ada dalam bahaya.”

“ Oh begitu adanya ! Sungguh tidak terpikirkan oleh ku “

“ Putri Raja selalu melihat ayah nya yang selalu tersenyum. Akan tetapi, Raja tidak pernah tersenyum kepada rakyatnya dan prajurit-prajuritnya. Mereka sudah terbiasa melihat keseharian sang Raja yang selalu marah-marah dan dengan mudah menjatuhkan hukuman mati kepada prajurit atau rakyat nya.

Jadi kata-kata Raja tadi, hanyalah untuk menghindarkan diri nya dari ancaman ku. Nanti, bila ada kesempatan, maka Raja akan membalas lebih hebat kepada orang yang berani menghina nya, yaitu diri ku.”

“ Baik lah, mari kita kembali ketempat ayah ku.”

Dengan gerakan cepat, kedua insan itu yang sudah menjadi sepasang kekasih, sampai di tempat Raja bertamasya. Akan tetapi Raja Trenggono tidak terlihat.

Apa yang sudah terjadi ?

Ternyata, Ki Wuragil, Mas Manca dan juga Mas Wila sudah ditangkap oleh Raja. Raja sekarang sudah diperkuat oleh pasukannya yang didatangkan dari Kota Demak, sebanyak seribu limaratus personil militer. Jadi dengan demikian, Raja sudah tidak takut lagi menghadapi si Joko.

Datang seorang perwira militer menghampiri si Joko dengan percaya diri.

“ Hai Joko ! Menyerah lah ! Atau kubunuh teman-teman mu ini ! “ Kata seorang Tantama Demak dengan pongah.

“ Engkau pun akan kubunuh segera ! “

“ Nyawa ku tidak terlalu berharga dibanding dengan nyawa kawan-kawan mu, begitu bukan ? Jika engkau menyerah, maka Raja akan memberi ampun kepada mu.”

“ Oh begitu kah ? Aku tidak percaya akan kata-kata Raja mu itu ! “

Joko Tingkir berjalan tegap, mendekati si Tantama pongah, dengan membaca mentera-mentera ajaran Ki Banyu Biru. Pandangan nya tajam menembus mata si Tantama. Maka lemaslah tangan dan otot-otot nya si prajurit Demak itu; Kemudian mukanya ditundukan ke arah bumi.

“ Hai prajurit busuk, lihat aku ! .... Aku adalah musuh mu ! “

Dia menaikan lagi mukanya; Maka kembali pandangan mata Joko menusuk, masuk kedalamm otaknya, melalui mata nya.

Sungguh mengherankan, si Tamtama Pongah itu terduduk, lemah dan berkata, “ Aku meminta ampun kepada mu, wahai Pangeran. Aku menyerah kalah wahai Pangeran. Janganlah engkau bunuh aku. Apa kehendakmu wahai Pangeran ? ”

Nasibnya hampir sama dengan si Kolo Santet. Sungguh luar biasa ilmu dari Ki Banyu Biru, ‘Sinar Mata Menundukan Sukma’.

“ Lepaskan kawan-kawan ku dan sediakan empat ekor kuda untuk ku ! “

Segera si Tantama Pongah itu melaksanakan tugasnya dengan patuh; Sementara prajurit bawahannya ikut membantu.

Sungguh mengherankan, mengapa mereka mau membantu ? Ternyata sinar mata Joko yang berada di otak nya Tamtama, telah keluar dan mempengaruhi otak para pembantunya melalui mata nya. Hal yang sama terjadi pada buaya-buaya di Sungai Srengenge.

Sungguh sesuatu yang mengherankan bagi Raja dan para pengikutnya. Raja beserta semua prajurit terdiam, seolah kena sihir. Bahkan Raja hanya memperhatikan dari tempat persembunyiannya di kejauhan. Raja takut akan kesaktian Joko Tingkir.

Joko Tingkir beserta ketiga kawan-kawannya dapat melarikan diri dengan mudah.

Ternyata, apa yang diperkirakan oleh Joko, sungguh telah terjadi. Yaitu, Raja membalas penghinaan Joko, dengan mengerahkan banyak serdadu nya. Raja tidak mau menyerah karena dia harus memelihara wibawa nya dihadapan rakyatnya.





Bab 7


Raja Trenggono sudah menjalankan politik ekspansi ke seluruh Jawa Timur dengan penuh kesuksesan, tanpa bantuan Joko Tingkir. Karena pada saat itu Joko sudah lepas dari tugas militer Demak, bahkan dia sudah menjadi buronan yang harus dihukum mati.

Tetapi, ada pengganti Joko, yaitu seorang pemuda Arab yang berkelana dari Pasai, bernama Fatahilah. Raja senang dan menghargai pemuda Arab itu, yang mana dia diangkat sebagai wakil Panglima Perang. Lebih dari itu, Fatahillah dinikahkan dengan Putri Pembayun, adik Raja.

Sikap Raja kepada pemuda Arab yang sedang berkelana, jauh lebih baik, berbeda dengan sikapnya kepada Joko Tingkir. Itulah nasib, takdir Illahi.

Kemudian Raja Trenggono memerintahkan Fatahillah untuk membantu Sultan Cirebon, Sunan Gunung Jati untuk memerangi Kerajaan Pajajaran dan orang Portugis. Ternyata Fatahilah dapat memenangkan pertempuran dan menduduki Sundakelapa, yang kemudian namanya diganti menjadi Jaya Karta ( Kota Kemenangan). Sekarang bernama ‘Jakarta’.

Raja Trenggono melakukan ekspansi ke Timur, memerangi Kerajaan Majapahit. Panglima Perang nya telah gugur didalam tugas; Dia adalah Sunan Ngudung, yang kemudian digantikan oleh putranya, Sunan Kudus.

Penyerangan ke Ibu Kota Majapahit di Daha dilanjutkan. Dua orang Perwira Militernya ikut saling membantu, Fatahilah dan Sunan Kudus.

Pada akhirnya, Kota Daha dapat diduduki oleh Raja Trenggono. Penguasa Majapahit melarikan diri, sebagai pengungsi ke Pulau Bali. Demikian juga semua pihak yang berpihak kepada kaum pemberontak, pimpinan Girindrawardhana.

Sesungguhnya penguasa Majapahit saat itu, adalah kaum pemberontak Girindrawardhana.

Brawijaya ke V, Raja yang digulingkan oleh pemberontak, justru bersekutu dengan tentara Demak untuk menyerbu Kota Daha. Jadi pertempuran itu bukan perseteruan berdasar Agama, tetapi murni perebutan kekuasaan.

Perlu diketahui, bahwa pada saat terakhir kejayaan Kerajaan Majapahit, Raja Majapahit terakhir, Brawijaya ke-V telah digulingkan oleh kaum pemberontak yang dipimpin oleh Girindrawardhana. Kemudia Istana Trowulan dibakar oleh kaum pemberontak.

Olehsebab itu, Girindrawardana mencari tempat baru sebagai pusat Pemerintahan di Kota Daha. Maka dengan demikian, kemenangan Demak adalah kemenangan terhadap pemberontak Majapahit dan sekali gus membantu Raja Majapahit yang syah, Brawijaya V.

Maka runtuh lah sudah Kerajaan besar di Nusantara, Majapahit, setelah ditaklukan oleh Kerajaan Demak.

Raja Trenggono selalu memimpin tentara nya didalam setiap pertempuran. Satu persatu daerah-daerah baru jatuh ketangan nya, maka teritorial kekuasaan nya semakin luas.

Kota Tuban berhasil diduduki oleh pasukan Demak.

Bupati Tuban pada saat itu adalah penganut Agama Islam yang setia kepada Kerajaan Majapahit. Dia bertempur mempertahan kan Kota Tuban dan akhirnya tewas. Jadi pertempuran memperebutkan Kota Tuban, bukan perang Agama.

Daerah daerah lainnya yang jatuh ketangan Demak adalah, Wirasari, Gelanggelang ( sekarang Madiun), Medangkungan ( sekarang Blora ), Pasuruan, Surabaya, Lamongan, Blitar, Wirasaba ( sekarang Mojoagung dan Jombang ).

Gunung Penanggungan, tempat terakhir pasukan Majapahit, juga dapat diduduki.

Kerajaan Sengguruh di Kota Malang, juga dapat ditaklukan.

Pada akhirnya hampir seluruh Jawa Timur dapat dikuasai oleh Kerajaan Demak, kecuali Kerajaan Blambangan, di ujung timur Pulau Jawa.

Kerajaan Blambangan adalah Kerajaan yang masih tersisa di ujung Timur Pulau Jawa. Kota Panarukan dan Situbondo adalah target serangan Demak terakhir, guna menaklukan seluruh Kerajaan Blambangan.

Kota Panarukan belum dapat ditundukan walaupun sudah dikepung selama tiga bulan. Pasukan Demak mendapat bantuan pasukan sekutunya dari Kerajaan Cirebon, Sunan Gunung Jati. Walau begitu, Kota Panarukan belum mau menyerah.

Maka Raja Trenggono mengadakan rapat militer secara darurat dan rahasia, guna menentukan strategi militer, guna menaklukan Kota Panarukan.

Para Adipati dan perwira militer nya hadir ditempat itu, untuk ‘urun-rembug’ . Diantara yang hadir adalah seorang anak berumur sepuluh tahun yang turut mendengarkan secara serius jalannya rapat. Hal ini sangat mengherankan; Juga Raja sependapat, mengherankan.

Raja Trenggono melihat si anak, yang dicurigai adalah mata-mata musuh. Maka Raja mendatangi si anak untuk menyuruh nya pergi. Tetapi anak itu tidak mau pergi, karena dia kelihatannya tertarik dengan rencana Raja Trenggono untuk menaklukan Panarukan.

Anak kecil itu berkata kepada Raja, “ Aku ingin tau, apa rencana Tuan untuk menaklukan Kota Panarukan ? “

Habis kesabaran Raja, maka anak itu dipukul ( ditempeleng). Tidak diduga sama sekali, anak itu membalas, dengan menghunus keris nya; Dan dengan cepat menusukan nya ke dada Raja. Raja tidak menyangka akan terjadi penyerangan oleh seorang anak kepada dirinya; Maka Raja tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak tusukan keris itu.

Raja Trenggono mati seketika. Sungguh mengenaskan ! Bagaimana seorang Raja yang selalu menang perang, telah mati dibunuh oleh seorang anak kecil, berumur sepuluh tahun?

Maka gemparlah peserta rapat; Mereka semua berusaha menolong Raja. Dikarenakan terlalu sibuk untuk menolong Raja, maka mereka melupakan si pembunuh.

Sementara itu si anak sang pembunuh, dapat menyelinap dan melarikan diri. Dia berhasil lari. Untuk kemudian dijemput oleh seseorang dengan kudanya, lari menjauhi kerumunan orang.

Jenazah Raja dibawa pulang ke Kota Demak dengan penuh duka. Sekretariat Istana Demak mengumumkan bahwa Raja Trenggono telah tewas didalam pertempuran di Kota Panarukan. Sementara berita yang sebenarnya, sangat dirahasiakan.

Fernandez Mendez Pinto adalah orang yang melaporkan berita sangat rahasia ini. Dia adalah komandan group tentara Portugis yang berjumlah 40 personil; Mereka adalah pasukan asing yang bergabung dengan pasukan Banten; Kemudian mereka ditempatkan guna membantu Raja Trenggono, oleh Sunan Gunung Jati.

Seluruh peserta rapat, harus merahasiakan cara Raja menghadapi kematiannya.

Tidak diketahui, mengapa ada tentara Portugis sebanyak empat puluh orang, diantara tentara Banten ? Mungkin mereka semacam pewarta (wartawan) perang pada zaman itu ? Kita tidak mengetahui, apa kepentingan mereka sebenarnya.

Kerajaan Cirebon dibawah Sunan Gunung Jati, sebagai sekutu Kerajaan Demak, telah mengirim 7000 pasukan ke Jawa Timur untuk bergabung dengan pasukan Kerajaan Demak. Pasukan Cirebon tersebut, terdiri dari pasukan Banten, Cirebon, Madura dan Surabaya. Fernandez Mendez Pinto, termasuk didalam Group pasukan Banten.

Selanjut nya Mendez Pinto juga melaporkan akan hal nya si pembunuh Raja; Yang ternyata adalah anak dari Adipati Surabaya. Akan tetapi kebenaran nya, masih diragukan.



Bab 8


Berita gugur nya Raja Trenggono di pertempuran Jawa Timur, tepat nya di Kerajaan Blambangan, telah menyebar luas. Demikian si Joko Tingkir beserta kawan-kawan nya, juga telah mendengar berita itu.

Sebagaimana kita ketahui, Joko mempunyai janji untuk segera menikahi Putri Ratu Mas Cempaka, apabila ayah nya sudah meninggal Dunia; Oleh sebab itu lah, dia bersiap-siap untuk datang ke Istana Demak.

Joko Tingkir harus berhati-hati akan para pengikut-setia Raja Trenggono, yang kemungkinan masih menaruh dendam kepada nya, dikarenakan Joko sudah pernah menghina Raja ditengah-tengah rakyat nya di Bukit Prawoto.

Joko Tingkir beserta kawan-kawan nya berunding untuk mengatur strategi, untuk dapat masuk kedalam Istana Demak dan selanjutnya menemui Putri Ratu Mas Cempaka.

Joko memulai perundingan, “ Kawan-kawan semua, aku mempunyai janji untuk segera menikahi Putri Ratu Mas Cempaka, apa bila Raja, ayah nya telah meninggal Dunia. Jadi sekarang ini lah saat nya aku harus menepati janji ku.”

Mas Manca memberi tanggapan, “ Selamat, selamat, selamat menempuh hidup baru.”

“ Belum ! Perjuangan ku, dan juga perjuangan kalian membantu aku, belum selesai; Masih panjang. Bagaimana caranya kita dapat memasuki Istana ? “

Semua terdiam. Jika masalah nya hanyalah Raja, maka sesungguhnya masalah si Joko sudah selesai. Akan tetapi bagaimana kawan-kawan nya si Dadungdauk, yang sudah mati ditangan Joko ? Tentu mereka akan menuntut balas.

Joko bertanya kembali, “ Apa alasan ku untuk dapat masuk kedalam Istana, apa bila ada prajurit jaga yang menahan dan menanyakan maksud tujuan ku ? “

“ Bukan kah engkau sudah dikenal oleh para prajurit mu ? Jangan lupa bahwa engkau berpangkat Perwira Tamtama, mengepalai seluruh prajurit di Demak ? “

Mas Wila ikut memberi saran, “ Joko sudah lama engkau tinggalkan tugas mu tanpa uang pesangon; Engkau juga sudah dipecat dengan cara yang aneh, tanpa surat pemecatan dalam tugas militer.

Jadi, jawaban mu kepada prajurit jaga itu, adalah untuk mengambil uang gaji yang belum dibayarkan; dan jika benar engkau di pecat, engkau minta juga uang pesangon pemecatan.”

Joko menjawab, “ Tepat sekali ! “



Joko beserta kawan-kawan nya memulai perjalanan mereka ke Kota Demak. Kota menjadi sunyi, karena penghuninya sedang berkabung; Termasuk Putri Raja. Sekalipun ayah nya selalu menekan perasaan Putri dengan aturan nya, akan tetapi Putri harus berduka kehilangan ayah nya.



Sementara itu Adipati Ario Penangsang dari Jipang Panolan mendapat kesempatan setelah mendengar kematian Raja Trenggono; Dia bersiap-siap untuk melancarkan serangan ke Demak, untuk membalas dendam kematian ayahnya, Pangeran Sekar Seda ing Lepen (Pangeran Kikin ). Bahkan pasukannya sudah ditempatkan di sebrang Sungai Sore untuk segera menyerbu ke Kota Demak.

Ario Penangsang masih mau bersabar dan berharap agar Raja Trenggono mau menempatkan dirinya sebagai pengganti Raja, bukan Pangeran Mukmin. Mengingat Raja Trenggono telah merebut hak jabatan Raja dari ayahnya, dengan cara membunuh ayah nya, Pangeran Kikin. Hendaknya Raja Trenggono sadar akan kesalahannya dahulu, dan mau mengembalikan hak Raja kepada Pangeran Kikin atau anak nya sebagai pewaris.

Mendengar khabar akan kematian Raja Trenggono di medan tempur, maka Ario Penangsang merasa mendapat kesempatan untuk dapat menduduki Singgasana di Kerajaan Demak.

Jika yang menjadi Raja ternyata adalah Pangeran Mukmin, maka Ario Penangsang akan segera menyerbu Demak. Rakyat di Kota Demak sudah maklum, bahwa Kota Demak akan diserang oleh tentara dari Jipang Panolan.

Setelah Ario Penangsang menunggu beberapa hari, ternyata Pangeran Mukmin Prawoto telah dilantik sebagai Raja Demak secara diam-diam. Maka Ario marah besar, segera dia memerintahkan seluruh pasukannya untuk menyerbu Istana Demak.

Ribuan pasukan kavaleri berkuda nya menyebrangi Sungai Sore, dengan sorak-sorai dan bunyi genderang yang memekakan telinga. Patih Matuhun yang memimpin pasukan.

Ario Penangsang diatas kudanya memimpin langsung penyerangan; Dia adalah Komandan tertinggi dari Angkatan Perang Jipang Panolan.

“ Bunuh Raja palsu ! Bunuh Raja Mukmin Prawoto ! Bunuh semua keluarga Kerajaan Demak ! Bakar Istana nya ! “ Terdengar teriakan-teriakan para serdadu Jipang Panolan.

Tiba-tiba Sunan Kudus datang berkuda cepat, langsung menghadang di jalan, tepat di muka Ario Penangsang.

Sunan berkata, “ Wahai Ario anakku ! Apa yang akan engkau lakukan ? Menyerang Istana Demak ? “

Ario menjawab, “ Benar guru ! Marilah kita bersama-sama menghukum Raja palsu Demak itu wahai gru ku ! Bukankah kita masih dalam persekutuan, guna menuntut keadilan ? “

“ Benar begitu ! Aku masih berpihak kepadamu. Akan tetapi tidak sekarang, karena aku masih menjabat sebagai Panglima Perang Kerajaan Demak. Pandanglah mukaku, kemudian gagalkan lah penyerangan ini, demi aku!

Engkau sesungguhnya sudah menjadi Raja. Engkau dapat melantik dirimu sebagai Raja. Jangan perdulikan Raja palsu Mukmin Prawoto; Dia sendiri tidak memperdulikan engkau, bahkan dia tidak mau berperang dengan mu. Karena dia tidak perduli dengan kemarahan mu.

Lihatlah dimuka pintu gerbang Istana Demak ! Engkau tidak mendapatkan seorang pun serdadu Demak yang akan menyambut serangan mu.

Jadi anak ku ! Perintahkan pasukanmu untuk mundur ! Pulanglah dan kemudian engkau dapat melatik dirimu sebagai Raja. “

Ario Penangsang terdiam, pikirnya, “ Masalahnya bukan lah jabatan Raja yang akan diperebutkan, tetapi aku ingin membalas dendam pembunuhan ayah ku.

Nanti akan kulaksanakan pembunuhan Raja Mukmin keparat ini. Dan sebaiknya aku kembali lagi ke tepi Sungai Sore, sesuai anjuran guru ku.”

Ario turun dari kudanya dan mencium tangan gurunya. “ Baiklah guru, aku urungkan penyerangan ini untuk sementara. Memang benar jabatan Raja bisa aku sandang sekarang, karena tidak ada yang melarang aku memakai titel Raja.

Akan tetapi aku masih men-dendam kepada Raja Mukmin Prawoto atas tindakan yang biadab dan sadis, sewaktu dia membunuh ayah ku. Aku akan menuntut balas ! “

Patih Matuhun kecewa akan perintah dari atasannya untuk mundur, “ Tuan ! Teruskan penyerangan ini, jangan dihentikan ! Kita akan bakar Istana Demak dan kita bunuh si Prawoto itu ! “

Sunan Kudus berkata kepada Patih Matuhun, “ Hai Patih ! Nampaknya engkau bernafsu untuk membunuh. Nampak seolah-olah, ada wajah syaitan didalam roman mukamu; Dan aku percaya bahwa yang berkata itu bukan engkau, tetapi syaitan; Yang senang akan terjadinya pertumpahan darah !

Hai syaitan pergilah dari tubuh sahabatku Patih Matuhun; Tempat mu adalah Neraka Jahanam. ! “

Patih Matuhun tidak menjawab; Dia diam dan menundukan mukanya.

Pasukan Jipang Panolan berbalik arah menuju kembali ketepi Sungai Sore, untuk selanjutnya menunggu perintah dari Ario Penagsang. Ario tidak memerintahkan pulang kembali ke Jipang Panolan, karena pasukannya akan tetap melanjutkan rencana serangan ke Istana Demak.

Di suatu ruangan Istana Demak, ada percakapan antara kakak, adik dan juga suami dari kakak; Mereka adalah Putri Ratu Mas Cempaka, Ratu Kali nyamat dan juga Pangeran Hadiri.

Putri Mas Cempaka berkeluh kesah, “ Kakak, aku sangat berbahagia mendapatkan kakak di Istana Demak, sekalipun ayah kita telah wafat. Karena aku merasa khawatir akan penyerbuan pasukan Ario Penangsang. Sementara Pangeran Mukmin tidak dapat diharapkan. Akan dia dapat memberi jaminan keselamatan Kerajaan Demak.”

“ Kekahawatiran ku sama dengan engkau, adikku. Walaupun bagaimana, ayah kita adalah ‘tembok’ dari Kerajaan Demak ; Dia lah yang selama ini telah melindungi kita dari serbuan ‘para serigala’ dari Jipang Panolan. Terbukti sekarang, setelah ayah kita meninggal Dunia,.... mereka telah bersiap-siap disebrang Sungai Sore, untuk segera menyerbu Kota Demak.”

Putri Mas Cempaka bertanya dengan nada berputus asa, “ Jadi kita harus bagaimana ? “

Pangeran Hadiri memberi penawaran, “ Aku masih mempunyai pasukan dari Jepara, yang bila diperlukan akan ku terjunkan di medan tempur, melawan pasukan Ario Penangsang.”

“ Oh terimakasih kakak ipar ku, engkau mau membantu kami. “

Ratu Kalinyamat menambahkan, “ Wahai adik ku ! Engkau juga dapat membantu dengan menempatkan bakal suami mu, si Joko Tingkir, dibarisan depan pasukan Jepara.”

“ Hai, apa yang sudah kakak ketahui mengenai Joko Tingkir ? Aku mengira sikap kakak kepada Joko Tingkir, akan sama dengan sikap ayah.”

Ratu Kalinyamat meneruskan kata-katanya, “ Aku mengikuti perkembangan di Demak; Kemudian aku mendapat khabar gembira akan engkau yang bertemu jodoh seorang pemuda desa. Hal yang sangat menggembirakan aku dan suami ku, adalah karena si Joko bakal suami mu itu, adalah seorang petarung yang tangguh.”

Putri Mas Cempaka menjadi merah mukanya, “ Oh... jadi kakak telah mendengar berita-berita mengenai diri ku ?. Aku mengira, sikap kakak akan sama dengan sikap ayah, yaitu tidak menyetujui jodohku. Apakah kakak setuju, akan hal nya aku akan kawin dengan si Joko Tingkir, anak desa ? “

“ Bukan hanya setuju, tetapi mendukung seratus persen ! “

“ Apa alasan kakak ? “

“ Dia lah orang yang dibutuhkan oleh Kerajaan Demak sekarang ini; Dia sebagai pengganti ‘tembok’ yang sudah runtuh. Jika engkau jadi kawin dengan si Joko, maka diharapkan Ario Penangsang akan berpikir dua kali untuk menyerbu Kota Demak.”

“ Oh begitu kah ? Sungguh tidak terpikirkan akan hal itu, oleh ku. Karena dia selalu di jelek-jelekan oleh ayah kita sebagai pemuda desa yang dungu.”

“ Bukan kah engkau sudah melihat keahliannya didalam hal tarungraga didepan matamu, sewaktu engkau dan ayah mu berada dipesta bukit Prawoto ? Orang-orangku telah melaporkan semua kejadian di bukit Prawoto kepada kita berdua; Dan kemudian kami berdua sangat kagum akan kehebatan si Joko itu.”

Ratu Mas Cempaka berkata lirih, “ Seharusnya dia datang kembali kepada ku, karena ayah sudah tiada.”

“ Apa hubungan nya dengan ayah yang sudah tiada.”

“ Joko telah berjanji kepada ku, akan mengawini aku, apa bila Raja Trenggono sudah wafat. Sekarang ayah kita benar sudah wafat, jadi dia seharusnya datang kepadaku.“

“ Hai...hai... Tunggu.. Jika begitu, katakan kepada penjaga pintu Gerbang Istana, akan kedatangan si Joko yang engkau tunggu-tunggu; Yang penting, jangan dia dipersulit untuk masuk kedalam Istana kita.”

Putri Cempaka penuh harap akan kekasihnya. Apakah dia sudah datang didepan gerbang Istana?

Oleh sebab itu, dia tersentak mendengar kata kakak nya. Segera Putri berlari-lari mencari prajurit jaga Istana, untuk memberikan instruksi, agar kekasihnya dapat diizinkan masuk Istana.

Di muka pintu Gerbang Istana telah terjadi keributan. Joko Tingkir beserta kawan-kawan nya tidak diperkenankan memasuki Istana oleh prajurit kawal Istana; Mereka mengatakan atas perintah Raja Trenggono. Walaupun Raja sudah wafat, perintahnya masih tetap berlaku.

Tak lama kemudian, datang prajurit lain yang membawa surat perintah dari Putri Mas Cempaka yang memperbolehkan Joko Tingkir beserta kawan-kawan nya masuk kedalam Istana.

“ Hai mengapa larangan itu tiba-tiba dihapuskan ? “ Tanya Joko.

“ Ada petinggi Kerajaan Demak yang mempersilahkan Tuan boleh masuk kedalam Istana.”

Joko Tingkir tidak memperdulikan siapa dia, yang sudah memberi dispensasi; Mereka memasuki Istana dengan berjalan tegap, diantar oleh petugas jaga Istana dengan segala hormat.

Seorang wanita dari dalam ruang Istana mempersilahkan dirinya masuk dengan setengah berteriak, “ Wahai Joko Tingkir ! Masuklah, Istana ini juga Istana mu.”

Wanita itu adalah Ratu Kalinyamat. Joko belum pernah berkenalan dengan nya. Kemudian Joko dipersilahkan duduk dengan penuh kehormatan.

“ Wahai Joko ! Aku adalah Ratu Kalinyamat, kakak kandung dari Putri Ratu Mas Cempaka. Menurut Putri, engkau mempunyai janji dengan Putri, benarkah itu ? “

“ Sungguh benar, yang mana aku akan melamar Putri untuk kujadikan pendampingku, sebagai istri ku. Kepada siapa aku harus tujukan lamaran ku ini ?”

“ Kepada kakak tertua, Raja Mukmin Prowoto.”

“ Ya kepada ku, engkau harus tujukan lamaran mu ! “ Seseorang dari dalam ruangan keluar menemui Joko Tingkir. Dia adalah Pangeran Mukmin Prawoto yang baru saja dilantik menjadi Raja..

Joko Tingkir bergerak menemui Raja Mukmin dan kedua nya berjabat tangan. Nampaknya semua sudah direncanakan dan sudah diatur, sehingga segalanya lancar, bagaikan air yang mengalir.

“ Baiklah ! Aku bersama kawan-kawan ku sengaja datang ke Istana ini, untuk mengajukan lamaran kepada Raja Mukmin Prawoto, kiranya Putri Ratu Mas Cempaka dapat menjadi istriku.”

“ Lamaran mu diterima, maka engkau resmi menjadi Keluarga Kerajaan Demak; Sebagai menantu almarhumah Raja Trenggono.”

Ketegangan menjadi cair seketika, karena semua sudah selesai dengan damai.

Akan tetapi, mengapa proses lamaran ini begitu mudah ? Jawabanya juga mudah saja, karena Joko Tingkir diperlukan oleh Keluarga Kerajaan untuk dipakai sebagai penjaga serangan Ario Penangsang. Hal ini sudah dibicarakan oleh Ratu Kalinyamat sebagai pembawa saran, dan sudah dibicarakan oleh Raja Demak dan Ratu Mas Cempaka.

Jadi, sesungguhnya pembuat masalah didalam urusan pribadi Joko dan Putri Mas Cempaka, adalah ayah nya Putri, Raja Trenggono. Sungguh benar strategi Joko, akan hal nya dia mau datang untuk melamar, jika Raja Trenggono sudah mati.

Singkat cerita, maka diadakan pesta perkawinan secara besar-besaran. Dan kemudian Joko Tingkir diangkat menjadi Bupati Pajang, dengan gelar Adipati Hadiwijoyo.

Sungguh suatu hal yang luar biasa, akan hal nya pemuda desa dari desa Butuh, telah diangkat derajatnya menjadi Bupati Pajang. Lebih dari itu, dia telah mendapatkan seorang wanita cantik, untuk menjadi istrinya.

Akan tetapi, Joko Tingkir tidak mau tinggal didalam Istana Demak, maka dia dan keluarganya dan juga teman-temannya, pindah ke daerah Pajang. Raja Mukmin Prawoto memberikan daerah Pajang untuk ditempati oleh Joko dan kawan-kawannya.

Joko harus bekerja keras untuk membangun Istana sendiri dan hidup dengan damai ditempat itu. Maka Pajang menjadi hidup dan berhasil menumbuhkan masyarakat yang akan menuju suatu Kerajaan tersendiri.

Raja Mukmin Prawoto ikut menyetujui kepindahan Joko Tingkir ke Pajang; Bahkan dia yang memberi gelar ke Ningratan kepada Joko sebagai Adipati Hadiwijoyo.

Beberapa prajurit mata-mata Demak memberi laporan kepada Raja Mukmin Prawoto bahwa Penyerangan Ario Penangsang ke Istana Demak, telah digagalkan oleh Sunan Kudus.

Ratu Kalinyamat mempelajari perlakuan Sunan Kudus didalam meredam kemarahan Ario Penangsang. Maka Ratu mempunyai penafsiran, bahwa Sunan Kudus mempunyai peran yang penting didalam meredam kemarahan Ario Penangsang; Bahkan, Sunan mampu merubah arah politik Ario Penangsang, kearah yang menguntungkan Kerajaan Demak.

Ratu Kalinyamat berunding dengan suaminya, “ Kita perlu mendekati Sunan Kudus, untuk memaksa dia ‘menjinakan’ muridnya, si Ario. Hal ini sangat mendesak untuk segera dilaksanakan. Bagaimana menurut pendapat mu ? “

“ Ya, engkau benar; Akan tetapi kita belum mengenal siapa sesungguhnya Sunan Kudus ? Nampaknya hubungan mereka berdua bukan sekedar hubungan guru dan murid nya, tetapi lebih dari itu. Yang ku maksud adalah, Sunan Kudus akan berpihak kepada Ario Penangsang.”

Putri Ratu Mas Cempaka ikut berkomentar, “ Menurut analisa ku, Sunan Kudus merasa sakit hati kepada ayah, sejak kedatangan Sunan Kali Jaga di Istana Demak. Imam Mesjid Demak sesungguhnya dijabat oleh Sunan Kudus, tetapi Ayah kita mengalihkan nya kepada Sunan Kali Jaga.

Hanya dikarenakan masalah menentukan awal bulan Rhamadan, bulan puasa. Raja Trenggono sependapat dengan Sunan Kalijaga akan hari pertama bulan puasa, maka Sunan Kudus meras tersingkir kan. Sunan Kudus merasa sakit hati, kemudian pulang kembali ke Kudus.

Oleh sebab itu, Imam Mesjid Demak sekarang dipegang oleh Sunan Kalijaga yang seharusnya Sunan Kudus.

Maka sejak peristiwa itu, Sunan Kudus pulang kembali ke Kudus; Dan kemudian hubungan Istana Demak dengan Sunan Kudus menjadi hambar. “

Ratu Kalinyamat , “ Oh itu sebab nya.... sangat disayangkan akan seorang Panglima Perang Kerajaan menjadi musuh dalam selimut.

Jadi, apa rencana kita, wahai suami ku ? “

“ Ya,... Kita dapat melaksanakan nya, semoga berhasil. Seolah kita sedang memadamkan kebakaran rumah; Kita harus segera memadamkan api, dengan cara apa pun.”

“ Nah... aku mempunyai jalan keluar,... kita akan menugaskan Joko Tingkir untuk datang ke tempat Sunan Kudus, sebagai utusan kita. Misi yang diemban oleh Joko adalah merubah jalan pemikiran Ario Penangsang, melalui Sunan Kudus.”

Pangeran Hadiri terdiam, dan akhirnya dia berkata, “ Sangat sulit untuk dilaksanakan;Tetapi dapat dicoba. Joko Tingkir memang harus datang ke tempat guru nya, untuk belajar Agama Islam. Jadi bukan suatu hal yang aneh buat dia, untuk mendatangi Sunan Kudus; Bahkan dia bisa bertemu langsung dengan Ario Penangsang, sebagai teman sekelasnya.

Tetapi tugas yang diemban Joko sangat sulit untuk dilaksanakan, yaitu merubah jalan pemikiran Ario Penangsang untuk tidak memusuhi kita. ”

Maka diadakan rapat keluarga Istana Demak, yang dirasakan penting untuk membicarakan masalah Ario Penangsang. Ratu Kalinyamat mengundang Joko Tingkir untuk turut hadir didalam rapat.

Kehadiran Joko sangat diperlukan oleh Kerajaan, karena tugas yang disarankan oleh Ratu Kalinyamat.

Didalam rapat keluarga, Ratu Kalinyamat mengatakan kepada Joko, “ Engkau wahai Joko, mendapat tugas dari Kerajaan Demak, untuk merubah pandangan politik Ario Penangsang yang memusuhi Kerajaan. Kiranya engkau dapat merubahnya, menjadi pandangan politik damai.

Seolah, engkau menyiramkan air dingin ke kepala si Ario, sehingga engkau dapat meredam kemarahan Ario kepada kita-kita disini.”

Adipati Hadiwijoyo atau si Joko Tingkir menjawab, “ Sungguh baik perumpamaan mu itu wahai Kakak Ipar ku; Menyiramkan air dingin yang terasa sejuk kekepala si Ario, kemudian dia dapat merubah jalan pikir nya. Akan tetapi tidak lah sesederhana seperti itu; Akan hal nya masalah Ario Penangsang.

Aku merasa berdosa apa bila aku menyalahkan kembali ayah mertua ku; Hal yang sudah berlalu memang tidak perlu dibicarakan kembali.”

“ Hal apa itu ? “ Tanya Ratu Kalinyamat.

“ Yaitu akar permasalahan dari kita-kita yang ada disini. Bukankah Ario Penangsang sedang berencana, untuk membalas kematian ayah nya ?

Sudah pasti, dia sudah lama merencanakan pekerjaan ini; Seolah dia menunggu saat yang tepat, yaitu wafatnya Raja Trenggono, ayah mertua ku.”

Semua orang terdiam. Mereka berpikir akan hal-hal yang telah lalu; Utama nya sepak terjang Raja Trenggono yang mempunyai kaitan dengan kematian Pangeran Sekar Seda ing Lepen, ayah Ario. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Adipati Hadiwijoyo.

Ratu Kalinyamat kembali mendesak Joko, “ Apakah engkau mempunyai saran akan jalan keluar dari permasalahan Kerajaan Demak, wahai adik ipar ku ? “

“ Permasalahan Kerajaan Demak adalah ancaman dari tentara Jipang Panolan dibawah pimpinan Ario Penangsang; Pasukan itu sudah bersiap-siap untuk menyerang Kota Demak. Pasukan itu sudah dan sedang berkemah di tepi Sungai Sore, yang menandakan akan kemauan yang kuat komandan nya, Ario Penangsang untuk segera melancarkan serangan, guna membalas dendam kepada Raja Demak.”

“ Ya memang seperti itu, kami semua sudah tau.

Wahai Adipati Hadiwijoyo ! Seolah-olah engkau sedang membela Ario Penangsang, bukan membela kita, dengan kata-kata mu. Engkau adalah prajurit Demak yang berchianat kepada Negeri mu.” Kata Ratu Kalinyamat dengan penuh amarah.

“ Ya sungguh benar kata-kata mu wahai kakak ipar ku. Akan tetapi aku tidak akan berchianat kepada Kerajaan Demak. Akan kubuktikan bahwa aku bukan pengchianat.

Permasalahan dari kita adalah, kita masih menganggap Ario Penangsang sebagai bagian dari keluarga Kerajaan Demak. Seperti seorang anak atau keponakan yang nakal, kemudian perlu diberi tau akan tata cara bersopan-santun.

Memang benar dia adalah putra dari Pangeran Kikin; Sedangkan Pangeran Kikin adalah kakak dari Raja Trenggono. Jadi alangkah elok nya, apabila kita dapat menarik Ario Penangsang untuk tetap menjadi salah satu anggota Keluarga Kerajaan Demak. Kemudian kita dapat hidup bersebelahan dengan dia, secara damai.

Sesungguhnya, yang sedang terjadi sekarang ini, tidak lah seperti itu !

Sekali lagi kukatakan tidak ! Dia sudah menjadi musuh kita; Musuh dari Keluarga Kerajaan Demak. Dikarenakan ayah nya sudah dibunuh oleh Raja Trenggono, maka kita sudah menyatakan permusuhan terhadap dia.

Sesungguhnya dia marah; Marah yang beralasan.

Oleh sebab itu lah, kukatakan sekali lagi, bahwa dia bukan lagi anggota Keluarga Kerajaan Demak.

Jika kita sudah menganggap dia sebagai musuh, maka dengan sendirinya kita akan terlepas dari beban dosa apabila kita berperang melawan dia.

Akan kubuktikan bahwa aku bukan seorang pengchianat.

Oleh sebab itu, marilah kita hadapi peperangan dengan Jipang Panolan, sama hal nya kita berperang melawan Kerajaan Majapahit atau Blambangan. Kita akan berperang tanpa beban dosa; Tanpa beban untuk membunuh, yaitu membunuh saudara kita sendiri, Ario Penangsang.”

Semua hadirin terdiam. Adalah merupakan tabu bagi seluruh Keluarga Kerajaan, untuk menuturkan masalah pembunuhan Pangeran Sekar Seda ing Lepen. Peristiwa pembunuhan itu harus selalu dirahasiakan, seperti mengubur bangkai yang berbau busuk, kedalam tanah dalam-dalam.

Dan hari ini, seorang dari Keluarga Kerajaan sudah melanggar tabu atau larangan tersebut; Orang itu adalah salah seorang dari menantu mereka, si anak desa Joko Tingkir.

Joko berpikir didalam hati, “ Aku sudah melaksanakan tugas dari guru ku, Ki Banyu Biru untuk menyebar-luaskan peristiwa pembunuhan Pangeran Sekar Seda ing Lepen kepada seluruh rakyat Demak; Termasuk orang-orang yang ada di Istana ini.”

Pangeran Hadiri memberi komentar akan uraian Joko Tingkir, “ Ya itu lah sejarah; Sejarah yang bercerita mengenai hal nya seseorang yang merasa haus akan kekuasaan, harta dan juga wanita. Itu lah fakta yang mana kita harus jujur, bahwa itu memang benar ada nya.

Kemarahan Adipati Ario Penangsang tidak akan mungkin diredam, sekalipun kita guyurkan air dingin ke kepalanya; Dan juga merupakan hak dia untuk marah besar, karena ayah nya telah dibunuh.

Adalah satu-satu nya tokoh yang masih kita harapkan untuk menangkal peperangan ini, yaitu Sunan Kudus. Walaupun sudah di sanggah oleh Ratu Mas Cempaka, bahwa orang ini sudah patah hati, karena dipecat sebagai Imam Mesjid Demak. Akan tetapi dapat kita coba.”

Adipati Jepara, Pangeran Hadiri, adalah orang kedua yang sudah melanggar tabu. Maka bangkai berbau busuk yang sudah dikubur dalam-dalam, menjadi terbuka dikarenakan telah dibongkar oleh dua orang anak menantu.

Ratu Kalinyamat sekali lagi meminta bantuan Joko Tingkir, “ Wahai adik iparku ! Cobalah engkau usahakan agar teman sekelasmu itu mau berdamai dengan kita. Datangilah Sunan Kudus dan Ario Penangsang didalam kelas mu seperti biasanya. Kemudian engkau pakai bahasa diplomasi mu untuk meredam kemarahan Ario kepada kita.”

Joko menyanggupi, “ Baiklah Kakak iparku, akan kulaksanakan. Aku tau bahwa engkau tidak menyukai suatu peperangan.

Sekarang aku memohon diri untuk pulang kembali ke Pajang.”

Joko Tingkir pulang dengan tergesa-gesa ke Istananya di Pajang.

Ratu Kalinyamat berdiskusi sendiri dengan suaminya, Pangeran Hadiri.

“ Sebaiknya kita gunakan kesempatan terachir, untuk kita meminta kepada Sunan Kudus. Kita memohon kepada Sunan Kudus untuk meredam kemarahan anak didik nya, si Ario.

Kita lupakan untuk sementara bantuan si Joko untuk tugas tersebut.

Karena jalan pemikiran Joko berbeda dengan kita. Semoga Sunan Kudus dapat dan mau membantu kita; Bukan kah dia adalah pegawai Kerajaan dengan pangkat Panglima Perang Kerajaan.? “





Bab 9


Sesampainya di Istana Pajang, Wuragil bertanya kepada Joko, “ Apa khabar akan perundingan mu itu wahai Joko ? Apa hasilnya ? “

Wuragil nampaknya sudah lama menunggu kedatangan Joko, untuk mengetahui tugas apa yang akan diemban oleh Joko; Tugas dari Istana Demak.

Joko menjawab, “ Aku mendapat tugas diplomasi untuk mempengaruhi Ario Penangsang, agar Ario mau berdamai dengan pihak Istana Demak.”

“ Aku menjadi bingung akan pandangan politik mu, wahai Joko ! Apakah engkau mau membela Raja Mukmin Prawoto atau Ario Penangsang ?

Ketahuilah oleh mu akan situasi politik disekitarmu, bahwa telah terjdi pertempuran antara Kerajaan Jipang Panolan melawan Kerajaan Demak. Dan engkau berdiri di Kerajaan Demak, dikarenakan engkau sekarang adalah bagian dari Keluarga Istana.

Jika aku boleh memberi saran kepadamu, maka berpihaklah engkau kepada Ario Penangsang, karena dia adalah teman dekat mu; Teman sekelasmu di perguruan Sunan Kudus.”

“ Sungguh benar kata-kata mu wahai Wuragil ! Jika aku boleh memilih, maka aku akan membela kawan ku si Ario. Juga dikarenakan Mukmin Prawoto adalah seorang pembunuh yang harus kita jauh-i. Tetapi sayang, ..... pada kenyataannya, dia adalah kakak istriku.

Sungguh aku menjadi bingung.! Tetapi didalam rapat itu, kuperlihatkan kesetiaan ku kepada Demak, dengan mengatakan hilangkanlah beban dosa untuk membunuh Ario. Marilah kita gempur Jipang Panolan, sama hal nya menggempur Majapahit atau Blambangan.

Akan tetapi, mereka tetap tidak mau berperang, tetapi mau berdamai. Seolah-olah Ario Penangsang masih tetap sebagai anggota keluarga mereka.

Memang benar Ario Penangsang adalah keponakan mereka yang nakal. Sudah jelas bahwa dia bukan sekedar nakal dan perlu dijewer kupingnya, tetapi dia sudah membawa Angkatan Perangnya untuk segera melewati Sungai Sore, kemudian menggilas Istana Demak.”

“ Aku tidak perlu mengarang pidato untuk diperdengarkan pada temanku si Ario, dikarenakan dia adalah sahabatku yang aku tau, dia tidak akan pernah berpura-pura baik, tetapi jahat. Tetapi dia benar-benar polos, tanpa tedeng aling-aling dan juga baik hati.

Aku akan membawa senjata ku, sebilah keris.”

Wuragil memberi nasihat yang lain, ” Wahai Joko, jadilah engkau seorang Raja. Agar si Mukmin Prawoto dan famili nya, tidak gampang-gampang menugaskan sesuatu kepada mu. Dengan gelar Raja, maka Mukmin Prawoto akan segan kepada mu.

Engkau sudah mempunyai daerah kekuasaan dan engkau mempunyai rakyat dan tentara dan juga sebuah Istana; Jadi ... apa lagi ? “

“ Akan kupikirkan nanti ! Aku akan melantik diriku sendiri menjadi Raja, Raja Hadiwijoyo.”

Joko Tingkir beserta kawan-kawannya dan juga beberapa serdadu Pajang pergi ‘sowan’ kepadepokan Sunan Kudus. Tujuan sesungguhnya adalah menemui Ario Penangsang, untuk diajak berdamai, sesuai tugas dari Ratu Kalinyamat.

Suasana di kota Kudus sungguh menegangkan, karena dimana-mana ada serdadu Jipang Panolan yang berjaga-jaga dan siap tempur. Sungguh benar, Kudus dan Demak sudah menjadi medan tempur yang sewaktu-waktu akan meletus pertempuran terbuka.

Joko memasuki kelas tempat dia belajar agama. Tampak Sunan Kudus sedang bercakap-cakap dengan Ario Penangsang. Nampaknya kedua nya adalah kroni yang juga siap tempur melawan Demak. Sudah pasti Sunan Kudus akan membela Ario Penangsang.

Tampak banyak prajurit Jipang Panolan didalam kelas itu, termasuk Patih Matuhun. Maka dengan terpaksa prajurit Pajang yang mengawal Joko harus berada diluar kelas.

Sunan Kudus menyapa Joko, “ Hai lihat ! Muridku yang lain juga datang ! Mari, mari, mari masuklah Joko Tingkir.”

Joko memberi salam, “ Assalam mualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh “ Kemudian dia mencium tangan gurunya. Kemudian dia menjabat tangan Ario Penangsang, tanpa rasa permusuhan sama sekali. Demikian juga Ario Penangsang yang memberi sambutan hangat kepada teman sekelasnya.

Seorang santri datang dan melaporkan kepada Sunan Kudus. Yang nampaknya Sunan Kudus harus undur diri untuk sementara. “ Baiklah Joko ! Engkau bercakap-cakap lah dulu dengan temanmu, aku ada keperluan sebentar.”

Joko menyapa Ario, “ Apa khabar wahai Ario ? “

“ Aku baik-baik saja “

“ Nampak banyak serdadu mu yang siap tempur. Mereka bertebaran di setiap tempat.”

“ Benar katamu, kita memang sudah siap tempur untuk membela keadilan. Dan engkau juga membawa keris dipinggangmu. Tidak biasanya engkau membawa senjata kedalam kelas kita ini.”

“ Karena aku menyadari bahwa aku akan memasuki daerah pertempuran yang sudah engkau canangkan, sewaktu engkau beserta tentaramu mau menggilas Istana Demak.”

“ Sungguh benar kata mu ! Bolehkah aku melihat kerismu itu ? “

“ Tentu saja boleh Ario, sahabat ku.” Joko menyerahkan keris nya kepada Ario.

Joko tidak menaruh curiga kepada Ario, dengan menyerahkan senjatanya kepada dia. Ario dapat saja membunuh Joko dengan mudah, jika dia mau.

Ario Penangsang menghunus keris itu dan menilai nya.

“ Wow.... ini adalah keris yang istimewa. Lihatlah lekuknya ada sembilan, jadi pasti keris ini buatan Majapahit. Sungguh benda yang bernilai dan pasti mempunyai ‘isi’.”

“ Tidak Ario ! Kerisku adalah keris pasaran; Engkau dapat membelinya dipasar-pasar.”

Sunan Kudus memasuki kelas dan berkata, “ Wow ... nampaknya ada transaksi jual beli senjata didalam kelas ini.

Ario ! Ario ! Ario ! Segera kau sarungkan keris itu ! Segera kau sarungkan keris itu ! Segera kau sarungkan keris itu !”

Ario Penangsang heran akan perintah gurunya, yang menyebut namanya dan perintahnya sebanyak tiga kali. Maka dia cepat-cepat menyarungkan keris itu, kemudian menyerahkan kembali kepada Joko Tingkir.”

Joko Tingkir sempat melihat gerakan tangan Patih Matuhun; Dia menggerakan jari telunjuknya melewati lehernya. Itu adalah kode isyarat dari Patih untuk Ario, yang memberi arti, untuk segera membubuh Joko Tingkir; Sesuai perintah Sunan.

Alangkah terkejutnya Joko ! Jadi kelas ini sudah menjadi medan tempur.

Joko berpikir didalam hati, “ Tuhan masih melindungi nyawaku ! Ternyata kawanku tidak tau maksud perkataan Sunan yang menyuruh dia segera membunuh aku, si Joko. Segera sarungkan keris itu adalah yang dimaksud kan sebagai, segera bunuh si Joko. Itu adalah kata-kata kode sandi didalam suatu pertempuran.”

Maka Joko Tingkir dan kawan-kawan nya harus undur diri; Jika tidak dia akan dibunuh oleh prajurit Jipang Panolan.

Joko berkata kepada gurunya dengan penuh hormat, “ Wahai guruku, Sunan Kudus ! Aku harus undur diri, karena aku menyadari bahwa aku dan kawan-kawan ku, sekarang ini sudah memasuki medan tempur. Kita harus bersiap-siap untuk suatu pertempuran yang sesungguh nya. Assalam Mualaikum !”

Sunan membalsa salam muridnya seperti biasa, “ Baik lah murid ku, Walaikum Salam ! “

Cepat-cepat Joko dan kawan-kawannya memacu kuda mereka, pulang kembali ke Pajang.

Joko Tingkir berpikir didalam hati, mengupas perintah ‘sandi’ gurunya untuk segera membunuh diri nya,

“ Jika benar arti kata Sunan Kudus, ‘Ario, segera sarungkan keris itu !’, memberi arti, bunuhlah si Joko segera dengan keris yang ada ditangan mu. Maka tamatlah sudah riwayat ku ditangan sahabatku, Ario.

Sejahat itukah sikap Sunan Kudus kepada ku ? Serasa aku tidak percaya !

Dan sebaliknya, alangkah baiknya Ario, sahabat ku. Dia benar-benar seorang sahabat.

Semua ini dikarenakan situasi politik. Begitu jahat nya politik, sehingga tidak ada lagi harga dari seorang murid, aku, dihadapan guru nya, Sunan Kudus. Lenyap sudah hubungan antara guru dengan murid nya, dikarenakan aku, muridnya, telah menjadi bagian Keluarga Istana Demak, yang dimusuhi oleh Ario.

Apa boleh buat ! Maka aku harus segera mempersiapkan pertempuran melawan tentara Jipang Panolan; Melawan si Ario .... seorang sahabat ku.

Aku sekarang bimbamg, ... bagaimana mungkin, aku harus membunuh kawan ku sendiri, si Ario. Sekali lagi, itulah yang nama nya politik; Sungguh politik itu berbau busuk, berbau bangkai.”

Sesampai nya di Istana Pajang, Joko memerintahkan serdadunya untuk siap tempur, menempati tepi Sungai Sore, berhadapan dengan sisi sungai yang ditempati oleh pasukan Jipang Panolan. Sungai Sore airnya dangkal, sehingga kuda dapat menyebrang. Sekarang dua pasukan yang bermusuhan berhadap-hadapan, dibatasi oleh aliran sungai. Tidak ada yang berani menyebrang, jika tidak ingin dipanah oleh musuh.

Joko berunding dengan kawan-kawannya, Mas Wila, Mas Manca dan Ki Wuragil.

“ Aku tidak menyangka Sunan Kudus sampai hati telah memberi perintah untuk membunuh aku ! Aku sebagai muridnya yang dikasihi akan dibunuh, aneh dan janggal !. Perintahnya berupa kode, sarungkan keris itu ! Memberi arti, tusukan keris itu ! Kemana ? Ya sudah tentu ke tubuh ku.

Semua itu karena Sunan Kudus memihak Ario Penangsang; Sementara aku kelihatannya memihak Raja Mukmin Prawoto. Tetapi belum tentu aku akan memihak Raja Demak ! Jadi politik selalu membingungkan; Ya memang selalu seperti itu.

Itulah politik yang membuahkan suatu pertempuran. Jadi sesungguhnya, politik selalu busuk, berbau busuk. Aku katakan busuk ! Bagaimana engkau dapat membayangkan akan hal nya seorang guru akan membunuh muridnya sendiri; Hanya karena keyakinan politik.

Politik selalu erat hubungannya dengan perebutan kekuasaan, harta kekayaan, wanita dan juga kebanggaan pribadi Raja. Tetapi manusia diseluruh Dunia suka akan politik, maka selalu terjadi pertempuran di mana-mana. Karena banyak diantara manusia itu yang berkeinginan menjadi Raja dan berkuasa. ”

Semua teman-teman setia Joko mendengar kata-kata Joko dan membenarkan.

Ki Wuragil tampil memberi komentar, “ Wahai Joko, engkau katakan banyak diantara manusia yang berkeinginan menjadi Raja. Akan tetapi tidak untuk engkau. Karena engkau tidak mau menjadi Raja di Pajang.

Aku bahkan mendorong engkau untuk menjadi Raja di Pajang, tetapi engkau masih enggan. Alasanku agar engkau terbebas dari perintah Raja Mukmin Prawoto dan Keluarga Istana Demak. Percayalah kepadaku ! Engkau akan direpotkan oleh perintah-perintah mereka.”

“ Bukan aku tidak mau, tetapi lebih tepat kalau dikatakan, belum mau.

Nah sekarang memang tepat waktunya untuk aku menyatakan diri sebagai Raja Pajang. Alasanku adalah, agar Ario Penangsang tidak merasa sedang berperang melawan sekelompok pemberontak, seperti kita yang ada disini.

Akan tetapi, Ario sedang berperang melawan sebuah Kerajaan, Kerajaan Pajang dengan Rajanya, Raja Hadiwijoyo.”

Semua yang hadir disitu bertepuk tangan dan mengelu-elukan Raja Hadiwijoyo, “ Hidup Raja Hadiwijoyo ! Hidup Raja Hadiwijoyo ! Hidup Raja Hadiwijoyo ! “

Joko Tingkir menambahkan ulasannya, “ Aku sebagai Raja bukan karena aku gila kuasa seperti yang telah ku-uraikan tadi, tetapi untuk mengimbangi kekuasaan Raja yang lain, agar kantong-kantong kekuasaan itu dapat menjadi seimbang.”

Maka diadakan upacara resmi pelantikan Raja Hadiwijoyo. Joko Tingkir melantik dirinya sendiri, sebagai seorang Raja. Pesta sederhana diadakan, mengingat keadaan sedang genting. Pengumuman kepada masyarakat luas didalam Negeri maupun diluar Negeri di umumkan.

Mendengar khabar bahwa Joko Tingkir menjadi Raja, maka Ario Penangsang marah besar.

“ Sungguh keterlaluan si Joko itu ! Orang dari kampung menyatakan diri nya sebagai Raja, mana bisa ? Seorang Raja harus lah keturunan Ningrat; Dia harus berdarah biru.

Aku saja yang seharusnya sebagai Raja yang syah di Kerajaan Demak, belum juga dilantik. Aku menyesal tidak membunuhnya, hanya dikarenakan aku tidak mengerti kata-kata kode Sunan Kudus.”

Lain halnya dengan Raja Demak; Raja Mukmin Prawoto merasa gembira, Joko Tingkir telah menyatakan dirinya sebagai Raja. Dikarenakan Joko akan menjadi benteng Istana Demak didalam menghadapi serangan Ario Penangsang.

Raja Hadiwijoyo mengangkat para pembantunya didalam pemerintahannya. Patih dijabat oleh Mas Manca yang bergelar Patih Mancanegara. Perdana menteri dijabat oleh Ki wuragil dengan gelar Ngabehi Wuragil. Menteri Luar Negeri di jabat oleh Ngabehi Wilamarta.

Beberapa bulan kemudian Raja Hadiwijoyo kedatangan tamu-tamu. Mereka itu adalah anak-anak , menantu dan juga seorang cucu dari Keluarga Ki Ageng Sela.

Sebagaimana kita ketahui, telah disepakati suatu persyaratan oleh Joko Tingkir dan Ki Ageng Sela, apabila Joko benar-benar telah menjadi Raja, anak-anak Ki Ageng Sela dapat diangkat sebagai pembantu dekat didalam Pemerintahan Kerajaan, yang dipimpin oleh Joko.

Khabar akan Joko sudah menjadi Raja terdengar oleh Ki Ageng Sela, maka Ki Ageng Sela menuntut janji dengan mengirim anak-anak dan cucu nya ke Istana Pajang.

Anak Ki Ageng Sela adalah, Ki Ageng Pemanahan, sebagai anak tertua; Ki Panjawi sebagai menantu; Ki Jurumartani, sebagai adik Ki Ageng Pemanahan, dan terakhir adalah Sutawijaya sebagai cucu dari Ki Ageng Sela.

Ki Ageng Pemanahan berdatang sembah, “ Wahai Baginda Raja, kami adalah keluarga Ki Ageng Sela; Sengaja datang ke Istana Tuan, untuk menagih janji Tuan kepada ayah kami, yaitu kiranya kami dapat diangkat sebagai pembantu dekat didalamPemerintahan Kerajaan Tuan.”

Baginda menjawab, “ Selamat datang wahai anak-anak guru ku, Ki Ageng Sela. Akan ku penuhi janji ku kepada ayah mu. Berdiamlah diIstanaku, sementara engkau belum kutunjuk untuk menduduki jabatan Menteri. Banyak ruang kamar di Istana ini, yang dapat engkau pakai untuk beristirahat dan berlindung dari hujan dan panas.”

“ Terimakasih wahai Raja yang bijak. Salam hormat dari ayahanda kami kepada Baginda dan doa dari ayahanda, semoga Baginda dalam keadaan sehat wal afiat ! “

“ Terimakasih ! Apakah ayah mu dalam keadaan sehat juga ?”

“ Beliau dalam keadaan sehat, terimakasih !

Ada suatu hal yang aku takut untuk menyampaikan nya kepada mu wahai Raja! Karena aku takut engkau akan menjadi susah dan malu; Akan tetapi, mungkin juga sebaliknya, engkau akan merasa gembira mendengar nya.”

“ Hal apakah itu ? “

“ Bahwa engkau telah meninggalkan seorang istri dan seorang anak, di padepokan silat kami. Aku adalah kakak dari istrimu yang tidak syah yang bernama Sutakenanga.

Dan ini lah, Sutawijaya; Adalah anak mu sendiri yang sekarang sudah menjadi seorang pemuda gagah perkasa.

Hai Sutawijaya, berilah salam hormat mu kepada ayah mu ! “

Sutawijaya ragu-ragu untuk menghadap Raja. Sementara Raja Hadiwijoyo terkejut, bahwa hari itu dia telah dipertemukan dengan anak nya sendiri yang telah ditinggalkan sedemikian lama nya, di Institusi silat Ki Ageng Sela.

Sutawijaya adalah cucu dari gurunya, karena lahir dari anak perempuannya, Sutakenanga. Kita sama mengetahui bahwa Sutakenanga telah di hamili oleh Joko Tingkir, sehingga lahir seorang bayi laki-laki yang diberi nama Sutawijaya.

Raja Hadiwijoyo menenangkan diri dan kemudian berkata, “ Wahai Sutawijaya ! Marilah, kemarilah, kemarilah anak ku ! Engkau sekarang telah sampai di rumah mu sendiri. Ayah menyambut engkau dengan perasaan bahagia dan bersyukur kepada Allah yang mana aku telah diberi seorang keturunan yang akan meneruskan karir ku sebagai Raja. “

Sutawijaya berdatang sembah dan mencium lutut ayah nya, “ Hamba bernama Sutawijaya, cucu dari Ki Ageng Sela.”

“ Engkau adalah anak ku ! Panggilah aku dengan sebutan ‘ayah’.

Dan jangan ada upacara resmi seperti ini. Hubungan kita adalah sebagai ayah kepada anak; Dan sebagai anak kepada ayah nya.”

Sutawijaya bangun dari posisinya dan kemudian memeluk ayah nya sendiri, dan menyebut atau memanggil ayahnya, “ Ayah, ayah, ayah ! “

Ki Ageng Pemanahan berkata, “ Nah sekarang kuserahkan Sutawijaya kepada mu , wahai Raja Hadiwijoyo. Perlu engkau mengetahui, bahwa kita telah mempunyai kesepakatan bersama, bahwa Sutawijaya tidak mempunyai keinginan untuk menjadi Raja, yang kelak akan menggantikan mu. Akan tetapi, yang berhak menjadi Raja adalah Pangeran Banawa.

Benarkah demkikan wahai Sutawijaya ? “

Sutawijaya menjawab, “ Ya benar ! Aku sudah cukup berbahagia untuk aku dapat memanggil seorang Raja sebagai ayah; Yaitu angkau ada nya.

Bahkan aku mempunyai permintaan kepada mu, wahai ayah. Jangan lah engkau umumkan kepada chalayak ramai, bahwa aku adalah anak mu. Jadikan lah hal ini sebagai suatu rahasia diantara kita saja, termasuk Pangeran Banawa.

Ku Maksudkan, ... agar tidak terjadi kekacauan politik dikemuadian hari.

Dan juga agar engkau, wahai Raja Hadiwijoyo yang bijak !

Untuk tidak merasa malu, karena engkau ternyata telah mempunyai seorang anak ‘haram’, yaitu aku. !

Maka rahasiakan lah akan kehadiran diriku ini.“

Raja Hadiwijoyo meneteskan air mata nya, yang cepat-cepat dihapus dengan tangannya.

“ Hai anak ku ! Engkau bukan anak haram dari aku !

Jangan lah engkau hukum ayah mu ini ! Ketahuilah oleh mu, bahwa aku tidak sengaja telah meninggalkan ibu mu dan juga engkau !

Jika engkau ingin menyalahkan, salahkan lah Raja Trenggono yang telah menjatuhkan hukuman mati kepada ku, sehingga aku harus melarikan diri dari Istana Demak. Dan kemudian aku terlupa akan kekasihku, Sutakenanga, ibu mu.

Waktu sedemikian cepat berlalu, sehingga hal yang sangat penting telah terlupakan dari diri ku, secara tidak sengaja; Yaitu, aku telah meninggalkan ibu mu dan juga engkau anakku.!

Sesungguhnya, sudah terpikirkan oleh ku, akan meminta cuti dari kedinasan militer kepada Raja. Akan tetapi, Raja itu sangat kejam, yang selalu meminta aku untuk siap sedia berperang melawan Majapahit.

Tidak ! Tidak ! Aku tidak boleh merahasiakan kehadiran mu di Istana ini.

Engkau kuangkat menjadi Pangeran Putra Mahkota, yang kelak akan menggantikan aku sebagai Raja Pajang yang berikutnya. Engkau adalah anak ku yang syah, bukan anak haram !”

Demikian, Raja Hadiwijoyo bersabda dengan penuh perasaan, rasa sayang yang sebenarnya kepada anak kandungnya.

Suasana Balairung menjadi sunyi sejenak.

Pada akhirnya Sutawijaya berkata,

“ Semua ini bukan karena aku bermaksud akan menghukum engkau, Wahai Raja. Akan tetapi demi kesejahteraan dan kedamaian diantara rakyat Pajang. Sekali lagi kukatakan, aku tidak ingin terjadi kekacauan politik di kemudian hari, disebabkan karena aku, Sutawijaya.”

Raja Hadiwijoyo terdiam. Raja berpikir didalam hati, “ Nampaknya dia (Sutawijaya) sedang mengutarakan kemarahannya kepada ku. Sesungguhnya, tidak ada maksud ku untuk membuat dia marah, karena pernah ku tinggalkan.”

Pada akhirnya Raja berkata kembali, “ Jadi apa maumu, wahai anak ku yang kukasihi ? Akan kah ku tunda dulu pemberian gelar Putra Mahkota ini ? Akan tetapi, tetaplah engkau tinggal di Istana ini ! “

“ Tunda lah dulu ! Baiklah, aku akan tetap tinggal di Istana ini.

Berilah aku jabatan didalam bidang militer Angkatan Perang mu.“

Raja berpikir didalam hati, “ Sutawijaya adalah Putra Mahkota yang syah, bukan Pangeran Banawa. Karena Sutawijaya adalah Putra yang tertua. Lebih dari itu, Pangeran Banawa sudah menyatakan tidak sanggup menjabat jabatan Raja, setelah aku.”

Raja Hadiwijoyo berbisik kepada ajudannya;Dia memerintahkan untuk memanggil Pangeran Banawa. Tak lama kemudian datang lah seorang anak muda yang polos; Dialah Pangeran Banawa.

Raja berkata, “ Hai anak ku Sutawijaya ! Inilah adik mu Pangeran Banawa. ! “

Sutawijaya dan Banawa berjabat tangan. Pangeran Banawa tau bahwa pemuda gagah dimuka nya ini adalah kakak nya; Raja yang telah memberitahukan kepada dia, sebelumnya.

Sekali lagi Banawa mendekati Suta dan kemudian memeluknya dengan penuh kehangatan; Sebagai penghormatan seorang adik kepada kakak nya dengan tulus iklas.

“ Kakak ! Selamat datang di Istana Pajang; Istana mu sendiri. “

Raja Hadiwijoyo berkata, “ Nah Sutawijaya anak ku ! Engkau lihat bagaimana sikap adik mu itu ? Dia telah menyambut mu dengan penuh kehangatan.”

Raja bertanya kepada Banawa, “ Hai Banawa anakku ! Maukah engkau menjadi Raja untuk menggantikan aku kelak ? “

“ Ayah ! Sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku tidak mempunyai bakat untuk menjadi seorang pemimpin. Nah... sekarang ada orang yang akan menggantikan aku; Dia ayah ! Dialah orang yang akan meggantikan kedudukan mu ayah, sebagai Raja Pajang yang ke dua! Dia adalah Sutawijaya, kakak ku sendiri.”

Raja berkata kepada Sutawijaya, “ Nah ! Engkau sudah mendengar sendiri perkataan adik mu; Bahwa dia tidak ingin menjadi Raja. Oleh sebab itu, ramalanmu yang mengatakan bahwa akan terjadinya kekacauan politik di Kerajaan Pajang, gugur sudah!

Jika engkau marah kepada ku, maka aku meminta maaf kepada mu.”




Bab 10


Sementara itu di Padepokan Islam Sunan Kudus, Ario Penangsang menghadap Sunan Kudus untuk bertukar pandangan akan strategi pertempuran melawan Demak; Dan sekali gus untuk Ario belajar Tarikat Agama Islam.

Adalah suatu hal yang rutin murid datang kepada gurunya didalam kelas, untuk menimba ilmu; Demikan lah Ario Penangsang harus datang untuk menimba ilmu Agama Islam pada Sunan Kudus.

Sama hal nya dengan Joko Tingkir.

Sunan Kudus adalah orang Arab, yang lahir di Kota Al Qud, Palestina. Dia adalah keturunan ke 24 dari Nabi Muhammad SAW. Bersama ayahnya dan keluarga nya, mereka berhijrah ke Nusantara, tepatnya ke Kota Demak. Mereka dapat diterima oleh Raja Trenggono dan diberi kepangkatan militer sebagai Panglima Perang.

Sangat disesalkan, ayah nya ( Sunan Nudung ) telah mati didalam pertempuran; Maka putranya meneruskan jabatan itu sebagai Panglima Perang dan juga Imam Mesjid Demak.

Sebagaimana kita ketahui, Sunan Kudus pernah mendapat tugas untuk membunuh Ki Kebo Kenanga di Desa Butuh, Rawa Penging; Yang merupakan ayah kandung Joko Tingkir. Tetapi Joko tidak menaruh dendam kepada Sunan Kudus, tetapi kepada Raja Trenggono yang mengeluarkan perintah. Bahkan Sunan Kudus menjadi guru Agama nya.

Sunan Kudus bertanya-tanya didalam hati, apakah murid ku si Ario ini marah kepada ku ? Dikarenakan aku pernah mencegah dia menyerang Istana Demak ?

Sunan menyapa muridnya lebih dulu, “ Wahai Ario, anakku, apa khabar akan dirimu? Aku mengharap akan dirimu, untuk tidak marah lagi kepada Keluarga Kerajaan Demak; Dan juga marah kepada ku. Apakah benar begitu pendapat mu ? “

“ Mohon maaf wahai Guru, kemarahan ku tidak akan pernah lenyap didalam benak ku. Betapa sakit hati ku, jika aku mengingat-ingat pembunuhan ayah ku.

Akan tetapi, aku tidak marah kepada mu, bahkan aku berterima kasih.”

Sunan Kudus, “ Aku dapat mengerti akan keadaan mu; Aku pun tidak memaksa engkau untuk berdamai dengan Trenggono dan Keluarga nya.

Apa strategi mu, untuk selanjutnya menghadapi pertempuran ini ? Apakah engkau akan bertempur melawan Demak dan juga melawan Pajang ?’

“ Benar guru ! Ke dua – duanya adalah musuh-musuh ku. Seharusnya Pajang menjadi sekutuku, karena Joko Tingkir adalah sahabat ku; Akan tetapi sayang, nasib telah membawa dia menjadi menantu Raja Trenggono. Apa boleh buat, aku harus menganggap dia musuh.”

“ Ku sarankan untuk memilih salah satu saja ! Jika ke dua nya engkau perangi, maka akan banyak tentara mu yang mati didalam pertempuran; Kemudian engkau akan kalah. Kusarankan hanya Pajang saja yang menjadi targetmu. Sementara Demak, ... sesungguhnya tidak mau berperang. Mereka memang tidak bersiap-siap berperang. Lain hal nya Pajang, yang sudah menempatkan tentaranya di sebrang Sungai Sore.”

“ Engkau benar guru! Akan tetapi aku sudah berketetapan hati untuk membunuh si Prawoto. Aku tidak bernafsu untuk membunuh tentara nya, tentara Demak.

Bantulah aku guru, untuk membalaskan dendam kematian ayahanda ku; Aku akan bunuh si Prawoto, tetapi tidak tentaranya.”

“ Ya, aku akan membantu mu ! Dendam yang ada pada dirimu itu, sudah benar untuk engkau penuhi dan laksanakan. Sesudah itu terpenuhi, maka hendaknya engkau menjadi seorang Raja yang bijak, adil dan melindungi rakyat mu.

Jika engkau tidak puas akan rasa keadilan di Dunia, maka masih ada lagi peradilan di Negeri Akhirat yang akan dilaksanakan oleh Yang Maha Kuasa.

Percayalah, bahwa di Negeri Achirat kelak, akan ada peradilan Tuhan yang benar-benar adil. Tuhan akan menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada mereka yang bersalah; Walaupun yang bersalah luput dari hukuman nya sewaktu dia hidup di Dunia yang fana.

Ketahuilah oleh mu, bahwa kita semua akan kembali kepada Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Innalillahi wa ina illahi Roji’un. Dan disanalah kita semua akan di-hisab (di adili ); Itulah pengadilan yang kumaksud.”

Ario Penangsang bersemangat mendengar petuah guru nya,

“ Apakah pengadilan itu juga berlaku kepada musuh ku, Raja Trenggono ? Bukankah sekarang ini dia sudah sampai di Negeri Akhirat ? Sudah kembali kepada Sang Pencipta, Allah SWT ? Aku mengharapkan ada sidang pengadilan bagi dia, untuk menghukum dia.”

“ Sungguh benar engkau ! Dugaan mu sama dengan dugaan ku, yang mana si pembunuh ayah mu akan menghadapi pengadilan Tuhan !

Tetapi jangan lupa, kita semua disini, nanti nya juga akan di adili seperti itu. Semua yang masih hidup di Dunia akan menghadapi pengadilan Tuhan, di Achirat nanti.

Raja Trenggono bersalah menurut hukum Dunia kita, tetapi dia luput dari hukum di Dunia, dikarenakan dia adalah seorang Raja yang menguasai hukum itu sendiri. Akan tetapi, tidak di Negeri Achirat kelak.

Jadi, kalau kita mau berpikir lebih jauh, ....maka sungguh kasihan Raja itu....., seolah-olah kita dapat mendengar jerit nya dari neraka jahanam. Dia sedang me-lolong minta dikasihani dan memohon untuk dapat dikembalikan ke Dunia, agar dapat hidup sekali lagi. Kemudian dia berjanji untuk menjadi orang yang suci, di Dunia.

Oleh sebab itu wahai murid ku, mintakan lah ampunan Allah untuk kawan kita, Raja Trenggono; Untuk mendinginkan api neraka yang membakar dia, walaupun untuk se saat. “

Tampak Ario marah mendengar permintaan gurunya, “ Wahai guru, apakah engkau berpihak kepada Raja Trenggono atau berpihak kepada ku ? “

“ Aku sudah pasti berpihak kepada mu, wahai muridku. Aku hanya mencoba membawa dirimu ke alam ke agamaan (religious); Agar engkau dapat menjadi orang yang diberi Rachmat oleh Allah SWT, dan hidup selamat di Dunia dan di Achirat.

Ketahuilah oleh mu, bahwa sesungguhnya Dunia ini hanyalah senda gurau saja, tetapi di Negeri Achirat itulah hidup yang sesungguhnya.

Allah sungguh berfirman, ‘Tidaklah Kuciptakan manusia dan Jin, kecuali hanya lah untuk menyembahku’ Jadi..... Ario, sesungguhnya tujuan hidup mu hanyalah untuk menyembah Tuhan, Allah; tetapi bukan untuk bersenang-senang dan memuaskan nafsu syahwat mu ! ”

“ Apakah aku harus merasa kasihan kepada musuh besarku ? Justru aku akan turut mengutuk dia, ...akan kukatakan kepada dia, masuk lah kau kedalam api neraka jahanam ! ”

Sunan Kudus terdiam mendengar kemarahan Ario Penangsang.

“ Wahai Ario ! Hilangkanlah rasa dendam mu, karena Para Malaikat di Achirat yang akan memberi hukuman kepada Raja Trenggono. Percayalah ! Negeri Achirat bukan lagi urusanmu. “

Kembali Sunan bertanya, “ Apakah engkau juga takut pada api neraka ? Apakah engkau takut kepada Allah, takut pada siksa Nya ? Wahai murid ku? ”

Ario terdiam mendengar pertanyaan aneh dari guru agama nya

Ario berpikir didalam hati, “ Bagaimana aku harus takut ? Aku tidak pernah melihat Dia. Mungkin aku akan takut pada Allah, jika aku berhadap-hadapan dengan Allah, langsung.”

Ario berkata, “ Maaf guru, sesungguhnya aku belum mempunyai rasa takut pada Allah.”

Sunan menjawab, “ Aku terkesan akan engkau, yang berbicara polos dalam mengungkapkan pendapat mu.

Walaupun engkau belum merasa takut akan Allah, akan tetapi engkau pasti akan takut pada siksa Nya di Dunia ini. Bermacam-macam musibah ( azab) yang siap mengancam dirimu, seperti kekurangan bahan makanan yang menyebabkan bahaya kelaparan di masyarakat Jipang Panolan. Gunung Merapi yang pernah meletus, dan mengeluarkan lahar panas nya.

Dan barangkali yang paling engkau takuti adalah di-saat engkau menghadapi kematianmu di medan tempur.

Disamping azab Allah, Allah juga melimpahkan Rachmat dan Kasih sayang Nya, yang selalu siap setiap saat, untuk dikaruniakan kepada mu; Terlalu banyak Karunia Allah untuk disebutkan satu persatu.

Ario muridku ! Walaupun engkau tidak akan pernah melihat Tuhan, tetapi engkau masih mempunyai kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Allah. Sungguh, engkau bisa bercakap-cakap dengan Nya.

Jika engkau mau bercakap-cakap dengan Allah, layaknya Nabi Musa, maka engkau buka dan baca Kitab Suci Al Qur’an, dan kemudian dimengerti isi nya. Maka engkau akan merasakan bahwa engkau sedang bercakap-cakap dengan Allah.

Di saat engkau membaca Firman Allah, engkau akan merasakan, betapa kecil nya engkau sesungguhnya, jika dibandingkan kepada Nya; Engkau bagaikan debu, bahkan atom.

Akan tetapi untuk melihat Nya ? .... Jangan lah engkau terlalu sombong untuk dapat melihat Allah, jika engkau tidak ingin disambar petir dan mati seketika, seperti hal nya Bangsa Bani Israil.”

Ario Penangsang terdiam cukup lama; Dia sedang berpikir dan mengupas keterangan guru agama nya didalam benak nya. Pada akhirnya berkata,

“ Baik guru, akan ku buka dan ku baca Kitab Suci kita, Al Qur’an dan akan ku mengerti isi nya; Bantu lah aku wahai guru ku.

Wahai guru, setelah aku mendengar keteranganmu, aku sekarang mulai menyadari dan takut akan siksa Allah di Dunia dan Achirat. Terutama saat-saat kematian ku di medan tempur, nanti.

Akan tetapi, ..... Aku sudah terlanjur merasa kecewa, aku dikecewakan oleh banyak manusia-manusia disekelilingku.

Rasa kecewa ku yang mendalam adalah hukum yang tidak adil di Dunia ini !

....... telah membuat aku ..... ( kata-kata nya tidak dilanjutkan).

Baiklah .... akan kucoba untuk melupakan nya. Kucoba untuk aku menjadi Mutaqim, orang suci !

Akan tetapi, situasi politik disekelilingku telah memaksa diriku untuk terus berjuang melawan ketidak adilan di Dunia ini, wahai guru. Jika ku boleh meng-umpamakan, seperti benang kusut, yang sukar di urai dan diluruskan.

Bahkan aku sekarang merasa khawatir akan keselamatan diri ku sendiri, setelah mendengar wejangan mu. Mungkin sekali aku akan kalah didalam peperangan dan aku akan mati ditangan musuh; Dan itu lah ... rupa nya siksa Allah, yang aku takuti di Dunia ini.”

“ Bacalah doa yang sudah kuajarkan, ‘ Innalilahi wa ina illahi Roji’un’

Engkau tidak akan takut menghadapi kematian mu, jika engkau mau melepaskan semua keinginan untuk memiliki; Buanglah keinginan mu untuk memiliki harta benda di Dunia ini, termasuk harta, wanita dan kekuasaan sebagai seorang Raja. Semua itu adalah semu, hanya chayalan belaka. Semua yang engkau miliki itu, adalah pinjaman dari Allah SWT, yang harus engkau kembalikan; Yang harus engkau kembalikan kepada yang empunya, Allah.

Dunia Achirat itu lah, Dunia yang nyata.

Engkau lahir telanjang tanpa membawa harta, maka hendaknya engkau pun akan mati tanpa harta benda yang pernah engkau punyai. Jika engkau masih mengingat-ingat harta itu, maka engkau akan takut mati.

Dengan berlandaskan pemikiran seperti itu, maka engkau akan jauh dari rasa takut, untuk mati didalam peperangan.”

Ario kembali kepada masalah musuh nya, “ Kembali kepada permintaan mu; Apakah aku harus ber doa untuk memintakan ampunan Allah pada musuh ku ? ”

“ Ya hendak nya begitu! Engkau akan merasakan kedamaian didalam dirimu; Sekaligus engkau sedang mengadu kepada Allah akan hal nya sakit hatimu, dengan mengungkapkan nya melalui doa ampunan yang ditujukan kepada orang yang menyakiti hati mu. Hal itu akan dapat mengurai ‘benang kusut’ sebagai per-umpamaan mu.”

Ario Penangsang termangu-manggu mendengar wejangan yang panjang lebar tentang agama.

Sungguh Sunan Kudus sedang bekerja sebagai guru Agama Islam. Sunan Kudus mempunyai kewajiban untuk menyebarkan Agama Tauhid di Nusantara.

“ Baik guru akan kulaksanakan, meminta kan ampunan Allah kepada dia, musuhku sendiri.

Akan tetapi, ........ dia tetap menjadi musuhku; Sukar bagiku untuk meredam dendam-amarah pada diriku.”

Sunan Kudus diam sesaat. Dia sudah berusaha untuk menenangkan amarah anak didik nya, tetapi belum berhasil. Sunan kemudian meneruskan dakwah nya,

“ Mintakan lah ampunan juga untuk ayah mu sendiri; Dan untuk diriku dan juga untuk semua umat muslim di seluruh Dunia. Semoga Allah SWT akan membalas kebaikan mu, wahai anak ku, Ario Penangsang.

Jika engkau tidak sanggup untuk menjadi orang yang cinta damai di Dunia, maka itu menjadi tanggung jawab mu dihadapan Allah.

Akan tetapi, percayalah akan diri ku yang akan membelamu di dalam kepentingan politik mu di Dunia ini, karena engkau benar ada nya. Aku datang dari zajirah Arab memang berniat untuk terjun di dunia politik, disamping menyebarkan agama Tauhid, Islam. ”

Seorang murid santri datang melapor kepada Sunan guru, “ Ada tamu dari Istana, namanya Pangeran Hadiri dan Ratu Kalinyamat; Dengan keperluan untuk menghadap guru.”

Sunan Kudus membuat tanda rahasia kepada Ario Penangsang, yang maksud nya agar Ario bersembunyi. Dengan gerakan cepat Ario Penangsang meninggalkan ruangan dan bersembunyi diruangan yang lain; Tetapi dia bisa mendengar pembicaraan guru dan tamu-tamu nya.

Pangeran Hadiri, Ratu Kalinyamat dan beserta lima orang prajurit pengawal nya, datang menghadap Sunan Kudus di ruang kerja Sunan.

“ Assalammualaikum Warohmatullahi Wabarakatuh, wahai Kanjeng Sunan. Kami datang untuk meminta bantuan Sunan akan hal nya keamanan Kerajaan Demak.” Pangeran Hadiri membuka pembicaraan.

“ Apa yang sudah terjadi ? “ Tanya Sunan; Dia berpura-pura tidak tau.

“ Bukankah Kanjeng Sunan sudah tau ? Bahkan Kanjeng Sunan yang sudah bertindak langsung dengan menghadang Ario Penangsang yang akan menyerang Demak. Untuk tindakan Sunan, kami atas nama Keluarga Kerajaan mengucapkan banyak terimakasih.”

“ Oh betul, seperti itu kejadiannya. Kemudian apa yang harus kulakukan selanjutnya? ”

“ Kanjeng Sunan ! Kami memohon akan pengaruh Sunan kepada Ario Penangsang, untuk sekali lagi, kiranya dapat meredam kemarahannya kepada kita. Dan untuk selanjutnya menarik tentara nya kembali ke barak-barak militer nya di Jipang Panolan.”

Sunan Kudus diam, hening, karena sedang memikirkan jawaban apa yang akan diuraikan di muka tamu nya.

Pada akhirnya dia berkata, “ Sesungguhnya, kemarahan seseorang adalah merupakan hak; Hak dia untuk marah. Ada kalanya dia kemudian bertindak kepada lawan amarah nya; Tetapi ada juga yang hanya sekedar memberi tahu lawan amarah nya, dengan kata-kata yang sopan dan tepat kepada sasaran. Dan selanjutnya kedua nya dapat berdamai.

Semua nya tergantung kepada alasan dia, mengapa dia sampai marah.

Jadi titik permasalahan kita, berkenaan dengan diri Ario Penangsang yang sedang marah, adalah menjawab pertanyaan, mengapa dia menjadi marah ? “

Pangeran Hadiri terdiam tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Dia menoleh kepada istrinya, untuk kiranya dia dapat menjawab pertanyaan Sunan.

Ratu Kalinyamat menjawab, “ Engkau sudah tau, wahai Sunan Kudus ! “

“ Tetapi engkau yang harus mengatakan nya, bukan aku.”

Ratu Kalinyamat dan suaminya terdiam; Mereka tidak mau mengatakan alasan, mengapa Ario Penangsang menjadi marah; Walaupun mereka sudah tau jawabannya.

Karena kedua nya diam terlalu lama, maka Sunan Kudus berkata kembali,

“ Hal ini perlu diungkapkan, karena kita akan menguraikannya dan kemudian mencoba menegakkan keadilan, keadilan bagi Ario dan juga bagi Keluarga Istana. Keadilan itu dapat ditegakkan atas dasar alasan Ario hingga dia marah.”

Ratu Kalinyamat berpikir didalam hati, “ Sungguh Keluarga Trenggono memang berada dipihak yang salah, telah membunuh kakak kandung nya sendiri, untuk merebut kekuasaan sebagai Raja di Kerajaan Demak. Aku tidak dapat mengungkapkan rahasia ini kepada siapa pun. Jadi aku harus bagaimana ? “

Karena para tamunya terdiam kembali, maka Sunan Kudus berkata kembali,

“ Aku akan menguraikan alasan nya, mengapa Ario Penangsang menjadi marah, sepanjang yang aku tau. Jika pada uraian ku ternyata ada hal-hal yang tidak benar menurut pendapat mu, maka engkau boleh menyanggahnya, kemudian aku akan berhenti sampai disitu.

Jika engkau membenarkan, maka kita akan sampai pada fasal menegakkan keadilan didalam perkara ini.

Ketahuilah oleh mu, bahwa seluruh rakyat Demak lah yang telah memberi gelar kepada almarhum Pangeran Kikin, sebagai ‘Pangeran Sekar Seda ing Lepen’. Gelar itu memberi arti bahwa Pangeran bagaikan bunga yang gugur, jatuh ke sungai. Dan gelar itu telah memberi arti yang sesungguhnya, bahwa Pangeran telah dibunuh oleh seseorang, dan mayat nya dibuang ke sungai.

Semua orang sudah tau bahwa pembunuh yang sebenarnya adalah Raja kita, Raja Trenggono. Walaupun ditutup-tutupi agar orang tidak tau, siapa yang berperan dibalik pembunuhan ini, akan tetapi sekali lagi kukatakan semua orang sudah tau. Ini adalah pembunuhan politik guna merebut kekuasaan.”

Ratu Kali nyamat menyanggah, “ Tidak benar ! Tidak ada bukti bahwa ayah ku sebagai pembunuh, tetapi para perampok yang membunuh.”

“ Jika engkau menyanggah, maka uraian ku akan berhenti sampai disini; Aku tidak akan sampai pada fasal menegakkan keadilan.”

“ Jadi, bagaimana selanjutnya ? “

“ Aku tidak dapat membantu kalian; Semua kuserahkan pada kalian dan juga kepada anak ku Adipati Jipang Panolan, Ario Penangsang.”

Ratu Kalinyamat marah besar kepada Sunan Kudus, “ Percuma saja engkau sebagai Panglima Perang Kerajaan; Ternyata engkau hanya lah seekor parasit yang ikut menumpang makan bersama Raja.”

“ Engkau harus mengetahui akan posisi ku, sebagai Sunan Kudus; Seseorang yang harus berpijak pada keadilan, karena aku harus memperjuangkan Agama Tauhid Islam di Nusantara ini.

Jika ku nodai agama ku sendiri dengan tindakan yang tidak adil didalam memutuskan suatu perkara, maka semua orang berbondong-bondong akan menjauhi agama Tauhid, Islam; Maka, gagal lah sudah perjuangan Para Sunan di tanah Jawa ini.”

Pangeran Hadiri memohon pamit, “ Baik lah Kanjeng Sunan, kami mohon diri untuk segera pergi. Ass WW. “

“ Wallaikum Salam “

Maka gagal lah sudah upaya Ratu Kalinyamat beserta seluruh rombongan; Mereka pulang kembali ke Istana Demak dengan tangan hampa. Sungguh benar saran Joko Tingkir yang mengatakan, marilah kita songsong peperangan melawan Jipang Panolan, sama hal nya kita berperang melawan Kerajaan Majapahit atau Blambangan.

Setelah para tamu dari Istana Demak itu benar-benar sudah pergi, maka keluarlah Ario Penangsang dari kamar persembunyiannya. Seketika itu dia berseru,

“ Allah hu Akbar ! Allah hu Akbar ! Allah hu Akbar !

Wahai guru, murid mu mengaturkan banyak terimakasih; Seolah-olah itu lah aku yang berbicara tadi, bukan engkau. Memang itu lah yang ada didalam benak ku, yang harus ku uraikan kepada musuh-musuh ku.

Akan tetapi uraian mu tadi terputus.

Jika Ratu Kalinyamat mengakui semua kesalahan Raja Trenggono, maka bagaimana kah cara nya engkau akan menegakkan keadilan ? “

“ Ya sesuai juga dengan apa yang ada di benak mu; Apa yang engkau kehendaki, yaitu Tachta Kerajaan Demak.

Betulkan itu yang engkau kehendaki ?

Tetapi dalam hal ini, engkau akan mendapatkan nya, melalui keputusan sidang yang adil, tidak melalui jalan tindak kekerasan.”

“ Benar guru, karena kedudukan Raja Demak adalah hak ayah ku, yang akan diwaris kan kepadaku.”

“ Akan tetapi ada pilihan yang lain; Berupa uang pengganti kesalahan Raja Trenggono yang akan kita bicarakan secara adil, berapa jumlah uang yang akan diberikan kepadamu. Namun, engkau harus melupakan Tachta Kerajaan Demak, didalam pilihan yang ini.”

“ Aku akan mematuhi keputusan yang adil dari mu wahai guru. Akan tetapi, kenyata-an nya mereka sudah menolak untuk di adili.

Sesungguhnya aku ingin berdamai dengan mereka, sesuai dengan keputusan yang adil tadi; Bukan suatu tindak kekerasan, seperti peperangan.”

“ Engkau murid ku ! Aku bangga akan engkau, yang sudah menangkap mata pelajaran ku ! “

“ Wahai guru ! Ketahuilah oleh mu, bahwa engkau telah melepaskan aku didalam medan tempur, berhadap hadapan langsung dengan Kerajaan Demak.

Janganlah engkau biarkan aku bertarung, seperti ayam jago-aduan, akan tetapi aku masih tetap akan meminta bantuan mu. Bantu lah aku didalam perjuangan ku, wahai guru !

Akan tetapi, aku hanya memohon doa dari mu, aku akan berjuang sendiri sekarang ini.

Tindakan ku yang pertama adalah menghukum Adipati Jepara dan istrinya; Mereka belum terlalu jauh berlalu, jadi masih dapat kukejar.”

Ario beserta Patih Matuhun dan banyak serdadunya, segera beranjak pergi mengejar Pangeran Hadiri.

Adipati Jepara bersama istri dan juga ke lima pengawalnya, tiba-tiba dihadang oleh banyak pasukan Jipang Panolan.

Tidak ada lagi dialog untuk musuh, maka Pangeran Hadiri menghunus pedangnya . Dia memerintahkan kepada istri dan kelima pengawalnya, “ Pergilah kalian ! Lari ! Lari ! Selamatkan dirimu wahai istriku ! “

“ Bagaimana dengan kanda ? “

“ Biarkan aku sendiri yang akan menghadang mereka, agar engkau dapat melarikan diri.”

Maka terjadi pertempuran yang tidak seimbang, satu melawan banyak serdadu Jipang. Tidak lama kemudian Pangeran Hadiri tewas ditebas pedang musuh.

Namun Ratu Kalinyamat dan ke lima pengawal nya selamat, hingga sampai ke Istana Demak.

Pasukan Jipang Panolan semakin beringas dan sudah tidak sabar untuk kembali menyebrangi Sungai Sore, kemudian menuju ke Istana Demak, guna menghukum Raja Demak.

Akan tetapi, Jika sekiranya Ratu Kalinyamat mau mengakui kesalahan ayah nya, maka pertempuran ini tidak akan terjadi. Sungguh Ario masih bisa meredam kemarahannya, bila musuhnya mau mengadakan pengadilan yang jujur.

Ratu Kalinyamat, sekarang benar menghadapi musibah, berupa kematian suaminya.

Ratu mengutuk Ario Penangsang, “ Terkutuk lah engkau wahai Ario ! Allah akan menghukum engkau nanti, sebentar lagi !

Tidak ada lagi yang dapat kulakukan, selain bertapa untuk memohon keadilan akan tewasnya suamiku ditangan para penjahat itu.”

Khabar akan tewasnya Pangeran Hadiri sudah menyebar luas, dari mulut ke mulut; Joko Tingkir pun sudah mendengar khabar tersebut. Bahkan dia sudah menerima surat dari Ratu Kalinyamat akan permintaannya untuk membalas kan dendam nya pada Ario Penangsang.

Kepada adik ipar ku Joko Tingkir,

Ketahuilah oleh mu, kakak ipar mu sudah kehilangan suami yang tercinta, karena telah dibunuh oleh Ario Penangsang bersama tentara nya. Rasa sakit hati ku hendaknya dapat juga engkau rasakan.

Oleh sebab itu, engkau lah harapan ku dan harapan kita semua, untuk membalaskan sakit hati ku, kepada si Ario.

Salam dari kakak ipar mu

Ratu Kalinyamat.

Surat sudah dibaca, kemudian Joko Tingkir merenung sebentar,

“ Sesungguhnya pertempuran sudah dimaklumkan oleh Ario Penangsang, dengan membunuh Pangeran Hadiri. Medan tempur terlalu luas, bahkan tempat ku untuk belajar Agama Islam di rumah Sunan Kudus, juga termasuk medan tempur.

Oleh sebab itu, Jangan lah rakyat Demak menyebrangi Sungai Sore, karena nyawa nya bisa melayang oleh pasukan Jipang Panolan; Sekalipun mereka datang untuk maksud-maksud damai.”

Seluruh rakyat Demak juga maklum bahwa pertempuran melawan Jipang Panolan, sungguh sudah resmi di mulai; Walaupun belum terjadi pertempuran terbuka.



Bab 11

Belum terjadi pertempuran, disebabkan belum ada perintah komando untuk menyerang dari kedua belah pihak. Akan tetapi hujan panah sering terjadi, apa bila mereka melihat ada pasukan lawan yang kelihatannya mau menyebrangi sungai.

Ratu Kalinyamat puas melihat Joko Tingkir, si adik ipar yang sudah mengambil inisiatif menempatkan pasukannya, “ Matilah kau Ario ! Kau belum melihat adik ipar ku, Joko Tingkir mengamuk dengan segala kepandaian nya dalam ilmu tarungraga.”

Dikarenakan rasa sedih bercampur dengan rasa dendam kepada Ario Penangsang, maka Ratu Kalinyamat banyak ber munajat kehadapan Tuhan YME. Timbul niatan nya untuk pergi menyendiri didalam guha, sesuai dengan tradisi lama, yaitu ber-tapa.

Ratu Kalinyamat kemudian pergi ke suatu guha batu, dan bertapa ditempat itu, guna memohon kepada Yang Maha Kuasa. Dia memohon keadilan.

Cara bertapa nya agak aneh; Dia berendam di air dalam sebuah bejana batu ( kum-kum bahasa Jawa ), dengan tubuh telanjang. Sementara beberapa orang, mengawal di muka guha.

Caranya bertapa yang tidak lazim, membuat adiknya, Ratu Mas Cempaka menjadi sedih. Istri dari Joko Tingkir ini mengutarakan nya kepada suaminya, “ Wahai suamiku, marilah kita tengok kakak yang sedang bertapa. Menurut kabar yang kuterima, dia bertapa dengan cara yang aneh; Hal ini membuat aku sedih. Semua ini dikarenakan dia sungguh menaruh dendam kepada Ario Penangsang yang sudah membunuh suaminya.”

“ Baik lah; Sementara aku meninggalkan pasukan ku, Patih Ki Ageng Pemanahan akan memimpin pasukan ku; Semoga belum terjadi pertempuran.”

Kedua nya berkuda ke arah guha tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Dimuka guha mereka dicegah masuk oleh para pengawal Ratu Kalinyamat.

“ Hamba melarang siapa pun untuk masuk kedalam guha; Demikian perintah Ratu ! “

“ Kalau begitu adanya, tolong katakan bahwa aku adalah Joko Tingkir yang ingin mendengar perintah nya untuk memulai pertempuran. Aku harus mendengar perintah nya langsung dari Ratu.”

Pengawal itu masuk kedalam guha. Tak lama kemudian dia kembali, memberi khabar bahwa Joko dan istrinya di izinkan masuk.

“ Wahai adik-adik ku, aku senang engkau datang ! “

“ Kakak, aku merasa sedih melihat cara kakak ber-tapa seperti ini. Hentikan lah tapa kakak, kita akan berusaha untuk dapat mengalahkan Ario Penangsang” Kata Ratu Mas Cempaka.

“ Aku mendapatkan cara ini setelah aku mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Harus engkau ketahui, bahwa tapa ku ini baru dapat kuselesaikan, setelah si Ario sudah mati. Entah siapa pun yang akan membunuh nya.”

Joko Tingkir berkata, “ Baiklah Kakak ipar, aku akan menyelesaikan tugas ku di medan tempur; Tolong aku di doakan untuk selamat didalam pertempuran.”

Kemudian keduanya pulang kembali ke Istana Pajang. Namun joko kembali kepada pasukannya, siap tempur, karena sewaktu-waktu pasukan Ario bisa masuk menyerbu Kota Demak.

Adapun Raja Demak, Raja Mukmin Prawoto tidak memerintahkan seorang pun serdadu-serdadu nya untuk berperang bersama pasukan Pajang. Mengapa begitu sikap nya ?

Mungkin Raja Demak itu beranggapan bahwa dia tidak merasa bersalah atau berdosa kepada Ario Penangsang; Jadi jika telah terjadi pertempuran, maka itu adalah perang antara Jipang Panolan melawan Pajang, didalam memperebutkan kekuasaan. Sementara Kerajaan Demak tidak ikut campur.

Prawoto masih beranggapan, bahwa pembunuhan yang dulu pernah dia laksanakan, kepada Pangeran Sekar Seda ing Lepen, adalah hasil-kerja nya yang sudah dilaksanakan dengan rapih dan dirahasiakan. Dia masih mengira bahwa tidak akan pernah ada orang yang tau, siapa dalang dibalik pembunuhan itu.

Menurut anggapan Prawoto, Ario belum dan tidak akan pernah tau. Jika Raja Mukmin Prawoto membantu perjuangan Joko Tingkir, maka hal itu justru akan menguak rahasia pembunuhan tersebut. Oleh sebab itu menurut dia, lebih baik diam, dan pura-pura bersih.

Sementara itu di Markas Besar nya, Ario Penangsang telah memberi perintah yang bersifat sangat rahasia untuk membunuh Raja Mukmin Prawoto; Perintah dari Ario kepada bawahannya, tepat nya, kepada agen rahasia nya.

“ Hai Jaranbagus, bawalah lebih dulu keris ‘si Setan Kober’ ini kepada Sunan Kudus, untuk diberi doa dan jampi-jampi; Setelah itu baru engkau langsung ke Istana Demak, ditengah malam. Jangan lupa pada mentera penidur, bacakan dengan khusuk, agar seluruh penghuni Istana tertidur, termasuk Raja.

Mengertikah kau ? Jika ada masalah lain, katakan lah segera ! “

“ Tidak Yang Mulia, semua ada dalam rencana kita; Baik hamba pergi sekarang ! “

Seseorang dengan kuda nya, berlari kearah padepokan Sunan Kudus, ditengah malam. Sesampainya disitu, ternyata Sunan sudah menunggu; Kemudian dia memberi doa dan mentera kepada sebuah senjata, yaitu keris ‘si-Setan Kober’ Dalam hitungan menit, semua sudah selesai menurut rencana.

Sunan Kudus memberi perintah, “ Baik ! Selamat bertugas ! “

Jaranbagus meneruskan perjalanan nya, hingga sampai di Istana Demak, ditengah malam. Keadaan Istana sangat sunyi senyap, disertai hujan rintik-rintik, yang menyebabkan semua orang ingin cepat-cepat pergi tidur.

Dia turun dari kuda nya, kuda dibawa berjalan hingga sampai di hutan kecil, diikat ditempat itu. Semua dilakukan dengan tidak menimbulkan bunyi; Seolah kuda nya pun mengerti akan tugas rahasia nya, maka kuda itu pun tidak meringkik.

Jaranbagus duduk bersila diatas rumput dan kemudian membacakan mentera penidur sebanyak tiga kali. Kemudian dia menunggu selama sepuluh menit, agar semua penghuni Istana dapat tidur nyenyak.

Dengan penuh keyakinan si Jaranbagus melangkahkan kakinya ke pintu gerbang Istana. Dia menghampiri prajurit jaga Istana di depan pintu gerbang; Kemudian dia pegang tangannya untuk mengetahui keadaannya; Ternyata dia sudah tertidur.

Jaranbagus mengambil seluruh kunci-kunci dari saku nya, kemudian membuka pintu gerbang; Alhamdullilah, pintu tidak berderik. Dia terus maju ke pusat Istana dan mencari Kamar Raja.

Ada kamar yang kelihatan istimewa, dikarenakan dekorasi pintu nya dan dinding nya yang indah; Juga ada empat prajurit jaga yang tertidur nyenyak di lantai. Pastilah ini Kamar Raja.

Jaranbagus membuka kamar dengan kunci-kunci yang diambil dari prajurit jaga pertama di pintu gerbang. Sungguh benar dugaannya, semua kunci di satukan dan dipegang oleh orang yang diberi tanggung jawab.

Pintu kamar yang besar dan tinggi, dapat dibuka dengan mudah dan juga tidak menimbulkan bunyi derik. Tampak Raja bersama permaisuri sedang tidur nyenyak. Tidak ada orang ketiga disitu.

Segera Jaranbagus mengeluarkan keris setan kober; keris dihunus kemudian dia melangkah perlahan-lahan, mendekati Raja yang sedang tertidur. Keris diangkat untuk di tikamkan ke dada Raja. Tetapi sayang Raja terbangun dan terkejut.

Segera Raja berteriak sekuat-kuat nya, “ Hai pengawal ! Pengawal ! Pengawal ! “

Jaranbagus berkata, “ Semua pengawal mu dan juga semua orang di Istana ini sudah tertidur nyenyak, kecuali engkau sendiri. Sekalipun engkau berteriak sekuat-kuat nya dimuka istri mu, istrimu pun tidak akan bangun; Apalagi para pengawal mu.”

“ Siapakah engkau ? “

“ Aku adalah utusan Adipati Ario Penangsang, untuk menagih hutang nyawa dari mu. Maka mati lah engkau sekarang ditangan ku.”

“ Jangan engkau bunuh istriku, biar aku sendiri yang mati.” Raja melindungi istrinya dengan tubuh nya.

“ Tidak ada seorang saksi pun yang boleh hidup; Begitu bukan ? Yang engkau ajarkan kepada Ario, agar tidak ada orang yang mau membongkar pembunuhan Pangeran Sekar Seda ing Lepen.? ”

“ Tunggu dulu hai pembunuh ! Jangan lah engkau memakai keris kepunyaanku; Keris yang ada ditanganmu adalah kepunyaanku. Kunamakan si ‘setan kober’. Kembalikan kepadaku ! Pakailah keris kepunyaan mu sendiri.”

“ Tidak ! Keris ini kepunyaan Tuan ku, Adipati Ario Penangsang.”

Segera setan kober ditikamkan ke dada Raja, menembus kebelakang, mengenai juga istri nya yang berteriak-teriak kesakitan. Tetapi tidak ada pengawal Raja yang terbangun.

Jaranbagus gemetar ketakutan, takut sendiri dengan pekerjaannya, maka dia segera pergi berlalu; Akan tetapi si Setan Kober masih tertinggal di dada Raja.

Jaranbagus mengambil kudanya dan kemudian di larikan secepat-cepat nya ke Jipang Panolan. Tidak seorang pun prajurit Demak yang mengejar, karena terhalang oleh gelap nya malam; Juka dikarenakan mereka masih tertidur nyenyak.

Tidak ada orang yang mengira sudah terjadi suatu pembunuhan rahasia atas keluarga Raja di Istana.

Keesokan hari nya, Istana menjadi gempar, sewaktu mendapatkan Raja Mukmin Prawoto bersama istrinya sudah wafat dengan luka tikam; Juga didapatkan sebilah keris yang masih tertancap didada Raja.

Semua Keluarga Kerajaan, handai tolan, staf Istana dan juga jajaran militer, diliputi rasa duka yang mendalam. Berita duka terus menyebar hingga sampai ke Pajang, maka Joko Tingkir dan Ratu Mas Cempaka menjadi maklum.

Berita duka juga sampai ke telinga Ratu Kalinyamat. Ratu sangat marah kepada Ario, hingga hampir saja dia akan membatalkan tapa nya, kemudian mau berperang sendiri menghadapi si Ario. Tetapi para pengawal nya berhasil mendinginkan hati hya.

Ratu Kalinyamat memberi perintah kepada pengawalnya, “ Segera panggil adik ipar ku, si Joko Tingkir, untuk segera menghadap aku disini ! “

Di Markas Besar Milter Jipang Panolan, ramai orang bergembira ria menyambut si Jaran bagus yang telah berhasil membunuh Raja Demak. Ario Penangsang juga begembira dan tertawa-tawa. Jaranbagus di elu-elukan sebagai pahlawan.

Jaranbagus melaporkan, “ Yang Mulia, hamba memohon maaf, dikarenakan hamba telah meninggalkan keris si Setan Kober, di luka Raja. “

“ Tidak mengapa Jaran. Keris itu memang kepunyaan Raja Trenggono, bukan kepunyaan ku. Jadi kita sudah benar, telah mengembalikan keris itu kepada yang empunya.”

“ Akan tetapi, pembunuhan ini menjadi tidak lagi bersifat rahasia.”

“ Tidak mengapa Jaran. Memang sudah tidak menjadi rahasia lagi, bahwa yang membunuh Raja Demak adalah aku, Ario Penangsang.

Kau sebar luaskan berita ini, bahwa Raja Mukmin Prawoto telah mati dibunuh oleh Ario Penangsang.”

“ Paduka ! Aku ingin tau, mengapa keris kepunyaan Raja Mukmin Prawoto ada di tangan paduka ? “

“ Karena keris itu telah dipakai oleh Prawoto untuk membunuh ayahanda ku. Dan kejadiannya sama seperti sekarang, dimana keris itu teringgal, menancap didada ayah ku. Dan ini menjadi alat bukti yang kuat, bahwa pembunuh ayah ku adalah Prawoto.”




Bab 12


Alangkah marahnya Ratu Kalinyamat sewaktu dia menerima berita akan pembunuhan Raja Mukmin Prawoto, yang telah dilaksanakan oleh agen rahasia Jipang Panolan atas suruhan Ario Penangsang. Sudah tentu dia semakin marah kepada Ario Penangsang; Akan tetapi dia juga marah kepada Joko Tingkir yang sudah berlama-lama ditepi Sungai Sore tanpa melakukan pertempuran.

Dia berteriak memanggil prajurit jaga dimuka guha, “ Hai pengawal ! Pengawal ! “

“ Ya kanjeng Ratu ! Hamba datang ! “

“ Panggil si Joko Tingkir menghadap aku, sekarang juga ! “

“ Sekiranya Kanjeng Ratu dapat membuat surat panggilan kepada nya ? “

“ Tidak perlu ! Katakan saja kepada dia untuk segera membunuh Ario Penangsang, karena Ario sudah membunuh Raja kita ! Aku perlu bertemu dengan dia, agar dia mau melaksanakan perintah ku dengan segera ! “

Maka para pengwal itu segera melaksanaka perintah Ratu.

Sesampainya di Istana Pajang, pengawal itu berdatang sembah kepada Raja Hadiwijoyo.

“ Hamba datang atas perintah Ratu Kalinyamat; Datang dengan penuh hormat kehadapan Paduka Raja Hadiwijoyo. “

“ Ada apa ? Apa tugas ku ? “

Ngabehi Wuragil berbisik kepada Raja, “ Ingat ! Engkau adalah seorang Raja ! Jangan bertanya seperti itu ! Tanyakan kepada dia, mana surat dari Ratu mu ! “

Baginda bertanya kembali, “ Mana surat dari Ratu Kalinyamat kepada ku ! “

“ Mohon maaf wahai Paduka, kami tidak membawa surat yang dimaksud. Salahkan lah hamba yang tergesa-gesa dalam tugas ini. Kanjeng Ratu hanya berpesan untuk membalaskan sakit hatinya, karena Raja Mukmin Prawoto dibunuh oleh Ario Penangsang.”

“ Baik lah akan kulaksanaka segera ! “

“ Akan tetapi Paduka Raja diharapkan dapat datang ke guha pertapa-an Kanjeng Ratu Kalinyamat, yang mungkin beliau akan menyampaikan pesan.”

Ngabehi Wuragil kembali berbisik, “ Abaikan saja permintaannya ! “

“ Jangan Wuragil! Dia sedang kalut dan marah, kita harus memaklumi nya.”

Raja bersabda kembali kepada pengawal itu, “ Baik aku akan datang segera ! “

Raja Hadiwijoyo dengan istrinya datang ke guha pertapaan Ratu.

“ Adik mu datang menghadap mu; Apa yang harus kulakukan wahai kakak ku ?.”

“ Hai Joko ! Sudah ku-perintahkan kepada mu, untuk membunuh si Ario ! Tetapi belum juga engkau laksanakan. Hingga dia mendapat kesempatan membunuh kakak kita, Raja Mukmin Prawoto.

Sekarang ! Sekarang ! Sekarang kau bunuh si bangsat itu ! “

Joko menjawab, “ Bagi ku, tidak lah semudah membunuh semut, karena dia mempunyai kesaktian dan mempunyai banyak serdadu yang siap membela diri nya, wahai kakak ipar.“

“ Bukankah engkau juga sudah menempatkan serdadu mu di tepi Sungai Sore ? Tetapi hingga saat ini, belum juga terjadi pertempuran; Apa kerja kau beserta serdadu mu? Apakah engkau sedang ber piknik ditepi sungai ? “

Raja Hadiwijoyo berpikir didalam hati, “ Sekarang dia menyukai kata ‘perang dan pertempuran’ yang sebelumnya selalu dihindari.”

“ Baik kakak ipar, akan kulaksanakan segera ! “

Ratu Mas Cempaka berpesan, “ Jagalah kesehatan kakak, agar selalu sehat ! “ Dia menghawatirkan cara kakak nya bertapa dengan berendam didalam air dingin.

Kedua nya meninggalkan kakak perempuan yang sedang frustasi berat, kemudian marah-marah kepada si Ario Penangsang. Dan juga menjadi marah kepada Joko Tingkir.
Markas Besar Militer Jipang Panolan sibuk kembali untuk kembali merencanakan pembunuhan rahasia ditengah malam. Kali ini sasaran nya adalah Raja Hadiwijoyo. Ario percaya diri dengan pekerjaan nya yang baru, yaitu pembunuhan rahasia. Dia merasa bahwa pekerjaan ini mudah dilaksanakan.

Tugas diberikan kepada Mas Simsim, perwira militer di grup agen rahasia Jipang Panolan.

Dia membawa keris pusaka yang bernama ’si Mata Sembilan’. Mas Simsim juga harus hafal mentera penidur, untuk menidurkan penghuni Istana dan Raja nya.

Seperti biasanya, keris harus dihadapkan kepada Sunan Kudus terlebih dahulu, untuk dibacakan mentera-mentera. Mentera dari Sunan adalah mutlak dan sangat diperlukan.

Ario Penangsang melepas kan prajuritnya, “ Sudah siap kah engkau ? Jika masih ada yang perlu dibicarakan, katakan lah segera ! “

“ Tida ada lagi Yang Mulia. Hamba segera berlalu, karena hamba sudah tidak sabar lagi.”

“ Baik lah, selamat bertugas ! “

Mas Simsim sudah melihat hasil kerja Jaranbagus, maka dia juga ingin memberikan jasa perjuangan nya kepada Negara, seperti yang sudah dicontohkan si Jaranbagus.

Akhirnya dia sampai di Istana Pajang, tempat si Joko Tingkir atau Raja Hadiwijoyo. Akan tetapi Istana masih terang benderang, karena lampu dinding masih dinyalakan, sekalipun sudah hampir mendekati tengah malam.

Didalam Istana nampak Raja sedang berbicara secara kekeluargaan dengan anak nya Pangeran Banawa, Sutawijaya, Ki Wuragil, Mas Manca, Mas Wila, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Banyu Biru, Ki Panjawai dan juga Ki Jurumartani. Sementara banyak perwira militer dan staf Istana yang ikut berkumpul. Mereka berbicara mengenai medan tempur Sungai Sore, tetapi secara santai, karena bukan suatu rapat resmi.

Patih Ki Ageng Pemanahan tidak berada disitu, karena sedang bertugas di garis depan.

“ Aku sudah mengantuk ayah, izin kan aku untuk tidur ! “ Kata Pangeran Banawa.

“ Aku juga demikian. Izinkan aku kembali ke kamar ku ! “ Kata Mas Manca.

“ Aku juga ! “

“ Aku juga ! “

Akhirnya semua yang ada disitu mengantuk untuk segera tidur. Tidak seorang pun yang menyadari bahwa mereka sedang di bacakan mentera penidur, kecuali Raja Hadiwijoyo.

Raja berpikir, “ Tidak biasa nya semua orang serentak mengantuk; Pasti lah ada seseorang yang datang dan berniat jahat.”

Raja mengingatkan, “ Hai hai hai, jangan engkau tidur ! Aku merasa bahwa malam ini ada orang yang sedang mengancam diriku dengan keris nya, untuk membunuh aku. Jadi engkau boleh kembali ke kamar mu, dan ... berpura-pura lah tidur!”

Setelah semua orang kembali ke kamarnya, Raja mematikan lampu-lampu dinding; Maka Istana menjadi gelap. Raja masuk kedalam kamarnya. Istrinya diperintahkan untuk tidur di lantai, bahkan di bawah kolong tempat tidur.

“ Malam ini ada orang jahat yang mau membunuh aku, jadi jangan engkau membuat suara” Kata Raja kepada istrinya.

Joko Tingkir mempersiapkan ilmu kebal nya, ‘Tulang, otot dan kulit mengeras bagai besi’

Mas Simsim segera memulai aksinya; Dia berjalan perlahan mendekati Pintu Gerbang Istana. Kemudian mendekati prajurit jaga pintu gerbang. Ternyata prajurit itu sudah tertidur nyenyak.

Dia mencari kunci-kunci Istana, tetapi sayang dia tidak menemukan satu pun kunci-kunci itu

Maka dia terpaksa memanjat tembok pagar Istana untuk dapat masuk kedalam halaman Istana. Dia maju terus hingga sampai dimuka pintu utama Istana. Ternyata pintu tidak dikunci, mungkin penjaga Istana lupa mengunci atau barangkali memang disengaja tidak dikunci.

Kamar Raja segera dapat ditemukan, karena akan kemewahan dekorasinya. Demikian juga pintu kamar Raja tidak terkunci, dan tidak ada prajurit jaga Istana yang mengawal pintu. Seharusnya prajurit-prajurit itu sedang tertidur nyenyak di muka kamar Raja.

Mas Simsim maju terus, membuka pintu kamar dan dia melihat Raja Hadiwijoyo yang sedang tertidur dengan nyenyak.

Segera keris dihunus dan ditikamkan ke tubuh Raja. Tetapi tubuh Raja sangat keras, sehingga keris tergelincir, meleset. Mas Simsim mengulang kembali tikamannya, kali ini keris nya patah, menjadi dua keping. Raja Hadiwijoyo tetap tidur, tidak terbangun apalagi kesakitan. Alangkah terkejutnya Mas Simsim.

Mas Simsim segera angkat kaki, melangkah keluar kamar Raja. Tetapi Raja sudah ada di muka nya. “ Jangan lah engkau terlalu cepat untuk meninggalkan rumah-ku; Seorang tamu harus bersikap sopan santun ! Bukan kah begitu adat istiadat kita ?

Aku akan membuatkan engkau secangkir kopi, penghangat tubuh mu ! “

Mas Simsim terduduk di muka Raja Hadiwijoyo, mencium kaki Raja yang sakti, “ Ampun wahai Raja yang Agung. Hamba patut dihukum, bunuhlah hamba sekarang. “

Mas Simsim menyadari didalam hati, “ Ya benar sudah tugas ku harus gagal, karena aku lupa datang ke padepokan Sunan Kudus untuk mendapatkan jampi-jampi atas keris ku ini. Ampun...mengapa aku harus lupa ? “

Raja berkata, “ Tidak ! Aku tidak akan membunuh mu, bahkan aku ingin berkawan dengan mu.”

Mas Simsim terkejut bahkan tidak mengerti perkataan Raja. “ Apa ? Ingin berkawan dengan aku ? Ketahuilah bahwa aku adalah musuh mu yang bermaksud jahat kepada mu ! “

Raja berkata, “ Aku tidak pernah mengenal engkau; Bagaimana aku harus memusuhi mu ? Maksud jahat mu adalah urusan mu dengan Tuhan.“

“ Tetapi aku adalah prajurit Ario Penangsang yang sedang berperang melawan engkau, wahai Raja yang sakti. Jadi masalah bunuh membunuh menjadi hal biasa dan diperbolehkan; Tidak ada hubungannya dengan Tuhan.”

“ Aku pun tidak bermusuhan dengan Ario Penangsang; Entah lah kalau dia menganggap aku sebagai musuh nya ? Salam ku kepada junjungan mu ! Katakan kepada dia, bila kita belajar kembali ilmu agama pada Sunan Kudus ? “

Semua penghuni Istana terbangun, karena mereka hanya berpura-pura tidur. Pangeran Banawa membawa tombak dan mendekati sang pembunuh, untuk segera ditombak.

Raja berkata kepada anak nya, “ Tidak perlu anak ku, dia sudah menyerah kepada kita. Sekarang engkau buatkan kopi untuk kita dan tamu kita ini.”

Raja kembali bercakap dengan sipembunuh, “ Hai, siapakah nama mu ? “

“ Mas Simsim.”

“ Baik lah Mas Simsim, istirahat lah dulu sejenak ditempatku. Semua orang disini adalah juga sahabat mu, mereka akan memperlakukan engkau sebagai saudara jauh.”

“ Terimakasih wahai Raja yang Agung.”

Pangeran Banawa datang mendekati sang pembunuh, “ Nampaknya engkau menjadi bingung dan bertanya-tanya didalam hati, setelah ini bagaimana nasib ku, begitu bukan ? ”

“ Sungguh benar wahai anak muda; Tombak lah aku sampai aku mati dengan tombak mu.”

Pangeran Banawa menoleh ke muka ayah nya, seolah bertanya akan kah dia diperbolehkan membunuh si calon pembunuh.

Raja berkata, “ Tidak ! Aku perintahkan kepada semua bawahan ku, untuk menjaga keselamatan seorang tamu, yaitu dia. Jangan ciderai dia ! Bahkan dia harus diperlakukan sebagai tamu terhormat, karena dia adalah utusan Ario Penangsang, yaitu sahabat ku.”

Mas Simsim berkata tanpa beban, karena dia mendapatkan Raja Hadiwijoyo sebagai seorang Raja yang bijaksana dan penuh persahabatan, tidak segalak Ario Penangsang, Raja Nya,

“ Wahai Raja yang Agung, alangkah elok nya apa bila kami tidak berperang melawan Kerajaan Pajang. Kami bertanya-tanya akan maksud tujuan perang ini ?. Bukankah kami seharusnya berperang melawan Kerajaan Demak ? Sepertinya kami salah sasaran didalam menentukan siapa musuh kami.”

“ Seharusnya engkau bertanya akan hal ini kepada Raja mu, Raja Ario Penangsang; Bukan kepada ku ! Engkau sendiri salah sasaran didalam mengutarakan pendapat mu.“

“ Sungguh benar kata-kata mu wahai Raja yang Agung; Akan tetapi kami tidak boleh mengutarakan pendapat kami. Sehingga kami menjadi bimbang didalam peperangan ini.

Seolah-olah Jipang Panolan adalah kepunyaan Ario Penangsang, seorang. Maka seluruh prajurit dan rakyat nya harus patuh kepada dia, tanpa boleh bertanya atau mengutarakan pendapat nya.

Demikian lah kami diperlakukan sebagai benda mati yang dapat digerakan kesana dan kesini.”

Raja bersabda, “ Terimakasih untuk keluh kesah mu, kami disini dapat mengerti akan kemauan politik Raja mu, Ario Penangsang. Kalau lah aku boleh menyampaikan saran kepada Adipati Ario Penangsang, maka katakan kepada beliau, jadilah Raja ! Tidak seorang pun yang akan menolak, untuk dia boleh menyandang gelar Raja.”

“ Itu lah usul Sunan Kudus yang sudah disampaikan pada Ario, ketika kami akan sampai di Demak untuk maksud penyerangan. Sungguh tepat usul mu wahai Raja yang Agung.

Jika dia memazulkan diri nya sendiri menjadi Raja, dan semua Raja-Raja ikut mengakui nya, maka diharapkan akan ada perdamaian, tidak ada peperangan.”

Raja Hadiwijoyo memberi komentar, “ Aku sendiri juga menjadi canggung jika menyebut dia ‘Adipati’. Tetapi, aku tidak ragu-ragu untuk menyebut dia, Raja.”

Setelah di jamu dan diberikan bermacam-macam hadiah kepada Mas Simsim, maka dia diperbolehkan pulang kembali ke Jipang Panolan.

Pangeran Banawa berkata kepada Mas Simsim, “ Hai kawan ! Apakah Ario Penangsang akan memberi hukuman berat kepada mu ? Karena engkau telah gagal didalam melaksanakan tugas mu.? Jika ya, maka sebaiknya engkau tidak perlu pulang, tetapi menetaplah di Pajang; Engkau boleh menjadi prajurit Pajang, mengabdi pada ayah ku, Raja Hadiwijoyo.”

Mas Simsim langsung menjawab, “ Aku mau ! Itu adalah suatu penawaran yang simpatik.

Akan tetapi aku adalah komandan regu pasukan mata-mata Jipang Panolan yang sudah bersumpah untuk mengabdi pada Negara, sekali pun harus mengorbankan nyawa. Jika aku dihukum mati, maka memang sudah seharusnya begitu. Negeriku tetap meneruskan peperangan dengan negeri mu.

Raja bertanya, “ Ada kah kemungkinan engkau tidak dihukum, bahkan diberi penghargaan oleh Ario Penangsang ? ”

“ Jika seperti itu jadinya, maka itu memberi arti akan adanya perdamaian antara dua Kerajaan. Doa kan aku untuk terjadinya kemungkinan yang seperti itu.”

Sesungguhnya, Joko Tingkir menginginkan Ario Penangsang mendapat malu, setelah mendapatkan prajurit mata-mata nya telah gagal dalam menjalankan tugas nya.

Tidak ada khabar selanjutnya nasib Mas Simsim. Kemungkinannya dia sudah dihukum mati oleh atasannya, Raja Ario Penangsang. Hal itu memberi arti, pertempuran tetap diteruskan.




Bab 13


Kerajaan Demak mengalami kemunduran setelah ditinggalkan oleh Raja Trenggono; Banyak daerah jajahannya melepaskan diri. Terlebih lagi setelah Raja Mukmin Prawoto wafat dibunuh oleh Ario Penangsang.

Maka Demak menjadi daerah kecil, yaitu hanya suatu Kadipaten; Anak Sunan Prawoto sebagai Adipati. Pusat pemerintahan berpindah ke Pajang.

Raja Hadiwijoyo mengangkat kawan-kawan seperjuangannya sebagai Menteri; Mas Manca sebagai Patih dengan gelar Patih Mas Mancanegara; Mas Wila dan Ki Wuragil menjadi Menteri dengan gelar Ngabehi.

Raja Hadiwijoyo bercita-cita ingin mengembalikan daerah jajahan Demak ketangan nya kembali. Oleh sebab itu dia mempersiapkan serangan militernya ke Jawa Timur. Target pertama nya adalah Surabaya.

Adipati Surabaya, Panji Wiryakrama sangat menghawatirkan serangan musuh dari empat penjuru angin; Masing-masing adalah, dari timur, serangan Kerajaan Blambangan. Dari Selatan, serangan dari Adipati Madura. Dari barat, serangan dari Kerajaan Pajang.

Oleh sebab itu, Adipati Panji Wiryakrama membentuk persekutuan dengan para Adipati disekitar Surabaya, didalam ‘Persekutuan Adipati Bang-Wetan.’ Diperkirakan persekutuan itu cukup kuat dalam bidang militer untuk menanggulangi serangan dari Kerajaan Pajang.

Dengan berdirinya Persekutuan tersebut, membuat Raja Hadiwijoyo berpikir dua kali untuk menyerang Surabaya; Mungkin penyerangan itu akan mahal, karena banyak seradadu nya yang akan mati; Bahkan, ... kemungkinan Pajang akan kalah.

Raja Hadiwijoyo beruntung dengan adanya gagasan dari seorang petinggi dari Kerajaan Giri Kedaton untuk menyelesaikan perseteruan itu dengan cara damai.

Dia adalah Sunan Prampen dari Kesultanan Giri Kedaton yang menyelenggarakan pertemuan antara Raja Hadiwijoyo dari Pajang dengan para Adipati Bang-Wetan, guna merumuskan suatu perjanjian damai.

Sunan Prampen adalah salah satu Sunan dari sembilan ‘Walisongo’.

Didalam pertemuan itu, Raja Hadiwijoyo berhasil memainkan perannya dalam diplomasi, sehingga dia berhasil menanamkan pengaruhnya di Surabaya, dalam kedamaian. Lebih dari itu, Raja berhasil menjalin rasa kekeluargaan dengan Adipati Panji Wiryakrama, dengan mengambil Adipati sebagai menantu nya.

Dengan cara yang sama, Raja Hadiwijoyo juga berhasil menanamkan pengaruhnya di Madura dan Tuban, secara damai. Adipati di Madura dan juga Adipati Tuban, diambil sebagai menantu.

Maka dengan demikian, Raja Hadiwijoyo dapat menanamkan pengaruh Pajang di tanah Jawa Timur, tanpa peperangan. Semua nya ini dikarenakan hasil kerja Sunan Prampen dari Girikedaton. Sudah sepantasnya Raja Hadiwijoyo datang ke Istana Girikedaton, khusus untuk mengucapkan rasa terimakasih kepada Sunan.

Raja datang ke tempat Sunan Prampen di Girikedaton, tanpa canggung; Bahkan Raja bersedia datang dikarenakan rasa hormat kepada nya, sebagai Uztad agama Islam.

“ Ass WW ! Wahai Kanjeng Sunan yang mulia, hamba datang untuk bersilaturachmi dan ingin berterimakasih atas jerih payah Kanjeng Sunan.

Jika sekiranya kanjeng Sunan tidak hadir dihadapanku, maka sudah terjadi pertempuran antara Pajang melawan Surabaya. Sesungguhnya aku tidak menyukai peperangan.”

“ Walaikum Salam ! Hai Raja yang perkasa, selamat datang di tempat ku ini. Engkau adalah seorang Raja yang perkasa; Ku tandai, karena engkau bermaksud untuk memperluas daerah kekuasaan mu hingga sampai ke Jawa Timur.

Kebanyakan Raja-Raja yang perkasa di Dunia ini, selalu ingin memperluas daerah nya dengan melancarkan serangan ke Kerajaan tetangganya; Betulkah kata-kata ku ini ? “

Pertanyaan Sunan menusuk hati Raja Hadiwijoyo; Bukankah dia telah mengatakan bahwa dia tidak menyukai peperangan ?

“ Hamba mengerti akan kandungan kata-kata Kanjeng Sunan; Karena hamba memang benar akan melancarkan serangan atas Kadipaten Surabaya.

Sementara itu hamba juga sudah mengatakan, bahwa hamba tidak menyukai peperangan.

Jadi hamba meminta maaf atas ketidak cocokan dua kalimat yang hamba ucapkan.”

“ Tidak mengapa ! Suatu pertempuran tidak selalu harus dijauhi. Suatu pertempuran bahkan harus dilaksanakan; Jika tidak, maka Negeri mu akan di jajah oleh para penyerbu.

Tugasku adalah menyebarkan ajaran Islam, Agama Tauhid; Jadi sesungguhnya, aku tidak pantas memberikan nasihat di bidang politik atas seorang Raja yang perkasa, yaitu engkau. Jika aku diperkenankan oleh mu untuk berbicara mengenai politik, maka aku akan katakan.”

“ Ya Sunan! Katakanlah, hamba akan mendengarkan ! “

“ Yang nama nya Politik itu adalah sesuatu yang tidak baik; Sepanjang yang aku tau, dia diartikan dengan perebutan kekuasaan melalui pertempuran antara dua Raja.

Bila salah satu dari Raja itu kalah, maka dia akan dihina, dipenjara atau bahkan dibunuh, walaupun dia sudah menyerah kalah. Sungguh mengerikan !

Tidak saja antara dua Raja dari Kerajaan yang berbeda, tetapi juga antara kakak dan adiknya yang memperebutkan Tacta Raja di Negeri mereka sendiri. Maka serdadu mereka menjadi kacau dan bingung, karena harus saling bunuh, yang kita namakan sebagai ‘Perang Saudara’

Raja membenarkan,“ Benar Sunan; Hal seperti ini sudah pernah terjadi di Kerajaan Demak “

“ Sekarang aku akan meramalkan akan hal nya nasib Kerajaan Pajang di masa akan datang; Bolehkah aku meramalkan nasib Kerajaanmu, wahai Raja yang perkasa ? “

“ Silahkan wahai Kanjeng Sunan, hamba akan mendengarkan.”

“ Ada saatnya, Negeri mu akan diserbu oleh sebuah Kerajaan, dan engkau akan mengalami kekalahan. Kekalahan suatu Kerajaan, tentu nya akan membawa kenyataan yang pahit bagi Raja, Para Menteri, Patih dan seluruh rakyat nya.”

Raja Hadiwijoyo menjadi pucat mukanya dan menetes keringat dingin dari dahinya.

“ Wahai Sunan, katakanlah Kerajaan apa namanya yang berani menyerang Negeri ku ? “

“ Nama nya Kerajaan Mataram .”

“ Dimana letak Kerajaan itu ? “

“ Aku tidak tau ! “

“ Siapa nama Raja nya ? “

“ Aku juga tidak tau ! “



Pada akhirnya Raja Hadiwijoyo meminta diri untuk beranjak pergi dengan hormat.

Sejak saat itu, Raja merasa sedih dan bahkan takut, setelah mendengar ramalan dari Kanjeng Sunan Prampen. Sungguh ramalan yang menakutkan itu menghantui diri Raja Hadiwijoyo.




Bab 14


Kita telah sama mengetahui bahwa anak-anak Ki Ageng Sela sudah menetap di Istana Pajang. Lebih dari itu mereka juga mengharapkan akan mendapat kedudukan yang ‘istimewa’ sebagai pejabat Negara.

Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan, selalu mendapat kebebasan, perhatian dan juga kasih sayang oleh Raja Hadiwijoyo. Walaupun begitu, Pangeran Banawa masih tetap disayang oleh Raja.

Sehingga banyak orang menjadi ragu, siapa sebenarnya Putra Mahkota ? Pangeran Banawa atau kah Sutawijaya? Terdengar kabar secara bisik-bisik, yang mengatakan bahwa ada kemungkinan Sutawijaya sebenarnya adalah Putra Raja, bukan putra Ki Ageng Pemanahan. Itulah sebab nya, Sutawijaya disayang oleh Raja, sama hal nya dengan Pangeran Banawa.

Kembali kepada masalah peperangan melawan Jipang Panolan yang belum usai pada saat itu; Maka Raja Hadiwijoyo membuka rapat perang untuk segera menyelesaikan peperangan.

Raja bersabda, “ Terimakasih anda telah datang didalam rapat perang ini. Kita akan membicarakan rencana pembunuhan atas diri Ario Penangsang, guna menyelesaikan perang.

Aku telah mendapat tugas dari Ratu Kalinyamat untuk segera menyudahi pertempuran yang selalu tertunda ini. Aku tau kalian sudah bosan dengan situasi peperangan di tepi Sungai Sore. Sungguh benar perkataan Ratu Kalinyamat, yang memberi perintah kepada ku untuk segera membunuh Ario Penangsang.”



Ki Ageng Pemanahan memberi saran, “ Kita sudah mulai bosan, Paduka ! Maka aku memberi saran untuk kita menyebrangi sungai ini dan kemudian kita bertempur habis-habisan. Kami sudak siap Paduka. Kami sedang menunggu perintah Paduka ! “

“ Engkau benar Pemanahan ! Salahkan lah aku, bila engkau menunggu komando dari aku !

Jadi masalah nya ada pada diriku, mengapa aku tidak memberi perintah ‘serang’. Mengapa ? Itulah pertanyaan dari kalian untuk aku segera menjawabnya.

Dikarenakan aku mempunyai alasan pribadi akan diri Raja Ario Penangsang. Sesungguhnya dia adalah sahabat ku; Kami berdua pernah satu kelas, didalam kelas Sunan Kudus, untuk belajar Agama Islam; Bahkan hingga saat kini.

Bagaimana aku harus membunuh seorang sahabat ?

Aku merasa lemah untuk menggerakan keris ku, untuk membunuh Ario. Karena aku selalu membayangkan dirinya, Ario Penangsang yang selalu dekat di hati ku.

Oleh sebab itu lah, aku memohon bantuan kalian untuk mau membunuh Ario Penangsang, untuk aku.

Selanjutnya, aku menyelenggarakan sayembara, barang siapa yang dapat membunuh Ario Penangsang, akan ku beri hadiah. Hadiah yang sangat menarik, sungguh istimewa ! “

Anak dan cucu dari Ki Ageng Sela sangat ber ambisi untuk mendapatkan hadiah. Mereka adalah Ki Ageng Pemanahan, Ki Panjawi, Ki Juru Martani dan tidak ketinggalan Sutawijaya.

Mereka yang berambisi itu, sibuk mengatur siasat untuk segera menyelesaikan pertempuran. Ki Ageng Pemanahan mengutarakan siasat nya ,

“ Ario Penangsang akan mudah dibunuh, apa bila dia dapat keluar dari sarangnya, tanpa pengawal dan berdiri seorang diri di lapangan terbuka. Kita akan hujani dia dengan anak panah keseluruh tubuhnya; Dia pasti akan menemui ajal nya. Nah pikirkan lah ! Bagaimana caranya ? “




Ki juru Martani, adik ipar dari Ki Ageng Pemanahan, mengungkapkan, “ Aku pernah melihat orang sedang mengambil rumput untuk makanan ternak, tidak jauh dari kem kita. Dia kelihatan nya tidak takut akan situasi peperangan; Memang menjadi hak dia untuk tidak ambil pusing dengan situasi peperangan.

Setelah ku amati ber hari-hari, ternyata dia menyebrangi sungai dengan hasil rumputnya; Berarti, dia adalah warga Jipang Panolan, bahkan mungkin dia adalah pasukan mata-mata musuh. Mungkin dia berpura-pura sebagai tukang rumput, pengurus binatang piaraan.

Marilah kita tangkap dia sebagai prajurit musuh yang berani me mata-matai kita ! “

Pendek cerita, maka ke empat perwira militer Pajang itu segera menangkap si pencari rumput. Dia bernama Ki Ageng Panolan; Bekerja sebagai pemelihara Kuda Raja Ario Penangsang, si Gagak Rimang. Jadi, dia adalah pegawai Istana Ario Penangsang. Kuda si Gagak Rimang adalah kendaraan yang penting buat Raja; Maka Ki Ageng Panolan juga orang penting buat Raja Ario.

Ki Ageng Pemanahan memberi saran yang jitu, “ Marilah kita buat Ario menjadi marah, semarah-marah nya dia; Sehingga jalan pikirannya dan juga tindakannya menjadi kacau, tidak sesuai dengan nalar.

Kita potong telinga si pencari rumput itu, dan kita suruh dia melaporkan keadaannya kepada junjungannya. Kita sertakan secarik surat tantangan, untuk Ario mau ber perang satu lawan satu melawan Joko Tingkir.

Jika Ario tidak mau berkelahi, maka dia sebaiknya memakai pakaian perempuan dan memasak di dapur.”

Semua orang setuju, bahkan beberapa orang memuji gagasan cemelang dari Ki Ageng Pemanahan.

Kijuru martani bertanya, “ Kalau si pencari rumput itu tidak mau melaksanakan perintah kita, .... lalu bagaimana ? “

Ki Ageng Pemanahan memberi saran, “ Kita ancam dia, dengan hukuman mati dikarenakan dia adalah pasukan mata-mata.”

Sementara itu Ki Ageng Panolan sangat takut akan dibunuh; Dia memohon untuk di maafkan, “ Ampun Raden ! Ampun Raden ! Aku berjanji untuk tidak akan lagi mengambil rumput di halaman nya Raden. Tetapi jangan lah aku dibunuh.”

“ Tidak ! Kami tidak akan membunuh mu, hanya sedikit membuat luka ditelinga mu. Dan sampaikan lah surat kami kepada junjungan mu, Raja Ario Penangsang.

Telinga mu yang sudah ku potong, itu hanyalah bahan untuk membuat laporan kepada junjungan kami, Joko Tingkir, bahwa kami sudah membunuh tentara musuh yang datang menyelinap sebagai mata-mata; Dikarenakan Joko Tingkir tidak mau melihat mayat mu.”

“ Jadi engkau benar-benar akan membunuh ku ? Kalian memang tentara yang sadis ! “

“ Ya memang benar itulah pertempuran. Kecuali engkau mau menyampaikan surat kami kepada Rajamu, Raja Ario Penangsang. Maukah engkau menyampaikan surat kami ? “

“ Ya, aku mau ! Tapi janganlah aku dibunuh ! Aku tidak ikut campur didalam peperangan yang kalian sedang laksanakan.”

Segera Sutawijaya memotong telinga kanan Ki Ageng Panolan. Kuping itu dimasukan kedalam amplop; Dan bersama itu, diberikan juga surat yang berisi tantangan berkelahi.

Bunyi surat itu adalah sebagi berikut,

Hai Ario !

Aku, si Joko Tingkir menantang engkau untuk berkelahi, satu lawan satu di tepi Sungai Sore. Jika engkau tidak datang hingga malam tiba, maka berarti engkau adalah seorang pengecut. Sebaiknya engkau memakai kebaya dan memasak di adapur, seperti seorang wanita.

Jangan engkau membawa serdadu, karena kita akan berkelahi satu lawan satu secara adil. Sampai jumpa di tepi Sungai Sore.

Aku si Joko Tingkir.

Sementara itu, Ario Penangsang sedang makan siang, ketika terdengar orang yang menjerit-jerit kesakitan. Dia adalah Ki Ageng Panolan, si pencari rumput.

“ Raden ! Raden ! Waduh sakit nya. Telinga ku telah dipotong oleh tentara Pajang. Ini ada surat buat Raden dan juga ini telinga kanan ku yang disuruh menyerahkan kepada mu.”

Ario Penangsang terpaksa menunda makan siang nya. Dia bangkit dari kursi nya dan mendapatkan bawahannya.

Surat diterima oleh Ario dan segera dibaca.

Tampak muka nya menjadi merah padam, dia marah besar kepada si Joko Tingkir; Hilang sudah rasa persahabatannya dengan si Joko, seketika.

“ Kurang ajar kau Joko ! Apakah engkau tidak bercermin, siapa sesungguh nya engkau ini ? Engkau hanyalah anak desa yang kebetulan bernasib baik. Apa dikira aku takut untuk menghadapi engkau ? Akan kuperlihatkan kesaktian ku kepada engkau ! “

Dia sudahi makan siang yang belum selesai. Dia bangkit dan mempersiapkan semua senjatanya, seperti keris, tombak dan pedang. Kemudian dia memerintahkan untuk mempersiapkan kudanya, si Gagak Rimang.

Dia lebih banyak diam, tanda kemarahan yang memuncak; Terlebih sewaktu mendapatkan agen rahasianya gagal membunuh Jokjo Tingkir, bahkan telah mempermalukan dirinya.

Tanpa memberi pesan, dia pergi sendiri ke Sungai Sore untuk memenuhi tantangan dari Joko Tingkir.

Dia berpikir, “ Raja palsu ! Habis lah sudah riwayat mu di tangan ku. Engkau seenaknya mengaku-ngaku sebagai seorang Raja. Aku yang seharusnya menjadi Raja, tidak bertindak berlebihan seperti dirimu, wahai Joko ! Kurang ajar kau ! Mati lah kau ! “

Dia sampai ditepi SungaI Sore, tanpa seorang serdadu pun yang mengawal; Karena dia membaca surat tantangan yang mengatakan bahwa perkelahian itu ‘satu lawan satu’ Yang berarti tidak ada kawan si Joko disamping nya.

Akan tetapi, sesungguhnya surat itu adalah palsu; Joko Tingkir tidak pernah membuat surat tantangan, bahkan diri nya tidak tau apa yang sedang terjadi di garis depan medan tempur. Bukankah sayembara ini harus dimenangkan dengan cara apa pun.?

Ario hanya melihat Ki Ageng Pemanahan sedang berdiri ditepi sungai, memberi salam dengan mengangkat tangannya. Sementara para serdadu bawahan Ki Ageng Pemanahan bersembunyi dibelakang batu-batu karang, tidak terlihat oleh Ario.

Ario Penangsang penuh percaya diri menyebrangi sungai. Tak berapa lama kemudian, Patih Matuhun disertai banyak serdadu Jipang Panolan berlari-lari di belakang Ario.

Patih Matuhun berteriak, “ Ario ! Ario ! Ario ! Mundur ! Mundur ! Mundur ! Jangan engkau ladeni tantangan ini ! Ini suatu jebakan untuk mencelakakan Raden ! Percaya lah kepada ku !“

Tetapi sudah terlambat. Ario Penangsang di hujani oleh ratusan anak panah dari tentara Pajang. Keadaan Ario sangat mengchawatirkan, nyawanya sudah hampir dijemput oleh Malaikat Maud. Ario tidak sanggup lagi untuk berkelahi, karena puluhan anak panah telah menembus tubuhnya yang membuat banyak perdarahan.

Tak lama kemudian Sutawijaya turun ke sungai bersama kudanya menghampiri Ario; Kemudian menusukan kerisnya berkali-kali keperut Ario. Usus Ario terburai keluar. Ario jatuh dari kudanya, masuk kedalam sangai. Nasib Ario sama seperti nasib ayah nya; Yang juga terjadi disungai yang sama, Sungai Sore.

Sutawijaya segera menyingkir ke tepi sungai. Tak berapa lama kemudian, Patih Matuhun datang untuk mengambil jenazah Raja Ario Penangsang, dengan penuh keduka-an, bersama banyak prajurit Jipang Panolan.

Patih berteriak-teriak, “ Raden ! Raden ! Sudah kukatakan ini adalah jebakan, tetapi engkau tidak mau percaya !

Hai Joko engkau curang ! Awas kau ! “

Tamat lah riwayat Ario Penangsang.

Sesungguhnya dia sudah mempunyai rasa takut, takut akan kematian, yang pernah diungkapkan nya kepada Sunan Kudus, guru nya. Akan tetapi pada saat-saat terakhir, dia menjadi berani, tidak takut mati, karena emosinya terbakar karena marah.

“ Guru, sesungguhnya aku takut mati didalam pertempuran nanti, akan dibunuh oleh musuh-musuh ku. Bagaimana cara nya untuk menghilangkan rasa takut ini ? “

Sunan Kudus menjawab, “ Hilangkan lah rasa memiliki dan ingin memiliki; Memiliki harta, wanita dan kekuasaan, kekuasaan ingin menjadi Raja. Innalilahi wa inna illahi Roji’un. Ketahuilah bahwa semua yang engkau miliki di Dunia ini, adalah barang pinjaman. Maka kembalikan lah kepada yang empunya, Allah SWT. ”

Demikian nasihat Sunan Kudus kepada muridnya, agar Ario berani menghadapi maud.

Raja Hadiwijoyo sedang mendengarkan laporan Ki Ageng Pemanahan, hal nya kematian Ario Penangsang. Raja sangat puas dengan isi laporan itu.

Raja mengucapkan pidato singkat, tanda rasa terimakasih, “ Aku menghargai engkau yangb telah melaksanaka perintahku; Yaitu membunuh Ario Penangsang. Walaupun tindakan mu itu bersifat curang, tetapi aku tetap menghargai jasa mu. Segala cara boleh kalian laksanakan didalam tugas yang satu ini.”

Setelah mendengar,mempelajari dan merundingkan akan situasi pertempuran, Raja mengumumkan kemenangan pasukannya.

“ Walaupun kita telah memaklumkan kemenangan ini, akan tetapi kita tau bahwa pertempuran belum dihentikan. Apa bila tentara Jipang Panolan mengundurkan diri, maka kita pun akan menarik seluruh pasukan kita; Dan perdamaian sudah boleh dikatakan tercapai.”

Semua yang hadir bertepuk tangan karena gembira.

Sementara itu mereka yang berjasa, menunggu dengan harap-cemas akan hadiah yang akan diberikan oleh Raja kepada mereka; Semoga Raja tidak lupa akan janji nya.

Ki Wuragil mendekati Joko Tingkir dan membisikan ketelinga nya, “ Joko, aku ingatkan akan janji mu akan tanah Pati dan tanah hutan Mentaok yang harus engkau serahkan kepada mereka yang berjasa, sebagai hadiah.”

Joko Tingkir meng-angguk-anggukan kepalanya, tanda mengerti.

Tak lama kemudian Raja memutuskan akan hadiah yang dijanjikan itu,

“ Aku tak akan lupa akan janjiku untuk memberi hadiah kepada mereka yang berjasa. Maka pada kesempatan ini aku serahkan tanah hutan Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan; Dan tanah Pati kepada Ki Panjawi.

Maka Ki Panjawi sekarang ini menjabat jabatan Bupati Pati.

Dan engkau Ki Ageng Pemanahan, masih tetap sebagai Perwira militer Kerajaan Pajang, dikarenakan tanah yang berhutan itu, harus dibangun lebih dahulu; Untuk kemudian bisa dihuni oleh manusia. Aku memberi dorongan semangat kepada mu, untuk membangun hutan Mentaok. Bangun lah daerah tertinggal, jangan engkau berputus asa. “

Ki Ageng Pemanahan merasa kecewa, karena dia hanya mendapat tanah hutan yang tidak ada guna nya. Dia merasa iri hati dengan Ki Panjawi yang menjadi seorang Bupati.

Semua yang hadir bertepuk tangan, atas hadiah yang menarik, telah diserahkan oleh Raja.

Ki Wuragil mendekati Ki Ageng Pemanahan, “ Hai mengapa engkau diam saja ? Tidak juga engkau bertepuk tangan, sekalipun engkau sudah mendapat hadiah.? “

Ki Ageng Pemanahan beserta Sutawijaya beranjak, mendekati kaki Raja dan kemudian mencium kaki Raja, “ Wahai Raja yang bijak, kami berdua mengucapkan banyak terimakasih atas hadiah yang menarik itu. “

“ Terimakasih atas ucapan mu. Aku mengharapkan kerja kerasmu untuk membangun hutan Mentaok menjadi pemukiman manusia.”

“ Baik yang Mulia, akan kami laksanakan.”

Ki Ageng Pemanahan berpura-pura bahagia, tetapi sebenarnya tidak; Bahkan dia iri hati dengan Ki Panjawi yang sudah menjadi Bupati di Pati.

Karena merasa kecewa dengan hadiah Raja yang tidak ada gunanya itu, maka Ki Ageng Pemanahan beserta anak nya bermaksud meminta nasehat kakek nya, Ki Ageng Sela.

Ki Ageng Pemanahan beserta anaknya, Sutawijaya datang ke Padepokan Ki Ageng Sela, kakek nya, untuk ‘sowan’ dan juga akan meminta petunjuk dari sang Kakek.

“ Ayahanda Ageng Sela, kami beserta cucu datang untuk sowan kepada ayah; Kami dalam keadaan sehat-sehat saja; Kami memohon doa restu dari ayahku, dan juga kakek nya Sutawijaya.”

“ Wahai cucu dan anak ku ! Aku pun demikian !

Aku merasa gembira karena cita-cita ku akan engkau, untuk menjadi seorang Pemimpin rakyat sudah hampir terkabul oleh Allah SWT.”

Ki Ageng Pemanahan melihat anak nya dan kedua nya saling pandang, “ Wahai ayah ! Kami belum menjadi seorang pemimpin yang seperti di cita-citakan oleh ayah. Kami masih sebagai seorang prajurit; Prajuritnya nya Raja Hadiwijoyo, atau si Joko Tingkir, yang pernah menjadi muridnya ayah.”

“ Ya sebentar lagi, engkau akan menjadi pemimpin...percayalah pada ku ! “

Ki Ageng Pemanahan dan anak nya terdiam, berpikir apa keistimewaan dia sehingga dapat menjadi seorang pemimpin masyarakat. Dia belum mau percaya keterangan ayah nya.

“ Ayah, kami berdua hanya dapat mengucapkan ‘AMIN’ semoga Allah mendengar kata-kata ayah, yang juga merupakan doa yang dipanjatkan kehadapan Tuhan, untuk anak dan cucu nya.

Ayah, kami akan mengalihkan pokok pem-bicaraan; Yaitu mengenai hadiah tanah Mentaok dari Raja Hadiwijoyo.

Untuk apa tanah hutan se-luas itu, ayah ? Berilah kami petunjuk untuk memanfaatkan nya. “

“ Engkau ini terlalu picik, ..... bukankah itu berarti, Raja menginginkan engkau untuk menjadi Raja seperti dia.? Tanah yang sangat luas, sekalipun berupa hutan, adalah daerah kekuasaan mu. Mengertikah engkau ?

Maka aku berkesimpulan, bahwa Raja Hadiwijoyo sesungguhnya menghendaki engkau untuk menjadi Raja. Semua nya itu, adalah permulaan dari karier mu; Sesuai dengan cita-cita ku, untuk cucu ku atau cucu-buyut ku, akan menjadi Raja; Kelak dikemudian hari. “

Mendengar keterangan kakek nya, Ki Ageng Pemanahan dan anak nya kaget dan sekaligus kagum akan pandangan yang luas pada diri ayah nya dan juga kakek nya Sutawijaya.

“ Akan tetapi, didaerah itu tidak ada orang yang tinggal, hanya ada monyet dan kijang dan juga banteng. “

“ Ada... Aku mengatakan ada ! Bahkan banyak sekali orang yang tinggal disitu.

Ketahuilah oleh mu, daerah itu adalah daerah yang padat penduduk, karena sebagai pusat Pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno, kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Medang; Sebelum menjadi hutan belantara.

Sewaktu jaya nya Kerajaan Mataram itu, Gunung Merapi meletus, sehingga penduduk beserta Raja dan juga Para Menterinya berpindah tempat, ke Jawa Timur.

Daerah itu ditinggalkan oleh mereka, yang kemudian menjadi hutan belantara; Tetapi bukan berarti tidak ada orang yang tinggal disitu.

Kesimpulan ku, .... engkau sekarang ini sudah hampir menjadi Raja; Dan engkau Sutawijaya, adalah Putra Mahkota. Dikarenakan engkau sudah mempunyai daerah kekuasaan dan juga rakyat yang ada disitu. Dan Surat Keputusan dari seorang Raja yang berpengaruh, sudah ada ditangan mu. “

“ Apa yang harus kulakukan selanjut nya, ayah ? “

“ Berhentilah menjadi prajurit Pajang secara baik-baik; Kemudian bawalah mereka yang mau membantu mu untuk membangun Mentaok.”

Sutawijaya berkata kepada kakek nya, “ Baik Eyang ! Aku sekarang mempunyai semangat dan cita-cita, setelah mendengar petuah Eyang. Panjatkanlah doa kepada Gusti Allah untuk kerja kami Eyang.”

Ki Ageng Sela ber doa, “ Ya Allah yang Maha Kaya, Maha Perkasa dan juga Maha pemberi Rezeki; Aku Sela, memanjatkan doa ke hadiratMu, agar anak dan cucu ku mendapat Rachmat dan Hidayah dari Mu, dan berhasil membangun Hutan Mentaok menjadi pemukiman masyarakat yang insya Allah akan mendapat nama ‘Mataram’ seperti sedia kala.”

Ki Ageng Sela berpesan kepada anak dan cucu nya, “ Nah, setelah engkau berhasil, janganlah engkau lupakan Raja Hadiwijoyo; Tetaplah mengadakan hubungan silaturachmi kepada Raja. Bahkan Mataram tetaplah dibawah perlindungan Pajang. Ingatlah pesan ku ini ! “




Bab 15


Ki Ageng Pemanahan mengutarakan niatnya untuk pindah ke hutan Mentaok kepada istrinya dan kepada seluruh keluarganya, sahabat-sahabat nya, juga kepada anak buahnya. Ki Ageng Pemanahan menawarkan kepada mereka kehidupan baru di tanah yang men-janji-kan, bagi mereka yang mau mengikuti jejaknya, untuk pindah ke selatan.

Ternyata banyak orang yang setuju dengan tawarannya; Mereka mau ikut dalam satu rombongan, pergi kearah selatan, melewati lereng Gunung Merapi yang pernah meletus.

Rombongan sampai ke hutan lebat, Hutan Mentaok. Tidak ada jalan raya disitu; Hanya tanah rawa dan hutan yang rapat. Maka mereka bekerja keras menebang pohon dan membuat jalan setapak.

Dilereng Gunung Merapi, tanah yang miring itu agak gundul, sehingga mudah untuk dilalui. Disitu mereka mendapatkan Candi Hindu yang dinamakan Candi Prambanan.

Dipinggir hutan itu ada rumah kepunyaan Ki Ageng Lo; Dia orang yang baik hati dan ramah.

Setelah berjalan beberapa hari, mereka melihat sebuah rumah; Sungguh menakjubkan, bagaimana sebuah rumah berada ditempat yang terpencil.

Itulah Rumah Ki Ageng Lo.

Sudah lama rumah Ki Ageng Lo menjadi tempat persinggahan bagi mereka yang sedang melakukan perjalanan, dan perlu beristirahat. Oleh sebab itu lah Ki Ageng Lo menjadi orang yang dikenal oleh para pelancong.

Ki Ageng Pemanahan berkenalan dengan nya dan menumpang beristirahat. Lo adalah nama semacam pohon besar dan rindang yang tumbuh di muka rumahnya; Maka banyak orang memanggil dia dengan panggilan Ki Ageng Lo. Nama sebenarnya tidak banyak orang yang mengetahui.

Istri dan anak-anak Ki Ageng Lo bergairah menyambut kedatangan tamu-tamu mereka; Bahkan Istri nya sengaja membuat hidangan makan siang untuk seluruh rombongan.

Ki Ageng Lo bergairah menyambut mereka, dikarenakan dia percaya bahwa Ki Ageng Pemanahan adalah benar seorang pembesar Kerajaan Pajang; Dia yakin bahwa orang ini akan mau dan sanggup untuk membangun kembali Kerajaan Mataram Hindu yang sudah terkubur lahar Merapi.

Ki Ageng Lo memberi sambutan, “ Selamat datang wahai pembesar Kerajaan ! Kami sekeluarga senang dikunjungi oleh kalian. Doa ku selalu, agar daerah Mataram ini akan kembali menjadi makmur seperti dulu.”

Ki Ageng Pemanahan menjawab, “ Terimaksih wahai sahabat ku, Ki Ageng Lo.

Akan tetapi ada kata-kata mu yang aku baru mendengarnya, yaitu ‘Mataram’.

Apa katamu ? Engkau menyebut daerah ini Mataram ?

Sepanjang pengetahuan ku, nama daerah ini adalah Hutan Mentaok.”

“ Hutan Mentaok adalah suatu nama ejek-an, dikarenakan Kerajaan Mataram Hindu yang pernah jaya, sekarang hilang terkubur oleh lahar Gunung Merapi. Kemudian menjadi hutan.

Akan tetapi cucu dan cucu-buyut dari rakyat Mataram masih ada disini,.... yaitu aku.

Aku, keluarga ku, kawan-kawan ku, cucu-buyut para prajurit Mataram Hindu dan juga masih banyak para petani yang kembali lagi ke tanah pusaka mereka di tepi lereng Gunung Merapi. Mereka semua siap ,membangun kembali Kerajaan Mataram Kuno,....... bersama engkau, wahai Ki Ageng Pemanahan ! Aku berharap akan engkau untuk membantu kami.

Jaya lah Mataram ! Jaya lah Kerajaan Mataram ! Hidup lah Kerajaan Mataram ! “

Ki Ageng Pemanahan menambahkan, “ Sungguh mengagumkan ! Bahkan Raja kami, Raja Hadiwijoyo tidak pernah mengetahui bahwa didaerah ini pernah ada suatu Kerajaan yang bernama Mataram.

Sesungguhnya kami datang dengan membawa maksud dan cita-cita; Yaitu mendirikan pemukiman penduduk, di daerah mu itu, wahai Ki Ageng Lo. Aku meminta izin dari mu, sekarang ini ! Jadi, sesungguhnya kita mempunyai satu tujuan.

Walaupun aku sudah membawa surat dari Raja Pajang; Yaitu surat penetapan tanah Hutan Mentaok sebagai hadiah dari Raja untuk ku. Tetapi, lebih dari itu, engkau pun ikut mendorong niatku, untuk ikut membangun Mataram Kuno.

Betulkah seperti itu kehendak mu ? “

“ Sudah pasti ! Niat ku lebih dari sekedar membangun pemukiman penduduk, akan tetapi membangun kembali sebuah Kerajaan yang terkubur lahar Gunung Merapi.

Aku akan mengerahkan kawan-kawan ku untuk bekerja membangun daerah ini, menjadi sebuah Kerajaan, yaitu Kerajaan Mataram Hindu.”

Kemudian mereka makan siang bersama, dengan hidangan “ Nasi Menir ” yang dimasak oleh istri Ki Ageng Lo. Mereka makan bersama, penuh rasa kekeluargaan dan persahabatan.

Ki Ageng Pemanahan bertanya, “ Dimana kita memulai pembangunan itu ? “

“ Kita akan membangun kembali Kerajaan Mataram, tepat di Istana lama, yang telah lama terkubur. Besok kita akan pergi ke arah selatan, bersama-sama. Kita akan mencari Istana Mataram yang terkubur itu.”

Pemanahan mengusulkan, “ Kerajaan Mataram.... Jika nama itu yang engkau sukai, maka Kerajaan yang akan kita bangun juga kita akan namakan Mataram. Setujukah engkau ? ”

Ki Ageng Lo sangat setuju, “ Ya benar, aku menghendaki nama itu dipakai kembali. Dan engkau adalah pemimpin kami, Raja kami, Raja Mataram ! “

“ Apa ? Aku sebagai Raja ? Oh tidak.... tidak ..... Aku tidak sanggup menjadi Raja !“

“ Mengapa tidak ? Engkau orang yang pertama mempunyai niatan untuk membangun kembali Kerajaan lama Mataram, berarti juga engkau adalah Raja kami “ Kata Ki Ageng Lo ber api-api.

Ki Ageng Pemanahan berpikir didalam hati, mengenang perkataan kakek nya, Ki Ageng Sela, “ Engkau adalah pemimpin masyarakat; Engkau adalah Raja dan anak mu adalah Putra Mahkota. Cita-cita ku akan cucu buyut ku menjadi Raja, ..... terkabul sudah ! “

Akan tetapi Ki Ageng Pemanahan tidak siap untuk menjadi Raja; Tidaklah mudah untuk seseorang menjadi Raja. Akhirnya Ki Ageng Pemanahan menolak,

“ Serasa aku tidak sanggup untuk menjadi Raja, wahai sahabatku Ki Ageng Lo. ! Apakah dirimu mempunyai mandat untuk mengangkat seseorang menjadi Raja Mataram ?”

“ Ya, aku mempunyai mandat yang engkau maksudkan; Karena aku adalah Tetua Masyarakat Mataram Kuno. Rumahku adalah tempat masyarakat Hindu Mataram untuk singgah dan istirahat, dari melepaskan penat perjalanan mereka, dari Jawa Timur. Mereka datang kembali ke tanah leluhurnya untuk membangun kembali Kerajaan Mataram yang pernah Jaya, dulu.

Dimuka rumahku telah tumbuh subur sebatang pohon, yaitu pohon “LO”. Pohon itu sebagai tanda akan rumahku, untuk disinggahi. Maka mereka memanggil aku dengan nama Ki Ageng Lo.

Baiklah, Jika engkau tidak sanggup, maka anak mu yang akan ku angkat menjadi Raja kami. Sesungguhnya kami benar-benar memerlukan seorang Pemimpin.”

Ki Ageng Pemanahan memandang Sutawijaya dan kemudian bertanya kepada anaknya,

“ Wahai anakku Sutawijaya ! Maukah engkau menjadi Raja di Kerajaan Mataram ini ? “

“ Ayah ! Semoga engkau tidak sedang ber- gurau; Betulkah penawaran mu itu ? “

Ki Ageng Pemanahan memandang Ki Ageng Lo, seolah-olah meminta Ki Ageng Lo untuk meminta nya kepada Sutawijaya secara langsung. Ki Ageng Lo mengerti akan isyarat itu.

Ki Ageng Lo meminta langsung kepada Sutawijaya, “ Wahai Sutawijaya, aku yang meminta engkau menjadi Raja kami. Aku dan seluruh masyarakat Mataram Hindu Kuno yang sudah pulang ke tanah leluhurnya, meminta engkau untuk menjadi Raja kami.”

“ Apakah aku sudah pantas menjadi Raja kalian ? “

“ Ya sudah pantas. Jika engkau tidak mau, maka siapa lagi yang akan memimpin kami?

Kami dahulu bersatu dibawah Raja kami, tetapi sekarang porak poranda dikarenakan letusan Gunung Merapi. Sekarang kami sudah kembali berkumpul, kemudian menunggu se-seorang yang akan mengatur kami untuk memulai bekerja, membangun kembali Kerajaan kami. Percayalah, kami adalah masyrakat Hindu Mataram kuno yang cerdas dan bersemangat. “

Sutawijaya termenung sejenak dan berpikir didalam hati, “ Apakah aku sanggup menjadi Raja ?

Sanggup ! Aku harus mau dan aku harus sanggup ! Ini adalah kesempatan untuk memberi kepuasan keluargaku, terutama Kakek ku, Ki Ageng Sela. Dia bercita-cita akan aku menjadi Raja. ”

Sutawijaya menjawab, “ Terimakasih wahai Ki Ageng Lo, atas kepercayaan mu itu. Aku akan bertanya langsung kepada masyarakat mu, Mataram Hindu Kuno, apakah mereka akan mau ku pimpin menuju ke kejayaan Mataram mu, yang dulu pernah jaya ? “

“ Aku percaya mereka akan mau; Akulah Tetua Masyarakat Mataram Hindu.”

“ Terimakasih. Maka aku bersedia menjadi Raja kalian. “

Ki Ageng Pemanahan terperangah menghadapi kenyataan yang aneh, tetapi nyata, “ Wahai Ki Ageng Lo, sahabat ku ! Apakah semua kehendak mu ini sungguh benar ? Ataukah hanya chayalan mu saja ? Katakanlah ! Aku serasa tidak percaya, akan anak ku si Sutawijaya akan menjadi Raja, Raja di Kerajaan Mataram.? “

“ Benar, bukan mimpi ! Akan tetapi kita semua harus bekerja keras untuk membangun sebuah hutan luas; Untuk kemudian akan kita bangun; Dirubah menjadi kota yang ber-penduduk makmur, dengan Istana tempat Raja bersemayam ; Dilengkapi dengan jalan-raya, dan .... dan .... semua fasilitas yang akan kita nikmati bersama.

Jika kita bermalas-malasan, maka semua ini hanyalah mimpi; Benar-benar hanya sebuah mimpi.”

“ Tentu kita akan bekerja keras; Percayalah, aku dan keluarga ku, akan bekerja keras.”

Keesokan harinya, mereka pergi kearah selatan bersama-sama. Mereka penuh semangat dan kegembiraan. Mereka bernyanyi bersama, dengan nyanyian kebangsaan mereka. Syair yang indah dan mengandung ajakan untuk bersatu didalam satu kebangsaan

Mereka menemukan banyak Candi-Candi Hindu diantara semak belukar, yang keadaannya masih bagus. Tentulah Kerajaan Mataram Hindu adalah Kerajaan yang besar dan Jaya.

Ki Ageng Pemanahan berteriak kagum, “ Hai lihat ! Bangunan tempat pemujaan ! Alangkah indahnya Mataram Kuno mu itu wahai Ki Ageng Lo ? “

Ki Ageng Lo tersenyum lebar dan bangga, “ Engkau lihat sendiri wahai Pemanahan ! Alangkah kaya raya nya Kerajaan Mataram dulu; Itu adalah Candi Prambanan.”

“ Semoga Kerajaan Mataram yang akan kita bangun, akan sekaya dengan kakek-nenek mu dulu, hai Ki Ageng Lo ! “

“ Bahkan lebih kaya dan lebih jaya dari kepunyaan kakek ku dulu ! “

Mereka sampai pada sebuah sungai yang airnya dangkal dan jernih. Banyak diantara mereka yang mandi atau sekedar mencuci muka yang kotor.

Ki Ageng Pemanahan bertanya, “ Sungai apakah ini nama nya, wahai Ki Ageng Lo ? “

“ Sungai Opak. Dari dulu nama nya memang itu. Sungai ini tidak terkubur lahar, bahkan ikut mengalirkan lahar Gunung Merapi. Candi-candi Hindu yang tidak terkubur lahar adalah, candi Prambanan. Sedangkan candi-candi yang lain sudah terkubur dan masih terkubur. ( Candi Borobudur pada saat itu, masih terkubur ).”

“ Aku percaya bahwa Kerajaan Mataram adalah Kerajaan yang kaya raya dan penduduknya berbahagia; Mereka itu adalah nenek dan kakek buyut mu, wahai Ki Ageng Lo. Itulah sebabnya engkau bersemangat untuk membangun Kerajaan ini.”

“ Sungguh benar engkau, wahai Ki Ageng Pemanahan.”

Tidak jauh di hulu, terlihat seseorang yang sedang membasuh mukanya dengan air sungai.

“ Hai lihat ada orang di hulu sungai ! Siapakah dia ? “ Sungguh mengherankan, ditempat yang sesunyi ini, masih ada orang.

Mereka mendekati orang itu. Ternyata dia adalah Sunan Kalijaga, yang sudah terkenal sebagai guru Agama Islam di Kerajaan Demak, sekaligus Imam Mesjid Demak.

Sungguh mengherankan, bagaimana cara nya dia tiba-tiba sudah berada ditempat terpencil seperti ini; Benar-benar aneh ! Bukankah jarak Demak dengan hutan Mentaok sangat jauh? Sungguh orang ini selalu membuat orang terkejut dan terheran-heran.

KI Ageng Pemanahan beserta seluruh rombongan menghampiri Sunan Kalijaga untuk memberi hormat kepada Sunan,

“ Assalammualaikum ! Salam hormat dari kami, wahai Kanjeng Sunan. Kami merasa senang dapat bertemu dengan Sunan ditempat sunyi seperti ini.”

Sunan Kalijaga membalas salam, “ Walaikumsalam Warohmatulaohi Wabarakatuh. Aku pun demikian adanya. Mau kemanakah kalian ? “

Ki Ageng Pemanahan menengok kan kepalanya kepada Ki Ageng Lo, seolah bertanya kepada kawannya itu.

Ki Ageng Lo menjawab, “ Kami mau pergi ke Istana Kerajaan Mataram Hindu yang sudah terkubur oleh lahar Merapi, wahai Sunan. Kemudian kami akan membangun kembali Istana tersebut dan sekali gus membangun sebuah Kerajaan disitu dengan nama Mataram Baru.”

“ Ya baik sekali ! Hendaknya nama baru nya, adalah Kerajaan Mataram Islam, menggantikan Mataram Hindu. Aku setuju dengan niat kalian. Maka Kerajaan itu hendaknya akan mejadi pusat penyebaran Agama Islam.

Nah....Kalian tentu bertanya-tanya, kemana langkah kalian akan ditujukan, begitu bukan ? Aku sarankan, pergilah kearah sini ! ( Sunan menunjuk ke satu arah). Hingga kalian berjumpa dengan sebatang pohon yang berdaun putih, putih seluruhnya, berbeda dengan pohon-pohon disekeliling nya.

Di tempat itu lah kalian membangun Istana baru. Tempat itu akan menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam.

Selamat jalan dan selamat bekerja. Ass WW ! “

“ Wahai Sunan ! Mau kemana lagi engkau ? Kami masih mau bertanya akan hal-hal yang lain ! Bimbinglah kami wahai Sunan ! “ Kata Ki Ageng Pemanahan, setengah merengek.

“ Dengan terpaksa aku harus meninggalkan kalian, karena masih banyak kerjaku untuk Tanah Nusantara ini. Allah SWT selalu menyertaimu, disertai doa restu ku; Karena aku tau, niat kalian sungguh baik, baik buat semua orang.”

Singkat cerita, maka rombongan itu sampai di sebuah pohon rimbun berdaun putih. Ternyata itu adalah pohon beringin putih. Pada zaman Mataram Hindu kuno, orang-orang selalu menanam di tengah alun-alun, sebatang pohon beringin yang berdaun putih. Nampaknya pohon itu tetap hidup sekalipun sudah dilanggar oleh lahar Gunung Merapi.

Mereka mendirikan kemah untuk bermalam ditempat itu.

Pohon-pohon ditempat itu ditebang dan dibersihkan lebih dulu; Jadilah sebuah tempat menetap bagi sekumpulan orang-orang, paling tidak untuk bermalam.

Hari demi hari dilalui, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, hingga akhirnya nama Mentaok dilupakan orang berganti dengan nama sebuah kota kecil, yaitu Kota Gede.

Kesibukan Kota Gede meningkat karena banyak pendatang dari segala penjuru. Mereka datang dengan beraneka macam cita-cita. Ada yang datang untuk mencari kampung halamannya yang sudah terkubur oleh lahar Gunung Merapi. Dan ada juga yang sengaja datang untuk menjadi ‘abdi dalem’ Istana Mataram Islam dan bahkan menjadi prajurit Mataram.

Ki Ageng Pemanahan memberikan gelar kebangsawanan kepada putranya Sutawijaya yang sudah menjadi Raja. Gelar Raja itu adalah ‘Panembahan Senopati’. Maka pemanggilan Raja bagi Sutawijaya, adalah Raja Panembahan Senopati.

Ki Ageng Pemanahan bergembira dengan semua yang telah terjadi, bahkan dia tidak bisa membayangkan. Seolah dia sedang bermimpi, “ Apakah ini hanya sebuah mimpi ? “.

Pemanahan berpikir didalam hati, “ Sutawijaya bukan lah anak ku, maka ayah nya yang sebenarnya harus diberi tahukan dengan segera. Tentulah dia, Raja Hadiwijoyo akan turut berbahagia. Dapat dibayangkan kebahagiaan Raja, karena anak kandungnya menjadi Raja.”

Ki Ageng Pemanahan bermaksud pergi ke Pajang, untuk ‘sowan’. Tidak lupa dia juga mengajak anak angkatnya, Sutawijaya untuk datang melaporkan keberhasilannya membangun hutan Mentaok.

“ Hayo Suta kita menghadap Raja Hadiwijoyo untuk sowan dan melaporkan keberhasilan kita dalam membangun daerah tertinggal, hutan Mentaok.”

Sutawijaya diam saja, belum mau menjawab ajakan ayah nya. Akhirnya dia menjawab,

“ Ayah, aku enggan menghadap Raja Pajang; Terlebih aku harus memimpin rapat penting untuk menghadapi peperangan melawan pemberontak Ki Ageng Mengir.”

“ Baiklah aku mengerti, terlebih karena engkau adalah seorang Raja; Jadi keputusan mu untuk tidak serta bersama ku, adalah keputusan yang harus dijunjung tinggi.

Akan tetapi, mengapa engkau enggan menghadap Raja Pajang ? Jika aku boleh tau akan hal itu ? “

“ Karena dia adalah ayah ku, maka aku enggan berhadap-hadapan dengan dia.”

“ Lalu, ... jika dia bukan ayah mu ? “

“ Aku mau pergi bersama mu.!

Jika dia ayahku, maka dia akan merasa mempunyai hak, untuk menentukan kebijakan-kebijakan Negerinya kepada ku. Dan aku enggan menentang kebijakannya. Jika kebijakan itu sesuai dengan keinginanku, tentu tidak akan menjadi masalah.

Tetapi, sebaiknya aku tidak turut serta bersama mu.”

“ Baik lah Paduka, hamba pergi sekarang.! “

“ .... Hai Pemanahan, jangan lah engkau memanggil aku dengan sebuta ‘paduka’ ; Jika dihadapan rakyat ku, maka aku mau dipanggil seperti itu.”

“ Ya benar katamu; Bahkan aku akan memanggil mu ‘Suta’ saja.

Harus engkau ketahui hai Suta, jika kita tidak bertemu dengan Ki Ageng Lo didalam perjalanan kita dulu, maka kita sesungguhnya, hanya bermimpi indah.

Maka cam kan lah oleh mu ! Aku mengira bahwa hidup kita ini hanya lah sandiwara; Pertemuan kita denga Ki Ageng Lo itu, memang sudah di atur oleh ‘Ki Dalang’ yang Maha Kuasa, yaitu Gusti Allah. Siapa yang akan menyangka engkau sekarang ini adalah Raja ?”

Singkat cerita, maka Ki Ageng Pemanahan sampai si Istana Pajang, duduk bersimpuh di muka Tachta Kursi Kerajaan,

“ Hamba, Ki A geng Pemanahan berdatang sembah kehadapan Paduka yang Mulia.

Hamba perlu melaporkan bahwa pembangunan daerah tertinggal, Hutan Mentaok berjalan dengan sukses. Masyarakat telah membangun perumahannya sendiri dengan bersemangat. Maka jadilah sebuah daerah pemukiman baru yang kita menamakan ‘Kotagede’ “

Raja Hadiwijoyo gembira mendengar laporan itu, “ Wah....wah ....wah.... Bukan main ! Jadi siapa sesungguhnya yang engkau maksudkan dengan ‘masyarakat ‘. Siapakah mereka itu ?”

“ Mereka adalah masyarakat ‘ Mataram’ .

Dikarenakan mereka adalah benar-benar bekas rakyat dari Kerajaan Mataram Hindu. Kukatakan ‘bekas’, karena Kerajaan Mataram Hindu itu sudah punah, tertimbun lahar Gunung Merapi yang meletus puluhan tahun yang lalu. Mereka mengungsi ke Jawa Timur dan mendirikan Kerajaan Medang. Akan tetapi sekarang mereka pulang kembali ke tanah pusaka mereka di Kotagede. Dan bersemangat membangun kembali Kerajaan mereka, maka berdirilah sebuah Kerajaan yang dinamakan Kerajaan Mataram Islam.”

Raja Hadiwijoyo menjadi pucat mukanya, karena mendengar kata ‘Mataram’ ,

“ Apa katamu ? Mataram ? “

“ Ya benar paduka, Mataram. Itulah nama Kerajaan yang kami dirikan. Mengapa Paduka terkejut mendengarnya ? Sehingga muka Paduka menjadi pucat ? “

“ Jadi dengan demikian, engkau sekarang ini seorang Raja, Raja Mataram; Benarkah ? “

“ Tidak Paduka, tetapi si Suta, putra Paduka sendiri yang menjadi Raja disana, Dia memakai gelar ‘Panembahan Senopati’. Maka sebutan beliau adalah Raja Panembahan Senopati.”

Raja Hadiwijoyo terdiam sebentar, berpikir, “ Oh... ini lah Kerajaan Mataram yang telah dikatakan oleh Sunan Prampen, sungguh menakjubkan ! Dan lebih mencengangkan lagi, Raja disitu adalah anak ku sendiri, Sutawijaya. Bagaimana Raja Sutawijaya akan menaklukan Kerajaan Pajang ? Oh... Sunan Prampen .... Semoga ramalan mu tidak terbukti ! “

Raja Hadiwijoyo bereaksi yang membuat terkejut Pemanahan,

“ Panggil dia ! Segera hadapkan dia kepada ku, sekarang ! Dia adalah anak ku ! Dia bukan Raja Mataram, bila berhadapan dengan aku, ayahanda nya sendiri. “

Pemanahan menjawab, “ Raja Panembahan Senopati tidak turut serta bersama ku. Karena dia harus memimpin rapat penting di Istana bersama dengan staf militernya.”

“ Ada apa ? Ada pertempuran kah ? .... Oh ya dia seorang Raja, jadi aku tidak boleh tau dan tidak mempunyai hak untuk turut campur urusan Negeri orang lain; Jadi lupakan lah pertanyaan ku itu !

Akan tetapi si Suta yang sudah menjadi Raja, harus datang menghadap aku. Tidak perduli akan dia yang sudah menjadi Raja; Dia harus datang secepatnya menghadap aku, Raja Hadiwijoyo. Ada urusan yang penting yang harus kita selesai kan bersama.

Bukan urusan aku sebagai ayah nya, tetapi urusan Kerajaan Mataram yang akan berhadapan dengan Kerajaan Pajang.! “

Ki Ageng Pemanahan terkejut, “ Ada masalah apa wahai Paduka yang Mulia ? Seolah-olah ada masalah gawat . Apakah Mataram akan berperang melawan Pajang ? “

Raja Hadiwijoyo membenarkan, “ Benar kata mu ! Mataram akan menyerang Pajang dan Pajang akan ditundukan oleh Mataram.”

“ Siapa yang berkata seperti itu ? “

“ Itulah ramalan nasib Kerajaan Pajang. Yang telah diramalkan oleh Sunan Prampen.”

“ Paduka ! ....... Jangan lah percaya dengan ramalan itu !

Ketahuilah, aku masih menjabat wakil Patih di Kerajaan Pajang. Aku akan menasehati si Suta untuk tetap loyal kepada Kerajaan Pajang. Aku pastikan Mataram akan menempatkan Duta Besarnya di Kota Pajang ini, sebagai jaminan akan perdamaian.

Aku akan mengawal Kerajaan Pajang dari serangan Mataram. Percayalah pada ku ! “

“ Terimakasih wahai Ki Ageng Pemanahan. Ternyata pandangan politik diri ku sejalan dengan mu. Akan tetapi bagaimana pandangan politik Raja Panembahan Senopati mu ? Apakah dia memusuhi aku, Raja Hadiwijoyo ? “

Yang ditanya diam saja. Ki Ageng Pemanahan berpikir didalam hati, “ Kuteringat kata-kata si Suta, jika dia adalah ayah ku, maka aku enggan menghadap dia; Karena dia merasa mempunyai hak untuk memaksakan kebijakan-kebijakannya kepadaku.”

“ Ya kita sejalan didalam pandangan politik. Tetapi Raja Mataram ? Aku tidak tau isi hati si Suta itu, wahai Paduka.

Akan tetapi, jangan lah Paduka percaya akan ramalan Sunan Prampen !

Jangan lah mencurigai Raja Mataram. Aku yang akan bertanggung jawab kepada mu akan si Suta itu. Ku pastikan dia akan tetap baik-baik selalu, seperti anak terhadap ayah.“

Kemudian Ki Ageng Pemanahan meminta diri, pulang kembali ke Kerajaan Mataram.

Sesampainya di Kotagede Mataram, Ki Ageng Pemanahan melaporkan hasil kunjungannya kepada Raja ,Mataram, Panembahan Senopati.

“ Wahai Raja, sesungguhnya engkau diminta datang oleh Raja Hadiwijoyo di Istananya, Pajang. Ada hal yang sangat penting dan harus dibicarakan, mengenai hubungan kedua Negeri, Mataram dan Pajang.”

“ Ada masalah apakah ? Mataram setahuku tidak mempunyai masalah dengan Pajang.”

“ Menurut Raja Hadiwijoyo, Pajang akan ditundukan oleh Mataram. Pajang akan bertekuk-lutut kepada Mataram. Aku sudah mengatakan kepada Raja, bahwa itu hanyalah sebuah ramalan yang belum tentu benar; Bahkan kujamin tidak benar dan tidak akan mungkin.”

“ Siapa yang meramal ? Ramalan yang konyol dan lucu ! “

“ Sunan Prampen dari Girikedaton.”

“ Benar sudah nasehat mu itu kepada Raja.

Akan tetapi, berikanlah aku nasehat, wahai Pemanahan ! Bagaimana sesungguhnya sikap politik yang akan aku jalankan, didalam menghadapi Kerajaan Pajang ? “

“ Kita akan berdamai dan hidup berdampingan dengan penuh kerukunan guna membangun kemakmuran bersama.”

“ Ya aku mengerti, itulah cita-cita kita secara umum.”

“ Jadi ada hal-hal yang khusus, menurut mu ?

Ya itu yang ku utarakan tadi, bahwa Raja Hadiwijoyo sangat takut akan ramalan Sunan Prampen. Bahkan dia takut dengan kata ‘Mataram’; Mukanya menjadi pucat pasi, sewaktu kukatakan, kita berhasil membangun Kerajaan Mataram, dengan Raja Panembahan Senopati yang memerintah.

Karena ramalan Sunan Prampen itu lah, maka nya engkau dipanggil ke Istana Pajang; Guna membicarakan permasalahan politik antara kedua Negeri.”

“ Aku tetap enggan menghadap dia. Biarlah dia ketakutan sendiri dengan ramalan itu.”

“ Itu berarti, engkau tidak mau kunasehati.! “

“ Nasehat yang mana ? “

“ Baru saja kukatakan, engkau sudah lupa !

Bahwa kita akan berdamai, hidup berdampingan, guna membangun kemakmuran bersama.

Jika engkau tidak mau datang ke Istana Pajang, maka engkau memutuskan tali silaturachmi dengan Raja Hadiwijoyo; Maka pupuslah sudah cita-cita kita semula untuk membangun kerukunan dan kesejahteraan bersama. Yang akan terjadi adalah saling curiga mencurigai.

Aku berkesimpulan, Raja Hadiwijoyo sekarang ini, sedang takut kepada mu dan sedang mencurigai mu; Dikarenakan ramalan Sunan Prampen.”

“ Mataram adalah bagai semut menghadapi Pajang, yang bagai Gajah. Mengapa harus takut kepada ku ? Sekali gajah itu meng- injak kan kakinya kepada semut, maka matilah semut itu.”

“ Baiklah Suta, aku tidak mau memberi nasehat lagi kepada mu. Bersiap-siap lah engkau akan injakan kaki gajah itu. “

“ Hai, hai, hai ... apakah Pajang akan benar-benar berperang melawan Mataram ? “

“ Nah sekarang engkau benar-benar takut ! Aku tidak mau lagi memberi nasehat, hanya berpesan, bersiap-siap lah engkau untuk suatu pertempuran ! “

Beberapa tahun kemudian, Ki Ageng Pemanahan wafat, mati secara wajar karena sakit.

Dan sejak wafat nya Ki Ageng Pemanahan, anak nya Sutawijaya tidak pernah sowan (datang) ke Kerajaan Pajang. Maka dari itu Raja Hadiwijoyo menjadi semakin curiga kepada Raja Mataram. Nampaknya akan mendekati kebenaran, akan ramalan Sunan Prampen dari Giri Kedaton.

Arah politik Luar Negeri Kerajaan Mataram yang dikendalikan penuh oleh Panembahan Senopati ( Sutawijaya), sangat jauh berbeda dengan almarhumah ayah nya, Ki Ageng Pemanahan. Dia berambisi untuk memperluas daerah kekuasaan.

Salah satu cerita ‘babad tanah Jawi’ yang berjudulKi Ageng Mengir, menceritakan pertempuran yang terus menerus melawan tanah perdikan yang dikuasai oleh Ki Ageng Mengir. ( Lihat cerita Ki Ageng Mengir ).




Bab 16


Dikarenakan Sutawijaya tidak pernah sowan ke Kerajaan Pajang, maka Raja Hadiwijoyo mengirimkan utusan ke Mataram; Utusan itu adalah Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil. Utusan Pajang bertindak sopan dihadapan Sutawijaya atau Panembahan Senopati.

Sesampainya di Istana Mataram, Ngabehi Wuragil dan Ngabehi Wilamarta duduk bersila dimuka kursi Tachta Raja untuk berdatang sembah.

Ngabehi Wuragil berkata, “ Wahai Raja Mataram yang agung, kami berdua adalah utusan Raja Hadiwijoyo untuk menemui Baginda Raja Panembahan Senopati.

Kami juga mewartakan bahwa Raja Hadiwijoyo dalam keadaan baik-baik, dan beliau bertanya akan keadaan Baginda disini, apakah juga sehat-sehat selalu ?

Salam dari seorang ayah kepada mu ! “

Raja Panembahan Senopati bersabda, “ Ku terima salam ayah ku dan aku juga berkirim salam kepada nya, semoga ayah di beri panjang umur oleh Allah SWT. Amin. Akan tetapi, kalian harus ingat bahwa ‘ayah’ disini adalah bukan ayah sesungguhnya, akan tetapi karena aku pernah dipanggil anak oleh beliau.

Katakan bahwa aku dalam keadaan baik-baik dan sehat selalu.”

Ngabehi Wuragil menengokkan kepalanya kearah temannya Ngabehi Wilamarta. Wuragil tidak senang dengan kata-kata si Sutawijaya yang tidak pada tempatnya (ketus). Wuragil bertanya didalam hati, “ Bukankah Raja Hadiwijoyo sangat menyayangi Sutawijaya, sehingga dia sudah dianggap sebagai Putra Mahkota ? Tetapi mengapa sekarang, kata-katanya sedikit ‘miring’, terasa dia sudah tidak lagi menghormati Raja Hadiwijoyo ? “

Ngabehi Wuragil melanjutkan dialog nya, “ Raja Hadiwijoyo mengharapkan kunjungan Baginda ke Istana kami di Pajang. Kami Keluarga Istana Pajang dan semua Menteri dan juga rakyat Pajang, mengharapkan kedatangan Baginda di Pajang.”

“ Kami sangat sibuk dan kami belum tentu dapat berkunjung ke Istana kalian.”

Ngabehi Wilamarta menduga-duga didalamm hati, “ Kelihatannya Raja baru ini mau melepaskan diri dari pengaruh Pajang; Bahkan Raja ini ingin berperang melawan Kerajaan Pajang; Alangkah sombongnya dia ! “

Ngabehi Wuragil berpendapat didalam hati, “ Dialog ini harus segera diakhiri. Nampaknya dia tidak mempunyai itikad baik untuk mau bersahabat.”

“ Baiklah, kami mohon pamit dan undur diri. “

Sebelum Raja Panembahan Senopati bergerak dari kursinya, kedua utusan itu sudah angkat kaki. Diikuti oleh para prajuritnya.

Kedua pembesar itu, beserta seluruh pengawalnya segera pergi berkuda, langsung pulang ke Pajang. Kedua nya sependapat bahwa Sutawijaya menjadi orang yang tinggi hati, sombong dan tidak mempunyai kebiasaan sebagai seorang Ningrat, setelah menjadi Raja.

Seorang Raja seharusnya belajar untuk berkata benar dan sopan santun kepada lawan bicaranya.

Ngabehi Wuragil melaporkan pertemuannya dengan Raja Panembahan Senopati, “ Wahai Baginda, kami mendapatkan Raja Sutawijaya tidak menyambut kami dengan baik, selaku utusan Kerajaan Pajang.”

Raja Hadiwijoyo panas hatinya, “ Apa yang dia katakan ? “

“ Sutawijaya tidak mau menganggap engkau sebagai ayah nya yang sesungguhnya; Dia menganggap Raja Hadiwijoyo adalah ayah, karena dia pernah dipanggil anak.

Atau, dengan kata lain, dia sekarang sudah tidak mempunyai lagi hubungan ayah dan anak, kepada engkau; Putus sudah hubungan kekerabatan, seolah-olah dia tidak pernah tinggal di Istana Pajang.

Dia juga tidak mau datang ke Pajang, karena kesibukan nya.”

Raja Hadiwijoyo marah besar, “ Benar-benar dia menjadi sombong setelah dia diangkat menjadi Raja; Dan sesudah ayah nya, Ki Ageng Pemanahan wafat.

Siapkan angkatan Perang kita untuk segera kita gempur Kerajaan Mataram !”

Ngabehi Wuragil berkata kembali, “ Jangan lah terburu-buru mengambil keputusan militer, wahai Baginda. Kita harus memperhitungkan akan untung dan ruginya, bila kita memerangi Kerajaan yang jauh disebelah selatan. Kita akan bertanya, apa untung nya ? Disana tidak ada apa-apa yang berharga untuk dapat kita rampas dan kita bawa pulang.”

“ Ya benar katamu. Tetapi hanya untuk membela harga diri ku yang sudah di injak-injak oleh bekas anakku; Memang Sutawijaya kurang ajar ! “

Ngabehi Wilamarta memberikan komentar yang menambah panas dada Raja, “ Baginda, menurut perkiraan hamba, Sutawijaya ingin melancarkan serangan militer ke Pajang.”

“ Apa alasan mu untuk bisa mengatakan seperti itu ? “

“ Dia tidak pernah tersenyum kepada kami berdua; Dan kata-katanya ‘ketus’ tidak ada rasa hormat kepada kami berdua. Pendek kata, dia tidak mempunyai itikad baik untuk bersahabat .”

“ Apa saran dari kalian berdua ? Agar anakku itu sadar diri dan mau kembali kepadaku seperti semula. ? “

“ Memang dia bukan anakmu, wahai Paduka; Jadi tidak lah kita bersalah jika kita harus berperang melawan dia dan bahkan harus membunuh dia.

Dia adalah cucu dari guru silat mu, Ki Ageng Sela; Kita hormati kakek nya, tetapi kita tidak perlu menghormati cucu nya, jika dia memang kurangajar.”

Raja Hadiwijoyo terdiam seketika. Dia teringat akan pengakuan Ki Ageng Pemanahan, bahwa Sutawijaya sesungguhnya adalah anak nya sendiri. Tetapi hal itu harus dirahasiakan, atas permintaan Sutawijaya; Alasannya agar Kerajaan Pajang tetap aman dan damai.

Akhirnya Raja bersabda, “ Ya engkau benar, wahai Wilamarta. Kita tidak akan lagi menganggap Sutawijaya sebagai keluarga atau sahabat, tetapi musuh yang harus diperangi.”

“ Aku setuju ! “

Wuragil berkata, “ Hai tunggu dulu ! Apa untungnya kita berperang melawan mereka?”

Raja bersabda, “ Aku akan menarik kembali hadiah tanah Mentaok; Karena hadiah itu diperuntukan kepada Ki Ageng Pemanahan, bukan untuk si Sutawijaya. Jika mereka menolak, maka perang tidak dapat dihindari lagi.”

Wuragil berkata, “ Mengenai tanah Mentaok, kita akan kalah didalam hukum waris. Bukankah ayah dapat mewariskan harta dan pusaka nya kepada anaknya; Demikian Ki Ageng Pemanahan mewariskan nya kepada Sutawijaya.”

Raja terdiam kembali; Cukup lama Raja terdiam.

Pada akhirnya Raja bersabda yang membuat terkejut semua yang hadir disitu, “ Sesungguhnya Sutawijaya adalah anakku sendiri.”

Terperanjat kedua pembesar Pajang itu mendengar pengakuan Raja. Dan juga para hadirin dan prajurit jaga Istana yang turut mendengarkan tanpa sengaja.

Suasana Balairung tempat rapat itu menjadi sunyi. Mereka sedang berpikir didalam benak nya masing-masing, “ Oh .. rupanya Raja Hadiwijoyo memendam rahasia keluarga, dengan rapi. Jadi Raja telah berhubungan intim dengan anak gadis nya Ki Ageng Sela, hingga lahirlah seorang bayi yang diberi nama Sutawijaya.”

Raja melanjutkan pengakuannya tanpa rasa bersalah, karena telah melanggar aturan agama,

“ Ibunya bernama Suta Kenanga. Aku sudah berjanji untuk menikah dengan dia.

Engkau tau apa yang sudah terjadi atas diriku wahai sahabatku; Raja Trenggono pada waktu itu sedang mengejar-ngejar aku, untuk dijatuhi hukuman mati. Sehingga aku terlupakan pada janjiku itu; Hingga pada saat genting itu lah anakku, si Sutawijaya lahir ke Dunia dengan selamat.

Engkau juga tau, betapa Raja Trenggono sebagai atasanku, bertindak kejam kepada para prajuritnya; Sehingga aku tidak dapat mengambil cuti untuk menikah secara resmi dengan kekasihku, Suta Kenanga. Aku menyesalkan diriku sendiri, mengapa aku tidak segera menikahi Suta Kenanga secara resmi.

Tentu engkau akan mengatakan bahwa aku membuat-buat alasan saja; Tidak ! Tidak ! Sesungguhnya gadis pilihanku adalah Suta Kenanga, bukan seorang Putri Raja.

Sekarang, perkara ini bukan sesuatu yang harus dirahasiakan; Silahkan engkau beritakan kepada masyarakat luas, bahwa Sutawijaya atau Raja Panembahan Senopati dari Kerajaan Mataram, adalah anak kandungku sendiri, bukan anak nya Ki Ageng Pemanahan! “

Ruang Balairung Istana menjadi riuh karena terdengar bisik-bisik celoteh diantara mereka sendiri, “ Oh pantas saja si Sutawijaya itu disayang oleh Raja ! Bahkan kita tidak mengerti, siapa sebenarnya Putra Mahkota, Pangeran Banawa atau Sutawijaya ? ”

Yang lain berkata, “ Sutawijaya itu sesungguhnya sakit hati kepada ayahnya sendiri, karena dia tidak pernah dipelihara.”

“ Mungkin sekali ! Bukti sudah menunjukan, sekarang dia seolah-olah sedang menantang berkelahi dengan kita. Bisa jadi akan ada dua Raja yang berperang; Raja yang satu ayah dan yang lain adalah anak nya. Suatu keadaan yang ganjil sedang terjadi di tanah Jawa.

Ngabehi Wuragil kembali memberikan saran, “ Wahai Baginda, setelah kami mendengar sendiri pengakuan yang Mulia akan halnya Sutawijaya, yang sesungguhnya adalah anak kandung mu sendiri, maka kami akan memberi saran yang lain.

jika sekiranya dapat diusahakan, maka ambilah jalan damai, jangan ada perang. Tahan lah ke-marahan Paduka sedapat-dapatnya; Dan kita berdoa kepada Allah, agar dilunakan juga emosi kemarahan si Sutawijaya, untuk dia dapat kembali kepada ayah nya yang sebenarnya.”

Baginda membenarkan, “ Engkau benar Wuragil ! Alangkah indahnya jika Sutawijaya dapat datang ke Istana Pajang, menghadap diriku, mencium lutut ku; Dan kemudian aku memeluk diri nya. Akan kukatakan kepadanya, sesungguhnya engkau adalah darah dagingku sendiri.”

Ngabehi Wuragil berkata kembali, “ Kita tunggu beberapa waktu, agar ada perubahan pandangan politik di mata Sutawijaya. Sementara itu kita berdoa agar dilunakan alam pikir dia, sehingga dia kembali seperti dia yang dulu; Sewaktu dia bersama-sama kita menghadapi Ario Penangsang, dimedan perang Sungai Sore.”

“ Baik Wuragil ! Engkau kuberi tugas untuk mempersiapkan delegasi kita ke Mataram. Kita akan mengirim kembali delegasi kita, tiga bulan kemuka.”

“ Terlalu cepat !. Pola pikir Sutawijaya belum mau berubah dengan waktu yang singkat. Aku menyarankan setelah dua atau tiga tahun. Didalam waktu yang cukup lama itu, Kita mengharapkan akan ada perubahan didalam alam pikir Sutawijaya, untuk menuju ke alam kedamaian dengan ayah kandungnya sendiri.”

“ Jika terlalu lama, maka aku akan berkirim surat kepada nya. “

Wilamarta mencegah, “ Jangan berkirim surat kepada dia, nanti dia bisa besar kepala.”

Raja membenarkan, “ Seharusnya sekarang ini aku sedang membaca suratnya; Bukan aku yang berkirim surat kepada nya.

Oh Sutawijaya .... Ayah bukan melupakan engkau, akan tetapi keadaan yang telah membuat ayah menjadi lupa kepada mu. Oleh sebab itu tahan lah emosi marah mu kepada ku !

Seharusnya engkau tidak perlu marah kepadaku, hanya karena hal yang lumrah ini. Aku menduga-duga bahwa ada tekanan politik sehingga engkau memerlukan upaya, untuk menekan Kerajaan Pajang. Agar Pajang bertekuk lutut dibawah Kerajaan Mataram.”

Ngabehi Wuragil berkata, “ Baginda, menurut pendapatku, bukan ada tekanan politik, akan tetapi memang jalan politik nya si Sutawijaya; Yang telah gariskan dan tetapkan, sungguh seperti itu. Yaitu ingin menaklukan Pajang dan membuat Kerajaan Mataram menjadi besar dan jaya.”

Patih Mancanegara memberikan usul kepada Baginda Raja,

“ Wahai Baginda ! Sudah waktunya kita harus memperlihatkan kepada Sutawijaya akan kekuatan Angkatan Perang Pajang di hadapan Raja Mataram itu. Aku mengusulkan untuk kita dapat berparade militer di muka Istanannya, dengan kekuatan pasukan lebih dari sepuluh ribu personil pasukan, lengkap dengan senjatanya.”

Baginda bertanya, “ Apakah maksud mu? Apa kita langsung memerangi Mataram ? “

“ Tidak Baginda ! Hanya memamerkan kekuatan militer kita. Kita akan membawa bendera putih dimuka pasukan kita. Kita juga akan membawa misi perdamaian, untuk benar-benar mau berdamai. Tetapi, kita memang bermaksud akan mengancam Raja Mataram.

Hamba yakin bahwa rakyat Mataram tidak ingin berperang, tetapi ingin berdamai. Jadi yang menjadi permasalahan adalah Raja Mataram yang kelihatannya bersifat sombong kepada kita; Akan tetapi, ......Apakah dia benar sombong ?

Hamba berharap kita hanya salah menilai akan sikap Sutawijaya; Sementara Sutawijaya hanya lah salah bersikap sewaktu menerima misi Ngabehi Ki Wuragil.

Jadi untuk selanjutnya, marilah kita sama-sama menjauhi sikap curiga kepadanya, demi perdamaian.”

“ Jika ingin berdamai, mengapa kita harus membawa pasukan sebanyak lebih dari sepuluh ribu personil ? “

“ Sudah hamba katakan tadi, bahwa kita ingin mengancam Sutawijaya.Kita juga ingin menakut-nakuti Raja Mataram yang sombong itu; Seolah-olah kita ingin berkata kepadanya, jangan engkau menganggap enteng kekuatan militer Kerajaan Pajang ! ”

Raja setuju, “ Engkau benar Patih ! Laksanakan ! “

Maka, Patih Mancanegara mempersiapkan utusan Raja ke Mataram. Dibentuk lah panitia dan ditunjuk mereka yang akan menghadap Raja Panembahan Senopati di Mataram.

Utusan itu terdiri dari, Pangeran Banawa, Arya Pamalad dan juga Patih Mancanegara sendiri. Sementara Ngabehi Wuragil dan Ngabehi Wilamarta tidak turut serta.

Arya Pamalad adalah Bupati Tuban, anak menantu Raja. Dia juga membawa serdadu nya dari Tuban sebanyak empat puluh orang pasukan berkuda.

Sesungguh nya Arya Pamalad membenci Sutawijaya; Patih Mancanegara salah memilih orang ini sebagai anggota utusan nya.

Dikarenakan dia telah mempunyai rencana rahasia untuk membunuh Sutawijaya. Dia akan membuat suatu skenario, seolah-olah Raja Panembahan Senopati mati karena suatu kecelakaan. Suatu pembunuhan yang harus dirahasiakan. Rencana tersebut adalah bersifat pribadi; Arya Pamalad sendiri yang bertanggung jawab.

Pamalad mempunyai buah pikir yang salah; Menurut perkiraannya, pembunuhan ini nantinya akan membuahkan perdamaian antara dua Kerajaan. Dia juga berpikir, sesungguhnya Pajang lebih kuat dan berpengaruh dibandingkan Mataram.

Patih Mancanegara sudah mempersiapkan Angkatan Perang Pajang yang akan mengantarkan misi perdamaian Kerajaan Pajang, sesuai dengan usul nya.

Sepuluh ribu lebih pasukan berjalan kaki dan juga berkuda kavaleri, disertai persenjataan yang lengkap akan ikut mengawal misi perdamaian.

Rakyat di alun-alun menyaksikan apel besar militer Pajang; Bukan hanya sekedar apel, akan tetapi, mereka juga mau pergi berperang. Maka ramai rakyat membicarakan peperangan yang akan dilancarkan oleh Raja Hadiwijoyo. Rakyat bertanya-tanya, “ Siapa musuh kita ? “

Oleh sebab itu, Raja perlu memberitahukan rakyat nya akan misi militer Kerajaan Pajang,

“ Hai rakyat Pajang yang berbahagia, Kami akan mengirim segenap prajurit Pajang ke hadapan Raja Mataram, didalam rangka misi perdamaian. Aku takut, Raja Panembahan Senopati menganggap remeh kekuatan militer kita. Aku sebagai Raja mu, juga takut akan di hina oleh Raja Mataram.

Itu lah alasan kita, untuk memperlihatkan kekuatan militer kita dihadapan Raja itu. Kita mengharapkan dengan upaya kita ini, Raja Panembahan Senopati mau berjabat tangan dengan aku didalam perdamaian; Damai diantara kedua Negara.

Jadi militer Pajang tidak pergi untuk berperang ! Jangan salah mengerti !

Tentu engkau juga bertanya-tanya, apa yang sudah dilakukan oleh Raja Mataram? Sehingga membuat aku kecewa ?

Betul ! Aku marah kepadanya, karena dia tidak datang ke Istana kita untuk ‘sowan’. Sudah seharusnya dia datang kehadapan ku. Bukan untuk menyembah aku; Aku juga tidak mau disanjung oleh Raja Mataram.

Ku harus mengatakan sejujurnya, bahwa Sutawijaya pernah tinggal lama di Istana Pajang sebagai anak ku; Bahkan aku sudah menetapkan dia sebagai Putra Mahkota. Karena dia adalah benar anak ku sendiri. Ku ceritakan rahasia keluarga Istana Pajang dihadapan mu, bahwa sesungguhnya Sutawijaya adalah benar anakku sendiri.

Takdir telah menetapkan dia sebagai Raja di Mataram; Dan dia kelihatan menjadi sombong dihadapan ayah kandung nya, setelah dia menjadi Raja.

Jadi izinkan Raja mu, Raja Hadiwijoyo yang akan mencoba mempertahankan harga diri seorang Raja, dihadapan Raja Mataram.”

Sementara itu Rakyat Mataram disepanjang jalan menuju Kotagede, lari ketakutan sewaktu melihat barisan militer Pajang yang menabuh genderang dan berteriak-teriak, bersorak-sorai.

Walaupun ada orang yang membawa bendera putih dan bendera Nasional di muka barisan, sebagai tanda damai, akan tetapi rakyat Mataram masih tetap merasa takut akan ada nya peperangan. Terlebih mereka telah melihat Angkatan Perang Pajang yang keluar dari markasnya, membawa senjata lengkap.

Rombongan singgah di Candi Prambanan, dan bermalam ditempat itu. Maka sekeliling candi berwarna putih, karena tenda-tenda para prajurit Pajang.

Prambanan sudah tidak jauh dari Kota Gede; Jadi pasukan Pajang tinggal selangkah lagi akan sampai di Istana Mataram.

Beberapa orang penduduk Mataram, memberikan laporan langsung kepada Raja Panembahan Senopati dan kepada Patih; Rakyat Mataram menganggap Pajang adalah musuh mereka.

Patih Mancanegara menyadari, bahwa kedatangan rombongan nya akan membuat geger penduduk dan bahkan Raja Mataram sendiri. Oleh sebab itu, mereka akan memperpanjang istirahatnya di Prambanan semalam lagi, guna menunggu hasil pertemuan dari seseorang yang diutus pergi ke Istana Mataram. Utusan itu akan membawa misi damai.

Dipilih Pangeran Banawa sebagai utusan,beserta lima serdadu pengawal. Pangeran sudah dikenal oleh staf Istana, akan kedekatannya dengan Sutawijaya, sewaktu mereka masih tinggal di Istana Pajang.

Sementara itu di Istana Mataram, sedang diadakan rapat militer tertutup yang bersifat darurat perang. Semua itu menggambarkan akan kepanikan Raja dan Para Menterinya.

Militer Mataram disiap siagakan untuk menghadapi pertempuran.

Patih Purboyo melaporkan kepda Raja nya, bahwa tentara Pajang tidak bermaksud untuk menyerang, tetapi ingin berdamai; Karena mereka membawa bendera putih,

“ Percaya lah Baginda, mereka tidak ingin berperang ! “ Kata Patih Purboyo.

Jika Raja Hadiwijoyo membuat surat kepada Sutawijaya, mungkin Raja Mataram tidak akan panik seperti sekarang ini.

Sesungguhnya, Raja Panembahan Senopati sudah menyadari akan kemungkinan perang dapat terjadi; Dikarenakan dia menyadari akan sikap sinis yang pernah diperlihatkan, sewaktu dia menerima utusan untuk pertama kalinya. Jadi dia harus menanggung akibat dari sikap nya itu.

Didalam rapat darurat perang itu, Raja berpesan untuk menerima tamu-tamu dari Pajang, dengan muka manis dan murah senyum; Buat lah suatu penyambutan bagi para utusan Pajang, dengan meriah dan penuh persahabatan.

Raja Panembahan Senopati bersabda, “ Jika mereka ingin berdamai, maka itu hal yang diharapkan oleh kita. Marilah kita sambut tamu-tamu kita dengan senyum dan muka yang ceria.! “

Mengapa penyambutan Raja Panembahan Senopati sekarang ini, berbeda dengan penyambutan nya pada utusan Pajang yang pertama ?

Karena Patih Mancanegara membawa seluruh kekuatan milter Pajang untuk mengawal utusan perdamaian. Upaya Patih Mancanegara adalah trik atau siasat, agar Raja Panembahan Senopati mau merubah sikapnya. Dan upaya Patih Mancanegara itu berhasil.

Terbukti Raja Panembahan menjadi panik. Kemudian dia memerintahkan seluruh staf nya untuk bermuka manis dihadapan utusan Pajang.

Mungkin kah Sutawijaya mendendam rasa marah kepada ayahnya sendiri ? Boleh jadi seperti itu ada nya.

Dikarenakan tidak ada talikasih yang semestinya harus terjalin antara seorang ayah dan anak nya. Akan tetapi situasi nya pada waktu itu, membuat ayah nya harus meninggalkan dirinya bersama ibu nya.

Pangeran Banawa tiba di Istana, langsung menghadap kakak nya. Betapa dia merindukan sang kakak yang sudah lama meninggalkan Istana Pajang.

Dia sudah mendengar curahan dan ungkapan sesal ayahnya (Raja Hadiwijoyo) dimuka umum, bahwa Sutawijaya itu sesungguhnya adalah anak ayah nya sendiri.

Jadi dia dan Sutawijaya adalah satu ayah, tapi lain ibu.

Banawa memberi salam, “ Ass Warahmatullohi Wabarakatuh, apa khabar wahai Kakanda Sutawijaya ? “

Sutawijaya membalas, “ Walaikumsalam Warohmatulohi Wabarakatuh. Selamat datang wahai Banawa, adikku yang kusayangi. Aku baik-baik saja, wahai adinda ku.”

“ Apakah engkau masih seperti yang dulu, hai Suta ? ”

“ Ya tentu saja ! Dihadapan mu, aku masih sama seperti yang dulu.”

“ Jika begitu adanya, maka kita dapat bercakap-cakap secara kekeluargaan, seperti dulu. Bolehkah aku memanggil mu ‘Suta’ seperti dulu? Lupakanlah engkau sebagai Raja, hanya untuk ku saja. Apakah engkau setuju ? “

“ Ya, aku setuju akan saran mu. Ketahuilah bahwa aku ini adalah kakak mu. Boleh kah aku memeluk mu, wahai adikku ? ” Pinta Sutawijaya.

Pangeran Banawa terkejut mendengar keinginan Sutawijaya, “ Wow, ... alangkah indahnya permintaanmu itu, wahai kakanda Suta. Ini adalah saat-saat yang sangat berkesan disepanjang hidup ku; Aku dipeluk oleh mu.”

Kedua orang utusan dari dua Negara itu berpelukan, suatu tanda proses perdamaian sedang berlangsung di ruang Balairung, disaksikan oleh para pejabat Kerajaan Mataram.

Seharusnya pertemuan kedua orang itu bersifat formil, karena mewakili dua Negara; Tetapi pada kenyataan nya tidak, karena kedua nya adalah kakak-ber adik, lain ibu.

Akan tetapi, aplaus dan tepuk tangan, riuh rendah di ruang Balairung Istana Mataram. Belum pernah seorang Raja Jawa yang mau berpelukan di muka umum seperti ini.

Pangeran Banawa melanjutkan, “ Ketahuilah oleh mu wahai kakak ku ! Bahwa engkau sesungguhnya adalah anak kandung ayah kita, Raja Hadiwijoyo. Aku baru yakin akan hal nya engkau itu; Sewaktu hal itu diungkapkan oleh ayah kita sendiri, dimuka umum. Ternyata ibu mu bernama Suta Kenanga, yang ternyata adalah Putri dari Ki Ageng Sela.

Ayah mengungkapkan rasa penyesalannya dimuka umum, mengapa beliau tidak menikahi istrinya, yaitu ibu mu, secara formil. Ketahuilah oleh mu, bahwa ayah mu sangat mencintai ibu mu; Dia telah mengungkapkan perasaannya dihadapan para Menteri nya.

Sesungguhnya ayah mu sangat menyayangi mu dan ibu mu. Dari dalam hati beliau yang paling dalam, terungkap permintaan maaf yang khusus ditujukan kepada mu.

Sungguh .... dia menyesalkan masa lalu nya...... ( Pangeran Banawa terputus-putus dalam penyampaian kalimat nya, karena dia perlu mengusap air mata nya yang jatuh berderai )

Beliau juga tidak mau dipersalahkan dalam hal pernah mengabaikan, meninggalkan engkau dan ibu mu; Tetapi dia menyalahkan Raja Trenggono yang mengejar-ngejar beliau karena Raja itu mau menjatuhkan hukuman mati kepada nya.

Sungguh ayah kita perlu dikasihani.

Kedua orang itu terdiam cukup lama.

Akhirnya Sutawijaya bertanya, “ Mengapa ayah kita bercerita tentang diriku ? Seharusnya masalah ini dirahasiakan; Kita telah mempunyai kesepakatan untuk merahasiakan, siapa aku sebenarnya. Apa alasan ayah kita mengungkapkan masa lalunya ? “

Pangeran Banawa menjawab, “ Semua ini disebabkan karena engkau hai Suta !

Yang mana engkau akan melupakan kita, keluargamu dan juga ayah mu sendiri. Ayah menyangka engkau sedang marah kepadanya. Itu lah sebab nya dia mengungkapkan perasaan hatinya akan hal nya engkau, kepada orang-orang di Istana.”

Sutawijaya terdiam cukup lama; Dia berpikir akan sikap nya yang tidak baik kepada ayah nya.

Akhirnya Suta menjawab, “ Tentu aku tidak marah kepada ayah ku sendiri.

Wahai Banawa!, ketahui lah oleh mu, bahwa kedudukan ku sebagai Raja sekarang ini, tentu akan berbeda dengan aku yang dulu, sewaktu aku tinggal dirumah ayah ku di Pajang.”

“ Mengapa harus berbeda ? “ Tanya Pangeran Banawa.

“ Karena aku harus bertanggung-jawab kepada seluruh rakyat Mataram.

Demikian juga dengan Raja Hadiwijoyo, yang harus memelihara kesejahteraan rakyatnya sendiri, rakyat Pajang.

Rakyat Mataram tentu berbeda dengan rakyat Pajang.

Aku harus mendengarkan kemauan rakyat ku; Apa yang diinginkan oleh rakyat ku sendiri. Aku harus mengutamakan rakyat daripada keluarga ku sendiri.

Begitu juga dengan Raja Hadiwijoyo.

Ketahui lah oleh mu Banawa, bahwa aku tidak dapat bertindak semau ku sendiri, tetapi aku harus mendengar kan lebih dahulu suara rakyat ku; Demikian juga seharusnya Raja Hadiwijoyo.

Maka dari itu, Jika seandainya kehendak rakyat Mataram, kebetulan sependapat dengan keinginan Raja Hadiwijoyo, maka aku dan Raja Hadiwijoyo akan dapat berjabat tangan didalam suatu persetujuan yang saling menguntungkan. Dengan demikian kedua komunitas Pajang dan Mataram dapat hidup berdampingan secara damai.”

“ Wow, ..... sungguh engkau Raja yang bijak wahai Suta, kakak ku ! Aku bangga dengan mu dan aku juga kagum dengan hasil kerja mu di Mataram ini.”

Banawa melanjutkan, “ Akan tetapi, engkau lebih mementingkan orang lain dari pada kehendak keluarga mu; Dalam hal ini adalah ayah mu. Rakyat mu lebih penting dalam dirimu.

Apakah begitu, seharusnya sikap seorang Raja ? ”

Kedua orang itu terdiam.

Pangeran Banawa kembali berkata, “ Baik lah wahai Suta ! Jangan engkau jawab pertanyaan ku yang satu ini. Ketahui lah oleh mu, bahwa Kami datang kepadamu untuk suatu urusan perdamaian; Bukan untuk berdebat dan kemudian membangkitkan silang sengketa. Engkau adalah seorang Raja, yang mana aku tidak mau dan juga tidak boleh mendebat kehendak mu.

Yang terpenting dari kita adalah, jangan lah kita saling curiga. Hilangkanlah rasa curiga pada diri kita masing-masing. Janganlah engkau curiga kepada aktifitas rakyat Pajang; Demikian juga Raja Hadiwijoyo.

Sekali lagi aku katakan, bahwa aku bangga dengan mu wahai Suta, dan juga kagum dengan hasil yang sudah dicapai oleh mu dan seluruh rakyat Mataram. Engkau adalah Raja yang bijak dan berkemampuan didalam membangun suatu Negeri. Aku memujimu dengan sungguh-sungguh dari dalam hati ku, karena pada kenyataannya memang begitu.

Bolehkah aku memeluk mu wahai kakakku Suta ? Sebagai tanda bahwa engkau setuju dengan saran ku, untuk tidak saling curiga mencurigai, diantara kita ? “

“ Tentu saja boleh dan tentu saja aku setuju untuk tidak saling curiga. “

Maka kedua orang itu saling berpelukan, diiringi oleh tepuk tangan yang berkepanjangan dari para hadirin.

Setelah suara tepuk tangan mereda, Sutawijaya berkata, “ Hai Banawa ! Sesungguhnya engkau juga akan menjadi Raja, menggantikan Raja Hadiwijoyo. Kusimpulkan bahwa kedua putra Joko Tingkir memang berbakat untuk menjadi Raja.

Setelah aku mendengar uraian mu, maka aku mengambil kesimpulan bahwa engkau adalah diplomat ulung. Aku terkesan dengan kata-kata mu dan itu memang yang harus diucapkan oleh seorang yang akan menjadi Raja; Yaitu engkau.

Aku sudah cukup puas untuk menjadi Raja di Selatan; Dan engkau akan menjadi Raja di Utara, di Kerajaan Pajang.”

Ternyata Sutawijaya adalah pribadi yang menyenangkan, tidak ada rasa sombong yang digembar-gemborkan oleh para utusan yang dulu.

Akan tetapi hati orang siapa tau ? Apa yang ditampilkan, belum tentu sama dengan yang ada didalam pikiran nya.

Setelah Pangeran Banawa memberi laporan kepada Patih Mancanegara dan juga kepada kawan-kawan nya, bahwa Sutawijaya dapat menerima para utusan dengan damai, maka seluruh rombongan Pajang memasuki Kota Gede dengan tenang. Penduduk Mataram juga tidak takut lagi.

Mereka memasang kemah berwarna putih di alun-alun depan Istana. Bendera berwarna putih beserta bendera Nasional Pajang, berkibar-kibar.

Hingga menjelang malam tiba, Panembahan Senopati datang menyambut kedatangan tamu-tamu nya, didalam suatu pesta yang meriah dan penuh persahabatan, yang diadakan di alun-alun depan Istana.

Patih Mancanegara diterima oleh Raja Panembahan Senopati, di alun-alun, bukan di Istana; Diakarenakan tamu-tamu dari Pajang terlalu banyak, sehingga Istana penuh. Alasan yang lain adalah mereka akan menyaksikan pertunjukan wayang kulit, bersama-sama rakyat dari kedua Kerajaan.

Pada kesempatan itu, Raja Panembahan Senopati memberikan sambutan,

“ Wahai saudara-saudaraku rakyat Pajang dan rakyat Mataram !

Ketahuilah bahwa malam ini adalah sungguh malam yang sangat indah dan meriah; Dan telah membuat bahagia aku dan juga seluruh rakyat Mataram. Aku juga mengharap kan demikian adanya bagi rakyat Pajang.

Kita dapat duduk bersama secara kekeluargaan, untuk menikmati hidangan dan juga menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Nah aku mengucapkan selamat datang ,wahai rakyat Pajang; Dan selamat menikmati wayang kulit dan hidangan yang lezat.”

Demikian kata sambutan Raja yang singkat tetapi penuh arti.

Patih Mancanegara, selaku pimpinan rombongan, juga mendapat kesempatan untuk ber pidato,

“ Aku, Patih Mancanegara juga sependapat dengan Raja Mataram, Panembahan Senopati, bahwa malam ini adalah malam yang indah. Kami mengucapkan banyak terimakasih, yang mana kami telah diterima dan di jamu dengan kemewahan hidangan dan juga hiburan, oleh seorang Raja yang bijak, seperti dimalalm ini.

Lebih dari itu, kami juga merasa bahagia dengan terwujud nya cita-cita kami; Yaitu mempersatukan kedua masyarakat Pajang dan Mataram, untuk dapat duduk bersebelahan; Sambil menonton wayang kulit dan menikmati hidangan yang lezat.

Wahai masyarakat Mataram ! Ini lah sesungguhnya tujuan kami ! Kami datang untuk mewujudkan suatu perdamaian antara engkau dan kami.

Kami sudah mendapat laporan dari Pangeran Banawa, yang ternyata dia adalah adik dari Raja Panembahan Senopati; Bahwa kami dapat diterima dengan lapang dada di Istana Mataram. Oleh sebab itu lah kami tidak ragu-ragu untuk melangkahkan kaki-kaki kami masuk kedalam Istana yang megah ini.

Kami mengulang kembali kata-kata Pangeran Banawa, didalam kesempatan yang baik ini, bahwa jangan lah kita saling curiga-mencurigai, pupuklah persahabatan antara kedua Kerajaan, sehingga kita dapat hidup berdampingan dengan damai dan sejahtera.

Dengan demikian, maka kita dapat menciptakan kesejahteraan bagi kedua rakyat dari dua Kerajaan yang akan dapat hidup berdampingan, seperti yang sudah terjadi dimalam yang indah ini.”

Patih Mancanegara menyambung pidato nya yang panjang, “ Perlu kami menyampaikan kepada rakyat Mataram, bahwa tidaklah maksud kami untuk pergi berperang dengan membawa banyak serdadu kami disertai perlengkapan perang; Tetapi justru untuk perdamaian.”

Terkejut Raja Panembahan Senopati mendengar uraian Patih, akan hal nya serdadu Pajang yang banyak dibawa ke Mataram,

“ Hai Patih ! Apa maksud mu yang sesungguhnya, dengan membawa banyak serdadu mu beserta mu ? Apakah begitu caranya orang yang ingin berdamai ? “

“ Wahai Paduka Raja ! Sekali lagi kukatakan, jangan lah kita saling curiga ! Simpanlah kata curiga itu didalam benak mu.

Memang sengaja kubawa begitu banyak serdadu dengan maksud-maksud siasat diplomasi; Yaitu agar kami dapat diterima oleh Paduka dengan rasa penuh persahabatan.

Dan nyata nya, engkau telah menerima kami dengan penuh persahabatan; Suatu tanda bahwa siasat kami memang telah bekerja dengan jitu ! Jangan lah Paduka marah akan hal nya siasat yang telah kami gunakan ini. Tidak lah selalu suatu trik atau siasat itu digunakan pada pertempuran untuk mencelakakan musuh; Tetapi, kadang-kadang juga untuk maksud suatu perdamaian. Seperti yang sedang kami laksanakan.

Jangan lah menjadikan hal ini buah pikir yang negatif; Ambilah segi positif nya saja. “

“ Baik lah Patih ! Aku lega mendengar keterangan mu. “

Tepuk tangan membahana yang datang dari kedua belah pihak; Suatu tanda bahwa kedua komunitas, Pajang dan Mataram menghendaki perdamaian, yang dapat terwujud di masa akan datang.”

Kemudian kedua pembesar dari dua Kerajaan itu duduk dan bercakap-cakap secara santai sambil menikmati hidangan dan bersiap-siap untuk menonton wayang.

Raja berkata, “Aku mengharap bahwa wayang akan menjadi kebudayaan kita. Marilah kita menyaksikan Ki Dalang bercerita untuk kita. Marilah kita sama-sama untuk menyukai Wayang Kulit.”

Patih Mancanegara mengangguk-anggukan kepalanya didalam pembicaraan itu. Akan tetapi dia diam tidak berkomentar. Dia menjaga jarak, karena kedudukan lawan bicaranya adalah seorang Raja, yang mungkin saja dapat tersinggung dan akan membuat misi perdamaian nya gagal kembali.

Sejauh ini, sudah terjalin persahabatan antara kedua Kerajaan, Mataram dan Pajang. Walaupun Sutawijaya menolak untuk lebih ditingkatkan sebagai satu “ Keluarga Kerajaan “ didalam dua Kerajaan.

Sutawijaya menyatakan hal itu sebagai ‘tidak elok’. Dia telah menyatakannya secara halus, sehingga Patih Mancanegara tidak merasa tersinggung.

Berbeda ungkapannya kepada Ngabehi Wuragil, walaupun maksudnya sama; Akan tetapi telah membuat Ngabehi Wuragil marah besar.

Nampak Sutawijaya sudah banyak berubah didalam sikap dan penampilannya, dibandingkan tiga tahun yang lalu; Sekarang dia benar-benar sebagai Raja, dengan membawa adat seorang Raja. Demikian juga hal nya Pangeran Banawa.

Akan tetapi, telah terjadi sesuatu bencana yang membuat kedua Kerajaan menjadi renggang kembali.

Sewaktu ramai-ramai nya pesta berlangsung, terdengar khabar bahwa ada seorang pengacau yang menyelinap kedalam ruang dapur Istana. Dia tertangkap tangan sedang menaburkan racun warangan kedalam makanan untuk Raja Mataram; Makanan yang disediakan khusus untuk Raja Mataram, Panembahan Senopati.

Pengacau ini melawan dengan cara menusukan kerisnya secara membabi-buta; Maka Pangeran Raden Rangga, Putra Raja Mataram, meringkusnya dan sekaligus membunuhnya.

Tidak jelas, siapa sesungguhnya si pengacau ini. Dia datang ke dapur sebagai petugas kebersihan, yang akan membersihkan lantai dapur. Jadi, tidak ada orang yang menaruh curiga kepada dia sebelumnya.

Intelijen militer Mataram yang selalu waspada, segera membuat penyelidikan; Jasad sipengacau segera diteliti, siapa dia sesungguhnya. Setelah meneliti jasad sipengacau, akhirnya mereka menyatakan, bahwa orang itu adalah salah satu personil militer Kerajaan Pajang.

Betapa malu nya Patih Mancanegara, mendengar anak buahnya tertangkap tangan, sedang membubuhi racun kedalam makanan Raja. Jika makanan yang diracun diperuntukan untuk orang biasa, maka itu adalah perkara kriminal biasa; Tetapi apa bila makanan untuk Raja, maka itu adalah kriminal yang luar biasa; Boleh dikatakan suatu rencana pembunuhan politik yang bertujuan membuat kekacauan politik antara kedua Kerajaan.

Setelah dilakukan apel di alun-alun, maka Patih Mancanegara segera dapat mengetahui, dari mereka yang tidak hadir. Ternyata sipengacau itu adalah prajurit dari Tuban, dibawah komando Arya Pamalad, Bupati Tuban. Prajurit itu tidak hadir, karena sudah mati dibunuh oleh Putra Raja.

Patih Mancanegara langsung memberi komando, “ Tangkap Arya Pamalad ! “

Maka Arya Pamalad dinyatakan sebagai tertuduh yang mempunyai rencana untuk membunuh Raja Panembahan Senopati. Dia ditangkap pada saat apel, tangannya diikat dan dibawa untuk disidang kan.

Tidak lah mungkin anak buah nya sebagai tertuduh; Pasti prajurit itu mendapat tugas dari komandan nya, yang tidak lain adalah Arya Pamalad. Pada mulanya Arya Pamalad tidak mau mengakui; Dia menuduh prajurit bawahannya itu lah, yang harus bertanggung jawab.

Dia berteriak-teriak, “ Aku bukan seorang pembunuh ! Aku tidak bersalah ! “

Arya Pamalad dipukul dengan tinju berkali-kali pada kepala nya.

Patih Mancanegara menggunakan cara-cara interograsi militer agar si tertuduh mengakui perbuatannya; Dan berhasil, Arya Pamalad pada akhirnya mengakui perbuatannya.

Setelah mengakui kesalahannya, Arya Pamalad dihadapkan pada komandan pasukan Mataram, untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Patih Mancanegara menghadap ‘polisi’ dari Kerajaan Mataram; Dia menyatakan bahwa rencana pembunuhan Raja, itu adalah inisiatif Arya Pamalad sendiri.

Seluruh anggota delegasi Pajang, tidak ada yang mengetahui rencana pembunuhan itu, semua bersih dari rencana kriminal.

Pada akhirnya Arya Pamalad dihadapkan langsung pada Raja Panembahan Senopati, untuk mendapatkan hukuman.

Sekalipun Raja Panembahan Senopati marah besar, tetapi dia menyadari bahwa dia tidak berwenang untuk mengadili seorang warga asing, maka Raja mengembalikan terdakwa pada hukum yang berlaku di Pajang.

Sesungguhnya dia ingin memukul si calon pembunuh, tetapi niatnya diurungkan, karena dia menyadari bahwa dia adalah seorang Raja.

Raja hanya bertanya kepada Pamalad, ” Apa salahku sehingga aku harus mati diracun oleh mu, wahai Pamalad ? Tak usah kau jawab pertanyaanku itu sekarang, nanti dipengadilan di wilayah mu, Pajang; Engkau dapat menjawab dengan jujur !

Ketahuilah oleh mu, aku dan seluruh utusan Pajang sudah menyatakan untuk tidak saling curiga mencurigai satu sama lain; Akan tetapi engkau telah membuat keruh air jernih, yang telah kami buat dengan susah payah.”

Patih Mancanegara mendekati Pamalad, dan memukul dengan tinju nya keatas kepala Pamalad. Kemudian dia berkata, “ Wahai Raja yang Agung, aku sudah membuktikan kepada mu bahwa kami semua tidak setuju dengan tindakan si bedebah Pamalad ini, dengan meninju kepalanya. Perbuatan jahat nya adalah menjadi tanggung jawab pribadinya sendiri”

Pangeran Banawa ikut berkata, “ Wahai kakak ku Sutawijaya, percayalah kepada ku bahwa kami semua adalah kawan bagi mu, bukan musuh mu. Bukankah engkau sudah memeluk aku, sebagai tanda perdamaian ? Jangan lah engkau mencurigai kami dengan ada nya peristiwa ini !”

Sutawijaya menjawab, “ Khusus untuk mu Banawa, aku menyayangi mu sebagai adik ku.”

“ Tidak Sutawijaya ! Engkau harus menyayangi kita semua, terlebih kepada ayah kita, Raja Hadiwijoyo.! Jangan engkau mencurigai ayah kita, Raja Hadiwijoyo !“ Suara Banawa keras melengking, penuh emosi.

Sutawijaya terdiam karena dia mendengar Raja Hadiwijoyo disebut-sebut. Pada akhirnya dia berkata, “ Baik lah! Kita tidak akan saling curiga ! Sekali lagi kukatakan, tidak akan saling curiga. “

Dengan rasa menyesal yang mendalam,Patih Mancanegara,Pangeran Bawana, beserta seluruh pengawal nya, meminta izin untuk pulang kembali ke Pajang.

Sementara itu Sutawijaya kembali memperlihatkan muka masam nya; Dia tidak lagi memperlihatkan senyum,setelah peristiwa itu. Apakah misi para utusan Pajang itu sudah gagal ? Tidak ada yang dapat mengambil kesimpulan.

Semua menyalahkan Arya Pamalad yang telah membuat kekacauan.

Betapa kesal nya perasaan Raja Hadiwijoyo, setelah mendengar berita tidak baik dari utusan nya. Dia kesal dengan anak menantunya yang berasal dari Tuban; Mengapa rencana nya seperti itu ? Mengapa bertentangan dengan maksud, agar Kerajaan Mataram dapat berdamai dengan Pajang ?

Arya Pamalad telah memotong begitu saja rencana besar Patih Mancanegara. Mengapa dia bertindak sendiri ? Tidak dibicarakan lebih dulu rencana jahat nya dengan Raja Pajang, Raja Hadiwijoyo ?

Arya Pamalad kemudian diusir pulang ke Tuban; Tidak diberitakan apakah istrinya, yang anak Raja, ikut dengan nya ke Tuban. Juga tidak ada orang yang tau , hukuman apa yang akan menimpanya.




Bab 17


Setelah beberap tahun berlalu, Kedua Kerajaan tenang dan damai. Raja Hadiwijoyo juga tidak lagi gelisah akan ancaman Mataram.

Bahkan Raja berpikir, “ Ramalan Sunan Prampen dari Giri Kedaton itu, tidak terbukti. Sekarang, Raja Mataram yang sombong, tidak lagi membuat aku kesal dan marah. Mungkin misi perdamaian Pangeran Banawa telah benar berhasil membawa perdamaian.

Walaupun Sutawijaya masih tetap seperti duri di mata ku ! Mengapa ? Karena dia menolak untuk ‘Sowan’ dan bersimpuh di hadapan ku, sebagai anakku. “

Akan tetapi nasib tidak lah dapat ditolak; Telah terjadi peristiwa yang membuat marah Raja Hadiwijoyo, karena hal yang lain lagi.

Raden Pabelan, keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, kedapatan sedang bermain api asmara, dengan mengauli anak gadis bungsu Raja Hadiwijoyo, didalam kamar Kaputren. Seorang laki-laki yang kedapatan memasuki kamar kaputren, merupakan pelanggaran besar yang harus dijatuhi hukuman mati.

Hubungan cinta kasih kedua remaja itu memang sudah lama, dan sudah mendapat perhatian dari Raja. Raja Hadiwijoyo tidak melarang anak gadisnya yang bernama, Putri Mahisa Sekar Kedaton, mendapatkan jodoh Raden Pabelan; Sekalipun Raja tau bahwa, Raden adalah keponakan Sutawijaya.

Dia teringat akan pengalaman dirinya dengan Ratu Mas Cempaka, ibu dari anak gadisnya; Suatu pengalaman yang harus diingat oleh Raja dan menjadi pelajaran bagi dirinya; Bahwa tidak boleh seorang Raja melarang anak gadis nya untuk mendapatkan jodoh pasangan hidup bagi dirinya. Seperti yang sudah dilakukan oleh ayah mertua nya, Raja Trenggono.

Akan tetapi sekarang Raden tertangkap tangan, sedang berada berdua dengan kekasihnya didalam kamar nya.

Dia dapat menyelinap masuk kedalam Istana, tanpa diketahui oleh serdadu pengawal Istana. Bahkan Raden sudah berani melangkah kedalam gedung Kaputren, kemudian dapat masuk kedalam kamar Putri Mahisa Sekar Kedaton, untuk berhubungan intim seperti layak nya suami-istri.

Hal seperti ini sudah melampui batas kewajaran ! Wajar sudah, Raja Hadiwijoyo marah besar kepada pemuda yang berani menodai anak gadis nya.

Maka, Raja memberikan keputusan hukuman mati kepada Raden Pabelan.

Berita negatif akan hal nya Raden Pabelan yang telah tertangkap tangan itu, menyebar dengan cepat keseluruh Negeri, bahkan hingga ke Mataram.

Banyak komentar rakyat jelata akan halnya Pabelan yang bisa masuk kedalam Istana secara diam-diam, ditengah malam. Sudah pasti Putri sendiri yang memberi jalan masuk. Jadi yang bersalah sesungguhnya Putri sendiri, bukan Raden Pabelan.

Ayah dari Raden Pabelan adalah Tumenggung Mayang. Tumenggung adalah gelar ‘Raja Kecil’ yang harus bersekutu dengan Raja Hadiwijoyo didalam masalah politik.

Akan tetapi didalam hal masalah pelanggaran hukum oleh anak nya, tidak lah dapat dicampuri oleh ayahnya. Maka hukuman mati tetap berlaku, sekalipun ayah nya datang untuk meminta ampun akan kesalahan anak nya.

Raden Pabelan sendiri juga sudah meminta ampun kepada Raja Hadiwijoyo, “ Wahai ayah mertua ku yang berbudi luhur, ampuni segala dosa perbuatan ku. Aku sungguh akan mengawini kekasih ku dan aku akan membahagiakan hidup nya.

Ampuni lah kealpaan ku ini, wahai ayah mertua ku !”

Dia sudah berani memanggil Raja dengan istilah ‘ayah mertua ku’ seolah-olah dia sudah menikah dengan Putri.

Akan tetapi Raja Hadiwijoyo tetap pada pendiriannya, hukuman mati harus dilaksanakan.

Tumenggung Mayang yang juga hadir disitu bersama istrinya, ikut berkata membela anaknya, “ Wahai Raja yang Agung, sungguh kami sekeluarga memohon ampunan atas kesalahan Anan-da Pabelan.

Kami mengakui bahwa dia memang lalai akan situasi, dikarenakan setan telah mempengaruhi kehendak dan nafsu nya, sehingga berakibat seperti ini. Ampuni lah wahai Raja yang Agung.! “

“ Tidak ! Tidak wahai adikku Tumenggung Mayang. Anak mu telah sengaja ingin mempermalukan diriku, selaku Raja Pajang; Dengan mendatangi kekasihnya didalam kamarnya. Itu adalah pelanggaran yang harus dibayar mahal oleh nya! Hendak nya engkau dapat memaklumi hukum yang berlaku.! “

Tumenggung Mayang berbisik-bisik dengan istrinya, “ Bukan kah nasib Pabelan sama dengan Joko Tingkir ? Joko Tingkir mendatangi Putri Ratu Mas Cempaka di ruang perpustakaan, untuk ber mesra-mesraan, begitu bukan ? “

Istri nya menjawab, juga sambil berbisik-bisik, “ Ya betul, tetapi mereka tidak sampai berhubungan badan, kan ? “

Kembali Tumenggung mayang berdiskusi, berbisik-bisik dengan istrinya, “ Bukankah dia, si Joko Tingkir sudah berhubungan badan secara tidak syah dengan Suta Kenanga, sehingga melahirkan anak yang bernama Sutawijaya ? Yang sebenarnya adalah kakak mu.

Jadi, Jika kita ingin mencari-cari kesalahan orang lain, mudah saja. Manusia bukan lah Malaikat; Manusia tetap manusia yang mempunyai nafsu syahwat.

Sudah seharusnya dia mau mengampuni anak kita, Pabelan. “

Raja Hadiwijoyo marah, melihat mereka berbisik-bisik dimuka dirinya; Seolah mereka tidak mau menghargai seorang Raja.

Raja bertambah marah karena dia mengetahui akan ada nya ikatan keluarga antara mereka dengan Sutawijaya, Raja Mataram. Bukankah istri dari Tumenggung adalah adik nya Sutawijaya; Jadi, anak mereka, si Pabelan adalah keponakan Sutawijaya.

Harus diakui, Raja Hadiwijoyo masih membenci Sutawijaya. Walaupun dia tau bahwa sesungguhnya Sutawijaya adalah anak kandungnya sendiri.

Ramalan Sunan Prampen dari Giri Kedaton, kembali tampil kepermukaan; mendekati kebenaran; Bahwa Pajang akan dikalahkan oleh Mataram. Itulah ramalan yang menakutkan Raja Hadiwijoyo.

Akhirnya Raja Hadiwijoyo berteriak keras, “ Tangkap Tumenggung Mayang !”

Maka beberapa prajurit datang menangkap Tumenggung, beserta para pengawal Tumenggung.

Kembali Raja memberi perintah, “ Buang dia ke Semarang ! “

Semarang bukanlah sebuah kota besar, tetapi hamparan hutan yang sunyi-senyap, pada waktu itu.

Istrinya bergerak, beringsut-ingsut perlahan mendekati pintu, dan kemudian berhasil melarikan diri, tanpa diketahui.

Dia bernama, SutaCempaka; Dia bertekad akan memberi laporan kepada kakak nya, Raja Panembahan Senopati di Mataram, bahwa Raja Hadiwijoyo telah bertindak tidak adil.

Raden Pabelan tetap diikat pada kedua tangannya dan dibawa kepenjara untuk nantinya akan menjalani hukuman mati. Sungguh naas nasib nya. Tidak diketahui bagaimana nasib kekasihnya, Putri Mahisa Sekar Kedaton; Sudah lah pasti, dia sangat sedih. Seolah-olah nasib ibunya ( Putri Ratu Mas Cempaka ) telah berulang kembali kepada dirinya. Dia menyadari bahwa dia adalah anak dari seorang Raja yang kejam, yaitu Raja Hadiwijoyo.

Kejam nya Raja Hadiwijoyo berbeda dengan Raja Trenggono. Dikarenakan ada nya faktor lain yang ikut memperberat hukuman kepada Raden Pabelan; Yaitu, Raden Pabelan adalah keponakan dari Sutawijaya; Orang yang sekarang dibenci oleh Raja Hadiwijoyo.

Putri SutaCempaka beserta lima serdadu berangkat ke Mataram, memakai kuda. Perjalanan diperkirakan akan memakan waktu tiga hari.

Sesampainya di Kota Gede, Putri segera berlari-lari kecil, memasuki Istana tanpa halangan; Semua pengawal Raja sudah mengenal bahwa wanita itu adalah adik Raja Panembahan Senopati.

Putri langsung menghadap Raja Panembahan Senopati dan berteriak keras sambil menangis, “ Kakak ! Kakak ! Kakak !, Anakku telah dihukum mati dan suamiku telah dibuang ke Semarang, oleh Raja Hadiwijoyo.

Kakak, tolonglah aku ! Hukuman ini tidak adil ! Bahkan sangat menyakitkan hati.”

Baginda terdiam sebentar, dan kemudian bersabda,

“ Aku sudah mendengar akan halnya si Pabelan yang telah menodai Putri Raja ! Akan tetapi tidak lah dia perlu dijatuhi hukuman seberat itu. Hukuman mati adalah hukuman yang paling berat yang dirasakan oleh manusia; Hukuman itu biasanya dijatuhkan bagi seorang pembunuh, atau perampok yang membunuh.

Sedangkan aku, yang direncanakan akan dibunuh oleh Arya Pamalad, mau mengampuni si pembunuh. Aku ampuni kesalahan Arya Pamalad, dan aku suruh dia pulang ke Pajang.

Akan tetapi, keponakan ku sekarang dihukum mati oleh dia; Walaupun,.... sesungguhnya Pabelan itu bermaksud baik,... ingin menjadi menantu Raja; Bukankah itu sesuatu yang baik bukan ?

Dan bahkan dia sudah meratap meminta ampun kepada Raja Hadiwijoyo.”

“ Terimakasih kakak ! Pemikiran kakak sejalan dengan pemikiran ku, bahwa hukuman ini tidak adil, .... sungguh tidak adil.

Jadi bagaimana menurut pendapat kakak ? “

“ Marilah kita rebut suami mu dan kita bawa dia ketempat yang aman, di Mataram.

Sedangkan si Pabelan ... aku hanya bisa mengatakan Innalilahi wa Inaillahi Rajiun ! Mungkin hukuman mati nya sudah dilaksanakan.“

Langsung Putri SutaCempaka menangis meraung-raung dan memukul-mukul meja.

“ Jahat .... jahat ..... engkau sungguh jahat, wahai Raja Hadiwijoyo ! “

Raja Panembahan Senopati segera mengadakan rapat kilat dengan staf militer nya untuk mengatur siasat, merebut kembali Tumenggung Mayang dari pengasingannya di hutan Semarang.

Seketika dipersiapkan seribu lima ratus prajurit berkuda Mataram dibawah pimpinan Patih Purboyo. Putri SutaCempaka juga ikut serta; Dia memaksa untuk ikut bersama para prajurit Mataram.

Patih Purboyo menetapkan siasat nya dihadapan Raja, bahwa dia harus menghindari prajurit-prajurit Pajang, jika tidak ingin gagal. Pertempuran langsung harus dihindari, karena Pasukan Pajang jauh lebih banyak dari pada Mataram.

Pergerakan prajurit Mataram ini diupayakan rahasia, memakai jalan setapak, dan juga memotong jalan yang biasa dipakai.

Bahkan selalu berjalan malam.

Ternyata Tumenggung Mayang hanya dikawal oleh pasukan yang berjumlah sedikit saja.

Maka betapa terkejutnya para prajurit Pajang, sewaktu datang prajurit Mataram dalam jumlah yang banyak; Yang secara tiba-tiba sudah berada dihadapannya.

Terjadi pertempuran singkat yang tidak seimbang. Pasukan Pajang yang membawa Tumenggung Mayang, hampir semua tewas didalam pertempuran singkat; Sebagian kecil lainnya melarikan diri ke Pajang dan melapor pada Raja Hadiwijoyo.

Tumenggung Mayang dapat dibebaskan, kemudian dibawa ke Mataram dalam keadaan selamat.

Sementara itu, Raja Hadiwijoyo berang, setelah mendengar kan laporan bahwa pasukan yang membawa Tumenggung, mati dibantai oleh pasukan Mataram.

“ Apa ? Mereka sudah berani melawan ? Mataram sudah berani melawan Pajang ?

Kurang ajar engkau wahai Sutawijaya ! Anak tidak tahu diuntung ! Sudah kupelihara dan sudah kuanggap sebagai Putra Mahkota, ternyata engkau adalah seekor ular, ular Cobra yang sungguh ber-bisa.”

Ruang Balairung sunyi senyap, mendengar Raja sedang marah besar kepada anak nya sendiri, Si Sutawijaya atau Raja Mataram, Raja Panembahan Senopati.

Biasanya Mas Ngabehi Wilamarta mau memberi kan ‘api’ untuk memanas-manasi amarah Raja; Tetapi kali ini dia diam, karena Raja memang sudah marah; Tidak perlu ditambah-tambah lagi.

Juga Pangeran Bawana; Dia juga diam seribu bahasa; Dia yang selalu membela kakak nya, Sutawijaya. Kali ini Banawa menganggap Sutawijaya bersalah.

Sementara Ngabehi Wuragil masih berupaya mencegah pertempuran melawan Mataram,

“ Yang Mulia ! Kita sudah lama berusaha agar tidak terjadi peperangan dengan Mataram; Tetapi kita selalu mengalami kegagalan ! Kali ini memang sudah sampai di puncak kemarahan Paduka, karena mereka berani melawan tentara kita .”

Raja memotong, “ Jadi apa lagi kata-kata mu ? “

“ Tetapi, .... ingat lah, bahwa dia adalah anak mu sendiri “

“ Jadi ? “

“ Upayakan lah suatu perdamaian “

“ Tidak ! Tidak ! Tidak !

Apakah seorang ayah harus jongkok, menyembah, mencium kaki anak nya ?

Tidak !

Aku akan tusukan keris ku ke badannya, .... maka matilah dia !

Dia bukan lagi anakku, tetapi musuh ku ! “

Semua orang yang berada di ruangan itu, menjadi takut dan pucat mukanya, mendengar suara keras Raja Hadiwijoyo.

Pada akhirnya keluar perintah perang dari mulut Raja; Perang melawan Kerajaan Mataram.

“ Wahai Patih Mancanegara, segera persiapkan Angkatan Perang kita ! Dengan kekuatan penuh untuk kita berperang melawan Kerajaan Mataram ! “

“ Sandika Gusti Prabu ! Kami, militer Pajang siap berperang, wahai Baginda ! “

Kota Pajang menjadi gempar, ketika mereka melihat para prajurit Pajang berbondong-bondong, membentuk barisan. Pasukan berkuda berjajar di alun-alun (lapangan rumput) dimuka Istana; Dan juga ada pasukan gajah; Semua dipersiapkan untuk menuju medan tempur di Kotagede Mataram.

Sekarang ini masyarakat menyadari, bahwa benar-benar akan ada perang besar.

Medan tempur diperkirakan akan terjadi di Kotagede.

Target mereka adalah membunuh Raja Mataram dan membumi hanguskan Istana Mataram.

Raja Hadiwijoyo sendiri yang akan memimpin penyerangan ini.

Tanpa memberitahukan kepada musuh bahwa mereka akan diserang, pasukan Pajang sudah bergerak, dengan kekuatan sepuluh ribu pasukan. Mereka menabuh tambur dan berteriak-teriak untuk menakut-nakuti musuh.

Pada hari ke-empat, pasukan sudah sampai di Prambanan; Kemudian mereka mendirikan kemah untuk beristirahat.

Prambanan menjadi putih, dikarenakan kemah-kemah serdadu Pajang yang berwarna putih. Kemah Raja dan Patih, berukuran besar, berbendera Nasional Pajang.

Kali ini tidak ada bendera berwarna putih, seperti kunjungan Patih Mancanegara sebelumnya.

Sementara itu situasi di Prambanan sudah dilaporkan kepada Raja Panembahan Senopati. Disusul dengan diadakannya rapat darurat perang, yang dipimpin oleh Raja Mataram sendiri.

Perlu diketahui, Angkatan Perang Kerajaan Mataram tidak lah terlalu besar dan kuat. Jumlah personil militernya hanya tiga ribu orang; Ditambah dengan para sukarelawan sebanyak dua ribu orang.

Jadi untuk melawan pasukan musuh sebanyak sepuluh ribu orang prajurit, maka kemungkinan besar Mataram akan mengalami kekalahan.

“ Wahai Paman Patih Purboyo ! Apakah engkau mempunyai strategi pertempuran yang jitu untuk menghadapi musuh yang berjumlah dua kali lipat dari jumlah personil kita? ”

Raja Panembahan Senopati bertanya kepada Patihnya, didalam rapat perang darurat.

Patih diam sebentar, dan kemudian berkata, “ Pada prinsipnya kita akan menghindari pertempuran secara frontal, berhadap-hadapan.”

“ Wahai Patih ! Apakah engkau takut menghadapi pertempuran ini ? “

“ Samasekali tidak ! Akan kuperlihatkan bagaimana Patih-mu akan bertempur mati-matian, begitu juga dengan setiap serdadu ku. Aku akan perlihatkan kepada mu, betapa aku seorang prajurit yang gagah-berani.”

“ Terimakasih wahai Patih, atas pengabdianmu dan juga pengabdian seluruh personil militer Mataram.

Jadi pertempuran yang bagaimana, yang engkau maksudkan ? “

“ Di saat sekarang inilah kita bisa melancarkan serangan, langsung ke kemah musuh dengan memanah mereka dengan panah api ke kemah-kemah mereka.”

“ Di malam hariseperti ini ? “

“ Ya benar, di malam hari ! Karena kita tidak mempunyai waktu lagi.“

“ Terus bagaimana ? “

“ Setelah kemah mereka terbakar, kemudian kita bunuh mereka yang sedang lengah dan kebingungan, dengan memakai panah. Sementara itu, kita tetap berada ditempat persembunyian. Bila mereka mengetahui persembunyian kita, maka kita harus angkat kaki, secara perlahan-lahan.

Kita akan melarikan diri kedalam hutan, secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit.”

“ Aku setuju dengan strategi mu wahai Patih.

Maka sekarang ini kita harus berangkat ke Prambanan, untuk mengusir musuh.

Adakah prajuritku yang lain, yang mau memberikan saran ? ”

Raja bertanya kepada para peserta rapat.

“ Bila kita harus melarikan diri, maka kita sudah mempersiapkan lima tempat di hutan yang gelap. Janganlah kita bercerai berai; Janganlah ada yang bercakap-cakap, tertawa atau bahkan berteriak-teriak. Kesunyian itu lah kawan kita didalam pertempuran ini.”

“ Sepatu kuda hendaknya dilapisi oleh kain, agar tidak terdengar derapnya.”

“ Baiklah ! Hayo kita berangkat sekarang ! “ Raja langsung memberi komando.

Pasukan Mataram berangkat ditengah malam yang sunyi dan juga disertai hujan rintik-rintik.

Sementara itu terdengar guruh dari puncak Gunung Merapi, yang menandakan bahwa sesungguhnya Gunung Merapi akan meletus.

Alangkah terkejutnya pasukan Pajang, sewaktu mendapatkan banyak panah berapi menuju ke perkemahan mereka. Maka terjadi kebakaran ditengah-tengah mereka disertai kekacauan; Dikarenakan para prajurit terbangun dari tidurnya yang nyaris membakar dirinya hidup-hidup.

Pada malam itu, Raja, Patih dan puluhan Penyewu (staf militer) sedang mengadakan rapat, merapatkan barisan dan menyatukan ide dan siasat pertempuran, yang akan dilaksanakan esok hari-nya.

Ketika seorang serdadu tampil dan melaporkan pada anggota rapat, “ Kita diserang dengan panah api ! “

Patih Mancanegara segera berteriak, “ Bangun ! Bangun ! Kita mendapat serangan dari Mataram ! Bersiap untuk pertempuran.”

Para Prajurit sibuk mencari senjata mereka yang hampir saja terbakar atau sudah terbakar.

“ Dimana musuh kita wahai Patih ? “

“ Kelihatannya asal panah berapi dari sana dan juga dari sana.” Kata Patih sambil menunjuk dengan telunjuknya.

“ Hayo kita kejar ! “

Beberapa serdadu mendatangi tempat yang diperkirakan sebagai persembunyian musuh. Akan tetapi musuh mereka sudah melarikan diri dari sana. Sementara dari tempat lain, anak panah masih beterbangan dan mencari sasaran para prajurit Pajang yang sedang kebingungan. Maka beberapa serdadu Pajang tewas seketika.

Nampaknya Pajang menderita banyak kerugian didalam serangan yang mendadak ini.

Ditempat persembunyian musuh yang lain juga sama, musuh sudah pergi, entah kemana ?

Patih Mancanegara segera menyusun prajuritnya didalam barisan. Dan menghitung, berapa prajurit nya yang tewas ? Kiranya cukup banyak prajurit yang tewas, terkena anak panah.

Patih menjadi kecewa dan marah besar; Tetapi, kepada siapa dia harus marah ?

Raja Hadiwijoyo tampil dimuka barisan dan memberi komando dan pengarahan,

“ Nampaknya musuh kita sudah tidak sabar untuk segera berperang; Mereka datang ditengah malam seperti ini, yang membuat aku semakin marah kepada si Sutawijaya.

Kita akan berbaris menuju Kota Gede sekarang juga, ditengah malam ini; Dan mari lah kita gilas Kota Gede dengan pedang dan keris mu. Dan yang terakhir, akan kutusukan keris ku, ke perut Raja Mataram, si Sutawijaya yang sombong dan tinggi hati.

Kemudian kita akan bakar Istana Mataram seperti mereka telah membakar kemah-kemah kita.

Apakah engkau sudah siap , wahai para prajuritku yang setia ? “

“ Siap Paduka ! “

“ Mari kita berangkat sekarang ! “ Maka Angkatan Perang Pajang segera melangkahkan kaki mereka menuju Kota Gede.

Pasukan Mataram sudah kembali ke Kota Gede, dari hutan-hutan gelap, tempat persembunyiannya. Sekarang mereka sedang konsolidasi kekuatan mereka; Karena pertempuran frontal, berhadap-hadapan langsung dengan musuh, sudah tidak dapat lagi dihindarkan. Kota Gede ini lah yang akan menjadi medan tempur mati-matian guna mempertahankan Istana.

Seluruh rakyat Mataram ikut bertempur, baik itu anak-anak maupun orang tua dan juga wanita. Mereka sibuk membuat anak panah, mengasah pedang dan keris dan menyediakan makanan bagi para prajurit.

Ki Ageng Lo yang sudah tua, tetapi selalu dihormati sebagai sesepuh Mataram Kuno, menjadi tempat meminta doa restu kepada Tuhan melalui doa nya. Ki Ageng Lo yang masih beragama Hindu, bersembahyang meminta petunjuk dan pertolongan kepada Dewa.

Setelah selesai bersembahyang, Ki Ageng Lo berkata, “ Wahai penduduk Mataram ! Kita segera harus pergi kearah Timur, guna menghindari lahar Gunung Merapi, yang sebentar lagi akan menerjang Kota Gede ! Segera ! Segera ! Sekarang juga ! “

Dia dapat segera mengetahui bahwa Gunung Merapi akan segera meletus, setelah selesai sembahyang. Mungkinkah Para Dewa telah memberi tahukan akan hal ini ?

Penduduk Kota Gede dan sekitarnya menjadi bingung dan kacau, dikarenakan akan ada dua ancaman yang datang sekali gus. Mereka berlari kesana, kesini,...tanpa tujuan yang jelas, dikarenakan kepanikan.

Ki Ageng Lo kembali berkata, “ Lupakan ancaman tentara Pajang, karena mereka akan pulang kembali ke Pajang; Percayalah kepadaku, tentara Pajang akan segera pulang kembali.

Akan tetapi, lahar Gunung Merapi pasti akan datang.

Percaya lah kepada ku, bahwa tentara Pajang akan pulang kembali ke Negeri nya.”

Sementara itu, diIstana dan dimuka Istana rakyat Mataram menunggu perintah Raja Panembahan Senopati.

Raja Panembahan Senopati berpidato dimuka rakyatnya, “ Wahai rakyat Mataram yang setia akan Mataram, baik Mataram dulu atau Mataram kini. Negeri mu sedang meminta tolong kepada mu. Ibu Pertiwi mu sekarang ini dalam keadaan sakit karena diserang oleh musuh dari Utara.

Marilah kita bersama-sama membela Ibu Pertiwi; Sumbangkanlah harta benda dan nyawa mu sekalipun. Untuk mempertahankan Negeri mu, Mataram yang jaya ! ”

Seseorang berkuda datang mendekati Raja Senopati, “ Wahai Paduka, Gunung Merapi akan segera meletus dan memuntahkan laharnya. Kita hanya mempunyai waktu dua jam lagi.”

“ Berita ini datang dari mana ? “ Raja bertanya.

“ Ki Ageng Lo “

“ Kita harus bertindak ! Apa saran Ki Ageng Lo ? “

“ Pergi ke timur, sekarang juga. Ancaman tentara Pajang harus diabaikan, karena mereka juga segera pulang ke Pajang.”

“ Baik lah terimakasih !

Hai rakayat Mataram ! Gunung Merapi akan meletus kembali ! Jadi, kita sekarang juga harus berangkat kearah Timur! Seamatkanlah nyawa mu ! “

Maka seluruh penduduk Kotagede, berangkat ke Timur dengan segera dan penuh ketakutan.

Seorang serdadu mata-mata militer Pajang datang memasuki Kotagede yang sudah kosong. Dia bertanya didalam hati, “ Kemana mereka pergi ? Tak satupun yang tertinggal, apa yang sudah terjadi ?”

Untunglah ada seseorang yang masih tertinggal; Segera orang itu ditanyai oleh serdadu

Mata-mata Pajang, “ Mengapa Kotagede ini menjadi sunyi sekarang ini ? “

“ Hai Kisanak, sebentar lagi Gunung Merapi akan meletus dan memuntahkan laharnya; Lari-larilah wahai Kisanak ! Selamatkan lah nyawamu ! “

“ Oh begitu kiranya, terimakasih !”

Serdadu mata-mata itu memacu kudanya kembali ke kesatuannya. Dia segera melaporkan hal nya Gunung Merapi, langsung kehadapan Patih, “ Wahai Patih ! Gunung Merapi akan segera meletus; Kita harus segera pergi dari sisni, guna menghindari ancaman lahar.”

Patih berlari-lari menghadap Raja Hadiwijoyo, “ Yang Mulia ! Gunung Merapi akanj segera meletus, jadi kita harus mundur dan menunda pertempuran ini !”

Tampak muka Raja yang pucat dan redup; Nampak Raja takut. Tidak biasanya Raja bersikap seperti ini.

Akhirnya Raja bersabda dimuka Patih nya, “ Pantas saja, aku merasakan ‘lindu’ ( gempa) yang ringan dan sebentar.

Aku perintahkan kepada seluruh militer Angkatan Perang Pajang, untuk mundur dan menghentikan segera pertempuran ini ! “

“ Apa ? Menghentikan pertempuran ini ? “

“ Ya benar ! Sudah jelas kah perintah ku ? “

“ Tetapi ..... tidak seharusnya pertempuran ini dihentikan, wahai Paduka ! Tetapi hanya ditunda, hingga Gunung Merapi berhenti untuk memuntahkan lahar nya ! “

“ Tidak ! Segera laksanakan perintah ku, sebelum lahar itu datang ! “

Maka Patih Mancanegara memerintahkan serdadunya untuk berputar arah, kembali ke Pajang.

Demikian yang terjadi pada barisan serdadu Pajang, mereka mundurkembali. Mereka melarikan diri kearah Utara dan pulang kembali ke Kota Pajang. Bukan takut pada peperangan, tetapi takut pada lahar Gunung Merapi.

Sungguh mengherankan, Raja Hadiwijoyo memberi komando tentaranya untuk mundur.

Ternyata, Raja Hadiwijoyo telah memberi komando yang membuat bingung dan mengherankan.

Pulang kembali ke Kota Pajang dan sekali gus menghentikan serangan.

Patih Mancanegara memberi saran kepada Raja, “ Wahai Paduka ! Sebaiknya kita tidak pulang kembali ke Pajang, tetapi kita menempatkan serdadu kita di tempat yang aman dari lahar Gunung Merapi. Setelah letusan nya berhenti, maka kita serang kembali.”

Seharusnya Raja Hadiwijoyo tidak menghentikan perang. Dia seharusnya melanjutkan pertempuran, setelah letusan gunung itu selesai.

Terlebih, Raja sudah memberikan ancaman dimuka para prajuritnya, “ Akan kutusukan kerisku kepada Raja yang sombong, si Sutawijaya ! “

Sungguh memalukan bagi Raja, bila Raja pulang kembali ke Pajang.

Akan tetapi pasukan Pajang merasa bahagia, karena Raja berpikir akan keselamatan pasukannya. Pasukan Pajang berhasil menghindari magma dan gas beracun dari gunung; Mereka mempercepat langkah mereka untuk dapat cepat sampai kerumah, keluar dari tempat yang berbahaya.

Akan tetapi terjadi suatu kecelakaan, dimana Raja Hadiwijoyo terjatuh dari gajah tunggangan nya. Sementara sang pawang gajah masih tetap di punggung gajah.

Ini merupakan musibah bagi Kerajaan Pajang.
Memang gajah itu mempercepat langkahnya, karena bahaya letusan Gunung Merapi.
Jatuhnya Raja dari kendaraan tunggangannya, ternyata mengancam nyawa Baginda Raja. Seharusnya tidak lah sampai berakibat fatal, tetapi pada kenyataan nya, Raja menjadi kritis.

Raja hampir menemui ajal nya, sewaktu Para Menteri dan serdadu nya datang untuk menolong.

Patih Mancanegara memeriksa keadaan Raja junjungannya,

“ Bagian mana dari tubuh Paduka yang mengalami cedera ? “

Raja menjawab, “ Ditempat ini, di dada ku ! Terasa sangat sakit, seolah-olah ada orang yang menusukan pedang nya ke dada- ku, ..... tepat didadaku ini ! “

Beberapa prajurit memberikan ramuan minyak penahan sakit yang segera diurapkan diatas dada sang Raja.

Raja yang sakti mandra guna, sekarang terbaring tidak berdaya, karena Malaikat el Maud datang menjemput. Muka beliau pucat; Kelihatannya beliau merasa takut, sungguh kelihatan sangat takut.

Patih Mancanegara segera meminta kepada Raja, “ Wahai Paduka, sebelum Paduka meninggalkan kita semua, alangkah baik nya jika Paduka mau memberikan wasiat dan pesan kepada kita yang akan ditinggalkan.”

Setelah terdiam beberapa saat, Raja Hadiwijoyo memberikan wasiat dan pesan nya kepada Para Menteri, Patih, Petinggi dan juga Keluarga nya,

“ Janganlah engkau teruskan pertempuran ini !

Dikarenakan Raja Mataram itu sesungguhnya adalah Putra Mahkota yang akan meneruskan kepemimpinan ku selaku Raja.

Patih Mancanegara bertanya, “ Wahai Raja yang bijak, mengapa engkau seketika mau merubah kehendakmu yang sebelumnya akan menusukan keris mu kepada Raja yang sombong, si Sutawijaya. Akan tetapi, pada kesudahannya, engkau berbalik, seperti pada pesan wasiat mu ini ? “

“ Ya aku mengerti, akan kebingungan mu ini.

Raja terdiam beberapa saat, karena dia sedang menahan rasa nyeri di dada nya dan juga sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk di ucapkan.

“ Karena adanya letusan Gunung Merapi.

Itu adalah suatu tanda dari Yang Maha Kuasa, untuk kita harus menyerah.

Jangan lah engkau bahas wasiat ku ini !

Juga mengenai Sutawijaya yang kutetapkan sebagai Raja Pajang. ”

“ Wahai Baginda ! Kita akan menunggu disuatu tempat, hingga Gunung itu tidak lagi mengeluarkan lahar nya dan kembali normal. Setelah itu kita lanjutkan peperangan ini !

Jika kita tidak lanjutkan, maka harga diri kita akan jatuh.

Kita akan dinyatakan sebagai pecundang( pihak yang dikalahkan), sementara mereka menyatakan diri mereka sebagai pemenang pertempuran.”

Baginda Raja Hadiwijoyo tidak mau menjawab komentar dan saran dari Patih Mancanegara.

Tak lama kemudian Raja Hadiwijoyo wafat dengan tenang. Dan jasadnya dibawa oleh para prajuritnya dengan penuh kehormatan, ke Pajang.

Selama dalam perjalanan, Patih Mancanegara berdiskusi dengan staf militernya akan keputusan Raja Hadiwijoyo yang membuat bingung dan terasa ganjil; Mengapa dia tiba-tiba mejadi berbaik hati kepada Sutawijaya ? Mengapa pertempuran ini harus dihentikan ?

Para pembantu Patih juga sependapat dengan Patih; Sungguh keputusan Raja membingungkan. Pada mulanya dia berapi-api akan menusukan kerisnya ke tubuh Sutawijaya, tetapi secara tiba-tiba dia berbaik hati kepada Sutawijaya, bahkan menetapkan Sutawijaya sebagai pengganti Raja.

Ditengah perjalanan, seorang wanita tua menghadang perjalanan Patih. Nenek itu berkata kepada Patih Mancanegara, “ Wahai Patih, Panglima perang yang gagah berani ! Izinkan aku untuk mengebumikan jenazah anakku, si Joko Tingkir, ditempat kediamanku di Rawa Penging, Desa Butuh.”

“ Hai siapakah engkau ? “

“ Aku adalah ibu tiri Raja mu, si Joko Tingkir; Aku adalah Nyai Ageng Tingkir dari Desa Butuh.”

“ Oh begitu ! Baik akan aku rundingkan dulu dengan para staf- ku; Engkau harus menunggu.”

Patih berbicara kepada para pembantunya; Pada akhirnya dia setuju, Raja akan dikebumikan di Desa Butuh, tempat kelahiran beliau.

Patih memberi perintah, “ Pangeran Banawa, Ngabehi Wuragil dan Ngabehi Wilamarta beserta seribu serdadu, ikuti lah bersama Ibunda Raja untuk upacara pemakaman Raja di Desa Butuh. “
Para loyalis Raja Hadiwijoyo juga banyak yang ikut dengan sukarela.

Raja dikebumikan di desa nya, Desa Butuh dengan penuh rasa hormat oleh para pengikutnya.

Sesampainya di Istana Pajang, Patih Mancanegara membuka kembali diskusi yang belum selesai; Akan hal nya keputusan Raja yang mengangkat Sutawijaya sebagai Putra Mahkota; Sesuatu keputusan yang janggal membingungkan, menurut penilaian Patih dan banyak serdadu nya. Beberapa staf militer Pajang memperkirakan akan Raja yang mendapat tekanan politik dari seseorang yang berpengaruh.
Salah seorang staf nya membawa seorang dukun paranormal kehadapan Patih untuk bercerita akan hal gaib yang telah menimpa Raja dan membuat Raja bernasib jelek.

Dia adalah seorang yang berpengalaman dengan ‘Jin’.

Dia bernama Ki Ageng Kebo Songo.

Ki Ageng Kebo Songo berkata, “ Wahai Patih ! Keterangan ku tidak lah akan berguna bagi mereka yang tidak percaya akan segala hal yang berbau mystik atau ghaib. Tetapi aku tau bahwa kematian Raja Hadiwijoyo adalah karena perbuatan Jinny, sesosok Jin. Dan engkau pun perlu mengetahui akan hal itu.

Jika engkau tidak percaya akan hal-hal mystik, maka aku akan mengundurkan diri.”

Patih Mancanegara berkata, “ Lanjutkan ! Aku percaya ! “
Ki Ageng Kebo Songo membakar kemenyan dan membaca mentera selama sepuluh menit. Kemudian dia mengeluarkan perintah, “ Datanglah wahai Jinny ! “

Tak lama kemudian dia berkata, “ Terimakasih akan kedatangan mu kehadapan ku ! “

Si Dukun seolah-olah sedang bercakap-cakap dengan seseorang, tetapi lawan bicaranya tidak nampak dan juga suaranya tidak terdengar.

Ki Ageng Kebo Songo, “ Siapakah junjungan mu ? “

( Tidak terdengar jawaban dari lawan bicara nya )

“ Panembahan Senopati ! Apa tugas yang diberikan kepadamu dari junjungan mu itu ? “

“ Membunuh Raja Hadiwijoyo ! “ (Ki Kebo Songo mengulang kembali kata-kata Jinny)

“ Apakah tugasmu hanya itu saja ? “

“ Mempengaruhi dan juga menekan jalan pikran Raja untuk kepentingan Panembahan Senopati. ” ( Kebo Songo mengulang kembali kata-kata Jinny.)

“ Apakah tugasmu sudah selesai ? Dan sudah dijalankan dengan baik ? “

“Tugas mu sudah engkau laksanakan dengan baik !

Bagaimana cara mu untuk membunuh Raja Hadiwijoyo, wahai Jinny ? “

“ Jadi engkau mendorong Raja dari atas punggung gajah, dan sesudah itu ... ? ‘

“ Kau tusukan kuku jari mu ke dada Raja.

Baiklah Jinny, terimakasih atas keterangan mu !

Akan tetapi aku perlu mengetahui nama mu yang sebenarnya; Katakanlah ! “
“ Oh hanya Jinny,... jadi engkau merahasiakan nama mu ? Ya aku dapat mengerti; Karena engkau takut, akan aku, yang akan mengadukan kegiatanmu kepada Raja mu; Engkau sebagai kaki tangan Raja manusia, Panembahan Senopati, yang aku tau hal itu dilarang oleh Raja mu.

Aku masih dapat mengadu akan perbuatanmu, kehadapan Raja mu; Walaupun aku tidak tau nama mu yang sebenarnya. Beliau tidak setuju akan tindakan mu dan engkau akan mendapat hukuman berat dari Raja mu.”

“ Baiklah ! Aku akan merahasiakan perbuatanmu itu !

Akan tetapi dengan syarat, engkau tidak boleh mengulangi lagi perbuatanmu; Menggangu manusia didalam pertempuran atau diluar pertempuran.

Sekarang, pulanglah engkau pada junjunganmu; Aku menitip salam kepadanya.

Namaku adalah Ki Ageng Kebo Songo. ”

Dengan demikian, selesai pembicaraan tanya-jawab antara Jinny ( Jin) dengan Ki Ageng Kebo Songo, secara gaib-mystik.

Ki Ageng Kebo Songo melaporkan isi pembicaraan kepada Patih, “ Demikian keterangan si Jinny, sessosok Jin yang sudah menjadi bagian pasukan mata-mata Panembahan Senopati; Dia sudah menjalankan tugasnya untuk membunuh Raja kita, Raja Hadiwijoyo.”

Patih Mancanegara mengejar keterangan lain, “ Bagaimana cara nya dia, untuk dapat membunuh Raja ? “

“ Menurut keterangan Jinny, Jinny mendorong Raja dari atas tunggangannya, punggung gajah, sehingga Raja kita jatuh.

Sesudah itu dia menusukan kuku nya ke dada Raja, hingga Raja kesakitan; Rasa nyeri yang mendalam di dadanya, telah dirasakan oleh Raja.”
“ Serasa tidak mungkin ! Bukankah kuku itu kecil saja ! “

“ Dia adalah sesosok Jin yang menakutkan ! Tingginya, setinggi pohon kelapa. Kuku nya seperti pedang yang tajam. Mukanya menyeramkan, dengan gigi taringnya yang selalu dipamerkan.”

“ Wow ! Engkau sedang menakut-nakuti aku, wahai Kebo ?

Lalu bagaimana selanjutnya ? “

“ Pada saat itu Raja belum mati, tetapi merasakan nyeri dan takut yang mendalam. Kebetulan engkau meminta Raja untuk menyatakan wasiat-waris sebelum kematian nya datang.

Pada saat itulah Jinny menekan Raja untuk Raja harus mengatakan, bahwa Perang sudah selesai dan pemenangnya adalah Panembahan Senopati. Selanjutnya, Panembahan Senopati harus dinyatakan sebagai Putra Mahkota untuk menggantikan kedudukan Raja Pajang .

Engkau sudah mendengar kata-kata Raja yang terakhir; Yang telah membuat semua yang mendengar terheran-heran, karena aneh. Bagaimana si Sutawijaya mejadi pemenang ? Jadi, semua keputusan Raja Hadiwijoyo yang aneh itu, adalah hasil kerja si Jinny.

“ Raja tidak mengatakan bahwa Kerajaan Mataram sebagai pemenang; Hanya saja keputusannya mengisyaratkan bahwa Pajang adalah dipihak yang kalah.”

“ Ya seperti itu yang dikatakan oleh Raja.

Sesungguhnya, strategi mu adalah benar; Menunggu Gunung Merapi mereda dan kemudian peperangan dimulai lagi; Dan aku yakin Pajang lah sesungguhnya yang akan memenangkan pertempuran ini. “

“ Lalu bagaimana selanjutnya ? “

“ Setelah Raja selesai mengucapkan kata-kata pesan terakhirnya, kuku si Jinny ditusukan lebih dalam ke dada Raja; Maka Raja mati seketika. Dia telah wafat dengan meninggalkan wasiat aneh; Tetapi keanehanny nya itu, sudah ku ulas menjadi terang, siapa penyebabnya. Aku mengutarakan hal ini untuk mu Wahai Patih.”

“ Kurang ajar engkau hai Suta ! Engkau bermain curang dengan mendatangkan Jin.

Mari kawan-kawan kita gempur sekali lagi Mataram !

Tangkap si Sutawijaya, dan kita bunuh dia, sesuai permintaan Raja Hadiwijoyo”

“ Jangan !

Aku sudah merasa puas akan perjanjian ku dengan Jinny.

Dia tidak akan mengganggu kita lagi. Sungguh dia tidak mau ku adukan kepada Rajanya akan perbuatannya.

Dia sesungguhnya sudah dilarang untuk campur tangan didalam urusan manusia.

Tetapi jika kita gempur kembali, maka Jinny akan segera mencari komandan pertempuran, untuk dibunuh. Karena dia masih tetap bekerja untuk Raja Panembahan Senopati.”

“ Apakah sudah sering terjadi bangsa Jin ikut campur tangan didalam urusan manusia ? Tetutama dalam urusan peperangan seperti sekarang ini ? “

“ Sering terjadi !

Dimana sekelompok Jin membantu Raja manusia yang sedang berperang dengan Raja manusia lainnya. Jin yang menjadi ‘pasukan mata-mata’ Raja manusia ikut bertempur melawan Jin yang membantu Raja manusia musuh nya. Maka Jin-jin itu juga saling bunuh membunuh.

Maka sering terjadi hal-hal yang mustahil, tidak masuk diakal, dapat terjadi didalam suatu pertempuran.”

Ruang rapat itu mejadi riuh karena bisikan-bisikan dan kata-kata komentar para hadirin.

Patih Mancanegara memberi komentar, “ Oh ... itulah sebab nya, Raja Trenggono telah dibunuh oleh seorang anak kecil; Dan anak kecil itu tidak pernah tertangkap, karena menyelinap dan lari, setelah membunuh Raja Trenggono.

Sekarang aku dapat mengerti, patilah anak kecil itu adalah Jin !”



Penutup


Demikian cerita nenek ku akan ‘Hikayat Joko Tingkir'. Cerita yang selalu disampaikan dari generasi ke generasi berikutnya.

Nenek berpesan agar engkau pandai memilih Raja yang jujur, di zaman sekarang ini. Tumbangkan lah Raja yang selalu berbuat curang dan mencelakakan rakyat nya.

Cerita nenek dimaksudkan, agar generasi muda dapat mencintai Negerinya sendiri, dan bangga akan Tanah Air nya, Indonesia.




TAMAT

No comments: