Tuesday, September 16, 2008

Cinta Terlarang (Bagian 3)

Sang Utusan

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

Tentara Majapahit berkekuatan seribu tentara berkuda memasuki kota Pakuan. Debu jalan mengepul keudara dibelakang kuda-kuda yang berderap maju masuk kota Pakuan.
Dimuka barisan ada orang yang membawa bendera putih, tanda ingin berdamai; dan ada yang membawa bendera Nasional Majapahit dengan warna merah diatas dan putih dibawah, sementara ada gambar Dewa Ganesha dibagian tengah.
Mereka adalah Penyatus Jalak Ireng pembawa bendera putih dan Penyewu Singo Lodra pembawa bendera Nasional Majapahit.

Kota Pakuan sunyi seperti kota mati, karena penduduknya sudah pergi mengungsi. Tentara Nasional Pajajaran berada didalam hutan disekitar Pakuan, memperhatikan musuhnya, siap tempur. Karena musuh membawa bendera putih, maka mereka tidak langsung menyerbu, tetapi menunggu.

Musuh, tentara Majapahit sudah sampai tepat dimuka Istana Pakuan. Dimuka Istana ada alun-alun (lapangan rumput yang luas) yang dapat digunakan mendirikan kemah-kemah. Segera mereka mendirikan kemahnya masing-masing. Karena alun-alun tidak dapat menampung kemah mereka, maka mereka menempati sawah penduduk disekitar alun-alun. Kemah yang paling besar tentulah kepunyaan Penyewu Singo Lodra yang juga merangkap kantor. Dimuka kemahnya dikibarkan kedua bendera tadi.

Tak lama kemudian, Jalak Ireng keluar dari kem, berkuda sambil membawa bendera putih menuju Istana. Penjaga pintu gerbang Istana menahannya.

“Stop! Siapa engkau? Dan apa tujuanmu?”

“Aku utusan Kerajaan Majapahit, hendak bertemu dengan Baginda yang mulia Maharaja Lingga Buana.”

“Baik, tinggalkan semua senjatamu disini.”

“Apakah engkau tidak mau menghormati utusan Majapahit? Aku datang dengan maksud damai.”

“Apa? Maksud damai? Lihat! Teman-temanmu disana, mereka menantang berkelahi dengan aku. Apa itu yang engkau maksud damai?
Jika engkau tidak mau meninggalkan senjatamu, engkau tidak boleh masuk kedalam Istanaku, pergilah!”

Dengan muka merah karena menahan marah, Jalak Ireng turun dari kudanya dan manaruh semua senjata-senjata perlengkapan perangnya. Prajurit pengawal Istana masih memeriksa badannya, kalau-kalau masih menyembunyikan keris atau lainnya. Sesudah itu dia diperbolehkan masuk kedalam Istana tanpa kudanya.

Jalak Ireng memasuki pintu Istana, jongkok dan maju menuju Singgasana Raja dengan sikap tubuh berjongkok. Ini adalah protokoler yang ditrapkan oleh Kerajaan Majapahit, sebelum menundukan suatu Kerajaan. Dikatakan, anggaplah Raja musuh mu itu adalah Raja mu sendiri.

Ternyata, Jalak Ireng sudah ditunggu oleh seluruh Menteri, staf Istana dan para perwira militer Pajajaran, termaksuk juga Baginda Maharaja Lingga Buana dan keluarganya.

Sesampainya dimuka Singgasana, Jalak menyampaikan surat kehadapan Baginda, “Kepada Baginda Maharaja Lingga Buana, kami adalah utusan Kerajaan Majapahit yang hendak menyampaikan surat dari Patih Gajah Mada, Mohon kiranya surat ini dapat diterima oleh baginda.”

Baginda sempat bangun dari Singgasananya untuk menerima surat itu; kemudian surat dibaca, tampak kerut-kerut di dahinya tanda beliau tidak setuju dengan isi surat tersebut. Surat tersebut diserahkan kepada Panglima Maung Jaya yang kemudian dibaca bersama Putri Dyah Pitaloka.

“Salam untuk Baginda Maharaja Lingga Buana yang perkasa, kami atas nama Kerajaan Majapahit ingin menyampaikan himbauan agar Negara anda dapat dipersatukan dengan Negara kami, agar rakyat dari kedua Negara menjadi lebih makmur dan jaya.
Kami menghendaki persatuan tersebut dibawah naungan Kerajaan Majapahit yang akan membawa kemakmuran dan kejayaan.
Hormat kami, Patih Gajah Mada.”

“Kurang ajar!”
Panglima Maung Jaya bangkit dari kursinya, mencabut senjata kujang dari pinggangnya dan menghampiri Jalak Ireng.

Jalak Ireng ketakutan, keringat dingin menetes dari dahinya dan dia berdoa didalam hati, “Oh Dewa yang Agung, selamatkanlah nyawaku!”

Tiba-tiba, seseorang keluar dari kamar yang berada disamping Balairung. Dia meloncat dengan tangkas dan menangkap tangan Panglima yang hampir menusukan kujangnya, “Jangan dibunuh! Dia staf militerku yang terbaik, ampunilah dia.”


“Baginda, Baginda…..Mengapa ada disini?” Kata Jalak Ireng.

“Ceritanya panjang sekali Jalak, akan aku ceritakan nanti secara tuntas.
Hanya sedikit yang kan kukatakan bahwa keberadaanku disini adalah dalam rangka melamar Putri Dyah Pitaloka yang akan ku jadikan istriku. Sekarang engkau boleh pulang dan katakan pada Singo Lodra untuk segera menghentikan penyerangannya kepada Kerajaan Mertuaku.”

“Tetapi Baginda, justru Patih Gajah Mada yang harus diberitahukan akan halnya perubahan rencana kita.”

“Baiklah, akan kuberitahukan Patih Gajah Mada dengan surat; dan engkau yang harus membawa surat itu kehadapan Patih.”

“Baginda harus membuat dua surat yang sama, satu untuk Patih dan yang lain untuk Singo. Begitu aturan kita,bukan? Agar sumber perintah tetap dari satu arah, Baginda.”

“Baiklah Jalak, aku akan segera membuat surat yang dimaksud.”

Semua yang hadir telah menyaksikan adegan demi adegan diruangan Balairung Istana dengan hati yang berdebar-debar. Mereka memuji Prabu Hayam Wuruk yang dengan cekatan dapat segera mementahkan rencana serangan Majapahit atas Pajajaran dengan hanya mencegah tindakan Panglima untuk membunuh Jalak. Jika Prabu tidak segera bertindak dan Jalak mati, maka pertempuran besar segera terjadi; pastilah banyak korban yang jatuh.

Prabu Hayam Wuruk dengan kekasihnya membuat surat memuat isi seperti berikut,

Patih Gajah Mada,
Aku, Raja Majapahit, Prabu Hayam Wuruk memerintahkan engkau untuk segera menarik mundur seluruh tentara mu kembali Ke Singosari. Perubahan rencana ini dapat dimungkinkan karena aku mencintai Putri Dyah Pitaloka yang akan kujadikan istriku.
Aku nyatakan bahwa Kerajaan Pajajaran adalah Kerajaan Sahabat yang tidak boleh diserang, karena Kerajaan dari ayah mertuaku sendiri.
Aku, Raja Majapahit
Prabu Hayam Wuruk.

Kedua surat diserahkan kepada Jalak Ireng. Jalak Ireng mengatupkan tangannya, berjalan mundur sambil tetap dalam posisi jongkok hingga sampai dipintu dan kemudian berjalan ke arah pintu Gerbang Istana. Dia meminta senjatanya dan juga kudanya.

Jalak segera mengadukan hal yang mengherankan kepada atasannya, “Raja kita tiba-tiba tampil di Istana musuh. Dan katanya dia ingin mengawini Putri Dyah Pitaloka.”


Penyewu Singo Lodra merasa geram karena pertempuran tidak jadi dilangsungkan.
“Sesungguhnya aku mengharapkan terjadi sesuatu dengan mu yang akan menjadi alasanku untuk melancarkan serangan ke Istana.

Jika engkau dicedera-i, aku akan segera meluncurkan roket guna memanggil kawan-kawan kita dari pasukan induk yang sudah siap tempur, tidak jauh dari sini.

Besok, pagi-pagi kita harus kembali ke Sunda Kelapa guna melaporkan hal ini kepada Patih. Aku yakin Patih merasa geram, sama halnya dengan aku.”

Kedua orang itu berangkat ke Sunda Kelapa secara diam-diam; sementara tentaranya tetap berkemah dimuka Istana dibawah pimpinan wakilnya, yaitu Penyewu Boyo Moro.

Kem Boyo Moro menjadi gempar mendengar Raja mau menikah dengan Putri Dyah Pitaloka. Akan tetapi mereka merasa gembira karena pertempuran tidak jadi dilakukan. Hal ini dapat disimpulkan dengan melihat kelakuan mereka dari jendela balkon Istana; para prajurit Majapahit bernyanyi dan bahkan menari-nari tanda sukacita. Tetapi mereka tidak berani mendekati istana. Mereka benar-benar tentara yang berdisiplin keras.

Sementara itu Raja Lingga Buana melihat situasi kem musuh dari atas balkon, diiringi oleh menantu-nya, Panglima, Putri Dyah, Ujang Lumut, Dayang Galuh dan beberapa perwira militer.

“Wahai ananda Prabu, mengapa mereka masih tetap berada disana, tidak mau angkat kaki. Apakah suratmu tidak berlaku?”

“Sabarlah ayahanda. Perjalanan surat itu akan memakan waktu tiga hari, jadi akan enam hari bila pulang pergi. Setelah itu, barulah sampai perintah mundur tentara majapahit.”

“Dapat dimengerti ananda. Aku sudah tidak sabar menunggu mereka pergi.”

“Tetapi ayah, mereka kelihatannya gembira; seperti sedang menyanyi dan menari. Jadi aku berkesimpulan mereka setuju dengan Rajanya yang mau kawin dengan aku.” Kata Putri Dyah.”

“Rakyat ku yang loyal padaku selalu ikut senang apabila Rajanya senang dan sebaliknya.” Kata Prabu Hayam Wuruk.


Bab 2

Setelah menempuh perjalanan tiada henti, maka sampailah kedua perwira Majapahit di Markas Besar mereka di Sunda Kelapa.

Singo Lodra dan Jalak Ireng langsung menghadap Patih dan menyampaikan surat Prabu Hayam Wuruk kepadanya.

Patih membaca surat itu dan tampak wajahnya menjadi muram. Dia termenung sebentar dan pada akhirnya memberi komentar, “Dasar Raja bujangan yang penuh birahi; jadi kita gagal menyerang Pajajaran.”

“Jadi bagaimana Patih, akankah kita menarik mundur seluruh laskar kita?”

“Ya begitu-lah, apa boleh buat. Kita mundur kembali ke Singosari dan kita rencanakan sasaran lainnya.”

“Tapi Patih, kita harus kembali lagi kesini dilain waktu, guna meneruskan cita-cita kita.”

“Ya, aku setuju dengan mu, Pajajaran harus ditaklukan. Sesungguhnya aku sudah punya rencana dengan Kerajaan ini. Kita akan gempur dan kita akan menang, kemudian kita persembahkan Putri Dyah Pitaloka kepada Raja kita sebagai rampasan perang. Bukankah itu sekali tepuk dua lalat.

Sesungguhnya aku tidak setuju dengan perkawinan ini dan tidak setuju dengan rencana Kerajaan Pajajaran sebagai Negeri Sahabat. Sudah seharusnya dia dibawah pengaruh Majapahit. Bukankah begitu bunyi sumpah Palapa-ku, mempersatukan seluruh Nusantara dibawah panji-panji Majapahit.

Bagaimana pendapatmu? Apakah engkau menyetujui pernikahan Rajamu dengan Putri musuh kita?”

“Aku tidak setuju Patih, karena hal itu sudah menyalahi cita-cita kita.” Kata Singo Lodra, sementara Jalak Ireng ikut manggut, tanda setuju dengan Singo.

“Bagus! Jadi engkau berdua berpihak kepadaku untuk melawan Raja.”

“Apa? Melawan Raja?”

“Ya benar. Aku sekarang ini sedang memikul beban berupa Sumpah Palapa yang sudah kuucapkan dimuka Para Dewa. Aku merasakan Para Dewa itu selalu memperhatikan hasil kerjaku, kalau-kalau aku akan ingkar janji. Maka aku berikrar, tidak boleh ada seorang warga Majapahit pun yang menentang cita-cita perjuangan kita, sekalipun dia adalah seorang Raja.”

Singo Lodra dan Jalak Ireng menjadi pucat dan menggigil ketakutan.

“Apa maksud Patih, kita akan melakukan makar seperti halnya suatu pemberontakan?”

“Tidak seperti pertempuran perang saudara, tetapi pembunuhan Raja secara rahasia; ingat secara rahasia. Buatlah seolah-olah Raja mati karena kecelakaan. Setelah dia mati, maka kita akan serang kembali Pajajaran. Apakah engkau setuju?”

Singo Lodra dan Jalak Ireng terdiam.

“Bagaimana caranya membunuh Raja?”

“Kita punya agen-agen Rahasia, komandannya kukenal si Jaran Kuru. Pakailah mereka karena mereka loyal kepadaku, bukan kepada Raja. Tapi harus diingat, jaga kerahasiaan, jangan sampai bocor; jangan sampai timbul perang saudara. Karena rakyat Majapahit kebanyakan setia kepada Raja.

Mulai sekarang jangan kita menyebut dia Raja, tetapi memakai kata sandi, Merak Jantan untuk Raja dan Merak Betina untuk Putri Dyah Pitaloka.

Nah adakan rapat-rapat kecil dan tertutup dengan agen rahasiaku dibawah pimpinan Jaran Kuru. Segera laksanakan!”

“Patih, bagaimana teknis pelaksanaan penarikan mundur tentara kita?”

“Aku akan perintahkan dengan surat perintah mundur kepada semua satuan tugas dan kepada engkau juga.”



Bab 3

Pada hari keenam, tentara Majapahit yang berada dimuka Istana Pakuan, mundur. Mereka menggulung tenda-tenda putihnya dan segera angkat kaki dengan kuda.

“Mengapa mereka pergi begitu saja? Seharusnya mereka membuat pesta perpisahan dengan kita. Dan seharusnya Singo Lodra datang ke Istana ini dan menemui junjungannya Prabu Hayam Wuruk, sekedar mengatakan halo apa kabar.
Wahai Raja Majapahit, apa komentar-mu? Kata Panglima Maung Jaya.

“Aku mengira mereka semua takut dengan mu, Panglima. Mungkin sekali Jalak Ireng telah menebar berita bahwa dia hampir terbunuh oleh Panglima. Itu alasannya mengapa mereka tidak mau datang ke Istana ini; karena mereka takut kepada engkau Panglima.”

“Raja Majaphit selalu membuat komentar yang konyol. Wahai Raja Majapahit aku ini serius dan itu adalah hal yang serius yang perlu didiskusikan; mengapa Singo Lodra tidak mau menghadap Rajanya di Istana ini.”

“Baiklah akan aku akan jawab sebaiknya. Tentara Majapahit menyandang teguh kedisiplinan militernya. Tidak boleh seorang prajurit atau pun perwira militer yang mengadakan perjanjian dengan tentara musuh, tanpa sepengetahuan atasannya.
Maka mereka tidak akan mau datang kesini, walaupun hanya sekedar jalan-jalan ingin melihat-lihat Istana Pajajaran; karena sudah pasti, Patih akan melarangnya.”

“Oh begitu, sekarang aku mengerti.
Sudah seharusnya kita berterimakasih kepada tamu kita yang sudah berhasil menghalau musuh kita dari hadapan kita, begitu bukan? Baginda.”

“Yang mengusir sebetulnya adalah Putriku. Dia yang menemukan Raja diantara para tawanan kita. Akan tetapi aku tau bahwa semua orang ikut berjasa, termasuk kamu Panglima.
Nah marilah kita rayakan kemenangan kita dengan pesta yang meriah.”

“Menang? Aku tidak merasa membunuh seorang musuh pun, bagaimana bisa dikatakan menang, Baginda”.

“Ini yang disebut pertempuran secara diplomasi dan kita menang; engkau sudah lihat, mereka pergi dari hadapan kita, walaupun tidak mengucapkan salam perpisahan.
Yang aku harapkan adalah mereka tidak akan kembali lagi; begitu bukan ananda Prabu?”

“Ananda juga mengharapkan begitu ayah.”

“Nah menjadi tugasmu untuk melarang tentaramu menginjakan kakinya lagi di tanah Parahyangan; tidak seorangpun, kecuali kalau ada keperluan lain.”

“Bagaimana mengenai pesta tadi Baginda.” Kata Panglima

“Ya, engkau ku angkat menjadi panitia pesta kemenangan dan selkaligus pesta pernikahan Putriku dengan Raja Prabu Hayam Wuruk.”

“Huray, Huray”, Semua yang hadir bertepuk tangan.

Setelah satu bulan Prabu berada di Istana Pakuan, maka diadakan pesta pernikahan antara Putri Dyah Pitaloka dengan Raja Prabu Hayam Wuruk yang penuh kebahagiaan.

Pesta pernikahan sangat meriah. Bukan saja kedua mempelai yang berbahagia, tetapi juga seluruh anak Negeri. Banyak alasan mereka untuk dapat ikut berbahagia, diantara alasannya ialah dikarenakan Prabu Hayam Wuruk lah yang menyelamatkan Pajajaran dari amukan tentara Majapahit; dan dengan begitu menghindari jatuhnya korban yang sia-sia.
Sudah sepatutnya mereka berterimakasih dan ikut berbahagia dengan pernikahan mereka.

Sementara itu Ibunda Prabu dan seluruh rakyat Majapahit di Singosari tidak ada yang tau bahwa Raja sedang menikah dengan Putri Dyah pitaloka. Hal ini disebabkan jarak Pakuan dan Singosari terlalu jauh.

Setelah pesta pernikahan selesai, maka kedua mempelai menikmati bulan madu di kamar penganten. Mereka bercakap-cakap hal-hal yang lucu dan ringan. Prabu tidak mau diganggu dengan masalah politik, apalagi akan halnya ulah Patih.

Putri bicara mengenai pengalaman pribadinya yang sungguh mengherankan, “Kanda Prabu, aku mempunyai pengalaman yang sungguh mengherankan, seolah Para Dewa meng-iyakan aku. Begini ceritanya, ketika terbetik berita bahwa Majapahit akan menyerang Pajajaran, aku berbincang-bicang dengan ayahku mengenai situasi politik itu. Terucap olehku perkataan, “Jika sekiranya aku dapat dekat dengan dia, maka aku akan pecat Patih Gajah Mada bersamanya.”

Ayah bertanya siapa yang engkau maksud dengan dia. Maka aku jawab engkau, Raja Majapahit. Ayah menyangka aku sedang melantur karena mengantuk, jadi aku disuruh tidur.

Kanda sekarang aku takut, karena Para Dewa seperti mengabulkan omonganku, aku sekarang sudah betul-betul disandingkan dengan mu dalam perkawinan ini. Dan hal ini bukan lagi suatu chayalan.”

“Itu baik bukan, karena Para Dewa sayang dengan mu.”

“Ya aku senang, akan tetapi potongan kalimatku yang terakhir, maka aku akan pecat Patih Gajah Mada; Oh Dewa, jangan lah engkau menagih janji atas ucapanku, sesungguhnya aku tidak sanggup memecat Patih Gajah Mada. Aku hanyalah machlukmu yang lemah.”

“Memang mengherankan, seolah-olah engkau selalu dikelilingi oleh Para Dewa dan meng-iyakan setiap ucapanmu.”

“Baiklah Wahai Para Dewa yang mengelilingiku, aku akan tunaikan janji ucapanku, akan tetapi tidak sekarang, nanti saja bila ada kesempatan.”

“Hawai istriku yang cantik, sekarang kita berbicara hal yang ringan saja karena kita sedang berbulan madu. Jangan lagi menyinggung Patih Gajah Mada, karena aku akan sakit kepala mendengarnya.”

“Ya kandaku yang ganteng, aku senang berbicara mengenai binatang gajah, apakah kanda mempunyai pengalaman dengan binatang itu?”

“Sewaktu aku bertugas di Sumatra, aku pernah bertemu dengan kawanan gajah dalam jumlah banyak. Mereka masuk ke kampung, merusak tanaman padi, palawija dan merobohkan rumah-rumah penduduk. Aku terpaksa melarikan diri dan bersembunyi, tetapi mereka tau tempatku bersembunyi karena penciumannya sangat tajam.”

“Ya, itu memang benar sifat-sifat gajah, sama seperti Pati Gajah Mada-mu. Dia selalu datang dalam jumlah banyak dan merusak suatu Negeri.”

“Istriku, jangan singgung lagi nama Patih Gajah Mada. Aku muak sekali.”

“Tetapi aku suka mendengarnya. Satu pertanyaan dari ku, mengapa Patih Gajah Mada mempunyai kegemaran berperang, jawablah kanda.”

“Baiklah, aku terpaksa berbicara mengenai politik walaupun aku tidak suka. Akan tetapi demi istriku yang cantik aku akan bicara.
Dikarenakan dia sudah bersumpah didalam Sumpah Palapa.”

“Itu bukan jawaban, Kanda. Semua orang juga bisa bersumpah, seperti aku sekarang bersumpah, Sumpah Bunga Melati, ha ha ha..
Sekarang jawablah pertanyaanku dengan tepat.”

“Gurunya pernah berucap kepada si Gajah, cita-citakan lah persatuan Nusantara, karena hal itu akan dipakai kelak oleh anak cucu buyutmu sebagai senjata untuk mengusir penjajah dari bumi Majapahit.

Gurunya pernah meramalkan bahwa Kerajaan Majapahit akan runtuh dan ditaklukan oleh bangsa lain dari barat. Mereka menjajah Majapahit selama tiga ratus lima puluh tahun lamanya. Anak cucu buyut kita harus mempunyai senjata untuk mengusir penjajah; senjata itu adalah persatuan Nusantara.

Si Gajah meng iyakan kehendak gurunya dan bahkan dia bersumpah untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara dibawah kerajaan Majapahit. Dan kebetulan dia menjadi Patih di Kerajaan Majapahit.”

“Nah itu baru jawaban yang tepat. Aku sekarang mengerti bagaimana keadaan Gajah didalam situasi menanggung beban sumpahnya sendiri. Tetapi orang lain menjadi korban karena sumpahnya, diamuk kesana dan diamuk kesini, banyak korban jatuh dan mati.”

“Cukup puas kan? Nah sekarang kanda akan menagih janji kepada dinda, kapan kanda boleh membawamu ke Singosari. Tempat kita adalah Singosari, karena dari sana lah diatur pemerintahan Majapahit dan aku yang bertanggung jawab sebagai Raja.”

“Kalau aku boleh menyarankan kepada kanda, tinggalkan gelar Raja pada dirimu, jadilah petani atau pedagang di bumi Parahyangan ini bersama istrimu yang sangat mencintaimu.
Anak-anak kita akan tumbuh di bumi ini, mereka bermain di air terjun Cimawar dan berenang di kolam Citandeui. Oh alangkah bahagianya aku dan engkau.

Serahkan semua kekuasaan pada si Gajah, biar dia menjadi senang dan bebas sepeninggalmu. Katakan kepada dia bahwa engkau sudah menjadi petapa dan menjadi pendeta Hindu, karena panggilan Para Dewa.”

“Sayang, jabatan Raja adalah kehendak Para Dewa. Aku akan menanggung dosa bila meninggalkan jabatan itu. Biarkan Patih Gajah Mada menyelesaikan sumpahnya, asal bukan Negerimu yang diamuk.”

“Sesungguhnya aku takut datang ke Singosari, Negeri yang garang dan tidak pernah tenang. Selalu saja ada peperangan. Ya, itu karena ulah si Gajah yang suka merobohkan rumah-rumah, makan padi dan palawija.”

Suasana kamar penganten menjadi sunyi, nampaknya ada hal yang tidak sependapat dan tidak sesuai diatara kedua insan itu. Pada akhirnya, Putri bersenandung dalam sajaknya,


Oh Dewa, sesungguhnya aku lemah
Tak sanggup ku hadapi masalah
Prahara ulah si Gajah
Dia suka menganiaya yang kalah

Aku bagaikan seonggok sampah
Ditengah laut lepas
Gelombang tinggi menghempas
Ku lebih suka kan terdampar
Di tepi pantai tenang

Oh Dewa, jangan engkau menagih janji
Kan halnya memecat Patih
Aku hanya lah salah ucap
Bukanlah itu suatu janji


Bab 4

Banyu Urip dan kawan-kawannya terancam hukuman berat, apabila mereka akan pulang ke Majapahit. Mereka dituduh telah melalaikan kewajibannya menjaga Raja dengan benar.

Oleh sebab itu, mereka memasang mata dan telinga pada setiap orang Majapahit yang datang ke bumi Parahyangan.

Pada hari-hari terakhir, banyak penduduk Majapahit yang datang ke kota Pakuan. Banyu Urip sebagai perwira di bidang mata-mata menjadi curiga, ada apa dengan mereka; mengapa ramai-ramai datang ke Majapahit.

Maka Banyu Urip cepat bertindak; dia menangkap salah satu pendatang orang Majapahit. Orang itu diinterograsi dengan cara-cara profesional seperti biasa yang dia lakukan di militer Majapahit.

Setelah berhari-hari diinterograsi, pada akhirnya orang itu mengaku bahwa dia adalah agen mata-mata yang bekerja untuk Patih Gajah Mada. Tugasnya adalah membunuh Raja Prabu Hayam Wuruk dan Putri Dyah Pitaloka. Tempat pembunuhan direncanakan akan dilaksanakan di hutan lebat, sewaktu kedua pasangan itu akan melakukan perjalanan pulang ke Singosari.

Beberapa hari kemudian, datang utusan resmi yang mengantarkan surat dari sekretariat Istana Trowulan yang meminta izin untuk membawa pulang Raja dan Permaisuri ke Kota Singosari. Raja Hayam Wuruk akan dijemput oleh Singo Lodra dan Jalak Ireng pada beberapa hari dimuka.

Banyu Urip menghadap Prabu Hayam Wuruk dan menceritakan rencana pembunuhan terhadap Baginda oleh agen-agen Gajah Mada. Pada mulanya Raja tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang Patih yang setia mau membunuh Rajanya.

“Terkutuk lah perwiraku yang berchianat kepadaku, Rajanya. Mengapa mereka tidak senang dengan Rajanya yang senang. Apakah aku tidak boleh mengawini kekasihku.”

“Semua orang boleh kawin Baginda. Aku senang dengan keadaan Baginda yang berbahagia bersama Putri Dyah. Aku tidak termasuk yang berchianat” Kata Banyu Urip.

“Apa rencana selanjutnya, setelah engkau membongkar gerakan mata-mata si Gajah, wahai Banyu Urip?”

“Aku mohon agar Putri Dyah tidak ikut serta bersamamu, jadi tinggallah Putri Dyah disini. Sementara, aku dan Ujang Lumut akan mengawal Baginda secara rahasia di dalam hutan. Aku harap aku dapat menjaga keselamatan Baginda.”

Dayang Galuh Lembayung memberi saran, “Aku bersedia menggantikan Putri Dyah didalam kereta, biarlah aku mati agar mereka puas, tetapi Putri Dyah selamat.”

“Oh Galuh Lembayung, engkau adalah sahabatku, Jangan bertidak bodoh seperti itu.”

“Biarkan kereta itu kosong, tanpa penumpang. Tutup tirainya rapat-rapat, agar tidak ada orang yang mengira bahwa kereta itu kosong adanya.
Jadi engkau tidak perlu berkorban nyawa Galuh,” Kata Banyu Urip.

“Banyu Urip, laporkan temuanmu akan halnya mata-mata yang tertangkap kepada Baginda Maharaja Lingga Buana. Hal ini sangat penting.

Aku berkesimpulan bahwa perkawinanku dengan Putri Dyah tidak disetujui oleh Patihku. Dia sangat sombong, bahkan terhadap junjungannya, dia sombong. Kelihatannya dia ingin memberontak terhadap kekuasaanku.”

(Bersambung)

No comments: