Tuesday, September 16, 2008

Cinta Terlarang (Bagian 1)


Patih Gajah Mada

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Prolog

Nenek biasanya akan memulai ceritanya pada senja hari seperti ini. Memang dia telah berjanji akan menceritakan kisah sedih akan halnya seorang Putri Kerajaan.
Akan tetapi kali ini dia menangis sewaktu kita menagih janji nya.

“Nenek mana ceritanya? Kok malah menangis, pada hal nenek telah berjanji akan menceritakan kisah sedih seorang Putri yang patah hati dan kemudian bunuh diri; betulkan nek?”

“Suatu kisah sedih tidak baik untuk mu, cucu; kisah itu akan memberi kesan yang jelek didalam hati-mu; bahkan aku sendiri pun ikut menangis sedih mengingat cerita itu.
Jadi aku putuskan untuk tidak menceritakan hal ini kepadamu.”

“Huuuh! Nenek, kami kecewa nek. Lihat teman-teman ku sudah datang untuk mendengarkan cerita nenek.”

Adikku yang paling kecil memberi saran kepada nenek, “Nek, bolehkah aku memberi saran akan cerita sedih-mu ini?”

“Tentu saja engkau boleh memberi saran, cucuku sayang.”

“Ibuku tidak melarang aku untuk mendengarkan ceritamu, karena aku sudah membuat pekerjaan rumah.”

“Tentu saja engkau boleh mendengarkan ceritaku. Nah katakan apa saranmu”

“Nenek hendaknya membuat perubahan didalam cerita itu, sehingga cerita itu enak didengar dan tidak terasa sedih. Dengan demikian, kita dapat tidur nyenyak sambil tersenyum.”

“Aku takut ditangkap polisi karena itu akan merubah jalannya sejarah; aku akan dituduh sebagai pembohong.”

“Percayalah nek, nenek tidak akan ditangkap polisi. Yang penting, cerita itu tidak sedih lagi.”

“Baiklah! Saranmu bagus. Nenek akan memulai cerita ini.”

Nenek bernyanyi sebelum cerita dimulai,

Aku, Putri Dyah Pitaloka Citraresmi
Engkau tau kisahku, mengatakan aku bunuh diri
Aku menyangkal; itu tidak benar
Dengarkan kisah-nyataku akan diriku sendiri

Raja muda itu benar mencintai ku
Pesta pernikahan diadakan untuk dia dan aku
Anak Negeri dari dua Kerajaan mengaku
Dia dan aku adalah Raja dan Ratu

Kecuali seorang Patih
Dia merintih
Kecewa dan sedih
Karena ambisi tak dapat diraih
Pajajaran tak mudah takluk
Tak kan pernah bertekuk lutut
Hiduplah Negeriku, Pajajaran Jaya.


Bab 1

Candi Hindu itu sudah ramai dikunjungi oleh anak Negeri Kerajaan Majapahit. Mereka berdesak-desakan untuk mendapatkan tempat, agar dapat melihat jalannya upacara dengan jelas.

Upacara apa yang akan diadakan disitu? Upacara resmi Kerajaan yaitu SUMPAH PALAPA. Patih Gajah Mada akan menyatakan sesuatu melalui sumpahnya bahwa dia dan tentara Majapahit akan menaklukan seluruh wilayah Nusantara didalam kesatuan dibawah Kerajaan Majapahit.

Upacara juga akan dihadiri oleh Raja muda, Hayam Wuruk. Seharusnya, Ibu Suri turut hadir, tetapi tidak kali ini; dia menugaskan putranya menyaksikan upacara tersebut.

Candi Hindu itu sudah dihias dengan bermacam-macam dekor terbuat dari janur, bunga-bunga, padi dan pisang. Bendera Kerajaan sudah berkibar ditempatnya. Bendera itu berwarna merah diatas dan putih dibawah; sementara ditengah ada gambar Dewa Ganesha, Dewa dengan ujud gajah dengan belalainya masuk kedalam cawan.

Para Pendeta Hindu sudah bersiap-siap dengan upacara. Mereka membakar dupa setanggi, menyediakan satu tempayan air yang ditaburi bunga-bunga tujuh macam dan bermacam-macam alat upacara.

Raja dan pengawalnya sudah tiba. Beliau duduk ditempatnya. Patih Gajah juga datang menyusul dan langsung menuju tempat upacara. Rakyat Negeri bersorak sorai melihat junjungannya datang.

Raja berkenan untuk menyampaikan sambutannya, “Saudara-saudara rakyat Majapahit yang berbahagia, hari ini adalah hari yang indah, seolah Para Dewa turut hadir ditempat ini guna ikut menyaksikan jalannya upacara. Kita akan menyaksikan upacara SUMPAH PALAPA, dimana Patih kita berkenan mengucapkan sumpah-nya untuk memperkuat cita-citanya, yaitu mempersatukan seluruh Nusantara dibawah Kerajaan Majapahit.

Rakyat anak Negeri bersorak sorai, “HIDUP PATIH ! HIDUP RAJA!
Suaranya gegap gempita dan berkepanjangan

Raja menunggu sebentar, agar rakyat menjadi tenang kembali.

“Baiklah aku akan teruskan pidatoku.
Kita harus berterimakasih kepada pendahulu-pendahulu kita, Admiral Empu Nala yang telah menaklukan Maluku, Ternate hingga Philipina; dan Admiral Adytiawarman yang berhasil menaklukan Sriwijaya, Jambi, Sumatra Barat dan Malaka hingga Tanjung Tumasik.
Aku sendiri pernah ikut didalam beberapa pertempuran-pertempuran mereka.

Pekerjaan Patih Gajah menjadi lebih ringan; dia tinggal meneruskan pendahulu-nya saja.

Tentunya kita bertanya-tanya didalam hati, apa maksud dan tujuan Patih Gajah dengan pekerjaan besarnya, menyatukann seluruh Nusantara.

Gurunya pernah meramalkan bahwa Kerajaan kita yang sudah jaya ini akan runtuh, ditaklukan oleh sebuah Kerajaan Besar dari barat. Mereka akan datang dengan menggunakan perahu-perahu besar dan akhirnya kita akan dijajah oleh mereka selama tiga ratus lima puluh tahun. Sungguh menyedihkan!

Gurunya memberi saran kepada Gajah agar mencita-citakan persatuan Nusantara; karena cucu dan cucu-buyut kita kelak akan memerlukan persatuan Nusantara itu, guna dipakai sebagai senjata melawan para penjajah. Tanpa persatuan, kita tidak mungkin melawan penjajah. Itulah tugas Patih dan menjadi beban kita juga. Marilah kita dukung cita-cita Patih Gajah demi anak cucu kita kelak.”

Setelah pidato Raja selesai, Patih Gajah memasuki tempat upacara.
Para pendeta Hindu bernyanyi dan berdoa.
Baju Gajah dibagian atas dilepas, jongkok dan disiram air bunga-bungaan.

Kemudian beliau bersumpah, “Aku tidak akan makan buah PALAPA hingga cita-citaku untuk mempersatukan Nusantara dapat tercapai.”

Tidak seorangpun yang tau apa buah Palapa itu. Tetapi kebanyakan orang mengartikan bahwa buah itu adalah kiasan akan hal-hal yang menyenangkan hidup.
Diartikan bahwa Gajah harus menjauhi hidup bersenang-senang sebelum cita-citanya tercapai.

Seolah tidak puas dengan pidato Rajanya, Patih Gajah Mada menyambung. Dia naik keatas podium dan berpidato, “Wahai rakyat Majapahit! Engkau dengar apa yang sudah dikatakan oleh Raja kita? Beliau mendukung cita-citaku untuk mempersatukan Nusantara. Bagaimana dengan engkau? Apakah engkau bersedia untuk masuk dalam barisan-ku? Apakah engkau juga setuju?

Rakyat menjawab “SETUJU! SETUJU!! SETUJU!!”

“Terimakasih. Aku berharap seluruh rakyat Negeri Majapahit sampai dipelosok-pelosok juga ikut mendukung. Hal ini penting, karena cita-cita kita akan dipakai oleh cucu-buyut kita sebagai senjata melawan para penjajah di masa akan datang.
HIDUP PERSATUAN NUSANTARA!”

Rakyat ikut bersorak, “HIDUP PERSATUAN NUSANTARA!! HIDUP PERSATUAN NUSANTARA!!

“Terimakasih, marilah kita mulai pekerjaan besar ini dengan menaklukan Kerajaan Pajajaran di barat wilayah kita.”


Bab 2

Raja Hayam Wuruk masih muda, baru berumur dua puluh tujuh tahun dan belum beristri. Kekuasaan sebagai Raja, baru saja dilimpahkan dari Ibu Suri, Tribuanatunggadewi kepadanya.

“Anakku, ibu akan tunjukan potret dari seorang gadis cantik kepadamu. Mudah-mudahan engkau tertarik kepadanya.”

Tangan Raja digandeng oleh ibunya dan dibawa menuju ruangan pribadi ibu suri.

Kedua nya memperhatikan lukisan cat diatas kanvas; seorang putri cantik dengan rambut panjang terurai. Senyumnya sangat menawan bagi siapa saja yang melihat.

“Sungguh cantik sekali, aku jatuh cinta kepadanya. Tetapi aku tidak dapat mencintai hanya sebuah lukisan. Siapakah dia? Ibu mendapatkan lukisan ini dari mana?”

“Aku dapatkan dari pasar di pelabuhan Tuban. Ada kios yang sepesial menjual barang-barang dari luar negeri. Si penjual mengatakan bahwa gambar itu adalah hasil penyeludupan dari negeri asalnya, Kerajaan Pajajaran. Itu adalah lukisan Putri Kerajaan Pajajaran. Sayang, dia tidak tau nama Putri itu.”

Ibu Suri melanjutkan pesannya, “Ibu setuju sekali jika engkau mau menikah dengan Putri dari Kerajaan Pajajaran. Mengingat kakek buyutmu, Raden Wijaya, pendiri Kerajaan ini adalah pangeran dari Kerajaan Galuh, sekarang Kerajaan Pajajaran.”

“Wah, celaka ibu!”

“Ada apa anakku?”

“Kemarin kita sudah menyatakan akan mengadakan penyerangan ke Kerajaan Pajajaran. Kalau aku jadi menikah dengan Putri itu, maka Kerajaan Pajajaran seharusnya menjadi Kerajaan Sahabat, bukan ditaklukan.”

“Ingatlah anakku, engkau seorang Raja. Kekuasaan Raja sudah ku lepaskan dan sudah ku limpahkan kepadamu.
Jadi engkau bisa mengatakan kepada Patih untuk tidak menyerang Kerajaan Pajajaran atau menunda dulu. Ingatlah bahwa engkau sekarang adalah seorang Raja.”

“Patih sangat berambisi untuk menaklukan Kerajaan Pajajaran, sulit untuk menunda bahkan melarangnya. Dia seperti air bah yang menggilas penghalang.” Pikir Raja Hayam Wuruk.

Pengaruh Patih Gajah Mada terhadap prajurit-prajurit dan seluruh jajaran militer di Kerajaan Majapahit sangat kuat. Sedangkan Raja Hayam Wuruk kurang berpengaruh, terlebih dalam hal politik ekspansi Gajah Mada.
Dia bagai sinar matahari yang terhalang awan mendung.

Gajah Mada seolah tidak mau membuang waktu, maka dia mengadakan rapat militer guna menyatukan kekuatan dan pikiran didalam suatu strategi guna menyerang Kerajaan Pajajaran.

Patih Gajah, dimuka Raja dan para perwira militernya mengutarakan rencana militernya, “Kita akan bertolak dari pelabuhan Tuban dengan memakai seratus kapal. Perjalanan diperkirakan memakan waktu tiga hari, kita akan sampai di Sunda Kelapa (sekarang Jakarta). Ditempat ini kita akan mendirikan Markas Besar.

Langkah pertama adalah mengirim satuan mata-mata guna mendapatkan data-data militer pihak musuh. Dengan demikian kita akan dapat mengarahkan tentara kita pada sasaran yang tepat untuk memasuki kota Pakuan (sekarang Bogor), ibu kota Kerajaan Pajajaran.

Raja memotong pembicaraan Patih, “Aku akan ikut bersama kesatuan mata-mata, karena aku berminat untuk mengetahui lebih jelas akan halnya Kerajaan Pajajaran.
Siapakah komandan satuan ini?”

“Aku baginda. Namaku Penyewu Banyu Urip”

“Banyu Urip, aku akan bertugas bersamamu.”

Banyu Urip tidak dapat menolak kehendak Raja, walaupun sebetulnya dia enggan ada seorang Raja yang ikut didalam tugasnya yang pasti akan memberatkan tugasnya.

Memang sudah biasa Hayam Wuruk ikut tugas didalam ekspedisi militer, sebelum menjadi Raja. Tetapi sekarang kedudukannya adalah Raja Majapahit.

“Banyu Urip, jaga keselamatan Rajamu baik-baik” Patih Gajah Mada berpesan.



Bab 3

Raja Hayam Wuruk sedang santai ditenda-nya, di Markas Besar militer Majapahit di Sunda Kelapa. Seseorang datang, dikawal oleh pengawalnya; dia adalah Banyu Urip.

“Bagida, kita besok pagi akan berangkat ke arah selatan menembus hutan hingga sampai di kota Pakuan. Anak buahku berjumlah empat puluh orang, siap tempur. Bagaimana apakah Baginda sudah siap?”

“Tugas kita adalah memata-matai persiapan tempur musuh dan mencari celah, kemana tentara kita bisa masuk kedalam kota mereka; tetapi bukan langsung bertempur.
Tetapi aku sudah siap!”

“Betul Baginda, kita tidak langsung bertempur. Apakah ada saran dari Baginda?”

“Pertama, jangan aku dipanggil Baginda, tetapi Jaran. Kedua, aku adalah anak buahmu, sembunyikan aku dari musuh.”

“Baik Jaran, aku akan sembunyikan engkau dari musuh.
Jaran aku ingin bertanya, mengapa engkau berminat untuk ikut dalam ekspedisi kali ini?”

“Sesungguhnya aku telah melihat lukisan Putri Kerajaan Pajajaran. Dia sangat mempersona karena kecantikannya. Terus terang, aku jatuh cinta kepada wanita didalam lukisan itu. Aku sekarang panasaran ingin melihat ujud nyatanya.”

“Tahukah siapa nama Putri itu?”

“Aku tidak tau, apakah engkau tau?”

“Putri Dyah Pitaloka Citraresmi. Menurut kabar, memang dia adalah Putri yang cantik. Ayahnya adalah penguasa Kerajaan Pajajaran, namanya Raja Maharaja Lingga Buana.”

“Dan Negerinya adalah Negeri yang terindah, pemandangan alamnya sangat mengagumkan, kata beberapa orang. Kita lihat saja nanti.”

“Hai Jaran, kita berada digaris depan medan tempur, bukan sedang piknik.”

“Betul Banyu, tetapi hatiku mengatakan aku sedang menuju kerumah mertuaku, karena aku mencintai anak gadisnya, walaupun didalam lukisan.
Aku ingin mengatakan bahwa Kerajaan Pajajaran adalah Negara Sahabat Kerajaan Majapahit, mereka bukan musuh.”

“Bagaimana? Apakah akan kita tunda pertempuran ini? Atau bahkan kita akan berdamai? Jaran, engkau adalah pimpinan kami.”

Prabu Hayam Wuruk terdiam. Dia tidak ingin mengecewakan Patih Gajah Mada dan seluruh jajaran militernya yang sudah mendirikan markas, dan bahkan mereka sudah siap tempur.

Akhirnya Jaran berkata, “Tidak, teruskan saja upaya kita. Nanti bila aku berkenan, aku akan menghentikan pertempuran dan kemudian berdamai.”

Penywu Banyu Urip kurang mengerti akan kata-kata Jaran, “Dia kurang tegas.” Pikirnya.

Keesokan paginya, empat puluh dua orang berkuda menuju arah selatan mendaki bukit, menuju kota Pakuan. Matahari belum terlihat, alam masih sunyi bahkan burung-burung belum bernyanyi.

Pada tengah hari, mereka menghadapi hutan lebat yang membuat mereka harus meninggalkan kudanya. Mereka tempuh hutan itu dengan berjalan kaki.

Perjalanan didalam hutan memakan waktu dua hari, sehingga mereka harus bermalam didalam hutan.

Pada hari ketiga mereka berjalan mendaki karena berada diatas pegunungan. Hutan semakin tipis dan diganti dengan padang rumput yang luas. Di depan mereka terlihat beberapa gunung yang biru dan juga ada air terjun yang airnya memenuhi sebuah kolam.

Padang rumput itu dipenuhi oleh rusa-rusa yang kelihatannya jinak. Prajurit Majapahit memanah rusa itu dengan mudah, mengkuliti dan siap dijadikan santapan.

“Banyu kita sudah cukup lelah, sebaiknya kita beristirahat dulu disini sambil makan daging rusa. “ Kata Jaran.

“Hai kawan-kawan, dirikan kemah dan masak lah daging rusa. Kita beristirahat disini.” Prajurit-prajurit bernyanyi santai seolah-olah tempat itu adalah kampungnya sendiri. Mereka bernyanyi bersama, sebuah lagu yang sedang populer di Singosari.

Tak lama kemudian Jaran, Banyu dan diikuti semua prajurit makan daging rusa. Mereka terlihat gembira, seolah-olah sedang piknik, bukan bertempur.
Setelah perut penuh terisi, mereka tidur-tiduran dirumput.

“Hai Banyu, apakah engkau menyadari bahwa tempat ini memang terpelihara, sepertinya sengaja disediakan untuk tempat orang berpiknik. Lihatlah rumputnya pendek dan dapat kita duduki dan lihatlah kolam dengan air terjun itu; semua tampak tidak liar.
Aku yakin daerah ini ada yang empunya.”

“Betul Jaran, tanpa kita sadari kita sudah sampai dihalaman Istana Kerajaan Pajajaran, tetapi dari arah belakang.”

“Wow, jangan main-main, betulkah begitu?”

“Kolam itu adalah tempat Putri beserta dayang-dayangnya biasa mandi-mandi. Tidak jauh dari situ ada sebuah villa tempat Putri beristirahat, namanya gedung Kaputren. Satu kilo meter dari situ ada Istana Kerajaan Pajajaran, pusat pemerintahan mereka.”

“Dari mana engkau tau?”

“Menurut pendahulu-pendahuluku.
Tentara kita akan menyerang dari sebelah sini, langsung merampas Istananya.”

“Aku akan melihat Putri sedang mandi di kolam itu Banyu. Aku harap kita akan sampai dikolam dengan air terjunnya sebelum hari menjadi gelap. Marilah kita teruskan perjalanan kita.”

“Jangan pergi kesana Jaran, disitu ada serdadu jaga musuh yang siap menangkap kita.”

“Banyu, aku membayangkan alangkah indahnya pemandangan disitu.
Oh Putri Dyah, tunggulah ditempat itu, kanda akan datang menemuimu.”

“Jaran, kita sedang berada dimedan tempur. Bangun-bangun, jangan bermimpi!”

“Tidak Banyu, aku harus kesana; apapun akibatnya. Seolah-olah Putri itu sedang memanggilku. Aku kan datang sayang, tunggulah kanda disana.”

“Jaran, engkau sedang dipanggil oleh jin, setan dan para dedemit penghuni Gunung Biru itu. Nanti disana engkau akan disiksa, sangat mengerikan, percayalah padaku.”

“Apa engkau mengira aku ini anak kecil yang mudah engkau takut-takuti. Tidak Banyu; aku akan pergi ke Istana dan menemui Maharaja Lingga Buana, kupeluk dan aku kan katakan bahwa Kerajaan-nya adalah Kerajaan Sahabat.”

“Bagaimana nanti Patih Gajah Mada? Dia akan marah karena cita-cita nya dalam sumpah Palapa akan pupus disini.”

“Lupakan Sumpah Palapa itu. Umumkan kepada seluruh rakyat Majapahit bahwa kita akan berdamai dengan Kerajaan Pajajaran.
Hayo prajurit Majapahit kita berangkat!”

Dengan terpaksa mereka menuruti perintah Jaran yang terang-terangan melanggar disiplin militer Kerajaan Majapahit.

Air terjun semakin jelas, terlihat jernih airnya. Tak lama kemudian, kolam tempat Putri mandi sudah dapat terlihat, tetapi belum ada orang mandi disitu; mungkin nanti di senja hari, tempat ini akan ramai dikunjungi para gadis cantik yang mandi-mandi.

Perjalanan terhalang oleh sebuah bukit, jadi untuk sampai ketujuan orang harus berputar mengelilingi bukit itu. Prabu Hayam Wuruk dan prajurit-prajuritnya dengan bersemangat meneruskan perjalanannya.

Tiba-tiba ada orang berteriak dari atas bukit, “Hai serdadu Majapahit, engkau sudah terkepung. Kami siap membunuhmu dengan panah, engkau tidak akan dapat lari.”

Puluhan prajurit Pajajaran berdiri diatas bukit dengan panah siap ditangan.

“Banyu, engkau komandan tempur, bertindaklah!” Kata Jaran.

“Sudah kubilang Jaran, Kita akan ditangkap.
Mereka sudah siap tempur. Karena mereka sadar bahwa mereka akan diserang oleh Kerajaan Majapahit.”

“Hai kawan, kami tidak merencanakan pertempuran, tetapi perdamaian. Kami akan pergi ke Istana untuk menemui Paduka yang Mulia Maharaja Lingga Buana, untuk membicarakan perdamaian.”

“Mengapa engkau membawa senjata lengkap, seolah mau bertempur dengan kami?”

Tidak ada jawaban dari Banyu Urip.

“Sudah, menyerahlah! Atau kubunuh semua.” Kata orang diatas bukit.

“Baiklah, kawan-kawan letakan senjatamu diatas tanah dan angkat kedua tanganmu.”

Prajurit-prajurit Pajajaran turun dari atas bukit. Secepat kilat mengikat tangan-tangan orang-orang Majapahit, termasuk Jaran. Tetapi tidak ada yang tau bahwa Jaran adalah Raja Majapahit.

“Ha-ha-ha hanya itu keberanian prajurit Majapahit; selama ini kita salah duga, ternyata mereka hanyalah tikus-tikus yang takut mati.” Ujang Lumut berkata. Dia adalah komandan regu yang menjaga sektor timur dimasa perang.

Prabu Hayam Wuruk atau Jaran beserta Banyu Urip dan empat puluh prajurit mata-mata menjadi tawanan Ujang Lumut. Mereka digiring ke penjara; sudah lah pasti mereka akan dihukum mati.

Barisan tawanan itu sempat melewati kolam tempat Putri mandi. Tetapi belum ada orang yang mandi disitu. Kemudian melewati gedung Kaputren; ditempat itu banyak perempuan-perempuan yang keluar dari gedung, guna menyaksikan para tawanan.

Salah satu dari perempuan-perempuan itu yang berdiri di pintu, terlihat sangat cantik, berbeda dari yang lain. Jaran terpesona melihat wanita itu; itu seperti wanita yang ada dilukisan, dia percaya, dia-lah Putri Kerajaan Pajajaran.

“Sungguh indah Negeri ini, terutama perempuan yang berdiri dipintu itu sangat menarik, aku sungguh jatuh cinta.”

Akhirnya, barisan tawanan sampai dimuka penjara. Ujang Lumut tidak mau ambil risiko, semua tawanan perang dimasukan kedalam penjara dan kakinya diikat dengan borgol besi.

“Hai tentara Majapahit, tunggulah hukuman berat yang akan menimpamu!” Teriak Ujang Lumut.

Kemudian Ujang Lumut melaporkan hasil kerjanya kepada atasannya, Panglima Maung Jaya dan juga kepada Raja.

Raja memberi komentar, “Bagus Ujang, kerjamu sempurna. Tetapi mengapa mereka berani datang langsung kehalaman Istanaku; alangkah beraninya mereka.”

“Kalu boleh hamba memberi saran, hukum mati saja semuanya, sebagai pelajaran bagi yang lain.”

“Aku setuju Ujang.”


Bab 4

Rakyat Kerajaan Pajajaran menjadi gempar dengan kabar yang mengatakan bahwa Istana telah diserang oleh puluhan tentara Majapahit. Perang dengan Majapahit sudah menjadi kenyataan, bukan kabar burung. Banyak pemuda-pemuda mendaftarkan diri untuk menjadi prajurit guna membela tanah airnya dari serangan musuh.

Baginda Maharaja Lingga Buana mengadakan rapat perang keesokan harinya, guna merapatkan barisan menghadapi serangan Majapahit.

“Saudara-saudara, ada berita yang mengejutkan, bahwa kemarin sore kita berhasil menawan empat puluh dua tentara Majapahit yang sengaja datang ke Istana kita dari arah belakang Istana. Itu adalah serangan pertama musuh kepada kita.

Aku memberi komentar, alangkah beraninya mereka yang dengan sengaja dan santai berjalan-jalan di halaman Istana ku, seolah mereka sedang mengejek. Aku sungguh geram kepada mereka; mereka menganggap enteng kekuatan kita.

“HUKUM MATI MEREKA!!” Hadirin berteriak.

“Ya aku setuju dengan engkau, pasti hukumannya adalah mati, untuk menjadi pelajaran bagi yang lain. Jangan main-main dengan kekuatan militer kita.”

Kemudian Raja juga memerintahkan untuk memperkuat logistik bahan makanan guna persiapan pertempuran. Latihan militer terus diadakan. Tembok Istana lebih diperkuat.

Sementara tugas Panglima adalah membuat jebakan-jebakan pada lintas jalan ke Pakuan.

Pada senja hari, Raja berbaring disofa guna menghilangkan penat di badan, setelah seharian memimpin rapat.

Putri Dyah Pitaloka merasa resah dengan keadaan Negerinya yang akan dilindas oleh tentara Majapahit. Aku akan tanyakan situasi terbaru negeriku kepada ayah. Dia menghampiri ayahnya yang sedang santai.

“Ayah, boleh aku bertanya tentang situasi politik Negeri kita?”

“Ayah bangga dengan keperdulianmu tentang politik. Apa yang akan engkau tanyakan.

“Apakah kita jadi berperang dengan Kerajaan Majapahit?”

“Ya, kita akan berperang dengan mereka”.

“Mengapa Kerajaan Majapahit menyerang kita? Apa alasannya?”

“Aku tidak tau, engkau boleh menanyakan langsung pada si Gajah.”

“Si Gajah itu siapa ayah?”

“Dia Patih Gajah Mada, Panglimanya Kerajaan Majapahit.”

“Mengapa harus kepada Patih; seharusnya kita tanyakan kepada Raja Majapahit, karena dia lebih berkuasa.”

“Engkau benar anakku. Di Kerajaan Majapahit memang ada perbedaan dengan Kerajaan yang lain. Kelihatannya Patih Gajah Mada lebih berkuasa daripada Rajanya.”

“Kasihan Raja Majapahit. Siapa nama Raja Majaphit itu ayah?”

“Bahkan aku lupa dengan namanya, karena Patih Gajah Mada lebih populer dari dia.
Kalau tidak salah……namanya adalah Hayam Wuruk.”

“Hayam Wuruk, Hayam Wuruk…..Jika sekiranya aku dapat dekat dengan dia, maka aku bersama dia akan memecat Patih yang tidak tau diri.”

“Yang engkau maksud dengan dia itu siapa?”

“Raja Hayam Wuruk”

“Wow anakku, anakku; kelihatannya engkau sedang bermimpi. Lebih baik engkau pergi tidur; hari sudah larut malam.”

“Ayah aku ingin melihat seperti apa prajurit-prajurit Majapahit yang akan dihukum mati; aku akan mengadakan pembicaraan dengan mereka. Bolehkan ayah?”

“Ya, boleh.”

“Terimakasih ayah. Selamat malam ayah.”

(Bersambung)

No comments: