Thursday, October 23, 2008

Antara Cinta dan Benci (Bagian 7)

Perang Saudara

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi



Bab 1

Pasukan Boyo Lali berteriak-teriak senang mendengar keputusan pasukan Sora yang akan membela kebenaran. Maka kedua pasukan bergabung dan berjalan perlahan-lahan kearah Timur.

Putri Sekar ikut serta didalam barisan; dia merasa puas dengan banyak pengikut yang mendukung perjuangannya. Kini dia benar-benar seolah mempunyai cakar yang tajam bagaikan seekor burung Elang yang siap menerkam ular, “Kini aku bukan anak ayam yang lemah, tetapi Raja Elang.” Pikirnya.

Sementara itu seluruh adegan di markas Pangeran Sora Mahisa tidak luput dari perhatian Ki Manjangan beserta kawan-kawannya termasuk Akuwu Wengker sendiri.

Ki Manjangan berkomentar, “Lihat dia adalah prajurit Medang yang sedang bertempur sendirian, langsung menyerbu ke sarang musuh. Dia betul-betul pahlawan Medang yang gagah berani.”

Akuwu tidak sependapat, “Tunggu dulu, adegan ini belum selesai; engkau terlalu cepat memberikan pujian. Bukankah mereka akan menghadapi pasukan Raja, belum tentu mereka akan menang. Mungkin mereka akan kalah; dan Putri Sekar akan ditangkap bersama kekasihnya untuk dihukum mati.
Jadi apa upaya kita untuk membantu dia?”.

Semua terdiam; masing-masing sedang berpikir untuk memberikan saran kepada Akuwu.

Pada akhirnya keluar perintah Akuwu Wengker, “Kita akan keluar dari hutan dan bergabung dengan pasukan Sora Mahisa guna menghadapi pasukan Raja!”

“Aku tidak setuju! Bagaimana kita dapat berperang bersama musuh; bergandengan tangan. Itu akan sangat memalukan dan menjijikan. Ingatlah, perang ini belum usai.” Kata Patih Kebo Ireng.

“Apa saranmu wahai Patih.”

“Aku setuju untuk membantu Pangeran Sora Mahisa. Tidaklah bijaksana jika seorang anak harus membunuh ayahnya sendiri; marilah kita bantu dia didalam urusannya, membunuh ayahnya.”
“Caranya bagaimana?”

“Kita tunggu pertempuran ini; apabila Pangeran Sora Mahisa terdesak dan hampir kalah, baru lah dapat kita keluar dari hutan untuk membantu dia.
Apabila dia menang dan dia hampir membunuh ayahnya, kita tampil dihadapannya untuk meminjamkan tangan kita kepadanya guna membunuh ayahnya sendiri.”

“Aku setuju dengan mu Patih. Agar skenario ini menjadi jelas, maka kita harus beberkan dihadapan Putri dan kekasihnya. Aku akan membuat surat untuk Putri dan surat itu akan diantar oleh Ki Manjangan dan Singo Barbaran.”

“Itu menjadi lebih sempurna. Dengan demikian, mereka akan maklum akan halnya rencana kita.”

Akuwu Wengker membuat surat yang ditujukan kepada Putri Sekarpandanwangi, “Putri Sekarpandanwangi, aku adalah Akuwu Wengker beserta para prajurit Medang yang bersembunyi tidak jauh dari markas-mu.

Aku akan membantu Pangeran Sora guna membunuh ayahnya sendiri. Tidaklah pantas bagi seorang anak yang akan membunuh ayahnya sendiri, tetapi aku akan membantu dia guna maksud itu.

Agaknya semua yang kita rencanakan sudah berubah, akan tetapi aku senang dan setuju atas perjuangan kalian; yang penting engkau dalam keadaan selamat.
Salamku untuk Pangeran Sora Mahisa.

PS. Aku selalu memakai topeng agar musuhku tidak dapat mengenali aku, sesuai dengan saranmu.

Komandan tempur Kerajaan Medang
Akuwu Wengker.

Ki Manjangan dan Singo Barbaran mendapat tugas yang sangat sulit. Baru kali ini Ki Manjangan mendapat tugas sesulit ini; dia menjadi ketakutan.

Akuwu Wengker datang membawa dua buah baju seragam tentara Wulansari, “Pakailah seragam ini; kemudian kamu masuk kedalam barisan musuh dan katakan bahwa engkau terlambat bangun tidur. Katakan maaf kepada komandan Wulansari.
Setelah itu engkau cari Putri-mu dan sampaikan segera surat ini.
Mudah bukan!”

“Baik komandan.”

Kedua prajurit Medang itu berkuda mendekati barisan pasukan Wulansari. Ki Manjangan langsung bergabung kedalam barisan. Tetapi tidak dengan Singo Barbaran, dia diam-diam menunggu dibawah pohon; mungkin karena takut.

“Hai prajurit! Dari mana engkau?” Penyatus Wulansari menegur.

“Maaf, aku tertidur, terlambat bangun.”

Kemudian, si Penyatus mengucapkan kode sandi untuk hari itu; tentu saja Ki Manjangan tidak dapat menjawab kode tersebut.

“Hai ada penyusup, tangkap!”

Semua prajurit maju dan meringkus Ki Manjangan. Tangannya diikat dan semua senjatanya di sita.

“Mengaku! Engkau pasti prajurit Demak yang sengaja memata-matai kami. Hayo mengaku!”

“Aku benar penyusup, akan tetapi aku bukan prajurit Demak, tetapi Medang.”

Mendengar kata Medang, tampak Penyatus menjadi lebih ramah. Mungkin disebabkan kekasih Pangeran Sora Mahisa adalah Putri dari Kerajaan itu.

“Oh begitu; jadi untuk apa engkau masuk kedalam barisan kami dan juga memakai seragam tempur pasukan kami?”

“Aku mendapat tugas untuk menyampaikan surat ini kepada Putri Sekarpandanwangi.”

Ki Manjangan dibawa kehadapan Penyewu. Sementara ikatan tangannya dilepas dan senjatanya dikembalikan. Dia diantar menghadap Putri Sekarpandanwangi dan Pangerasn Sora.

“Hai Ki Manjangan. Pakaianmu terlalu besar, ha ha ha. Sudah kubilang, engkau boleh mengawalku tetapi dari jauh saja. Jangan mendekati aku.”

“Tuan Putri, aku mempunyai tugas untuk menyampaikan surat dari Komandan tempur kami, Akuwu Wengker.”

Kemudian surat diserahkan; Putri membaca surat tersebut bersama kekasihnya, Sora.

Pangeran Sora Mahisa sangat gembira, terlihat matanya berbinar-binar, “Dia mengirim salam untukku; jadi itu berarti dia telah membuka pintu keluarga untukku dan mempersilahkan aku masuk. Oh Dewa yang Agung, terimakasih atas bantuan mu.”

“Bukankah aku yang pertama kali membuka pintu keluargaku untuk mu dan mempersilahkan engkau masuk.”

“Ya betul, dia hanya memperkuat saja.”

Putri dan Sora membuat surat jawaban, “Akuwu Wengker, Komandan tempur Kerajaan Medang.
Aku dalam keadaan selamat; akan tetapi aku harus tetap bergantung pada tali cinta agar aku tidak akan jatuh dan mati.
Oh Dewa terimakasih atas pertolonganmu; ternyata tali cinta itu semakin kuat dan aku harus mengenggam-nya lebih erat lagi.
Pada akhirnya, seperti yang telah engkau duga, rencana kita semula tidak dapat dilaksanakan. Aku tidak akan dapat membunuh Pangeran Sora Mahisa, tetapi ayahnya.
Aku bahkan lebih mencintai Pangeran Sora Mahisa.

Pembunuhan ayah kita adalah tanggung jawab Raja Girindrawardana, bukan Pangeran Sora Mahisa. Engkau harus tau akan hal itu.
Aku akan menagih hutang kepada Raja Girindrawardana, mudah-mudahan rencanaku dapat terlaksana.

Aku bersama Sora mengucapkan banyak terimaksih atas bantuanmu dan juga kepada seluruh laskar pasukan Kerajaan Medang.

Putri Sekarpandanwangi
Pangeran Sora Mahisa.

Kemudian surat diserahkan kepada Ki Manjangan yang segera berlalu. Ki Manjangan tetap khawatir terhadap prajurit Wulansari yang terkenal ganas.

Dia heran, kemana larinya temannya si Singo Barbaran. Aku tidak bertanggung jawab akan keselamatan dirinya. Sudah seharusnya dia dapat menjaga diri.
Setelah keluar dari barisan pasukan Wulansari, tampak seseorang sedang berteduh dibawah pohon, “Hai mengapa engkau tidak mengikuti aku?”

“Sengaja aku menunggu disini. Bila engkau terbunuh aku akan menggantikan tugas mu, masuk kedalam barisan Wulansari guna menemui Putri.”

“Ah, engkau penakut Singo! Mengaku sajalah, jangan mencari alasan.”

Ki Manjangan menyerahan surat balasan kepada Akuwu Wengker. Akuwu gembira setelah mengetahui bahwa kakak-nya dalam keadaan selamat; bahkan dijaga keselamatannya oleh kekasihnya. Putri Sekarpandanwangi mengalami bermacam-macam perasaan selama berada di sarang musuh; rasa marah, dendam, takut, khawatir, senang, bahagia dan cinta yang membara.

“Baik, kita sudah berkoordinasi dengan Putri, sekarang mari kita tunggu, bagaimana hasil akhir dari perang saudara ini.”


Bab 2

Pasukan Wulansari dari sektor timur berkekuatan dua ribu limaratus orang sedang bergerak kearah Kaliurang. Raja Girindrawardana berada di belakang barisan. Dia masih terlihat sangat marah kepada semua orang, terutama kepada Pangeran Sora Mahisa yang dirasakan tidak patuh kepada disiplin militer.

Kerut-kerut pada dahinya menandakan dia marah dan sedang berpik, “Aku akan melihat Pangeran Sora Mahisa digantung bersama kekasihnya; baru aku puas dan marahku dapat mereda.”

Raja tidak berpikir bahwa jumlah prajuritnya sekarang ini jauh berkurang; dikarenakan ada seribu prajuritnya yang ikut bersama Boyo Lali dan kemudian bergabung dengan legiun Sora. Jadi jumlah pasukan Pangeran Sora Mahisa menjadi tiga ribu personil, melebihi pasukan Raja yang hanya dua ribu orang saja.

Pasukan Raja sudah berjalan selama dua hari dan sekarang sudah mendekati Kaliurang.

Barisan dimuka mempercepat lari kudanya; debu beterbangan keudara dan derap kaki kuda terdengar semakin gemuruh.

“Pertempuran akan segera dimulai, akan tetapi aku tidak mendengar komando dari para Penyewu atau Patih; mungkin pasukan belum kontak dengan pasukan musuh.” Pikir Raja.

Dia tidak pernah terpikir yang dimaksud dengan “musuh” itu siapa. Prajurit itu dianggap seperti boneka robot yang harus patuh; dan dapat di adu antar sesamanya.

Raja juga ikut mempercepat kudanya. Tampak dikejauhan bendera-bendera putih dikibar-kibarkan oleh pasukannya.
“Apa maksud mereka dengan mengibarkan bendera putih” Pikir Raja.

“Dimana Patih Gajah Urip? Dia harus segera memimpin pertempuran.” Pikir Raja sambil memperhatikan medan dimukanya. Tidak disangka oleh Raja; dia melihat Patih sedang bercakap-cakap dengan Pangeran Sora Mahisa.

“Ini adalah bentuk pemberontakan melawan kekuasaan ku; lebih baik aku lari untuk menyelamatkan diri.” Pikir Raja.

Kudanya berputar arah seratus delapan puluh derajat, kemudian dia lari ke arah timur untuk kembali ke kem. Kudanya dilarikan secepat-cepatnya.

Semua prajurit melihat kelakuan Raja yang lari terbirit-birit. Dan Raja tau bahwa dia sedang diperhatikan oleh ribuan pasang mata. Raja menjadi semakin takut, maka kudanya dilarikan lebih cepat lagi.

Setelah berlari kurang lebih sepuluh menit, kuda menjadi lelah; kuda sekarang berjalan perlahan-lahan.
“Hayo, lari lagi kuda; jangan berhenti! Apakah engkau juga mau memberontak dan tidak lagi mematuhi perintahku?”

Seorang prajurit juga ikut membalikan kudanya dan menghunus pedangnya, kemudian kuda dipacu guna menyusul Raja. Nampaknya dia ingin menghabisi Raja, tanpa dikomando.

Pangeran Sora Mahisa berteriak, “Hai kembali, biarkan dia lari; biarkan dia bebas!”

Prajurit itu kembali lagi dan menyarungkan pedangnya.

Kuda Raja sekarang tidak mau berjalan; dia diam saja dikarenakan lelah. Raja menjadi takut; takut mati.

Tiba-tiba, dua ratus pasukan berkuda turun dari atas bukit; dipimpin oleh seseorang yang bertopeng. Agaknya mereka adalah pasukan liar yang tiba-tiba keluar dari dalam hutan. Lebih aneh lagi adalah Putri Sekarpandanwangi ikut bergabung dengan pasukan itu. Mereka mengejar Raja.

Putri mangendarai kudanya dengan santai, karena dia tau bahwa sasarannya sudah tidak bisa bergerak lagi. Dia mendekati Raja, turun dari kudanya, menghunus kerisnya dan berkata kepada Raja, “Engkau harus membayar hutangmu kepadaku; hutang piutang harus diselesaikan sekarang juga.”

“Hutang apa?”

“Jangan berpura-pura bodoh! Bukankah engkau telah membunuh Raja Ribut Sakti.”

“Itu kerja si Sora, bukan aku.”

“Atas perintah engkau sebagai Raja Wulansari, jadi engkau harus mati hari ini untuk melunasi hutang mu.”

Putri mendekati Raja. Raja menghunus pedangnya yang panjang lagi berat. Kemudian dia mengayunkan pedangnya menebas leher Putri Sekar.
Putri merunduk dan pedang Raja lewat diatas kepalanya. Dikarenakan pedangnya berat, maka posisi Raja tidak seimbang. Kesempatan ini digunakan oleh Putri untuk menyarangkan kerisnya ke dada Raja. Tepat betul keris itu menancap didada Raja Girindrawardana. Maka Raja tumbang, jatuh ke bumi. Dia memegang lukanya yang mengalirkan darah melalui tangannya. Darah menetes membasahi bumi.

Akuwu Wengker memperhatikan adegan demi adegan, tetapi siap membantu Putri. Nyatanya Putri keluar sebagai pemenang dengan mudah.

Akuwu menghampiri Raja Girindrawardana yang sedang sekarat. Raja merintih, “Air, berikan seteguk air untukku!”

Akuwu turun dari kudanya dan memberikan kendi airnya kepada Raja. Raja meminum air dingin itu dan berkata, “Terimakasih.”

“Aku, Akuwu Wengker, juga berterima kasih kepadamu yang telah membayar hutang.”

Tak lama kemudian, datang Pangeran Sora Mahisa. Tidak dapat dihindari, kedua orang yang sedang berseteru harus bertemu. Akuwu Wengker memberikan tangannya untuk berjabat tangan. Begitu juga Sora; maka keduanya berjabat tangan, dimuka Raja Girindrawardana yang sedang sekarat.

Adegan itu disaksikan oleh semua prajurit dari kedua belah pihak. Akan tetapi tidak semua orang mempunyai pendapat yang sama; saat ini bukan saat untuk berdamai, pertempuran antara Medang melawan Wulansari masih tetap berlanjut.

Patih Kebo Ireng tidak setuju dengan aksi Akuwu Wengker; begitu juga dengan Jaran Edan, dia sangat benci dengan pasukan Wulansari, “Bagaimana komandan pasukan-ku dapat berjabat tangan dengan komandan musuh; walaupun pertempuran masih berlangsung. Aku yakin bahwa adegan itu bukan dimaksudkan untuk berdamai.” Pikir Jaran Edan.

Sora mendekati ayahnya yang sekarat, “Ayah, maafkan aku yang tidak membantumu.”

“Seharusnya aku yang meminta maaf kepadamu, bukan sebaliknya. Aku setuju dengan engkau yang akan kawin dengan Putri Sekarpandanwangi. Ayah merestui perkawinanmu.”

Putri Sekarpandanwangi mendengar perkataan ayah mertuanya; dia mendekati kekasihnya dan sama-sama berjongkok menghadap Raja Girindrawardana. Sekarang Raja tidak kuasa lagi berkata, tetapi hanya mengangguk kepada Putri Sekar. Putri Sekar terharu melihat tingkah ayah mertuanya hingga dia menitikan air mata.

Tak lama kemudian, Raja menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Sekretariat Istana memberi khabar duka keseluruh Negeri. Mayat Raja dibaringkan diatas podium, tetap ditempat itu.

Sebagian besar rakyat Wulansari bergembira ria dengan kematian Rajanya; hanya sedikit yang bersedih hati. Bahkan, Penyewu Boyo Lali bernyanyi dan menari, mengungkapkan rasa kegembiraannya.

Suatu bukti bahwa Raja sebenarnya tidak disukai oleh rakyatnya sendiri, akan tetapi mereka takut untuk membantah. Peperangan yang dilancarkan Wulansari atas perintah Raja sebenarnya tidak didukung oleh sebagian besar rakyatnya; termasuk Putra Mahkota, Pangeran Sora Mahisa.

Kembali sekretariat Kerajaan memberikan pengumuman atas nama Pangeran Sora Mahisa, bahwa serangan Kerajaan Demak tidak jadi dilaksanakan, karena musuh masih sibuk mendapatkan serangan balik dari pasukan Portugis.

“HURAY HURRAY “ Semua prajurit Wulansari berteriak-teriak karena gembira. Mereka memang perlu beristirahat dari peperangan yang terus menerus dilancarkan.

Belum selesai kegembiraan tentara Wulansari, tiba-tiba, seluruh pasukan Medang maju serentak menghunus pedangnya dibawah pimpinan Penyewu Jaran Edan. Sementara Patih Kebo Ireng memimpin barisan pemanah yang siap membidik musuh. Situasi medan menjadi tegang dan menyeramkan; sudah pasti kedua belah pihak akan saling bunuh-membunuh tanpa terkendali lagi.

“Hai, engkau Wulansari; masalahmu dengan kami belum lah selesai; hayo kita selesaikan disini!
Pasukan maju! Tebas kepala mereka!” Jaran Edan memberi komando serangan.

Pasukan Jaran Edan maju serentak; walaupun jumlah mereka hanya dua ratus personil tetapi mereka benar-benar sudah nekad untuk mati. Anak panah beterbangan dari kedua belah pihak. Nampaknya pertempuran tak dapat dihindari lagi.

Putri Sekarpandanwangi masuk kedalam arena medan tempur dengan gerakan indah. Dia menagkis setiap anak panah dengan pedangnya. Sekarang dia berada dimuka pasukan Jaran Edan. Semua prajurit Medang menghentikan serangannya dan terdiam, “Stop! Jaran, kembali engkau kepasukanmu; Kebo, engkau juga! Hentikan pertempuran ini!”

Pangeran Sora Mahisa bertindak sama, dia menghadap kearah pasukannya, “Stop! Jangan diladeni mereka! Pasukan, tenang!

Akuwu Wengker kemudian ikut bergabung dengan kedua orang itu, “Apakah aku sudah tidak dianggap lagi sebagai komandan-mu? Kalau begitu bunuh aku sekarang juga dengan panahmu!”
Nampaknya Akuwu sangat marah dengan kelakuan pasukannya yang tidak disangka-sangka telah mengadakan gerakan yang mengejutkan, tanpa dikomando-i.

Penyewu Jaran Edan memberikan komando dengan isyarat tangannya; mereka mundur kembali ketempat semuala secara teratur dan perlahan-lahan.

Putri Sekarpandanwangi menaiki podium, disamping jenazah Raja Girindrawardana. Dia memberi isyarat dengan tangannya agar semua prajurit dari kedua belah pihak dapat tenang.

“Saudara-daudara! Aku sebagai Ratu Kerajaan Medang menyatakan bahwa perang antar kedua Kerajaan dihentikan. Dan aku menyatakan bahwa pertempuran ini telah dimenangkan oleh Kerajaan Medang.

Wahai rakyat Wulansari; Wahai Raja Wulansari, apakah engkau menolak pernyataanku bahwa pertempuran ini dapat dihentikan sampai disini dan Kerajaan Medang, aku nyatakan sebagai pemenangnya; karena aku telah membunuh Rajamu.

Jika engkau menolak, mari kita teruskan pertempuran ini. Aku bersedia mati demi Kerajaan.”

Kembali Jaran Edan dan kawan-kawannya menghunus pedangnya dan mulai bergerak. Sementara itu Patih Kebo Ireng memberi komando kepada pasukan pemanah.

Pangeran Sora Mahisa tampak pucat mukanya. Sementara Patih Gajah Urip memandang kepadanya, seolah menunggu perintahnya. Para prajurit Wulan sari juga telah menghunus pedangnya.

Keadaan berubah menjadi genting, semua orang menunggu keputusan Raja Wulansari, Pangeran Sora Mahisa; apakah dia mau meneruskan pertempuran atau tidak. Jika tidak, maka harga diri Pangeran sebagai pemimpin akan jatuh, karena mengaku menyerah kalah.

Tidak disangka, bahwa Putri Sekarpandanwangi telah berubah menjadi Ratu; dia berbicara atas nama Rakyat Medang. Dan yang mengherankan adalah, dia sengaja melupakan urusan pribadinya.

Yang ditantang untuk berkelahi adalah kekasihnya yang telah melindungi-nya dari ancaman Raja Girindrawardana.
Putri bertindak laiknya kacang lupa kulit.

“Jika aku teruskan pertempuran maka aku berchianat kepada hasil pembicaraanku dengan Putri; bukankah aku akan berjuang melawan ketidak adilan dan sekaligus menghentikan pertempuran. Lawanku adalah Raja Girindrawardana, bukan Putri Sekar.” Pikir Pangeran Sora Mahisa.

Dengan langkah gontai, Pangeran naik keatas podium dan berbicara, “Saudaraku rakyat Medang, aku menyatakan pasukanku menyerah kalah dan engkau sebagai pemenang.
Aku nyatakan bahwa pertempuran dihentikan demi perdamaian.

Aku meminta maaf kepada seluruh masyarakat Medang atas semua yang telah terjadi, selama pertempuran berlangsung.”

“Permintaan maaf tidak lah cukup!” Jaran Edan berteriak

“BETUL! Jaran benar, anakku dan istriku telah mati, dibunuh oleh tentara Wulansari!” Teriak prajurit Medang.

(Bersambung)


No comments: