Thursday, October 23, 2008

Antara Cinta dan Benci (Bagian 6)

Raja Menjadi Gila

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi



Bab 1

Hari naas bagi Putri yang ditunggu akhirnya datang. Disuatu malam yang kelam, serombongan perampok berjumlah lima belas orang mendatangi sebuah rumah besar yang kelihatannya sunyi. Mereka adalah Bulus Lunyu dan kawan-kawannya; muka mereka ditutupi kedok. Mereka kelihatannya garang dan benar- seperti perampok, tetapi sesungguhnya mereka adalah agen rahasia Raja Girindrawardana. Tugas mereka sudah jelas, membunuh Putri yang mereka duga sedang dalam keadaan tanpa pengawal.

Mereka menambatkan kudanya ditepi hutan yang agak jauh. Kemudian mengendap-endap mendekati sasarannya. Kemudian menyerbu secara serentak masuk kehalaman rumah.

Akan tetapi, malang bagi mereka, sejumlah anak panah beterbangan mengenai sasarannya, lima orang diantara mereka mengerang kesakitan, tertembus panah dan langsung mati. Belum lagi selesai, dari dalam rumah sudah keluar sejumlah prajurit yang langsung menyerang
Maka terjadi pertempuran kecil yang tidak seimbang. Para perampok memilih selamat; mereka melarikan diri ke arah kudanya. Kemudian lari secepatnya ke arah timur, guna melaporkan hasil kerjanya yang gagal kepada Tuannya, Raja Girindrawardana.

“Nampaknya ada orang diantara kita yang telah membocorkan rencana pembunuhan ini kepada pihak ke tiga. Siapa diantara kalian yang telah membocorkan; hayo mengaku!” Kata Bulus Lunyu kepada para pengikutnya, sambil melarikan kudanya.

“Bukan kami Tuan; kami tetap memegang rahasia ini. Kemungkinan orang yang telah membocorkan tugas rahasia ini adalah pelayan Tuan sendiri yang menghidangkan kopi dan pisang goreng sewaktu kita mengadakan rapat di rumah Tuan; dia-lah orang yang kami curigai.”

“Rasanya tidak mungkin dia; dia yang aku percaya dan sudah mengabdi kepadaku bertahun-tahun. Serasa tidak mungkin dia adalah agen rahasia dari Pangeran Sora Mahisa.” Pikir Bulus Lunyu

Perjalanan mereka memakan waktu dua hari non stop, hingga sampai ke Markas Raja di sektor Utara Timur.

Didalam tenda, Raja sedang dihibur oleh para dayang penghibur Raja; dan juga hadir sejumlah prajurit dibawah pimpinan Penyewu Boyo Lali.
Tiba-tiba, masuklah Bulus Lunyu dan kawan-kawannya, langsung menghadap Raja. Kelihatannya Bulus Lunyu sudah demikian dipercaya oleh Raja, sehingga tidak ada halangan tata-krama protokoler bagi dia untuk menghadap Raja.

Keadaan di medan tempur tentunya akan berbeda situasinya dengan keadaan di Istana; disini, tidak ada ruang rahasia yang khusus dimana Raja dapat membicarakan hal yang bersifat sangat rahasia, tanpa diketahui oleh pembantu-pembantunya.

“Tuan kami telah gagal didalam menjalankan tugas; hal ini disebabkan rencana rahasia kita sudah diketahui oleh orang lain, sebelum dilaksanakan.

Jadi sewaktu kita baru memulai melancarkan serangan, kita sudah didahului, diserang oleh banyak serdadu; bahkan lima kawan kita mati terpanah. Untunglah kami dapat melarikan diri dengan selamat.

“Siapakah yang telah membocorkan tugas rahasia kita?” Tanya Raja.

“Kami tidak tau Tuan.”

Raja berpikir keras dan panik, “Jika anakku tau tentang rencanaku, maka dia akan marah kepadaku dan kemudian akan terjadi perang saudara. Sipembocor rahasia harus diberi hukuman berat; hukuman mati digantung; karena dia adalah sumber malapetaka ini; siapa kira-kira orang itu.

Boyo Pitu adalah sahabat dekat dari Pangeran Sora Mahisa; jadi dia lah orang yang patut dicurigai sebagai biang kekacauan.
Dia harus dijatuhi hukuman berat.”

Setelah diam beberapa saat, tiba-tiba Raja memerintahkan kepada para pengawalnya, “Tangkap Boyo Pitu! Dan gantung beserta seluruh keluarganya!”

Semua yang hadir didalam tenda Raja terkejut, terlebih Boyo Lali dikarenakan dia adalah adik Boyo Pitu.
Boyo Lali beringsut mendekati pintu tenda perlahan-lahan dan kemudian keluar, mendekati kudanya dan lari diikuti oleh pengawal-pengawalnya.

Raja memang benar-benar panik disebabkan rasa was-was akan kemungkinan datangnya serangan dari anaknya sendiri, Pangeran Sora Mahisa.
Karena panik, maka jalan pikirannya tidak lagi waras. Dia benar-benar memerintahkan gantung Penyewu Boyo Pitu tanpa diadili lagi.

“Apa salahku, apa salahku. Katakan sebelum aku mati, aku harus tau, apa salahku.” Demikian Boyo Pitu meratap; keadilan sudah lenyap dari dirinya. Hilang sudah semua jasanya kepada Negerinya, Raja tidak lagi menghargai jasanya. Dia adalah orang yang hina dimata Raja. Bahkan dia sama seperti seorang penjahat, walaupun belum dibuktikan kesalahannya.

Sementara itu, Boyo Lali memberi khabar akan hal-nya kelakuan Raja yang sudah tidak wajar atau sudah gila, kepada semua jajaran militer yang ada di kem itu.

“Hai kawan, Raja kita sudah gila! Dia memberi hukuman gantung sampai mati kepada Penyewu Boyo Pitu. Dan mungkin dia akan menangkapku untuk digantung juga karena aku adalah adik Boyo Pitu. Mari kita lari dari sini dan bergabung dengan laskar Pangeran Sora Mahisa.”

“Apa alasan hukuman itu?”

“Raja menyangka Boyo Pitu telah membocorkan rahasia Raja untuk membunuh Putri Sekarpandanwangi; tugas rahasia itu telah gagal dilaksanakan; karena sudah bocor sebelum dilaksanakan.”

Semakin banyak pasukan yang mengikuti Penyewu Boyo Lali; dan mereka kemudian lari kearah barat, menuju Kaliurang.

Patih Gajah Urip mendapat laporan bahwa banyak serdadu yang lari dan bergabung dengan pasukan Pangeran Sora Mahisa; semua itu disebabkan tindakan Raja yang telah menggantung mati Penyewu Boyo Pitu.

Patih Gajah Urip pun sependapat dengan Boyo Lali bahwa Raja telah gila dan tindakannya sewenang-wenang.

Dia perlu menghadap Raja guna melaporkan akan hal-nya banyak serdadu yang telah meninggalkan tugas; lari kearah barat bersama Penyewu Boyo Lali.

“Baginda, kami melaporkan bahwa kurang lebih seribu prajurit telah melarikan diri kearah barat, untuk bergabung dengan legiun Pangeran Sora Mahisa.”

“Patih, besok pagi kita akan gempur Pangeran Sora Mahisa. Siapkan pasukan kita untuk menangkap Pangeran dan kekasihnya dan kemudian gantung sampai mati.”

“Baik Baginda.” Patih cepat-cepat berlalu dari hadapan Raja. Jika berlama-lama bersama Raja, akan lebih banyak perintah yang tidak wajar keluar dari mulut Raja.

Patih Gajah Urip perlu mengadakan rapat konsolidasi diantara jajarannya. Maka malam itu dia bersama dengan beberapa Penyewu mengadakan rapat sangat rahasia didalam menghadapi Raja yang semakin sewenang-wenang.

“Saudara-saudara, sudah kita saksikan peristiwa yang terjadi secara tidak wajar dihadapan kita, yaitu hukuman mati terhadap kawan seperjuangan kita, Penyewu Boyo Pitu.

Belum lagi itu selesai, sudah keluar lagi perintah Raja yang lebih gila, hukum gantung Pangeran Sora Mahisa bersama kekasihnya. Jadi, kita harus berperang melawan kawan kita sendiri, Pangeran Sora Mahisa di Kaliurang.
Besok pagi seluruh pasukan kita sudah harus bergerak kerah barat guna menangkap Pangeran.

Jadi aku berkesimpulan bahwa Raja sudah gila dengan memerintahkan hukuman mati bagi anaknya sendiri. Betulkah kesimpulan ku ini, saudara-saudara?”

“Benar Patih, dia sudah gila. Mari kita hadapi dia bersama-sama. Tetapi, bagaimana caranya?”

“Aku perintahkan agar setiap prajurit membawa bendera putih, guna dikibarkan sewaktu kita akan menghadapi pasukan Sora Mahisa. Kita harapkan pasukan Mahisa mau berdamai dengan kita dan kemudian kita akan tangkap Raja.”


Bab 2

Putri Sekarpandanwangi puas dengan hasil kemenangan pasukan Sora didalam pertempuran menghadapi para perampok, “Oh Sora Mahisa kekasihku, kuucapkan terimakasihku.
Wahai singa jantan, engkau benar telah menepati janjimu untuk membela anak ayam yang lemah ini.
Sesungguhnya, rencanaku semula adalah untuk membunuhmu, tetapi sekarang ini sudah hilang sama sekali. Sekarang, aku sudah tidak punya rasa benci dan dendam lagi kepadamu; tetapi sebaliknya, cintaku kepadamu tumbuh kembali; cintaku kepadamu timbul kembali seperti sediakala.

Aku sekarang bukan lagi seperti anak ayam, tetapi Raja elang dengan cakar yang tajam dikarenakan pasukanmu sudah berada ditanganku.
Raja elang itu akan terbang diangkasa; dengan matanya yang tajam dan selalu mengawasi mangsanya, yaitu seekor ular.

Dan engkau wahai Raja Girindrawardana! Engkau sesungguhnya, hanya-lah seekor ular kecil, bukan lagi seekor python. Kuku cakarku akan segera menerkam tubuhmu yang ramping.”
Pikir Putri Sekarpandanwangi.

Sehari kemudian, pasukan Pangeran Sora Mahisa dengan kekuatan dua ribu personil datang ke Kaliurang, guna mendirikan pos militer dalam menghadapi pasukan Demak.

Mereka segera bekerja mendirikan markas militer Wulansari di Kaliurang. Hutan disekitar kediaman rumah Putri menjadi ribut hingar bingar. Hal ini membuat Akuwu Wengker beserta pasukannya pergi menyembunyikan diri di balik bukit. Tetapi Ki Manjangan tetap mengawasi tingkah musuhnya.

Pertemuan antar kedua pasang kekasih itu, sekarang penuh dengan kemesraan. Peluk dan cium berkepanjangan didalam melepas rindu, hal yang sudah tidak menjadi halangan didalam hati Putri. Lenyap sudah rasa dendam di hati Putri Sekar.

Keduanya mengakui bahwa hubungan mereka pernah retak dikarenakan perang yang sangat brutal. Sekarang tiba masanya untuk menghentikan perang yang menjadi tugas mereka berdua.

“Kanda, aku sangat menghargai bantuanmu, sehingga aku dapat lepas dari marabahaya yang telah mengancamku. Perampok-perampok telah menyerang rumahku. Tetapi mereka dapat diusir oleh prajurit-prajurit setiamu. Bahkan ada bebarapa orang perampok yang telah mati.”

“Mari kita lihat, siapa mereka itu sebenarnya.” Pangeran menggandeng Putri ketempat pertempuran terjadi.

“Mayat yang ini aku kenal sebagai agen-rahasia Raja; jadi sudah jelas bahwa Raja menghendaki engkau mati dengan mengirim agen-agen rahasianya kerumah ini.”

“Jadi untuk selanjutnya aku harus bagaimana?” Tanya Putri dengan manja, tetapi juga dengan rasa takut.

“Untuk sementara engkau dalam keadaan aman; kita lihat selanjutnya bagaimana reaksi si ular python setelah usahanya ternyata mengalami kegagalan.”

“Jadi kita hanya dapat menunggu. Kita berdua akan menunggu bagaimana sikap dia selanjutnya setelah dia tau bahwa rencana rahasia untuk membunuh calon menantunya sudah terbongkar.”

Semingu kemudian, Pangeran Sora Mahisa perlu mengadakan apel lapangan guna meningkatkan semangat juang para prajuritnya. Para prajurit kelihatan letih dan tidak ada semangat dalam situasi menunggu hari-hari pertempuran melawan Demak.

“Saudara, saudara, sengaja pagi ini kita berkumpul didalam barisan yang kompak dan selalu kompak, guna menunggu musuh kita, tentara Demak.

Aku tau bahwa engkau menjadi bosan di-saat menunggu seperti ini. Akan tetapi akan menjadi lebih baik menunggu dari pada bertempur, bukan? Jika kita harus membunuh orang yang kita tidak kenal sama sekali, tentulah kita akan dikutuk oleh Dewa.
Marilah kita mintakan kepada Para Dewa agar pertempuran dengan tentara Demak di batalkan. Kehendak Dewa tentu akan lebih kuat dibandingkan dengan kehendak seorang Raja.”

“Benar Tuan, kami sudah bosan dengan peperangan yang terus menerus di tanah Majapahit ini. Lebih baik kita menjadi petani dan bekerja untuk kesejahteraan rakyat.” Teriak seorang prajurit.

“Ya betul! Aku setuju dengan mu. Peperangan ini, tidak ada gunanya, tetapi akan membuat rakyat akan lebih menderita; menjadi lebih melarat dan hina.”

Tiba-tiba seorang pengawas menara datang melapor kehadapan Pangeran, “Tuan, pasukan dengan memakai seragam kita sedang menuju kesini; mereka pastilah pasukan dari sektor Timur, sektor Raja.”

“Mengapa mereka datang kesini; mungkin sektor Timur sudah dikuasai oleh tentara Demak dan ini pasukan sisa yang sedang meminta bantuan.” Pikir Sora Mahisa.

Mereka adalah seribu pasukan Wulansari dibawah pimpinan Boyo Lali. Tak lama kemudian mereka datang pada saat pasukan Mahisa sedang mengadakan apel lapangan.

“Cilaka! Cilaka! Cilaka!” Teriak Boyo Lali dihadapan Pangeran; dia turun dari kudanya dan langsung jatuh tertidur di rumput, kepayahan.

Pangeran memberikan kendi air dingin kepada Boyo Lali, “Minumlah air dingin ini terlebih dahulu, kemudian tenangkan hatimu dan ceritakan kabar buruk yang sedang menimpamu, kawan!”

Boyo Lali minum air kendi dingin dan berkata, “Ayahmu telah menjadi gila; dia telah menghukum mati kakak-ku tanpa diadili lebih dahulu.
Dan kabar terakhir yang kuterima tadi, Raja dan pasukan kita sedang menuju kesini guna menangkap mu dan kekasih mu; tentulah hukuman mati akan dijatuhkan kepadamu berdua.”

“Apa alasannya?”

“Ini semua disebabkan seorang wanita, Putri Sekarpandanwangi, kekasihmu itu. Raja memerintahkan kepada Bulus Lunyu untuk menghabisi Putri di rumah ini; tetapi rencana Raja gagal total disebabkan rahasia telah bocor sebelum dilaksanakan. Raja menuduh Boyo Pitu yang telah membocorkan rahasia ini; oleh sebab itu lah Boyo Pitu mati digantung.

Waktu nya sangat mendesak sekali guna engkau dapat menyelamatkan diri. Karena akan datang seorang ayah yang akan membunuh anaknya sendiri.”

“Mengapa ayahku akan menggantung aku? Apa salahku?”

“Aku tidak tau! Itulah sebabnya aku mengatakan dia sudah gila. Tetapi, mungkin dia telah menyangka engkau akan menyerang Raja disebabkan rencana pembunuhan Putri Sekar yang gagal; dan engkau sudah mengetahui siapa dalang dibalik pembunuhan ini. Dia sedang dalam perjalanan kesini guna menyerang engkau lebih dulu sebelum engkau menyerangnya.”

“Aku harus bagaimana Boyo; berilah aku nasihat!”

“Kebetulan sekarang serdadumu sedang apel; pergunakan kesempatan ini untuk memecah pasukanmu dalam dua kelompok. Yang satu adalah kelompok yang akan membantumu, sedang kelompok kedua adalah kelompok yang akan membantu Raja.

Mari kita bersiap-siap guna menghadapi perang saudara.”

“Perang saudara? Ini perang yang paling aku benci; baru saja aku mengatakan kepada prajuritku, tidak ada guna-nya membunuh orang yang tidak kita kenal sama sekali.
Sekarang aku harus mengatakan sekali lagi bahwa kita harus membunuh saudara kita yang sudah kita kenal baik. Cilaka!”

“Apa boleh buat. Sudah, jangan dibicarakan, cepat laksanakan, karena waktunya sempit sekali!”

Pangeran Sora Mahisa kembali tampil di podium, dihadapan para prajuritnya. Sementara para prajuritnya yang kedatangan kawan-kawannya dari sektor timur, sudah memaklumi akan halnya musibah yang dijatuhkan Raja kepada Penyewu Boyo Pitu.

“Saudara-saudara seperjuangan, kita telah kedatangan kawan-kawan kita dari sektor timur yang tidak kita sangka-sangka.

Engkau tentu-nya sudah tau dari pemberitahuan kawanmu itu bahwa kita sedang mendapat musibah yang dijatuhkan oleh Raja. Mengapa Raja menjadi sangat marah bahkan lebih marah lagi terhadap anaknya sendiri, aku.
Semua ini disebabkan karena seorang wanita, yaitu kekasihku yang akan menjadi istriku. Masalahnya adalah ayahku tidak setuju aku kawin dengan seorang Putri dari Raja Kerajaan Medang, Putri musuhnya.

Aku ingin bertanya kepadamu, apakah engkau setuju atau tidak setuju bila aku mengawini wanita itu?”

“KAMI SETUJU!” Para prajurit serentak berteriak.

“Bahkan kami sangat bangga dengan Putri Sekarpandanwangi dapat berada ditengah-tengah kita.” Teriak seorang prajurit.

“Permasalah yang timbul tidak se-sederhana seperti itu. Raja dan pasukannya sedang dalam perjalanan menuju kesini guna memerangi kita disini, kemudian menangkapku dan dia akan menggantungku bersama kekasihku hingga aku mati.

Aku ingin tau siapa diantara kalian yang sebenarnya tidak setuju kepadaku tetapi setuju kepada Raja; kuminta kalian berbaris disebelah kiriku.
Sedangkan yang setuju dengan ku, berbaris di sebelah kananku.

Bila Raja dan pasukannya sudah datang mendekat, maka mereka yang setuju dengan Raja dapat bergabung dengan Raja.
Percayalah, aku tidak akan menciderai mu.

Nah, sekarang laksanakan!”

Semua prajurit-prajurit itu menjadi bingung, tidak tau harus bagaimana. Banyak komentar-komentar yang keluar dari mulut mereka.
“Kita akan diadu untuk saling bunuh diatara kawan-kawan kita sendiri. Ada apa ini?”

“Ya benar kawan! Ini adalah masalah Keluarga Kerajaan, jadi janganlah kita diikut sertakan.
Seharusnya masalahnya dapat diselesaikan oleh mereka sendiri, antar Keluarga Kerajaan sendiri.”

Tiba-tiba terdengar suara keras tetapi merdu dari seorang wanita yang sedang membaca puisi,

Perang terus berlanjut
Sawah jadi ajang bunuh membunuh
Prajurit berkuda menghalau musuh
Musuh menombak, menusuk
Siapa yang menyuruh?

Rakyat menjerit diatas penderitaan
Raja tidak perduli apalagi kesejahteraan
Wabah penyakit merebak, menewaskan
Kelaparan meraja-lela.
Petani tak dapat kerja
Siapa yang harus dipersalahkan?

Dia yang memerintah.
Raja tamak, gila, menjijikan
T’lah membunuh perwira Boyo Pitu
Bahkan ‘kan membunuh anaknya sendiri
Tak berbekas jasa-nya bagi Negeri
Lenyap keadilan bagi Boyo Pitu

Wahai kawan!
Sudah jelas, siapa hitam siapa putih
Mari bersatu tegakkan keadilan
Kita tak sudi dia Raja
Tumbangkan kekuasaan
Songsong dia dengan pedang.

Semua prajurit terdiam; mereka mendengarkan alunan puisi yang dibacakan.

Tak lama kemudian, keluar seorang wanita anggun, penuh kharisma, cantik dan ber wibawa. Dia keluar dari rumah besar dan menghampiri Pangeran Sora Mahisa. Pangeran bergegas menyambutnya, menggandengnya dan membawanya keatas podium.

Semua prajurit berdecak kagum, “Pantas saja dia menjadi masalah kita; wanita ini pantas menjadi pendamping Pangeran.”

“Saudara-saudara! Dia adalah titik pusat masalah kita sekarang ini. Akan tetapi dia tidak bersalah bahkan dia adalah manusia yang paling teraniaya, teraniaya oleh Raja kita sendiri. Ayahnya telah dibunuh atas perintah Raja Girindrawardana; dan sekarang Raja berencana membunuh dia dan aku.
Sudah jelas siapa hitam dan siapa putih.

Terserah kepadamu, apakah engkau mau membela yang hitam atau mau membela yang putih. Aku tidak perduli.
Laksanakan segera!

“KAMI AKAN MEMBELA YANG PUTIH. TIDAK SEORANGPUN YANG AKAN MEMBELA RAJA !!”

“Terimakasih atas petolonganmu. Marilah kita songsong Raja dengan pedang didalam barisan yang kompak.”

(Bersambung)

No comments: