Wednesday, July 30, 2008

Ki Ageng Mengir (Bagian 5)

Ayu Sekar Menjadi Rakyat Biasa

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

Setelah mereka pergi, Ki Ageng Suro memberi komentar, “Terimakasih Ayu, engkau telah mengusir mereka pergi. Aku sungguh mengagumi engkau; bahkan aku sebenarnya tidak sanggup menghadapi mereka.”

“Tanpa engkau, aku hanyalah seorang wanita yang lemah.
Dia masih menghargai aku sebagai anak Raja-nya; sedangkan Raja, ayahku menganggap aku sebagai penghianat bangsa dan patut mendapat hukuman berat, hukuman mati.
Setiap orang mempunyai pendapat dan buah pikir yang berbeda-beda; kebetulan pendapat ayahku berbeda dengan aku.”

“Dan bagaimana sekarang keadaan kita? Mau kemana kita sekarang?”

“Yang penting adalah merubah identitasku, dimulai dari merubah namaku untuk kedua kalinya. Tolong carikan nama yang sesuai untuk aku, wahai Ki Ageng Suro.”

“Aku tidak bisa Tuan Putri. Karena aku bukan orang tua-mu”

“Jangan ragu-ragu Ki Ageng Suro; dan jangan panggil aku seperti itu; aku sekarang bukan seorang bangsawan, aku adalah rakyat biasa.
Anggaplah Putri Pembayun dan juga Ayu Sekar dari Kerajaan Mataram sudah mati, dibunuh oleh Patih Purboyo.
Engkau adalah kawanku, bukan lagi pengawal ku; aku sederajat dengan mu.”

Ki Ageng Suro merenung, mencarikan nama junjungannya, “Dia bagaikan bulan yang menerangi kegelapan malam, ditengah awan-awan yang menyelimuti. Dia selalu membuat semua orang menjadi bahagia, ceria dan tertawa, walaupun dia sendiri sedih; dalam keadaan tertekan oleh tugas ayahnya yang sangat riskan bagi dirinya.
Jadi sebaiknya aku beri nama “Wulan begjo ing Larasati.”

Pada akhirnya Suro memberi nama, “Baiklah Ayu, nama barumu adalah Wulan begjo ing Larasati.”

“Wow sangat panjang nama itu, tetapi bagus. Apakah artinya Suro.”

“Artinya bulan yang selalu bahagia dan lurus hati.”

“Bolehkah aku memendekannya menjadi Wulan Larasati.”

“Tentu saja boleh.”

“Terimakasih; Aku juga akan berusaha menghilangkan cara ku bercakap-cakap, pakaianku dan semua penampilanku. Jangan adalagi orang memanggil aku Ayu Sekar, apalagi Putri Pembayun, tetapi Wulan Larasati.”

“Baiklah kita pulang kembali ke kem.”

Mereka bergegas pulang kembali kem bali ke kem; mereka masih kangen untuk bertemu dengan anggota SKCK.

Yang paling ingin tau adalah Ki Kancil Alit, “Selamat, engkau pulang dengan selamat; kita semua mengira kamu sudah dibunuh oleh orang-orang Mataram itu. Bagaimana sikap Patih Purboyo.”

Ki Ageng Suro menjawab pertanyaan Ki Kancil, “Aku memang sudah siap untuk berkelahi dengan Patih keparat itu; tetapi dia menghindar dengan alasan hanya ingin bercakap-cakap dengan Ayu Sekar, eh namanya sudah diganti menjadi Wulan Larasati.
Aku katakan, bila kamu menciderai Wulan Larasati, aku akan bertindak, langkahi dulu mayatku.”

“Eh namanya sudah diganti, nama yang bagus.”

“Dikarenakan sudah ada perjanjian dengan Patih Purboyo; Patih tidak mau menjalankan hukuman mati terhadap junjungannya, tetapi dengan syarat, Wulan harus pergi jauh-jauh dan jangan kembali lagi. Jika Putri Pembayun diketahui masih hidup, maka Patih akan dihukum berat.
Maka kita berdua membuat nama baru Wulan Larasati; sedang Putri Pembayun dan Ayu Sekar dianggap-lah sudah mati, dibunuh oleh Patih Purboyo.
Kemudian Patih dan serdadunya pulang kembali ke Kota Gede; semoga laporannya kepada Raja dapat diterima dengan baik; bahwa hukuman mati telah dilaksanakan.”

Wulan Larasati ber-ucap, “Aku sekarang bukan seorang bangsawan, tetapi aku adalah rakyat jelata dan bukan rakyat Mataram. Kedudukanku sama dengan kalian. Namaku adalah Wulan Larasati; ingat, jangan panggil aku Ayu Sekar, karena dia sudah mati.”

“Kita akan kemana Wulan? Yang jelas kita harus pergi jauh-jauh dan jangan kembali lagi.” Kata Ki Ukur.

“Kita akan ke Tuban, sebuah kota pelabuhan yang ramai dan lebih terbuka kepada Dunia.”

“Aku ikut Wulan, jangan tinggalkan aku.”

“Aku juga ikut engkau Wulan”

“Semua anggota SKCK harus ikut tidak boleh ada yang tertinggal, ini adalah suatu keharusan, demi keselamatan Wulan Larasati.” Kata Ki Ukur.

“Kalau aku tidak mau ikut kenapa?” Tanya Ayu Mendut.

“Engkau akan ditangkap oleh pasukan rahasia Mataram, dihadapkan kepada Raja dan engkau pada akhirnya mengaku bahwa Putri Pembayun masih hidup; sekarang berganti nama menjadi Wulan Larasati; sekarang ada di Tuban.
Ini sangat membahayakan keselamatan Wulan dan Patih Purboyo.”

“Oh begitu, aku mengerti; aku ikut Wulan Larasati.”

“Jadi, engkau tidak perlu pindah tempat, Ki Kancil Alit; karena mereka hanya mencari aku untuk diberi hukuman.”

“Terimakasih Wulan.
Sesungguhnya engkau adalah pemimpin kami di Mengir, pengganti almarhum suamimu. Sebelum kita mendapat pemimpin baru, kamulah pemimpinnya, bukan aku.”

“Aku tidak bisa Ki Kancil, karena aku tidak mempunyai bakat didalam menjalankan kehidupan politik seperti yang dijalankan suamiku. Aku mohon maaf untuk itu. Bakatku adalah membuat orang berbahagia, tertawa atau bersedih melihat sandiwaraku.”

“Akankah kita berpisah Wulan?” Tanya Ki Kancil

“Ya benar, aku akan mengikuti kawan-kawanku di SKCK ke kota Tuban. SKCK adalah tempat aku mencari nafkah sebagai rakyat kecil.”

“Sekali waktu datanglah menengok rakyatmu, masyarakat Mengir yang tidak pernah dan tidak mau mempunyai Raja, tetapi pemimpin.
Bila Raja Mataram sudah lupa denganmu dan sudah surut marahnya, datanglah kesini.”

Wulan Larasati terdiam sejenak; dia merenung, kata-kata apa yang akan diucapkan dalam perpisahan dengan rakyat suaminya.
Pada akhirnya dia membaca pantun,

Perang adalah hal yang aku hindari
Damai adalah yang aku mau-i
Siapa yang ingin dipecundangi?
Rakyat ingin hidup bahagia
Raja ingin lebih berkuasa
Dan aku merasa tersiksa

Karena aku anggota keluarga
Dari Raja yang berkuasa
Aku terpaksa
Terlibat didalam kegelapan
Perang yang tidak berkesudahan
Siapa yang ingin ditaklukan?

Nenek apa yang terjadi?
Cucuku bertanya nanti
Peran kita akan dibicarakan
Artis seperti aku akan memainkan
Lakon akan tokoh yang diceritakan
Berperan baik-lah bila tidak ingin diberitakan.


Semua yang hadir meneteskan air mata; mereka semua tersentuh didalam hati mereka yang terdalam.

“Ini adalah sebuah nasihat untuk kita; betulkah begitu wahai sang pemimpin Mengir?.
Marilah kita berperan secara baik selama kita hidup, agar tidak diberitakan hal-hal yang tidak baik oleh anak cucu kita dikemudian hari.” Kata Ki Kancil Alit.

Setelah puas melepaskan rindu, pada akhirnya Ki Ukur berpisah dengan Ki Kancil Alit.

Dengan penuh haru, Ki Kancil Alit mengantarkan Wulan Larasati sampai dipinggir hutan.


Bab 2

Ki Ukur beserta seluruh anggota SKCK berdiam dikota Tuban; mereka tetap menghibur rakyat dengan sandiwara kelilingnya. Usaha mereka maju pesat dan tentu saja mereka mendapat laba besar.

Banyak orang-orang disitu yang meniru usahanya, sandiwara keliling. Jadilah kesenian tersebut menjadi kebudayaan yang disebut “Ludruk”.

Sementara itu anak Wulan Larasati sudah besar dan dia seperti ayahnya, gagah berani dan cerdik seperti ibunya. Ibunya memberi nama Barwono, artinya dilahirkan ditengah hutan.
Wulan berhasil merubah cara berbicaranya seperti penduduk setempat, jadi tidak ada yang mengira bahwa dia berasal dari Kota Gede anak seorang Raja.

Menurut cerita dari hutan pemukiman, Ki Kancil Alit telah membuat kuburan palsu yang diberi nama pada batu nisan Ayu Sekar. Ki Kancil Alit memang seorang piawai dalam dinas rahasia; dia sudah menduga dari semula bahwa Raja Mataram beserta Patih Purboyo akan datang ketempat dimana putrinya dihukum mati.

Nampak Raja meneteskan air mata dikuburan palsu itu dan berdoa untuk putrinya yang sebenarnya dicintainya.

Rahasia kematian Ayu Sekar betul-betul dijaga oleh Patih Purboyo dan kesatuan tentaranya, sehingga tidak diketahui oleh Raja.

Pemukiman Ki Kancil Alit dengan masyarakat Mengirnya sudah pindah dari tempat itu, sehingga Raja tidak dapat bertanya kepada siapa-siapa. Ki Kancil Alit pun sudah menduga bahwa pemukimannya pasti akan diserang kembali, karena tempatnya sudah diketahui.

Tamat.

No comments: