Sunday, July 27, 2008

Ki Ageng Mengir (Bagian 4)

Serangan ke Istana

Diceritakan kembali oleh Satoto Kusasi


Bab 1

“Tuan, musuh sangat mudah membunuh Tuan. Jadi sebaiknya Tuan tidak usah datang untuk sungkem.”

“Kita inginkan agar Raja dan tentaranya tidak menyadari bahwa kita datang untuk menyerang mereka. Oleh sebab itu lah kita datang untuk sungkem; berpura-pura mau memenuhi undangannya; jadi dengan demikian pintu gerbang Istana akan dibuka untuk kita.

Bila anda melihat tanda roket dilangit, maka segera datang kedalam Istana, menyusul aku; aku dalam keadaan bahaya. Seranglah dengan mengerahkan semua prajurit kita.
Bakarlah Istana, bunuh Raja dan keluarganya dan juga semua prajurit Mataram.”

“Lalu, apabila kita tidak melihat roket dilangit, apa artinya? Apakah kita akan tetap menunggu?”

“Itu artinya Raja mau menerima aku sebagai anak menantunya; jadi persoalan sudah selesai sampai disitu. Itu yang aku harapkan, karena perdamaian akan segera tercapai; peperangan dihentikan dan semua orang akan mendapat kebahagiaan.
Akan tetapi itu adalah harapan yang tipis. Kita sudah mendengar sendiri uraian Ayu Sekar tentang sikap ayahnya kepada kita; dia sangat membenci kita.

Jika aku mati didalam pertempuran kali ini, segera engkau memilih diantara ketua masyarakat, seorang pemimpin Perdikan yang baru.”

“Baikl Tuan, aku akan bersidang untuk memilih pemimpin baru.

Dimana Ayu Sekar pada saat itu? Apakah dia akan turut serta dengan kita dalam pertempuran ini?”

Ki Ageng Mengir berbisik pada telinga Suromenggolo, “Dia berpura-pura ada didalam kereta kencana, tetapi sebenarnya kereta itu kosong adanya. Ayu Sekar ada di Mengir, dirumahku. Aku yang melarang dia untuk ikut dengan kita.”

Pada hari penyerangan, Patih Suromenggolo mempersiapkan dua ribu empat ratus prajurit Mengir. Mereka berangkat pada malam hari dengan diam-diam dan tanpa penerangan atau obor; mereka jalan di dalam hutan Mentaok mendekati Istana. Kemudian mereka sembunyi di hutan itu; menunggu komando penyerangan.

Sementara itu, Ki Ageng Mengir, Ki Kancil Alit dan sepuluh orang prajurit kepercayaan datang langsung ke muka Istana. Dimuka pintu gerbang Istana, mereka ditahan oleh prajurit jaga, “Hai mau kemana kalian?”

“Aku mau bertemu dengan Raja karena aku diundang datang oleh Rajamu untuk upacara sungkem.”

“Siapakah anda kalau aku boleh tau?” Tanya penjaga dengan lebih sopan.

“Aku adalah Ki Ageng Mengir, pemimpin Mengir.”

Prajurit jaga terkejut mendengarnya. Selama pertempuran antara Mengir dan Mataram, tidak pernah Ki Ageng Mengir dikenal oleh musuh atau prajuritnya sendiri. Karena dia selalu memakai seragam prajurit Mengir dan bertindak seperti prajurit biasa dibawah komando Pati Suromenggolo.

Itulah sebabnya, Patih Purboyo tidak pernah mengenal dia; disangkanya Ki Ageng Mengir adalah orang tua renta dan jelek, padahal tidak begitu; dia seorang pemuda ganteng dan baik hati.

Penjaga pintu gerbang membukakan pintu; salah seorang dari mereka berlari ke Istana untuk memanggil Patih Purboyo.

Patih Purboyo datang dan bertanya, “Yang mana orangnya, yang bernama Ki Ageng Mengir?”

“Aku-lah orangnya.” Ki Ageng Mengir berkata.

“Oh engkau rupanya. Silahkan masuk kedalam Istana kami. Akan tetapi senjata kalian harus ditinggalkan disini.”

“Bukankah sekarang masa pertempuran, mengapa kami harus meninggalkan senjata kami?”

“Itu adalah aturan Istana, tidak ada hubungannya dengan masa pertempuran.”

Dengan terpaksa Ki Ageng Mengir dan kawan-kawannya meninggalkan busur panah dan anak panah, pedang panjang dan pedang pendek. Akan tetapi mereka masih menyembunyikan kerisnya masing-masing dibawah bajunya.

Sementara itu mereka merampas kereta kencana dan secepatnya kereta dibawa pergi.

Rombongan Mengir masuk kedalam Istana dengan tenang.
Setelah mereka melihat ada Singgasana Raja dan Raja yang sedang duduk menunggu, maka mereka jongkok dan maju dalam posisi jongkok.
Mereka mendekati Raja yang duduk dengan tenang.

Tetapi keadaan tetap saja tegang, tidak tenang dikarenakan dua musuh sedang berhadap-hadapan. Yang satu mengharapkan perdamaian; yang lain mengharapkan kematian bagi musuhnya.

Akhirnya, Ki Ageng Mengir sampai dimuka Singgasana Raja. Sementara dibelakangnya ada sepuluh prajurit Mengir yang mengikuti. Dan paling akhir adalah Ki Kancil Alit.

Seorang prajurit Mataram mendekati Raja dan berbisik ditelinga Raja, “Kereta kencana dalam keadaan kosong, tidak berpenumpang.”

“Apa? Kosong, kemana dia?”

“Kami tidak tau Baginda.”

“Hai Mengir! Kemana istrimu? Kau sembunyikan dimana?”

Mengir mengangkat tangannya yang sebelah kiri; ini suatu kode perintah kepada Ki Kancil Alit, agar segera bertindak. Ki Kancil Alit beringsut kearah jedela, tanpa ada yang memperhatikan. Dia keluar dari jendela dan melepaskan roket keudara, hingga lepas diatas langit.

“Begitukah cara seorang Raja bertanya kepada menantunya? Alangkah sopan santunnya seorang Raja Mataram kepada menantunya.
Istriku ada ditempat yang aman, dirumahku di Mengir.
Istana ini tidak aman untuk dia, karena peperangan akan membahayakan nyawanya ditempat ini.”

“Alangkah beraninya engkau Mengir!” Raja sangat marah. Dia memberi tanda dengan tangannya; itu berarti segera menyerang.

Ki Ageng Mengir sudah maklum apa yang akan terjadi, “Serang!” Dia berteriak memberi komando kepada sepuluh Prajuritnya.

Raja segera angkat kaki dari Singgasananya. Tetapi keris Mengir menancap di pantatnya; Raja berteriak kesakitan.

Sementara itu hujan panah menghujam Mengir dan kawan-kawannya. Lima panah menembus tubuh Mengir, Mengir tewas seketika itu juga. Prajurit yang lain mengejar para pemanah Mataram. Segera para pemanah itu tewas ditusuk keris-keris prajurit Mengir.

Raja berhasil menyelamatkan diri, dia masukl kedalam kamar rahasia bersama dengan seorang tua, diperkirakan Ki Ageng Pemanahan.

Ki Suromenggolo beserta dua ribu empat ratus prajurit Mengir datang sedikit terlambat. Pintu gerbang Istana sudah terbuka, maka mereka masuk kedalam dengan tiba-tiba.
Staf Istana dan penghuni Istana yang lain terkejut dan tidak dapat menyelamatkan diri; mereka mati semua dibunuh oleh Ki Suromenggolo dan kawan-kawannya.

Ki Suromenggolo semakin beringas melihat Ki Ageng Mengir sudah tewas, “Bakar Istana.” Komando Suromenggolo menggeledek. Maka api segera berkobar di Istana.

Atap gedung sebelah kiri ambruk dan menimpa penghuni Istana. Anak-anak dan para wanita menjerit dan menangis.

Tidak ada ampun, semua penghuni Istana mati tertusuk pedang atau keris. Karena mereka dianggap sebagai Keluarga Istana.

Patih Purboyo datang terlambat karena dia tidak menyangka Ki Ageng Mengir datang membawa tentara. Terjadilah pertempuran dahsyat didalam Istana yang sedang terbakar.

Prajurit Mengir lebih bersemangat didalam pertempuran; mungkin sudah menjadi tekadnya untuk mati bersama dengan pemimpinnya. Duel jarak dekat dengan memakai keris menjadi keahlian Mengir. Keris Suromenggolo yang haus darah merajalela meminta banyak korban dari prajurit Mataram.

Patih Purboyo lari dengan kudanya kearah Timur. Dia tidak melarikan diri, akan tetapi memanggil serdadu cadangan di pos timur.

Pertempuran berlangsung satu hari penuh, hingga sore hari. Dikarenakan jumlah prajurit musuh lebih banyak, pada akhirnya Suromenggolo kalah sudah. Tetapi sementara itu pertempuran telah meminta korban prajurit Mataram sebanyak tiga ribu limaratus prajurit. Dan Istana Mataram yang habis terbakar.


Bab 2

Ki Kancil Alit memacu kudanya hingga sampai di Mengir. Dia langsung kerumah Ki Ageng Mengir, “Ayu! Ayu! Ayu” Dia memanggil Ayu setengah berteriak-teriak.

Ayu Sekar keluar dan bertanya, “Mana suamiku?”

“Suamimu terbunuh oleh Raja dalam pertempuran; kita kalah dalam pertempuran; tetapi mereka mendrita banyak kerugian bahkan Istana mereka sudah terbakar.
Sekarang mari kita mengungsi kedalam hutan, karena aku menduga mereka akan datang kesini untuk menuntut balas; bahkan kamu juga akan dibunuh oleh Raja.”
Ki Kancil Alit berlari-lari disaentero Mengir sambil berteriak-teriak kepada penduduk untuk segera melarikan diri kedalam hutan guna menghindari kejaran tentara Mataram yang marah. “Hai penduduk Mengir Perdikan, segera berkemas-kemas untuk pergi karena tentara Mataram akan segera datang untuk membakar Perdikan ini dan juga akan membunuh penduduknya.”

Dengan penuh kesedihan, ketakutan, pilu dan merana mereka pergi keluar rumahnya.
Jumlah mereka ditaksir lebih dari tiga ribu orang; terdiri dari anak-anak, wanita dan orang-orang tua.

“Nenek, kita akan kemana kah?” Tanya seorang cucu kepada neneknya.

“Musuh telah mengalahkan kita cu; bahkan ayahmu telah terbunuh didalam pertempuran. Sekarang musuh, tentara Mataram akan datang kesini dan akan mengamuk.”

Ayu Sekar ikut didalam rombongan pengungsi dan masuk kedalam hutan. Mereka adalah orang-orang yang tetap memegang prinsip kerakyatan, tidak menyukai pemerintahan dibawah seorang Raja.

Setelah berjalan selama tiga jam, mereka memasuki hutan. Beberapa anak muda yang ikut mengawal menghapus bekas dan jejak agar tidak diikuti oleh tentara Mataram.

Dua hari kemudian Patih Purboyo dan sisa tentaranya datang ke Mengir. Mereka siap tempur, tetapi Perdikan Mengir ternyata sudah kosong, tidak ada lagi manusia ditempat itu. Kemudian mereka membakar rumah-rumah penduduk dan mencari Ayu Sekar.

Mereka mendapat tugas untuk mencari Ayu Sekar atau Putri Pembayun, dalam keadaan mati atau masih hidup.

“Kejar mereka!” Patih Purboyo memberi komando.

Tentara Mataram bergerak mencari pengungsi kearah Timur. Tetapi mereka tidak dapat menemukan, karena para pengungsi sudah masuk kedalam hutan.


Bab 3

Ki Kancil Alit berpidato dimuka pengungsi Mengir, “Saudara-saudara, aku untuk sementara akan memimpin kalian sampai terpilih pemimpin baru pengganti Ki Ageng Mengir.

Kita sudah berjalan cukup jauh; dan saya kira daerah ini sudah cukup aman untuk kita menetap disini. Segera dirikan tenda-tenda darurat dan kita akan bermalam ditempat ini.”

Pemuda-pemuda yang ikut dalam pengungsian, bekerja mendirikan tempat menetap.

Hari-hari berikutnya semua pengungsi masih tetap disitu; mereka sependapat bahwa tanah ditempat itu subur baik untuk bercocok tanam.
Pada akhrnya, ditetapkan oleh Ki Kancil Alit untuk menetap ditempat itu.
Pertimbangan yang paling penting adalah, tentara Mataram tidak mengetahui keberadaan para pengungsi.

Bulan demi bulan dilalui oleh para pengungsi dengan penuh ketabahan dan keprihatinan. Mereka bercocok tanam dan memelihara binatang ternak untuk menyambung hidup.

Ki Kancil Alit melarang mereka untuk datang ke kota. Rahasia keberadaan mereka harus tetap dijaga. Ki Kancil Alit memperkirakan bahwa Ayu Sekar sedang dicari oleh Raja, ayahnya Nampaknya, ayahnya sangat marah kepadanya. Begitu juga perasaan Ayu Sekar, bahwa ayahnya sangat marah kepadanya.

Kemungkinan Putri Pembayun akan mendapat hukuman yang berat sekali bila tertangkap. Raja dan para Menteri sependapat bahwa Putri telah membela musuh sehingga timbul pertempuran didalam Istana, sehingga Istana terbakar dan hancur, prajurit Mataram banyak yang tewas dan masih bayak kerugian lainnya yang ditimbulkan pada pertempuran terakhir, walaupun mereka menang.

Akan tetapi Ki Ageng Pemanahan, kakek Ayu Sekar membela Ayu, “Tugas Pembayun telah dilaksanakan dengan baik; akan tetapi ayahnya telah menyimpang dari apa yang telah ditetapkan didalam rapat yaitu damai dengan Mengir.”

Bulan demi bulan telah dilalui, Ayu Sekar melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi dalam keadaan selamat dan ibu dalam keadaan sehat. Semua orang gembira; bayi itu adalah penyambung keturunan Ki Ageng Mengir.

Ayu Sekar sangat gembira dengan kelahiran anaknya, “Ya Allah yang Maha kuasa, segala puji hanya bagiMu ya Allah yang telah mengkaruniakan bayi laki-laki bagiku.
Semoga dia dapat membela Negara dan Agama. Amin.”

Akan tetapi, Ayu Sekar sangat tertekan karena dia tidak pernah lagi berada dipanggung untuk bermain sandiwara, bernyanyi dan menari. Lebih dari itu, tempat itu adalah suatu persembunyian ditengah hutan yang sangat sunyi dan tidak ada hiburan sama sekali.

Pada suatu malam, terdengar suara gamelan berbunyi ditengah hutan yang sunyi. Semua orang keluar dari kemahnya. Mereka berkumpul dan mendiskusikan bunyi gamelan yang aneh. “Tidak mungkin ada orang berpesta ditengah hutan seperti ini, ini pasti hantu-hantu yang sedang menggangu kita.”

“Mari kita tanyakan kepada pimpinan kita.”

Ki Kancil Alit memberi komentar, “Ini bunyi gamelan sungguhan bukan hantu. Yang Aku takutkan adalah prajurit Mataram sedang mencari kita dengan cara membunyikan gamelan. Bila kita keluar mendekati bunyi itu, kita akan ditangkap dan kita semua akan dibunuh. Maka dari itu, kita tidak boleh ribut dan kita harus mematikan api penerangan. Biarlah sementara kita dalam keadaan kegelapan.”

Ayu Sekar memberi komentar, “Aku kenal sekali pada bunyi gamelanku. Ini adalah ulah kawan-kawanku di SKCK. Diam semua! Dengarkan baik-baik, pasang telinga kalian. Aku mendengar Dalang Ki Ageng Suro sedang “suluk” (bernyanyi sebelum sandiwara)”

“Ya aku mendengar, betul kata Ayu Sekar.”

“Jika benar demikian, Alhamdullilah.
Tetapi Ayu, mengapa mereka membunyikan gamelan ditengah hutan?”

“Mungkin mereka sedang mencari aku. Mereka mengharapkan menemukan tempat kita bersembunyi. Ini adalah suatu tanda bahwa mereka bersungguh-sungguh mencari aku.”

“Baiklah, aku dan beberapa kawan-kawan akan mendatangi mereka.”

Ki Kancil Alit dan kawan-kawannya pergi kearah suara itu terdengar; mereka juga siap dengan senjatanya.
Akhirnya mereka dapat menemukan sumber suara gamelan. Tampak beberapa orang membunyikan gamelan dengan santai dan beberapa orang bernyanyi. Salah satunya dikenali sebagai Ki Ukur.

“Hai Ki Ukur, aku Ki Kancil Alit. Aku harap engkau masih mengenali aku.”

“Tentu saja aku masih mengenali engkau. Dimanakah tempat kamu bersembunyi di hutan ini?” Ki Ukur bertanya.

“Tunggu dulu, aku akan memeriksa siapa-siapa diatara kamu adalah prajurit Mataram; mungkin saja kamu membawa prajurit Mataram untuk menangkap aku dan orang-orangku.”

“Percayalah padaku! Bahkan Ayu Sekar sudah membela Mengir dan meninggalkan Mataram, apalagi kami.”

Ki Kancil Alit memeriksa dan mencari prajurit Mataram diantara anggota mereka. Setelah yakin semua aman, Ki Kancil bertanya, “Apakah engkau sedang mencari Ayu Sekar?”

“Betul, aku sedang mencari Ayu Sekar; Jika diperbolehkan aku akan turut serta dengan kamu ke kampung-mu.”

“Tentu saja boleh, mari kita jalan.
Ceritakan perjalananmu hingga sampai kesini.”

“Aku dan kawan-kawan tetap di Randu Dadap; dikarenakan pertempuran berlangsung maka kami tidak dapat bekerja mencari nafkah seperti biasa. Kami sangat merindukan primadona kami Ayu Sekar. Oleh sebab itu kami putuskan untuk mencarinya disetiap pelosok hutan.

Kami tau Ayu dan kawan-kawan Mengir menjadi pengungsi yang ketakutan; mereka bersembunyi didalam hutan. Bagaimana cara kami mencarinya?
Salah satu kawan kami mempunyai saran untuk membunyikan gamelan disetiap hutan, mungkin Ayu Sekar dapat mendengar gamelan kami dan keluar menemui kami.

Kami bersusah payah membawa perangkat gamelan yang berat ini; dan sudah banyak tempat dihutan-hutan ini kami membunyikan gamelan; dan pada akhirnya kami berhasil.”

Akhirnya Ki Kancil dan Ki Ukur beserta anggota SKCK sampai sudah di kampung.
Ayu Sekar ber-suka cita; Ayu Mendut memeluk Ayu Sekar erat-erat sambil menangis, “Oh Ayu Sekar kawanku, janganlah engkau tinggalkan kami lagi.”

Mereka bersuka-cita melihat bayi laki-laki Ayu Sekar. Mereka juga turut merasakan duka cita Ayu atas kematian suaminya didalam pertempuran.

Salah seorang anggota SKCK memberi laporan kepada Ki Ukur, “Tuan, pegawai pengangkut gamelan melarikan diri entah kemana.”

“Berapa orang?”

“Semuanya Tuan. Mereka lari, tidak pamit atau meminta upah mereka yang terakhir.”

Ki Kancil Alit mendengarkan semua pembicaraan, “Oh Cilaka! Mereka pastilah anggota militer Mataram yang berpura-pura sebagai pegawai pengangkut gamelan. Dan sekarang sedang melaporkan pada Patih Purboyo akan hal-nya tempat keberadaan kita disini.
Jadi, sebaiknya kita pindah lagi.”

“Tidak usah pindah! Aku yang akan menghadapi Patih Purboyo, karena aku yang sedang mereka cari, bukan rakyat Mengir yang tidak berdosa.” Kata Ayu Sekar.

“Aku akan menemanimu Putri Pembayun.” Kata Ki Ageng Suro.

Ki Ageng Suro dan Ayu Sekar pergi ketempat gamelan itu ditinggalkan. Pasti sudah Patih Purboyo beserta serdadunya akan sampai ditempat ini.
Mereka menunggu disitu.

Tak lama kemudian, Patih Purboyo benar-benar datang. Ki Ageng Suro menghunus pedangnya, siap bertempur.

“Selamat datang Patih. Sebelum engkau menganiaya Putri Pembayun, hadapi akui dulu dan kemudian langkahi mayat ku dulu.”

“Aku tidak mempunyai urusan dengan mu Ki Ageng Suro, tetapi junjunganku Raden Putri Pembayun. Aku tidak ingin meng-aniaya Putri Pembayun, tetapi ingin bercakap-cakap dengannya dan memastikan bahwa dia masih hidup.”

“Baiklah! Ki Ageng Suro menyingkirlah dulu. Kalau aku memerlukan perlindunganmu akan kupanggil engkau.
Nah, sekarang apa maumu Patih? Aku tau engkau akan menghukum aku. Aku mau dihukum disini saja, aku tidak mau dihukum di Kota Gede.”

“Bagaimana aku dapat menghukum kamu wahai junjunganku Raden Putri Pembayun.”

“Jujurlah kepadaku. Tapi engkau mendapat tugas untuk menghukum aku kan? Sampai serdadumu engkau suruh memikul gamelan kemana-mana. Katakanlah sejujurnya.”

“Betul, ayahmu ingin aku menghukum-mu.”

“Apakah engkau merasa berat dengan tugasmu itu? Disebabkan engkau masih memandang aku sebagai Putri Raja?”

“Betul, karena engkau adalah junjunganku yang harus kuhormati.”

“Marilah kita sepakat untuk saling menguntungkan. Pulanglah engkau ke Kota Gede, katakan pada Raja, bahwa engkau sudah membunuh anak gadisnya dihutan.
Aku akan merantau ketempat yang jauh dan aku akan menghapus semua identitasku ditempat ini dan di Kota Gede. Setuju?”

“Setuju. Pergilah Tuan Putri. Pergilah sejauh-jauhnya agar Raja Mataram tidak pernah lagi mengingat kamu. Dan aku tidak dihukum oleh beliau karena lalai dalam tugas”

“Patih Purboyo, selamat jalan.”

Patih Purboyo beserta tentaranya pergi meninggalkan Ayu Sekar dan Ki Ageng Suro.

(Bersambung)

3 comments:

sidipranyoto said...

CERITA YANG BAGUS, SAYA MENIKMATINYA. BEDA SEDIKIT DENGAN CERITA YANG DIMAINKAN KETOPRAK

sidipranyoto said...

CERITA YANG BAGUS, ANAK2KU PASTI TDK PERNAH BACA INI, MEREKA LEBIH SUKA TRANSFORMER, NARUTO DLL. HEHE. NANTI AKU YANG CERITA/NDONGENG SENDIRI KE MEREKA, PAKAI BAHAN INI. PAK SUTOTO TERUSLAH MENULIS CERITA SEMACAM INI. TRMKASIH

SIDI P

Satoto Kusasi said...

Pak Said yang baik hati ;
Aku meminta maaf, karena baru kali ini aku membalas komentar mu.

Aku sedang iseng membaca kembali tulisanku .... eh ketemu komentarmu yang sudak lama ku diamkan (tidak disengaja .. loh !)

Benar keinginan mu itu ! Jadilah 'nenek' yang suka bercerita kepada cucu-cucu nya; Sewaktu mereka mau berangkat tidur. Bahan ceritanya adalah ' BABAD TANAH JAWI'

Eh... kalau cucu mu adalah keturunan Batak, carikan juga cerita dari Negeri Batak, cerita tentang Raja Sisingamangaraja ....barangkali ya ?

Aku berharap, tidak ada orang Jawa yang marah kepada ku, karena cerita mereka telah kurobah-robah, semauku ....
Termasuk nama 'Mangir' menjadi 'Mengir'... ya beda sedikit lah, nggak apa-apa kan? (Rapopo)

Selamat membaca cerita ku yang lain dan salam untuk keluarga.